Minggu, 31 Desember 2017

SUAMI TIDAK WAJIB PAMIT

📒 Suami Selalu Wajib Pamit kepada Istri?

Pertanyaan :

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Saya mau bertanya.
Seorang wanita kan wajib hukumnya untuk pamit dg suaminya ketika mau keluar rumah. Lalu bagaimana dengan suami? Wajib atau tidak dia pamit dg istrinya ketika dia mau keluar rumah? Atau memberi kabar istrinya tentang kegiatannya
Syukron
(Dari Hamba Alloh Anggota Grup WA Bimbingan Islam)

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته

Suami “tidak wajib” pamit atau izin kepada istri, namun secara adab semestinya seorang suami tetap minta izin kepada istrinya. Adapun tentang mengabari kepada istri apapun tentang kegiatannya maka ini tidak perlu, dan sikap istri yang senantiasa “mewawancarai” suaminya adalah salah satu pangkal masalah dan cekcok dalam rumah tangga. Penjelasan detail bisa dibaca dipenjelasan berikut

Bismillah
Sebuah mahligai rumah tangga tidak pernah lepas dari berbagai macam problematika keluarga yang cenderung menumpuk dan mengkristal, baik datangnya dari pihak suami maupun istri. Penumpukan problem ini bisa menjadi bom waktu yang suatu saat meledak meluluhlantakkan rumah tangga.

Karena itu, usaha maksimal untuk menjinakkan bom permasalahan menjadi sebuah keniscayaan, agar kita tidak mendengar ucapan seseorang , “Aku lebih bahagia saat bujang, daripada keadaanku sekarang setelah menikah”.

Untuk mencairkan permasalahan dan menjinakkannya, diperlukan keterbukaan dan komunikasi intensif dari suami istri, jangan biarkan komunikasi dan keterbukaan suami istri membeku yang akan menyebabkan suami istri menutup diri, tidak terbuka menyampaikan masalahnya kepada pasangannya. Dengan adanya komunikasi suami istri, niscaya akan tercipta keluarga yang harmonis dan beralaskan cinta sejati. Cinta yang bersemi dalam hati, berkembang dalam kata, dan terurai dalam laku.

Komunikasi suami istri dan keterbukaan dalam hidup berumah tangga sangatlah penting, bagaimana tidak? Bukankah hakikat pernikahan adalah sebuah ikatan kerja sama, saling menerima dan memberi, dan saling memberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban? Bukankah ini semua tidak mungkin terlaksana kecuali dengan komunikasi dan keterbukaan suami istri?

Di antara bukti-bukti komunikasi suami istri yang telah dicontohkan oleh para salaf sangatlah banyak. Jika kita membaca sejarah, niscaya kita dapatkan bagaimana para istri mendukung suami dan berdiskusi dengannya.

Sejarah tidak pernah melupakan sikap Khadijah istri Rasulullah, ketika beliau mendapati Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – takut dan gemetar saat wahyu datang kepadanya kali pertama, dia tidak mengetahui bahwa yang datang kepadanya itu wahyu dari Allah, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – saat itu berkata, “Aku takut pada diriku sendiri”, kemudian Khadijah menenangkannya, menghiburnya seraya berkata, “Demi Allah, Dia tidak akan menyengsarakanmu, kamu selalu menyambung tali silaturahmi, menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, memuliakan tamu, membantu orang-orang yang tertimpa musibah” (Muttafaqun Alaih)

Jikalau Khadijah tidak membantu suaminya yaitu Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – untuk berbuat baik, niscaya Khadijah tidak berkata apa yang dia katakan, Khadijah membekali suaminya makanan dan minuman ketika menyendiri di gua Hira bermunajat kepada Allah.

Kemudian, Khadijah juga sebaik-baik pembantu bagi Rasulullah setelah diutus menjadi Nabi dalam menghadapi musuh-musuh beliau, sebaik-baik penolong, dan sebaik-baik orang yang membantu Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – untuk tegar dalam memegang kebenaran. Khadijah memberikan hartanya ketika beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – diboikot orang-orang Quraisy, setia mendampingi beliau ketika orang-orang meninggalkannya, dan membenarkannya ketika orang-orang mendustakannya. Oleh karena itu, Allah memberi kabar gembira kepadanya dengan surga, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Berilah kabar gembira kepada Khadijah dengan sebuah rumah di surga dari permata, tidak ada keributan dan kelelahan”. (Riwayat Turmudzi, dishahihkan oleh al Albani)

Demikian pula sikap istri-istri Nabi lain

nya, istri-istri para sahabat, dan istri-istri para salafus shalih, mereka mendampingi suami-suami mereka di parit kebenaran, ikut memikul beban suami, dan ikut berjerih payah untuk menolong agama Allah.

Betapa indah rumah tangga yang dibangun di atas pondasi ketaatan kepada Allah Rabb semesta alam, betapa indah ketika istri membantu suaminya dengan diskusi dan dialog dalam ketaatan dan tidak membantunya dalam kemaksiatan, betapa indah ketika istri menaati suaminya dalam agama Allah. Para istri sekarang ini, harus banyak bercermin kepada istri para salaf, ingatlah ketika salah seorang dari mereka berkata kepada suaminya ketika menghantarkan suaminya yang hendak pergi kerja, dia berkara kepada suaminya:

“Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga kami, jangan beri makan kami dari yang haram, kami bisa sabar karena lapar di dunia dan kami tidak bisa tahan panasnya api neraka di hari kiamat.” (Mafatih Sa’adah Zaujiyah)

Inilah sepenggal contoh bagaimana komunikasi suami istri yang telah dilakukan oleh para salaf. Akan tetapi, apakah keterbukaan suami istri dan komunikasi melazimkan sang istri harus mengetahui semua persoalan suami? Apakah sang istri harus mengkorek semua hal yang dilakukan suami saat pergi atau kerja di luar rumah atau di luar kota?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengenal persoalan-persoalan rumah tangga yang harus diketahui istri dan persoalan-persoalan rumah tangga yang tidak harus diketahui istri.

🍃 PERSOALAN RUMAH TANGGA, HARUS DIKETAHUI ISTRI

Perkara-perkara berkaitan langsung dengan rumah tangga seperti kebutuhan biologis, permasalahan yang sedang menghadang keluarga, perkembangan dan kondisi anak, dan perencanaan-perencanaan penting bagi keluarga untuk ke depannya seperti keuangan, pendidikan anak, dan lain-lain.

Perkara-perkara tersebut adalah perkara yang harus diketahui, saling dipahami, dan saling dimusyawarahkan oleh pasutri. Mereka berdua harus bisa memahami dan menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul di pundak mereka. Karena pernikahan itu, membutuhkan dua pasangan yang memiliki kecocokan dan yang telah matang pemikirannya. Bukan pasangan yang bermental anak kecil, karena hakikat pernikahan adalah membina keluarga dan penunaian tanggung jawab yang tidak ringan.

Betapa banyak pernikahan yang berakhir dengan kegagalan, karena kedua pasangan tidak memiliki tanggung jawab, masing-masing pasangan hanya ingin mencari ganti atas kekurangan yang selama ini dia rasakan sebelum menikah, mereka bermental anak kecil, tidak menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh pundak mereka.

Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Ketahuilah, setiap diri dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dia pimpin, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang istri bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas mereka.” (Muttafaqun ‘Alaih)

🍃 PERSOALAN-PERSOALAN YANG TIDAK WAJIB DIKETAHUI ISTRI

Persoalan-persoalan khusus suami yang tidak berkaitan dengan urusan rumah tangga, seperti perincian urusan kerja suami dan aktivitas seperti dakwah dan lainnya yang tidak mengganggu dan tidak mengusik ketenangan dan ketenteraman rumah tangga, dan tidak mengurangi kewajibannya dia dalam memenuhi hak-hak istri, sang istri tidak berkewajiban mengetahui dan mengorek atau mewancarai dengan seabrek pertanyaan kepada suami.

Tidak wajibnya bagi sang istri mengetahui persoalan-persoalan itu, bukan berarti istri tidak boleh mengetahuinya sama sekali. Akan tetapi, sang suami harus bisa melihat kondisi istrinya, apakah sang istri bisa membantunya mencari solusi atau tidak? Jika bisa, maka tidak ada halangan bagi suami untuk mengajak istri berdiskusi dalam persoalan-persoalan khususnya. Demikian pula sang istri, dia harus bisa memahami kondisi suami yang sedang terhimpit persoalan atau tidak, kemudian dia berusaha meringankan beban dan persoalan yang sedang menghimpit suami.

Coba diperhatikan, bagaimana Rasulullah mengajak diskusi istrinya Ummu Salamah – rodhiyallohu ‘anha – saat para sahabat tidak mengindahkan perintahnya ketika beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan mereka untuk menyembelih hewan dan mencukur rambut setelah perjanjian Hudaibiyah. Ummu Salamah pun berkata kepada Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – , “Wahai Nabi Allah, apakah engkau senang hal ini? Sekarang temui mereka dan jangan ajak bicara mereka meskipun sepatah kata hingga engkau menyembelih hewan sembelihanmu dan engkau memanggil orang yang mencukur rambutmu.” Lalu Rasulullah menemui para sahabat, tidak mengajak bicara mereka dan beliau menyembelih hewan sembelihannya dan mencukur rambutnya, akhirnya para sahabat pun mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -. (Irwa’ul Ghalil)

Ibnu Hajar berkomentar, “Hadits ini menunjukkan keutamaan musyawarah, perkataan jika dibarengi perbuatan itu lebih berbekas daripada perkataan saja, dan bolehnya mengajak istri bermusyawarah”.

🍃 PANGKAL MALAPETAKA RUMAH TANGGA

Telah disebutkan bahwa istri tidak harus mengetahui semua persoalan suami, Karena itu, iika ada wanita yang selalu mengawasi gerak-gerik suaminya karena ketidakpercayaannya, maka pernikahan seseorang tidak akan berjalan mulus, bahkan yang muncul adalah kegelisahan, kecurigaan, tidak pernah merasa tenteram, dan sebagainya. Pada akhirnya, pasutri akan saling menyalahkan dan menuduh, semuanya terlahir dari sikap suka berprasangka buruk. Karenanya, salah satu unsur pokok dalam membina rumah tangga adalah rasa saling percaya dan tidak saling berprasangka buruk.

Seorang istri harus memahami keinginan pasangan, yaitu dengan memenuhi kecenderungan, keinginan, kesenangan pasangan tanpa celaan atau tindakan perlawanan terhadap keinginan pasangan, selama dalam koridor syariat. Karena suami terkadang membutuhkan waktu sejenak untuk menyendiri atau sekadar berkumpul dengan teman-temannya. Ini adalah kebutuhan alami setiap lelaki, tidak ada perbedaan antara satu lelaki dengan lainnya, para ahli psikolog menyatakan bahwa seorang suami terkadang lebih mengutamakan berada jauh sementara dari istri, hingga timbul rasa kangen kepada istrinya.

Oleh karena itu, wahai para istri, janganlah kamu menjadi batu penghalang jalan suamimu untuk memenuhi keinginannya dan kesenangannya selama dalam batasan syariat. Janganlah kamu belenggu kebebasan suamimu dengan banyak tanya dan wawancara rumit, agar suamimu tidak merasa terbelenggu sehingga benci hidup denganmu, karena seorang suami tidak suka sikap seperti itu, tidak suka merasa dirinya terbelenggu, tidak suka kalau istrinya selalu ingin bersamanya setiap saat, atau tidak suka kalau istrinya selalu curiga dengan pertanyaan-pertanyaan tiada habisnya.

Allahu a’lam..
Wabillahit taufiq…

Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah

Sumber: https://bimbinganislam.com/suami-selalu-wajib-pamit-kepada-istri/

Senin, 25 Desember 2017

BANYAK YANG BERHAK DIAZAB

ASSALAMU'ALAIKUM

Ngaji di bab '' BANYAK YANG BERHAK DIAZAB ''

Tadabbur Al-Hajj : 18 ( Sikap Banyak Manusia )
````````````````````````````
بسم الله الرحمن الرحيم
{أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ (18) }
'' Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, dan binatang-binatang yang melata dan sebagian besar dari manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki ''.

Allah Subhanahu wata'ala menceritakan bahwa Dialah semata yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya, sesungguhnya bersujud kepada-Nya segala sesuatu karena kebesaran-Nya dengan sukarela dan terpaksa. Dan sujud segala sesuatu itu sesuai dengan caranya sendiri-sendiri, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:

{أَوَلَمْ يَرَوْا  إِلَى مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّأُ ظِلالُهُ عَنِ الْيَمِينِ وَالشَّمَائِلِ سُجَّدًا لِلَّهِ وَهُمْ دَاخِرُونَ}
'' Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedangkan mereka berendah diri. (An-Nahl: 48)

Dan dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya:

{أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ}
'' Apakah kamu tiada mengetahui bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi. (Al-Hajj: 18)

Baik dari kalangan malaikat yang ada di segala penjuru langit; juga semua makhluk hidup yang ada di bumi seluruhnya terdiri atas manusia, jin, hewan, dan burung-burung.

{وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ}
'' Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji­-Nya. (Al-Isra: 44)

*******************
Firman Allah Subhanahu wata'ala :

{وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ}
'' matahari, bulan, dan bintang-bintang ''. (Al-Hajj: 18)

Sesungguhnya hal ini disebutkan sebagai pengukuhan akan kehambaan semuanya, karena sesungguhnya matahari, bulan, dan bintang-bintang ada yang menyembahnya selain Allah.
Maka Allah menjelaskan melalui ayat ini bahwa kesemuanya itu bersujud kepada Penciptanya, dan semuanya itu mempunyai Tuhan yang mereka semua tunduk kepada-Nya.

{لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ}
'' Janganlah kalian bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya. (Fushshilat: 37), hingga akhir ayat.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui Abu Zar r.adiallahuanhu bahwa Rasulullah Salallahualaihi wassallam pernah bersabda kepadanya:

"أَتَدْرِي أَيْنَ تَذْهَبُ هَذِهِ الشَّمْسُ؟ ". قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "فَإِنَّهَا تَذْهَبُ فَتَسْجُدُ تَحْتَ الْعَرْشِ، ثُمَّ تُسْتَأْمَرُ فَيُوشِكُ أَنْ يُقَالَ لَهَا: ارْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ"
"Tahukah kamu, ke manakah matahari ini pergi?” Abu Zar menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Salallahualaihi wassallam bersabda,

"Sesungguhnya matahari ini pergi dan bersujud di bawah Arasy, kemudian ia diperintahkan lagi (untuk terbit). Dan sudah dekat masanya akan diperintahkan kepadanya, "Kembalilah kamu dari arah kamu datang' (yakni terbit dari arah barat)."

Di dalam kitab musnad dan kitab sunan Abu Daud serta Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah mengenai hadis gerhana disebutkan sebagai berikut:

"إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ خَلْقان مِنْ خَلْق اللَّهِ، وَإِنَّهُمَا لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ، وَلَكِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا تَجَلى لِشَيْءٍ مِنْ خَلْقِهِ خَشَعَ لَهُ"
Sesungguhnya matahari dan bulan, kedua-duanya adalah makhluk Allah. Dan sesungguhnya tidaklah keduanya mengalami gerhana karena matinya seseorang dan tidak pula karena hidup (kelahiran)nya seseorang. Tetapi bila Allah Subhanahu wata'ala menampakkan diri-Nya pada sesuatu dari makhluk-Nya, maka tunduklah sesuatu itu kepada-Nya.

Abul Aliyah mengatakan, tiada suatu bintang pun yang ada di langit, tiada pula matahari dan bulan, melainkan jatuh menyungkur bersujud kepada Allah Subhanahu wata'ala hingga terbenam. Kemudian tidaklah berangkat, melainkan setelah mendapat izin (dari Allah) baginya (untuk berangkat)

Lalu ia mengambil jalan ke arah kanan untuk kembali ke tempat terbitnya.

Adapun mengenai gunung-gunung dan pohon-pohon, maka sujud keduanya melalui bayangannya yang condong ke arah kanan dan ke arah kiri.

Disebutkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seorang lelaki datang, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi malam aku bermimpi dalam tidurku melihat diriku seakan-akan sedang salat di balik sebuah pohon. Ketika aku sujud, pohon itu ikut sujud bersamaku, dan aku dengar pohon itu mengucapkan doa berikut:

اللَّهُمَّ، اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا، وَضَعْ عَنِيَ بِهَا وِزْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ
'Ya Allah, catatkanlah sujudku ini untukku di sisi Engkau sebagai suatu pahala, dan hapuskanlah dariku karenanya suatu dosa, dan jadikanlah sujudku ini sebagai suatu simpanan di sisi Engkau bagiku, dan terimalah sujudku ini dariku sebagaimana Engkau telah menerimanya dari hamba-Mu Daud'.

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Lalu Rasulullah Salallahualaihiwassallam membaca ayat sajdah dan bersujud, dan ternyata saya dengar beliau mengucapkan doa seperti doa yang telah diceritakan oleh lelaki itu tentang ucapan pohon tersebut."

Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah, dan Imam Ibnu Hibban telah meriwayatkan hadis ini di dalam kitab sahihnya masing-masing.

Yang dimaksud dengan dawab dalam ayat ini ialah semua jenis hewan.

Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Ahmad telah disebutkan bahwa Rasulullah Salallahualaihiwassallam  melarang menjadikan punggung hewan kendaraan sebagai mimbar, sebab banyak hewan kendaraan yang lebih baik atau lebih banyak zikirnya kepada Allah Subhanahuwata'ala daripada pe­nunggangnya.

*******************
Firman Allah Subhanahuwata'ala :

{وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ}
'' dan sebagian besar dari manusia ''. (Al-Hajj: 18)

Yakni sebagian besar dari mereka sujud kepada Allah dengan taat dan ikhlas seraya menyembah-Nya.

{وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ}
'' Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya ''. (Al-Hajj: 18)

Yaitu mereka yang menolak dan enggan bersujud kepada Allah karena kesombongannya.

{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ}
'' Dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki ''. (Al-Hajj: 18)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Syaibah Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Al-Qaddah dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali yang menceritakan bahwa pernah disampaikan kepada Ali, sesungguhnya di tempatnya ada seorang lelaki yang membicarakan tentang masyi'ah (kehendak). Maka Ali radiallahuanhu berkata kepada lelaki itu, "Hai hamba Allah, jawablah pertanyaanku ini.

Allah menciptakanmu sebagaimana yang Dia kehendaki ataukah sebagai­mana yang kamu kehendaki?

" Lelaki itu menjawab, "Tidak, bahkan sebagaimana yang Dia kehendaki."

Ali bertanya, "Allah membuatmu sakit sebagaimana yang Dia kehendaki ataukah sebagaimana kamu kehendaki?

" Ia menjawab, "Tidak, bahkan sebagaimana yang Dia kehendaki"

Ali bertanya, "Allah menyembuhkanmu sebagaimana yang Dia kehendaki ataukah sebagaimana yang kamu kehendaki?

" Ia menjawab, "Tidak, bahkan menurut apa yang Dia kehendaki."

Ali bertanya, "Dia memasukkanmu menurut apa yang Dia kehendaki ataukah menurut apa yang kamu kehendaki?

" Ia menjawab, "Tidak, bahkan menurut apa yang Dia kehendaki (ke surgakah atau ke neraka).

" Kemudian Ali radiallahuanhu berkata, "Demi Allah, seandainya kamu mengatakan selain itu, tentulah aku akan memukul bagian tubuhmu yang ada kedua matanya (kepala) dengan pedang."

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahuanhu bahwa Rasulullah Salallahualaihi wassalam pernah bersabda:

"إِذَا قَرَأَ ابنُ آدَمَ السَّجْدَةَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُولُ: يَا وَيْلَهُ. أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ، فَلَهُ الْجَنَّةُ، وأمِرتُ بِالسُّجُودِ فأبيتُ، فَلِيَ النَّارُ"
Apabila anak Adam membaca ayat sajdah, maka setan menjauh seraya menangis dan mengatakan, "Celakalah (aku), anak Adam diperintahkan untuk bersujud, laiu ia bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku diperintahkan untuk sujud dan aku membangkang, maka bagiku neraka." (Riwayat Muslim)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ وَأَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِئُ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا مَشْرَح بْنُ هَاعَانَ أَبُو مُصعب الْمُعَافِرِيُّ قَالَ: سَمِعْتُ عُقَبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفُضِّلَتْ سُورَةُ الْحَجِّ عَلَى سَائِرِ الْقُرْآنِ بِسَجْدَتَيْنِ؟ قَالَ: "نَعَمْ، فَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ بِهِمَا فَلَا يَقْرَأْهُمَا".
Imam Ahmad mengatakan telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim dan Abu Abdur Rahman Al-Muqri. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah; ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musyarrih ibnu Ha'an Abu Mus'ab Al-Ma'afiri, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Uqbah ibnu Amir berkata, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah surat Al-Hajj melebihi surat lainnya berkat kedua ayat sajdah yang ada padanya?

' Rasulullah Salallahualaihi wassallam menjawab, 'Ya, benar. Maka barang siapa yang tidak bersujud pada keduanya, janganlah ia membaca keduanya'."

Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Abdullah ibnu Lahi'ah dengan sanad yang sama, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa sanad hadis ini tidak kuat dan masih diragukan. Karena sesungguhnya Ibnu Lahi'ah telah menjelaskan dalam hadis ini bahwa dia hanya mendengarnya, dan kebanyakan pendapat tentang dirinya dari kalangan ulama mengatakan bahwa dia orang yang suka memalsu hadis.

Abu Daud di dalam kitab Marasil-nya mengatakan,

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ السَّرح، أَنْبَأَنَا ابْنُ وَهْب، أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ جَشِب، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدان؛ أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "فُضِّلت سُورَةُ الْحَجِّ عَلَى الْقُرْآنِ بِسَجْدَتَيْنِ"
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr ibnus Sarh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Amir ibnu Jasyb, dari Khalid ibnu Ma'dan rahimahullah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Surat Al-Hajj mempunyai kelebihan di atas semua surat Al-Qur’an karena dua ayat sajdah(nya).

Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa memang hadis ini disebutkan dalam kitab musnad, tetapi melalui jalur lain, sedangkan predikatnya tidak sahih.

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Isma'ili mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Abu Amr, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, telah menceritakan kepadaku Nafi' yang mengatakan, Abul Jahm pernah menceritakan kepadanya bahwa Umar radiallahuanhu melakukan sujud dua kali dalam surat Al-Hajj saat ia berada di Al-Jabiyah. Setelah itu ia mengatakan bahwa sesungguhnya surat Al-Hajj ini mempunyai kelebihan berkat kedua ayat sajdahnya.

Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan melalui hadis Al-Haris ibnu Sa'id Al-Itqi, dari Abdullah ibnu Manin, dari Amr ibnul As, bahwa Rasulullah Salallahualaihiwassallam pernah mengajarkan kepadanya lima belas ayat sajdah di dalam Al-Qur'an, tiga di antaranya terdapat di dalam surat mufassal, dua dalam surat As-Sajdah, Hal ini merupakan bukti-bukti yang satu sama lain saling memperkuat.

*** TAFSIR IBNU KATSIR ***
❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️

RUKUN SHOLAT DAN TATA CARA SHOLAT

[25/12 19:37] ‪+62 812-3006-8283‬: *SHALAT*

*🔹🔹  RUKUN-RUKUN SHALAT*

TATA CARA SHALAT

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

*A. Rukun-Rukun Shalat*

Shalat memiliki beberapa kewajiban dan rukun yang hakekat shalat itu tersusun darinya.
*✔  Sehingga, jika satu rukun saja tertinggal, maka shalat tersebut tidak terealisir dan secara hukum tidak di-anggap (batal).*
Berikut adalah rukun-rukunnya:

*1. Takbiratul ihram*

Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَتَحْرِيْمُهَـا التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.

*=  “Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.”*[1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada orang yang buruk shalatnya:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ.

*=  “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah.”*[2]

*2. Berdiri bagi yang mampu saat mengerjakan shalat wajib*
Allah berfirman:

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

*=  “… Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.”*
[Al-Baqarah: 238]

Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sambil berdiri. Beliau juga menyuruh ‘Imran bin Hushain untuk mengerjakan yang demikian. Beliau berkata kepadanya:

صَلِّ قَـائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ.

*=  “Shalatlah sambil berdiri. Jika engkau tidak bisa, maka (shalatlah) sambil duduk. Jika tidak bisa, maka (shalatlah) dengan (tidur) miring (yaitu di atas tubuh bagian kanan dengan wajah menghadap kiblat.-ed.”*[3]

*3. Membaca al-Faatihah pada setiap raka’at*

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بَفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.

*=  “Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca fatihatul kitab (al-Faatihah).”*[4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang buruk shalatnya untuk membacanya kemudian berkata,
*= “Kemudian lakukanlah yang seperti itu pada seluruh shalatmu.”*[5]

*4, 5. Ruku’ secara thuma’ninah (tenang)*

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

*=  “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabb-mu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”*
[Al-Hajj: 77]

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang buruk shalatnya:

ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَعِنَّ رَاكِعًا.

*=  “Kemudian ruku’lah hingga kau merasa tenang dalam ruku’mu.”*[6]

*6, 7. Berdiri tegak setelah ruku’ sambil thuma’ninah di dalamnya*

Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu anhuma. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
*= “Tidak diganjar shalat seseorang yang tidak menegakkan punggungnya dalam ruku’ dan sujud.”*[7]

Beliau juga berkata kepada orang yang buruk shalatnya:

ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا.

*=  “Kemudian bangkitlah hingga kau tegak berdiri.”*[8]

*8, 9. Sujud dan thuma’ninah di dalamnya*

Berdasarkan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا

*=  “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu…”*
[Al-Hajj: 77]
.
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk shalatnya,
*=  “Kemudian bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu. Lalu bangkitlah hingga engkau thuma’ninah dalam dudukmu. Lantas bersujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujudmu.”*[9]

Anggota sujud:
Dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ: عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ، وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ.

*=  “Aku diperintah untuk bersujud di atas tujuh tulang: di atas dahi, -sambil menunjuk ke hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut, serta ujung jari-jemari kedua kaki.”*[10]

Juga dari Ibnu ‘Abbas, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيْبُ أَنْفَهُ مِنَ اْلأَرْضِ مَا يُصِيْبُ الْجَبِيْنَ.

*= “Tidak (sempurna) shalat orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah sebagaimana menempelkan dahinya.”*[11]

*10, 11. Duduk di antara dua sujud serta thuma’ninah padanya*

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
*= “Tidak diganjar shalat seseorang yang tidak menegakkan (meluruskan) punggungnya dalam ruku’ dan sujud.”*

Juga berdasarkan perintah beliau pada orang yang buruk shalatnya agar melakukan hal ini, sebagaimana telah dibicarakan dalam pembahasan sujud.

*12. Tasyahhud akhir*

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata,
*= “Sebelum diwajibkan tasyahhud, dulu kami mengucapkan:*

“اَلسَّلاَمُ عَلَـى اللهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَـى جِبْرِيْلَ وَمِيْكَـائِيْلَ،” فَقَـالَ رَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَقُوْلُوْا هكَذَا، وَلكِنْ قُوْلُوْا: اَلتَّحِيَّاتُ للهِ…

*=  “Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Allah. Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas Jibril dan Mikail.”*
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
*=  ‘Janganlah kalian mengucapkan seperti itu. Tapi ucapkanlah, ‘Segala penghormatan…*[12]

Catatan:
Riwayat paling shahih tentang tasyahhud adalah riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku tasyahhud secara langsung sebagaimana mengajariku surat al-Quran.

“التَّحِيَّاتُ للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.”

*=  “Segala penghormatan hanya bagi Allah. Begitupula seluruh pengagungan dan kebaikan.*
*=  Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitu pula kasih sayang Allah dan berkahNya. Mudah-mudahan kesejahteraan tercurahkan atas kita semua dan para hamba Allah yang shalih.*
*=  Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”*[13]

Catatan lain:
Sabda beliau:

“اََلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.”

*=  “Semoga kesejahteraan terlimpahkan atas engkau, wahai Nabi. Begitupula kasih sayang Allah dan barakah-Nya.”*

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h (II/314), “Terdapat pada sejumlah jalur hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ini adanya konsekuensi perbedaan antara zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan kita) sehingga (pada waktu itu) diucapkan dengan lafazh kalimat langsung. Adapun (zaman) selanjutnya, maka diucapkan dengan lafazh tidak langsung. Dalam kitab “al-‘Isti’dzan” pada Shahiih al-Bukhari dari jalur Abu Ma’mar, dari Ibnu Mas’ud.
Setelah menyebutkan hadits tasyahhud dia berkata, “Beliau (masih) berada di antara kami. Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan:

“اَلسَّلاَمُ، يَعْنِيْ عَلىَ النَّبِيِّ

(semoga kesejahteraan terlimpahkan, maksudnya- atas Nabi), maksudnya kepada Nabi.” Seperti itulah disebutkan dalam al-Bukhari.
Abu ‘Awwanah juga mengeluarkannya dalam kitab Shahiihnya. Begitu pula as-Siraj, al-Jauzaqi, Abu Nu’aim al-Ashbahani, dan al-Baihaqi dari berbagai jalur menuju Abu Nu’aim guru al-Bukhari. Di situ disebutkan dengan lafazh, “Ketika beliau meninggal, kami mengucapkan
“اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”

tanpa lafazh: يعنى
(maksudnya). Begitupula riwayat Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Abu Nu’aim.

As-Subki berkata dalam Syarh al-Minhaaj setelah menyebutkan riwayat ini dari jalur Abu ‘Awwanah secara sendiri, “Jika benar ini dari Sahabat, maka menunjukkan bahwa kalimat langsung dalam salam setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wajib. Maka dikatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”. Saya berkata (al-Hafizh), “Riwayat tersebut shahih tidak diragukan lagi. Saya telah menemukan jalur lain yang menguatkan. ‘Abdurrazzaq berkata, “Ibnu Juraij memberitahu kami, dia berkata, ‘Atha’ memberitahuku bahwa dulu semasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup para Sahabat mengucapkan: “اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَـا النَّبِيُّ”. Ketika beliau sudah meninggal, mereka mengatakan: “اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”. Ini adalah sanad yang shahih.

Al-Albani berkata dalam Shifatush Shalaah (hal. 126), “Itu pasti berdasarkan petunjuk langsung dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini juga diperkuat oleh riwayat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang menyatakan bahwa dia mengajari mereka tasyahhud dalam shalat:
“اَلسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ”
diriwayatkan as-Siraj dalam Musnadnya (II/1/9) dan Mukhallash dalam al-Fawaa-id (I/54/11) dengan dua sanad yang shahih dari ‘Aisyah.

*13. Shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah tasyahhud akhir*

Berdasarkan hadits Fadhalah bin ‘Ubaid al-Anshari:
*= “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang sedang shalat. Dia tidak memuji dan mengagungkan Allah. Tidak pula bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia lalu pergi.*
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata,
*= “Orang ini terlalu tergesa-gesa.” Kemudian beliau memanggilnya lalu berkata kepadanya dan kepada selainnya, “Jika salah seorang di antara kalian shalat, hendaklah ia memulai dengan sanjungan dan pujian pada Rabb-nya lalu bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu dia boleh berdo’a sesuka hatinya.”*[14]

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata,
*= “Seorang laki-laki datang dan duduk di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kami berada di sisi beliau. lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, adapun mengucap salam atas engkau, maka kami sudah tahu. Lalu bagaimanakah kami bershalawat atas engkau jika kami bershalawat atas engkau dalam shalat-shalat kami? Semoga Allah mencurahkan keselamatan-Nya atas engkau?” Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Beliau terdiam hingga kami berharap laki-laki itu tak pernah menanyainya (seperti itu).” Beliau kemudian berkata, “Jika kalian bershalawat atasku, maka ucapkanlah:*

“اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ…”

*=  “Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, Nabi yang buta huruf, serta kepada keluarga Muhammad…”*15]

Catatan:
Kalimat shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terbaik adalah yang diriwayatkan Ka’b bin ‘Ujrah, dia mengatakan bahwa kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui atau mengenal bagaimana mengucap salam atas engkau. Lalu bagaimana dengan shalawatnya?” beliau berkata, “Ucapkanlah:

“اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.”

“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahaagung. Serta berilah berkah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji dan Mahaagung.” [16]

*14. Salam*

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مِفْتَـاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ، وَالتَّحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَالتَّحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.

*=  “Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.”*[17]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 222)], Sunan at-Tirmidzi (I/5 no. 3), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/88 no. 61), dan Sunan Ibni Majah (I/101 no. 270).
[2]. Telah disebutkan takhirjnya.
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3778)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/587 no. 1117). Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/233 no. 939) dan Sunan at-Tirmidzi (I/231 no. 369).
[4]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/236 no. 756)], Shahiih Muslim (I/295 no. 394), Sunan at-Tirmidzi (I/156 no. 247), Sunan an-Nasa-i (II/137), Sunan Ibni Majah (I/273 no. 837), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/42 no. 807), dengan tambahan: “Dan begitulah seterusnya.” Hal ini tidak terdapat pada riwayat selainnya.
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Ibid.
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 71)], Sunan an-Nasa-i (II/183), Sunan at-Tirmidzi (I/165 no. 264), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/93 no. 840), dan Sunan Ibni Majah (I/282 no. 870).
[8]. Telah berlalu takhrijnya
[9]. Telah berlalu takhrijnya.
[10]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/297/812)], Shahiih Muslim (I/354/230-490), dan Sunan an-Nasa-i (II/209).
[11]. Shahiih: [Ad-Daraquthni (I/348/3). Al-Albani menyebutkannya dalam “Shifatu ash-Shalaah.” Hal. 123.
[12]. Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 319)], Sunan an-Nasa-i (III/40), ad-Daraquthni (I/350 no. 4), dan al-Baihaqi (II/138).
[13]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 319)], Sunan an-Nasa-i (III/40), ad-Daraquthni (I/350 no. 4), dan al-Baihaqi (II/138).
[14]. Sanadnya Shahih: [Shifatush Shalaah (no. 128). Cet. Maktabah al-Ma’arif], Sunan at-Tirmidzi (V/180 no. 3546), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/354 no. 1468).
[15]. Sanadnya Hasan: [Shahiih Ibni Khuzaimah (I/351 dan 352 no. 711)].
[16]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/152 no. 6357)], Shahiih Muslim (I/305 no. 406), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/264 no. 963), Sunan at-Tirmidzi (I/301/482), Sunan Ibni Majah (I/293 no. 904), dan Sunan an-Nasa-i (III/47).
[17]. Telah disebutkan takhrijnya.

Sumber: https://almanhaj.or.id/773-rukun-rukun-shalat.html

Repost : ➖➖➖➖➖➖➖➖
Group WA 📚 GUDANG ILMU 📚
Admin : 081230068283
[25/12 19:37] ‪+62 812-3006-8283‬: *SHALAT*

*🔹🔹  DIMAKRUHKAN DALAM SHALAT, DIPERBOLEHKAN DALAM SHALAT DAN YANG MEMBATALKAN SHALAT*

*TATA CARA SHALAT*

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

*🔹  F. Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Shalat:*

*1. Bermain-main dengan pakaian atau anggota badan tanpa keperluan*

Dari Mu’aiqib Radhiyallahu anhu :
*=  “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang mengusap debu ketika sujud, ‘Jika engkau melakukannya, maka cukup sekali saja.’”*[1]

*2. Berkacak pinggang*

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

نُهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُخْتَصَرًا.

*= “Dilarang shalat sambil berkacak pinggang.”*[2]

*3. Mengangkat pandangan ke langit*

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِي الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.

*=  “Hendaklah orang-orang berhenti mengangkat pandangan mereka ke langit ketika berdo’a dalam shalat atau mata mereka akan tersambar.”*[3]

*4. Menoleh tanpa keperluan*

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,  “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Lalu beliau bersabda:

هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ.

*=  “Ia merupakan sebuah curian yang dilakukan syaitan terhadap shalat seorang hamba.”*[4]

*5. Memandang pada sesuatu yang memalingkan*

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan pakaian yang ada tandanya.
Kemudian beliau bersabda:

شَغَلَتْنِيْ أَعْلاَمُ هذِهِ، اِذْهَبُوْا بِهَـا إِلَى أَبِيْ جَهْمٍ، وَأْتُوْنِـيْ بِأَنْبِجَانِيَّةِ.

*=  “Tanda pada pakaian ini telah menyibukkanku.*
*=  Bawalah ia ke Abu Jahm dan bawakan aku anbijaniyyah (pakaian tebal dari wol yang tidak ada tandanya).”*[5]

*6. Sadl dan menutup mulut*

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَةِ وَأَنْ يَغْطِيَ الرَّجُلُ فَاهُ.

*“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sadl dan menutup mulut ketika shalat.”*[6]

Syamsul Haq berkata dalam ‘Aunul Ma’buud (II/347): Al-Khaththabi berkata: As-sadl adalah menjulurkan pakaian hingga menyentuh tanah.

Disebutkan dalam an-Nailul Authaar: Abu ‘Ubaidah berkata tentang makna as-sadl adalah menjulurkan pakaian tanpa menyatukan kedua sisinya ke depan. Jika disatukan ke depan, maka tidak dinamakan sadl. Pengarang kitab an-Nihaayah berkata:
*=  Maknanya adalah berkemul dengan pakaiannya dan memasukkan kedua tangan dari dalam lalu ruku’ dan sujud dalam keadaan seperti itu.*
*=  Ini berlaku pada gamis dan jenis pakaian yang lain.*
Ada pula yang mengatakan: meletakkan bagian tengah sarung di atas kepala dan menjulurkan kedua tepiannya ke kanan dan ke kiri tanpa meletakkannya di atas kedua bahu. Al-Jauhari berkata: sadala tsaubahu yasduluhu sadlan, dengan dhammah artinya arkhahu (menjulurkannya). Tidak masalah mengartikan hadits pada semua arti ini, karena sadl mengandung banyak arti.
Membawa kalimat yang mengandung banyak arti pada semua maknanya adalah madzhab yang kuat.

*7. Menguap*

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلتَّثَـاؤُبُ فِي الصَّلاَةِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا تَثَـاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ.

*=  “Menguap dalam shalat adalah dari syaitan. Jika salah seorang dari kalian menguap, maka tahanlah sebisa mungkin.”*[7]

*8. Meludah ke arah kiblat atau ke kanan*

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ يُصَلِّي فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قِبَلَ وَجْهِهِ، فَلاَ يَبْصُقَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ وَلاَ عَنْ يَمِيْنِهِ. وَلِيَبْصُقْ عَنْ يَسَـارِهِ تَحْتَ رِجْلِهِ الْيُسْرَى، فَإِنْ عَجِلَتْ بِهِ بَادِرَةٌ فَلْيَقُلْ بِثَوْبِهِ هكَذَا. ثُمَّ طَوَى ثَوْبَهُ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ.

*=  “Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berdiri untuk shalat, maka sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berada di hadapannya. Maka janganlah ia meludah ke arah depan atau ke kanan. Hendaklah ia meludah ke sebelah kiri di bawah kaki kirinya. Dan jika terlanjur keluar, maka hendaklah ia tumpahkan ke pakaiannya.”*
Beliau kemudian melipat bajunya satu sama lain.[8]

*9. Menyilangkan jari-jemari*

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ كَانَ فِي صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ، فَلاَ يَقُلْ هكَذَا، وَشَبَكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ.

*=  “Jika salah seorang di antara kalian wudhu’ di rumahnya kemudian mendatangi masjid, maka dia berada dalam sebuah shalat hingga pulang. Janganlah ia melakukan seperti ini.” Beliau menyilangkan jari-jemarinya.*[9]

*10. Menggulung rambut dan pakaian*

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ، لاَ أَكِفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا.

*=  “Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh (anggota sujud) dan tidak menggulung rambut maupun pakaian.”*

*11. Mendahulukan kedua lutut daripada kedua tangan ketika sujud*

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.

*=  “Jika salah seorang di antara kalian hendak sujud, maka janganlah turun sebagaimana unta menderum. Hendaklah ia letakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”*

*12. Membentangkan kedua tangan (menempel dengan lantai) ketika sujud*

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اِعْتَدِلُوْا فِـي السُّجُوْدِ، وَلاَ يَبْسُطُ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ اِنْبِسَاطَ الْكَلْبِ.

*=  “Bersikaplah pertengahan ketika sujud, dan janganlah salah seorang di antara kalian membentangkan tangannya sebagaimana anjing.”*[10]

*13. Shalat ketika hidangan sudah disajikan atau menahan buang air besar dan kecil*

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ اْلأَخْبَثَانِ.

*=  "Tidak (sempurna) shalat ketika hidangan sudah disajikan, dan tidak (sempurna) pula shalat orang yang menahan buang air besar atau kecil.”*[11]

*14. Mendahului imam*

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ اْلإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللهُ صُوْرَتَهُ صُوْرَةَ حِمَارٍ.

*=  “Tidakkah salah seorang di antara kalian takut, Allah menjadikan kepalanya seperti kepala keledai bila dia mengangkat kepalanya sebelum imam. Atau menjadikan rupanya seperti rupa keledai.”*[12]

*🔹  G. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dalam Shalat*

*1. Berjalan untuk keperluan*

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
*=  “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di dalam rumah sedangkan pintunya tertutup. Lalu aku datang dan minta dibukakan. Kemudian beliau berjalan dan membukakan pintu untukku. Setelah itu beliau kembali ke tempat shalatnya. ‘Aisyah menyifatkan bahwa pintu tersebut berada di arah Kiblat.”*[13]

*2. Menggendong anak kecil*

Dari Abu Qatadah:
*=  “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah, puteri Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’. Jika beliau berdiri, beliau menggendongnya. Namun jika sujud, beliau meletakkannya.”*[14]

*3. Membunuh al-aswadain (kalajengking dan ular)*

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
*=  “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar membunuh dua binatang hitam dalam shalat, yaitu kalajengking dan ular.”*[15]

*4. Menoleh dan memberi isyarat untuk keperluan*

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata,
*= “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menderita sakit. Lalu kami shalat di belakang beliau yang shalat dalam keadaan duduk. Kemudian beliau menoleh dan melihat kami berdiri. Ke-mudian beliau mengisyaratkan kepada kami (untuk duduk), lalu kami pun duduk.”*[16]

*5. Meludah di baju atau mengeluarkan sapu tangan dari saku*

Dalilnya telah disebutkan dalam hadits Jabir tentang larangan meludah ke arah kiblat.

*6. Memberi isyarat untuk menjawab salam*

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
*= “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Quba’ untuk shalat di sana. Tak lama kemudian datanglah orang-orang Anshar dan mengucapkan salam kepada beliau yang sedang shalat. Lalu aku berkata pada Bilal, “Bagaimana engkau melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salam ketika mereka memberi salam kepada beliau padahal beliau sedang shalat?” Dia berkata, “Beliau memberi isyarat seperti ini.” Dia membuka telapak tangannya. Ja’far bin ‘Aun (perawi hadits) pun membuka telapak tangannya. Ia jadikan bagian dalamnya menghadap ke bawah dan bagian luarnya ke atas.”*[17]

*7. Mengucapkan tasbih bagi laki-laki dan bertepuk tangan bagi wanita jika terjadi sesuatu dalam shalat*

Dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَا لَكُمْ حِيْنَ نَابَكُمْ شَيْءٌ فِي الصَّلاَةِ أَخَذْتُمْ فِي التَّصْفِيْقِ، إِنَّمَا التَّصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ، مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ: سُبْحَانَ اللهِ، فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُهُ أَحَدٌ حِيْنَ يَقُوْلُ سُبْحَانَ اللهِ إِلاَّ الْتَفَتْ…

*=  “Wahai manusia, kenapa jika terjadi sesuatu dalam shalat kalian bertepuk tangan? Sesungguhnya bertepuk tangan adalah untuk wanita.*
*=  Barangsiapa menemui kejadian dalam shalatnya, hendaklah ia mengucapkan: subhaanallah. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mendengarnya ketika ia mengucap: subhaanallah melainkan ia telah berpaling…*[18]

*8. Mengingatkan imam*

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
*=  “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan suatu shalat lalu membaca surat dan bacaannya tercampur (keliru). Ketika selesai beliau berkata pada Ubay, “Apakah engkau shalat bersama kami?” Dia berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Lalu, apakah yang menghalangimu (untuk membenarkan bacaanku tadi?”*[19]

*9. Mencolek kaki orang yang sedang tidur*

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
*=  “Aku menyelonjorkan kakiku pada kiblat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang shalat. Jika sujud, beliau mencolekku dan aku pun mengangkatnya. Jika beliau berdiri aku menyelonjorkannya lagi.”*[20]

*10. Menahan orang yang ingin lewat di depannya*

Dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, dia berkata,
*= “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:*

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يُجْتَـازُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ.

*=  “Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap ke sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian seseorang hendak lewat di depannya, maka doronglah pada lehernya. Jika dia menolak, maka perangilah (lawanlah) dia. Karena sesungguhnya dia adalah syaitan.”*[21]

*11. Menangis*

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata,
*= “Tidak ada seorang penunggang kuda pun di antara kami pada hari perang Badar selain al-Miqdad. Aku tidak melihat seorang pun di antara kami melainkan sedang tidur (malam). Kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shalat sambil menangis di bawah sebuah pohon hingga Shubuh.”*[22]

*🔹  H. Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat*

*1. Yakin adanya hadats*

Dari ‘Abbad bin Tamim Radhiyallahu anhu, dari pamannya:
= “Ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu (hadats) yang seolah-olah terjadi dalam shalatnya.
Lalu beliau bersabda:

لاَ يَنْفَتِلْ -أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ- حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا.

*=  “Janganlah ia membubarkan (membatalkan shalatnya) atau berpaling hingga dia mendengar suara atau mencium bau.”*[23]

*2. Meninggalkan salah satu rukun atau syarat dengan sengaja atau tanpa alasan*

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang buruk shalatnya:

اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ.

*=  “Kembali dan shalatlah, karena engkau belum shalat.”*[24]

Juga perintah beliau terhadap orang yang pada punggung telapak kakinya terdapat sedikit bagian yang tidak terkena air wudhu’ agar mengulang wudhu’ dan shalatnya.

*3. Makan dan minum dengan sengaja*

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,
*=  “Para ahlul ilmi sepakat bahwa orang yang makan atau minum dengan sengaja ketika shalat wajib, maka dia wajib mengulang shalatnya.*[25]

Begitupula pada shalat sunnah menurut jumhur (mayoritas ulama. Karena apa yang membatalkan shalat wajib, juga membatalkan shalat sunnah.

*4. Berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan shalat*

Dari Zaid bin Arqam, dia berkata,
*= “Dulu kami berbicara dalam shalat. Seseorang di antara kami bercakap-cakap dengan kawan di sebelahnya yang sedang shalat. Hingga turunlah ayat:*

.وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

*=  ‘… Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.’*
[Al-Baqarah: 238].
*Kami pun diperintah diam dan dilarang berbicara.”*[26]

*5. Tertawa*

Ibnul Mundzir rahimahullah menukil ijma’ bahwa tertawa membatalkan shalat.

*6. Lewatnya perempuan baligh, keledai, atau anjing hitam di antara orang yang shalat dan tempat sujudnya*

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا قَـامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَد.ُ

*=  “Jika salah seorang dari kalian shalat, maka dia terbatasi jika di hadapannya terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan tunggangan. Jika di hadapannya tidak terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan tunggangan, maka shalatnya terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam.”*

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/79 no. 1207)], Shahiih Muslim (I/388 no. 546 (49)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/223 no. 934), Sunan at-Tirmidzi (I/235 no. 377), Sunan Ibni Majah (I/327 no. 1026), dan Sunan an-Nasa-i (III/7).
[2]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/88 no. 1220)], Shahiih Muslim (I/387 no. 545), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/223 no. 94), Sunan at-Tirmidzi (I/237 no. 381), dan Sunan an-Nasa-i (II/127).
[3]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 343)], Shahiih Muslim (I/321 no. 429), dan Sunan an-Nasa-i (III/39).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7047)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/234 no. 751), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/178 no. 897), dan Sunan an-Nasa-i (II/8).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2066)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/234 no. 752), Shahiih Muslim (I/391 no. 556), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/182 no. 901), Sunan an-Nasa-i (II/72), dan Sunan Ibni Majah (II/1176 no. 3550).
[6]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 966)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/347 no. 629), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 376), pada kalimat pertama saja. Sunan Ibni Majah (I/310 no. 966), pada kalimat kedua saja.
[7]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3013)], Sunan at-Tirmidzi (I/230 no. 368), dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/61 no. 920).
[8]. Shahih: [Shahiih Muslim (IV/2303 no. 3008)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/144 no. 477).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 445)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (I/206).
[10]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/301 no. 822)], Shahiih Muslim (I/355 no. 493), Sunan at-Tirmidzi (I/172 no. 275), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/166 no. 883), Sunan Ibni Majah (I/288/892), dan Sunan an-Nasa-i (II/212) dengan lafazh serupa.
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7509)], Shahiih Muslim (I/393 no. 560), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/160 no. 89).
[12]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/182 no. 691)], ini adalah lafazhnya. Shahiih Muslim (I/320 no. 427), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/330 no. 609), Sunan an-Nasa-i (II/69), dan Sunan Ibni Majah (I/308 no. 961).
[13]. Hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1151)], Sunan at-Tirmidzi (II/56 no. 598), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/190 no. 910), dan Sunan an-Nasa-i (III/11).
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/590 no. 516)], Shahiih Muslim (I/385 no. 543), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/185 no. 904), dan Sunan an-Nasa-i (II/45).
[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 1147)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/41 no. 869).
[16]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1145)], Shahiih Muslim (I/309 no. 413), Sunan an-Nasa-i (III/9), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/313 no. 588).
[17]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 820)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/195 no. 915).
[18]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/107 no. 1234)], Shahiih Muslim (I/316/421), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/216 no. 926).
[19]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 803)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/175 no. 894).
[20]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/80 no. 1209)], ini adalah lafazhnya, serta Shahiih Muslim (I/367 no. 512 (272)), dengan lafazh serupa.
[21]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 638)] dan Shahiih Muslim (I/362 no. 505 (259)).
[22]. Sanadnya shahih: [Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (XXI/36 no. 225)], dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/52 no. 899).
[23]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/237 no. 137)], Shahiih Muslim (I/272 no. 361), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/299 no. 174), Sunan Ibni Majah (I/171 no. 513), dan Sunan an-Nasa-i (I/99).
[24]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/267, 277 no. 793)], Shahiih Muslim (I/298 no. 397), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/96-93 no. 841), Sunan at-Tirmidzi (I/186-185 no. 301), Sunan an-Nasa-i (II/125).
[25]. Al-Ijma’ hal. 40.
[26]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/383 no. 539)], Sunan at-Tirmidzi (I/252 no. 4003), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/227 no. 936), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/72 no. 1200), dan Sunan an-Nasa-i (III/18), pada kedua riwayat terakhir ini tidak terdapat kalimat: “Dan kami dilarang ber-bicara.”

Sumber: https://almanhaj.or.id/589-dimakruhkan-dalam-shalat-diperbolehkan-dalam-shalat-dan-yang-membatalkan-shalat.html

Repost : ➖➖➖➖➖➖➖➖
Group WA 📚 GUDANG ILMU 📚
Admin : 081230068283