Tolak Ukur Disebut Negara Muslim Atau Kafir
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.
Salah satu kesalahan mendasar yang difahami sebagian ikhwah tentang perbedaan negara kafir dan muslim adalah ketika tolok ukurnya hanya penerapan undang-undang buatan siapa, buatan Alloh atau manusia.
Perlu difahami bahwa tolok ukur negara dikatakan muslim itu macam-macam, tidak hanya satu tolok ukur,dan para ulama pun berbeda-beda.
Jadi tidaklah benar jika berhukum dengan undang-undang buatan manusia dan dijadikan sebagai tolok ukur untuk memvonis suatu negara muslim atau kafir.
📙📙 Berbagai tolok ukur negara muslim dan kafir diantaranya:
✔✔ 1. Kekuasaan dipihak kaum muslimin atau kaum kafir. Jika dipihak kaum muslimin maka negara muslim, dan jika dipihak kafir maka negara kafir.
Ibnu Hazm rohimahullah berkata: “Suatu negara itu dilihat dari kekuasaan, mayoritas (penduduknya), dan penguasa atau pemimpinnya.” (lihat Al Muhalla:13/140)
✔✔ 2. Penampakkan hukum-hukum dan syiar Islam secara umum, seperti: Sholat Jum’at, Iedul Fithri, Iedul Adha, puasa Ramadhan, haji tanpa adanya larangan dan kesulitan. Dan bukanlah semua hukum Islam harus ditegakkan.
✔✔ 3. Dikumandangkan adzan dan didirikan sholat.
Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu Rosulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam menyerang (musuh) ketika adzan dikumandangkan. Jika beliau mendengar adzan, maka beliau tidak jadi menyerang. Tapi jika
tidak terdengar adzan, maka beliau akan melancarkan serangan.” (HR. Bukhori: 610, Muslim: 1365)
✔✔ 4. Mayoritas penduduknya
Ibnu Hazm rohimahullah berkata: “Suatu negara itu dilihat dari kekuasaan, mayoritas (penduduknya), dan penguasa atau pemimpinnya.” (lihat Al Muhalla: 13/140)
Adapun kaitannya dengan sistem kafir (buatan manusia), para ulama menerangkan bahwa seseorang yang berhukum dengan hukum selain hukum Alloh, berarti dia telah melakukan sebuah kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari agama Islam. Tapi, bisa jadi kekafiran kecil ini berubah menjadi besar jika dia menganggap dan berkeyakinan halal atau bolehnya berhukum dengan selain hukum Alloh* atau dia berkata: “saya tidak merasa wajib atau harus berhukum dengan hukum Alloh”. Semisal mengatakan berhukum dengan selain hukum Alloh lebih baik daripada berhukum dengan hukum Alloh, atau hukum-hukum dan undang-undang lainnya sama saja dengan hukum Alloh, dan perkataan semisalnya. Jika demikian berarti ia telah melakukan kekafiran yang besar (keluar dari Islam).
Wallohu A’lam
Wabillahit Taufiq
__________________________________
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
Bimbingan Islam (BIAS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar