Sabtu, 30 September 2017

NIKMATNYA MENGANUT ISLAM

ONE DAY ONE HADITS
1 Oktober 2017/ 11 Muharram 1439  H

NIKMAT  ISLAM

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلَفَهَا ، وَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ ، وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلاَّ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهَا

Dari Abu Sa'id Al Khudri r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seseorang masuk Islam kemudian Islamnya menjadi baik, maka Allah akan menghapus segala kejahatan yang telah dilakukannya. Setelah itu, ia akan diberi balasan yaitu setiap kebaikannya akan dibalas Allah sepuluh hingga tujuh ratus kali. Sedangkan kejahatannya dibalas setimpal dengan kejahatannya itu, kecuali jika Allah memaafkannya "

Penjelasan Hadits

إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ

Apabila seseorang masuk Islam kemudian Islamnya menjadi baik

Yakni seorang musyrik atau non Muslim masuk Islam dan keislamannya bukan sebatas identitas atau ”Islam KTP”, melainkan ia bersungguh-sungguh berislam, jujur dalam memeluk Islam, dan memenuhi ajaran Islam. Baik lahir maupun batin ia berislam. Hatinya benar-benar beriman, dan dibuktikan dengan ketundukan dirinya dalam menjalankan ibadah.

Di sinilah hubungan hadits ini dengan iman yang menjadi judul kitab ini: kitabul iman. Bahwa Islam yang baik itu adalah iman (keyakinan di hati, pengakuan di lisan, dan pembuktian dengan amal). Dan bahwa iman itu tidak dianggap kecuali jika dibuktikan dengan amal.

يُكَفِّرُ اللَّهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلَفَهَا

Maka Allah akan menghapus segala kejahatan yang telah dilakukannya.

Inilah keutamaan masuk Islam. Inilah ”imbalan” bagi seorang musyrik atau kafir yang masuk Islam. Segala dosanya semasa dihapuskan dengan syahadat yang ia ikrarkan. Dosa apapun. Bahkan, dosa membunuh seorang mujahid yang dilakukan sewaktu masih kafir pun akan diampuni oleh Allah jika ia masuk Islam dan bersungguh-sungguh dengan keislamannya.

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah menjelaskan contoh itu.

يَضْحَكُ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الآخَرَ يَدْخُلاَنِ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيَقْتُلُ ثُمَّ يَتُوْبُ اللهُ عَلَى الْقَاتِلِ فَيَسْلَمَ فَيَسْتَشْهِدُ

“Allah SWT tertawa melihat dua orang yang ingin saling membunuh, tetapi keduanya masuk surga.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana itu bisa terjadi?”

(Rasulullah menjawab), “Orang yang pertama berperang di jalan Allah, lalu ia terbunuh sebagai syahid. Kemudian, si pembunuh bertaubat dan masuk Islam. Ia berperang di jalan Allah hingga mati sebagai syahid.” (Muttafaq ‘alaih)

Jika perlu mencontohkan dua orang yang saling membunuh kemudian keduanya masuk surga seperti hadits tersebut, barangkali Hamzah bin Abdul Muthalib dan Wahsyi bisa disebut di sini. Pada perang uhud, Hamzah dibunuh oleh Wahsyi dengan tombaknya. Setelah futuhnya Makkah, Wahsyi kemudian memeluk Islam. Ia bersungguh-sungguh dengan keislamannya, dipenuhi penyesalan yang dalam karena telah membunuh orang terbaik, Hamzah. Ia bahkan tak pernah berani memandang wajah Rasulullah sejak masuk Islam hingga beliau wafat karena penyesalannya telah membunuh paman Nabi.

Di masa pemerintahan khalifah Abu Bakar, Wahsyi kemudian membunuh orang terjelek dengan tombaknya, yaitu nabi palsu Musailamah Al-Kadzab. Jadilah Wahsyi tercatat sejarah sebagai pernah membunuh orang baik dan juga membunuh orang terjelek. Singkat cerita, Wahsyi kemudian syahid pada sebuah peperangan yang diikutinya.

Demikianlah kehebatan masuk Islam. Ia seperti me-restart kehidupan seseorang, menjadikannya bersih dari dosa sebelumnya dan membuatnya suci laksana kain putih yang belum terkena noda. Maka Rasulullah memaafkan begitu saja ketika Wahsyi datang kepada beliau untuk masuk Islam, sebagaimana Allah menjadikan keislamannya sebagai penghapus atas dosanya yang telah lalu. Inilah kasih sayang Allah kepada Muslim. Keislamannya menghapuskan segala dosa sebelumnya.

وَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ

Setelah itu, ia akan diberi balasan

Setelah seseorang masuk Islam, barulah balasan atas amal diperhitungkan. Jika seseorang kafir, sebaik apapun perbuatannya ia tidak akan ditulis sebagai amal kebaikan yang mendapatkan pahala.

الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ

Yaitu setiap kebaikannya akan dibalas Allah sepuluh hingga tujuh ratus kali.

Subhanallah. Inilah kasih sayang Allah yang kedua. Kebaikan seorang Muslim bukan hanya ditulis sebagai satu atau dua kebaikan, melainkan dilipatgandakan sepuluh hingga tujuh ratus kali. Siapakah yang bisa memberikan keuntungan yang demikian besar selain Allah? Tidakkah kita tergiur untuk memperbanyak "transaksi" dengan Allah.

Ustman bin Affan pernah kembali dari perjalanan bisnisnya. Menjelang sampai ke Madinah, sejumlah saudagar Yahudi telah menyambutnya. Mereka menawarkan keuntungan yang banyak kepada Ustman agar mau menjual dagangannya kepada mereka. Ada yang menawarkan keuntungan lima puluh persen. Ada yang menawarkan keuntungan seratus persen. Ada yang menawarkan keuntungan dua kali lipat dari modalnya. Namun Ustman tetap tidak mau. Ketika mereka bertanya, Utsman mengatakan bahwa telah ada yang akan memberikan keuntungan sepuluh kali lipat kepadanya.

"Siapa orang itu? Setahu kami tidak ada lagi saudagar-saudagar kaya selain kami," kata salah seorang saudagar Yahudi.

"Allah. Dia memberikan balasan sepuluh kali lipat. Karenanya seluruh unta ini beserta barang dagangan yang dipikulnya aku sedekahkan kepada fakir miskin yang ada di Madinah," jawab Ustman membuat mereka keheranan.

Seperti itulah idealnya semangat umat Islam menyambut balasan kebaikan yang berlipat ganda ini. Menyambut kasih sayang Allah yang luar biasa.

وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلاَّ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهَا

Sedangkan kejahatannya dibalas setimpal dengan kejahatannya itu, kecuali jika Allah memaafkannya

Inilah kasih sayang Allah yang ketiga. Jika kebaikan dibalas sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan dalam hadits yang lain "ilaa maasya'aLlah" hingga tak terhingga tergantung pada kehendak Allah, kejahatan hanya ditulis serupa. Tidak dilipatgandakan. Bahkan, jika Allah berkehendak, ia akan dimaafkan. Karenanya seorang Muslim dituntut untuk memperbanyak taubat, agar kesalahannya diampuni oleh Allah SWT.

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:

1. Allah sangat sayang kepada hamba-Nya yang Muslim;

2. Masuk Islam atau menjadi Muslim haruslah sungguh-sungguh dan jujur, bukan sekedar Muslim secara identitas saja;

3. Orang yang masuk Islam, dosanya yang telah lalu dihapus oleh Allah dengan keislamannya tersebut;

4. Balasan kebaikan bagi seorang Muslim dilipatgandakan oleh Allah antara sepuluh hingga tujuh ratus kali;

5. Balasan kesalahan bagi seorang Muslim adalah sepadan dengan kesalahan itu, tidak dilipatgandakan, bahkan jika Allah berkehendak akan diampuni-Nya;

6. Seorang Muslim perlu menyambut kasih sayang Allah ini dengan memperbanyak kebaikan, menjauhi kejahatan dan memperbanyak taubat. 1. Islam menghapus seluruh dosa dan kesalahan bagi orang kafir yang masuk Islam.
Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla :

قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوا إِن يَنتَهُوا يُغْفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِن يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْأَوَّلِينَ

"Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, (Abu Sufyan dan kawan-kawannya) ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi), sungguh akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang terdahulu (dibinasakan).” [Al-Anfaal: 38]

Islam membuahkan cahaya bagi penganutnya di dunia dan akhirat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

"Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka, celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” [Az-Zumar: 22]

DOA YANG BERASAL DARI ALQURAN

Doa-Doa Dari Al Qur’an
♨♨♨♨♨♨♨♨♨

📋✏ Yazid Bin Abdul Qodir Jawaz

📙 Berikut ini kumpulan doa-doa yang dahsyat karena doa-doa ini terdapat dalam Al Qur’anul Karim.

✔✔ 1. Doa mohon ampunan dan rahmat Allah

رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Huud: 47).

رَبَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

“Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik” (QS. Al Mu’minun: 109).

رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

“Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik” (QS. Al Mu’minun: 118).

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir” (QS. Al Imran: 147).

رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al Imran: 16).

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji” (QS. Al Imran: 193-194).

رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Qashash: 16).

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir” (QS. Al Baqarah: 286).

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raf: 23).

✔✔ 2. Doa agar tergolong orang-orang beriman

رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ

“Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh. an jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian. dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan” (QS. Asy Syu’ara: 83-85).

رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ

“Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad)” (QS. Al Maidah: 83).

✔✔ 3. Doa agar diberikan keturunan yang shalih

رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ

“Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik” (QS. Al Anbiya: 89).

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh” (QS. Ash Shaffat: 100).

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa” (QS. Al Imran: 38).

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Furqan: 74).

✔✔ 4. Doa mohon ampunan bagi kedua orang tua dan kaum mukminin

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)” (QS. Ibrahim: 41).

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hasyr: 10).

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا

“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan” (QS. Nuh: 28).

________________________________
Dari buku “Doa & Wirid” karya Ust. Yazid bin Abdil Qadir Jawwaz, Pustaka Imam Asy Syafi’i

Artikel Muslim.or.id

IJMA AHLUL BIDAH

IJMA HAJR AHLUL BIDAH ??
♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨♨

📋✏ Oleh: Abdullah Zaen

Metode menyikapi orang yang menyimpang dari ajaran Islam ada dua. Yaitu: metode talîf dan metode hajr. Dua metode ini dibenarkan di dalam syariat Islam dan pernah diterapkan kedua-duanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

🔶🔷 Metode talîf adalah: pendekatan terhadap orang yang bersalah. Dengan bermuka manis, berkunjung, menjawab salam, menasehati dengan lemah lembut dan sikap-sikap simpatik lainnya yang mendekatkan orang yang bersalah terhadap diri orang yang akan menasehati. Sehingga dia menerima nasehat yang disampaikan.(1)

🔶🔷 Metode hajr adalah: Memutus hubungan dengan orang yang bersalah. Tidak salam, tidak senyum, tidak mengunjunginya dan sikap-sikap keras lainnya yang diharapkan bisa memberikan pelajaran terhadap orang yang bersalah. Sehingga dia kembali kepada al-haq.(2)

Para ulama telah menjelaskan bahwa dua metode ini sama-sama disyariatkan di dalam agama Islam dan pernah diterapkan kedua-duanya oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.(3)

📙📙  Ijma Hajr Ahlul Bidah

Setelah kita mengetahui bahwa dua metode ini sama-sama dibenarkan syariat; karena keduanya pernah diterapkan Nabi shallallahu alahi wasallam, mungkin akan timbul pertanyaan dari sebagian kita, “Apa maksud dari atsar-atsar ulama salaf yang menerangkan telah terjadinya ijmâ atas penghajran ahlul bidah?”.(4)

Jawabannya: maksud para ulama salaf berijmâ untuk hajr ahlul bidah adalah: bahwa mereka sepakat hajr ahlul bidah dibenarkan di dalam agama Islam, karena hal tersebut berlandaskan dalil-dalil yang shahih.(5)

Bukan maksudnya bahwa seluruh individu ahlul bidah tanpa terkecuali harus dihajr.

🔴🔴 Sebab:

🔹1⃣ Kalau ditafsirkan demikian maka akan bertabrakan dengan hadits-hadits shahih yang jelas-jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pun pernah mentalîf orang-orang yang memiliki penyimpangan-penyimpangan yang tidak ringan. Dan ijmâ tidak mungkin bertabrakan dengan dalil.

🔹2⃣ Para salafus shâlih dan ulama Ahlus Sunnah dari dulu hingga sekarang tidak memahami dari atsar-atsar tersebut kewajiban untuk menghajr seluruh individu ahlul bidah tanpa terkecuali. Buktinya mereka sendiri termasuk yang menukil ijma tersebut terkadang mentalîf sebagian ahlul bidah, atau memerintahkan dan mengizinkan orang lain untuk mentalîf ahlul bidah, atau membedakan antara ahlul bidah yang berhak dihajr dengan ahlul bidah yang tidak berhak dihajr.

📙📙 Di bawah ini praktek nyata dari penjelasan di atas:

➖Ibnu Abbâs radhiyallahuanhuma (w. 68 H) pernah mentalîf ahlul bidah dari kalangan pengikut sekte Khawârij. Ceritanya: setelah beliau meminta izin kepada khalifah Ali bin Abî Thâlib radhiyallahu anhu, beliau pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian dengan baju paling indah yang ia miliki dan menyisir rambutnya, lalu beliau menuju ke rumah orang-orang Khawârij. Sesampainya di sana beliau mengucapkan salam lalu mengajak mereka untuk berdiskusi dengan kata-kata yang lemah lembut. Hingga akhirnya dua puluh ribu orang di antara mereka sadar dan kembali kepada al-haq, sedangkan empat ribu di antara mereka tetap di dalam keyakinan yang sesat.(6)

➖Imam Abdurrahmân al-Auzâî rahimahullâh (w. 157 H) membedakan antara ahlul bidah yang yang terang-terangan memamerkan bidahnya, dengan ahlul bidah yang sembunyi-sembunyi dalam melakukan bidahnya. Menurut beliau ahlul bidah model pertama berhak untuk disikapi dengan keras, sedang model kedua tidak seyogyanya untuk disikapi demikian.(7)

➖Imam Abdul Azîz bin Yahyâ al-Kinânî asy-Syâfiî rahimahullâh (w. 240 H) ketika beliau mentalîf gembong sekte Jahmiyyah: Bisyr al-Mirrîsî, di saat beliau mengajaknya berdiskusi di depan khalifah al-Mamûn di istana kerajaannya.(8)

➖Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh (w. 241 H) ketika beliau membolehkan untuk menjawab salam pengikut sekte Murjiah.(9) Juga ketika beliau menerima kedatangan Abdurrahmân bin Shâlih al-Azdî, seorang pengikut sekte Râfidhah, ke rumahnya, lalu menyambutnya dengan ramah dan mengajak untuk berdiskusi.(10) Juga ketika beliau mengajak Abû Imrân Mûsâ bin Hizâm at-Tirmidzî seorang pengikut sekte Murjiah untuk berdiskusi, hingga dia kembali kepada al-haq dan hingga akhir wafatnya terus membela mazhab Ahlus Sunnah.(11) Padahal Imam Ahmad adalah salah satu ulama yang menukil ijmâ atas penghajran ahlul bidah.

➖Imam Ibn Abdil Bar al-Mâlikî rahimahullâh (w. 463 H) ketika beliau menjelaskan bahwa hajr itu tidak mutlak diterapkan kepada semua ahlul bidah, akan tetapi hanya diterapkan kepada orang-orang yang diharapkan akan jera akibat hajr tersebut atau jika kita merasa khawatir terpengaruh dengan bidahnya.(12)

➖Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh (w. 728) yang dengan gamblang menjelaskan bahwa kita memiliki dua metode dalam menyikapi ahlul bidah: metode talîf dan metode hajr.(13) Dan penerapan beliau metode talîf tatkala melayani ahlul bidah di zamannya untuk berdiskusi seputar kitab beliau al-Aqîdah al-Wâsithiyyah di depan Sultan al-Afram.(14) Juga ketika beliau mengajak diskusi para gembong tarekat Rifâiyah di desa al-Bathâih Irak.(15)

➖Syaikh al-Allâmah Abdul Azîz bin Bâz rahimahullâh (w. 1420 H) ketika beliau menjelaskan bahwa dalam pemilihan metode menyikapi ahlul bidah, kita melihat mana yang lebih cocok untuk mereka; jika yang lebih cocok adalah talîf maka kita memilih metode itu, jika tidak maka kita memilih metode hajr.(16)

➖Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî rahimahullâh (w. 1420 H) yang mewasiatkan kepada para salafiyyîn agar mereka mendakwahi musuh-musuh dakwah salafiyah dengan penuh hikmah.(17) Juga ketika beliau dengan penuh kesabaran melayani orang-orang takfîriyyîn (kelompok yang mudah mengkafirkan kaum muslimin seperti Surûriyyah dan Quthbiyyah) untuk berdiskusi selama berhari-hari. Terkadang beliau menjadi makmum di belakang mereka, bahkan terkadang beliau mengalah untuk mengunjungi rumah mereka.(18)

➖Syaikh al-Allâmah Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullâh (w. 1421 H) ketika menjelaskan bahwa hajr atau talîf ahlul bidah kembalinya adalah kepada pertimbangan maslahat dan madharat.(19) Juga ketika beliau memotivasi kaum muslimin yang hidup berdampingan dengan orang-orang Râfidhah agar berusaha untuk menasehati mereka dan menerangkan al-haq.(20) Beliau juga melarang kita untuk mengusir orang-orang Râfidhah jika shalat di masjid Ahlus Sunnah, sambil kita terus berusaha menasehati mereka.(21) Beliau juga menasehati agar kita melihat siapa di antara pengikut sekte Râfidhah yang diprediksikan akan menerima al-haq, lalu kita undang dia ke rumah kita, kemudian dinasehati dengan penuh hikmah.(22) Beliau juga memberikan wejangan kepada para guru yang hidup di negeri yang di dalamnya Ahlus Sunnah berbaur dengan ahlul bidah, hendaknya mereka berusaha sekuat tenaga mentalîf murid-murid yang berasal dari keluarga ahlul bidah dan mengajak mereka kepada al-haq.(23) Bahkan beliau sendiri berusaha untuk mempraktekkan apa yang beliau nasehatkan kepada umat, dengan mentalîf tokoh-tokoh pengusung pemikiran Surûriyyah selama bertahun-tahun.(24)

➖Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hâdî al-Wâdi’î rahimahullâh (w. 1422 H) ketika mengharapkan agar ada sebagian ikhwah yang menta’lif Dr. Safar al-Hawâlî dengan harapan supaya dia rujuk kepada al-haq.(25)

📙📙 Ini Bukan Mudâhanah!

Perlu diketahui bahwa bermuka manis serta berlemah lembut kepada ahlul bidah dengan tujuan talîf sama sekali bukan termasuk mudâhanah, akan tetapi ini termasuk mudârâh yang diperbolehkan, bahkan terkadang disyariatkan dalam Islam.

Mudâhanah merupakan salah suatu sikap tercela yang dilarang di dalam agama Islam. Allah ta’âlâ berfirman,

(وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَ(.

Artinya: “Mereka (orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu (wahai Muhammad) bermudahanah, lalu mereka bermudahanah (pula kepadamu)”. QS. Al-Qalam: 9.

Sedangkan mudârâh adalah salah satu sikap terpuji(26), di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah menerapkannya. Dalam satu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhârî dan Muslim disebutkan:

عَنْ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْر رحمه الله أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم رَجُلٌ فَقَالَ: (ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ ابْن الْعَشِيْرَة أَوْ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيْرَة), فَلَمَّا دَخَلَ أَلاَنَ لَهُ الْكَلاَمَ, فَقُلْتُ لَهُ: (يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْتَ مَا قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ فِي الْقَوْلِ؟) فَقَالَ: (أَيْ عَائِشَة, إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْـزِلَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ تَرَكَهُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ).

Dari ‘Urwah bin Zubair rahimahullah, Aisyah bercerita padanya bahwa ada seorang pria minta izin untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata, “Izinkanlah dia, sesungguhnya ia adalah sejelek-jelek pria di kaumnya atau beliau shallallahu alaihi wasallam berkata, Ia adalah sejelek-jelek orang di kaumnya Kemudian tatkala orang itu masuk (menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam pun berbicara kepadanya dengan lemah lembut. (Setelah laki-laki itu pulang) aku (Aisyah) pun berkata kepada beliau, Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah mengatakan apa yang kau katakan, mengapa kemudian engkau berbicara kepadanya dengan lemah lembut? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, Wahai Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan atau dijauhi masyarakat guna menghindari kejahatannya”.(27)

Imam al-Bukhârî rahimahullâh mengambil kesimpulan dari hadits di atas, “Bab (disyariatkannya) mudârâh dengan para manusia”.(28)

📙📙 Adapun perbedaan antara mudârâh dengan mudâhanah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam al-Qurthubî, Imam Ibn Hibbân dan Ibnu Baththâl rahimahumullâh:

🔻1⃣ Mudârâh adalah mengorbankan kepentingan duniawi untuk meraih kemaslahatan yang berkaitan dengan dunia, agama atau keduanya. Seperti bersikap rendah hati di hadapan para manusia, berbicara dengan lemah lembut dan meninggalkan sikap keras kepada masyarakat.

Adapun mudâhanah adalah mengorbankan agama demi kemaslahatan dunia. Seperti bergaul dengan orang fasik dengan menampakkan keridhaan terhadap kefasikannya tanpa adanya pengingkaran.(29)

Perbedaan lain antara mudârâh dan mudâhanah sebagaimana yang diterangkan oleh al-‘Allâmah Ibn Utsaimîn rahimahullâh:

🔻2⃣ Mudârâh adalah suatu bentuk mengakhirkan pengingkaran atas kemungkaran karena pertimbangan maslahat.

Adapun mudâhanah adalah: suatu bentuk keridhaan terhadap suatu kemungkaran, tanpa ada niat untuk mengingkarinya baik saat itu maupun di waktu lain.(30)

Kesimpulannya: mudârâh adalah sikap terpuji sedangkan mudâhanah adalah sikap tercela.

📙📙 Dua Kubu Keliru dalam Memahami Mudârâh dan Mudâhanah.

Seyogyanya kita bisa membedakan antara kedua sikap ini. Karena sebagian orang mengira bahwa penerapan mudârâh yakni berlemah lembut dan ramah, merupakan bentuk kelembekan dalam beragama dan ketidaktegasan dalam bersikap (baca: mudâhanah).

Sebaliknya ada sebagian orang yang mengira bahwa diam dan ridha atas suatu kemungkaran adalah salah satu konsekwensi berlemah lembut dalam berdakwah.

Dua kelompok di atas keliru dalam pemahaman mereka. Waspadalah, karena banyak orang yang tergelincir dalam masalah ini. Kita tidak akan selamat, kecuali jika diberi taufiq dan hidayah oleh Allah ta’âlâ.(31)

Wallâhu taâlâ alam..

___________________
Footnote:

(1) Lihat: Al-Awâshim wa al-Qawâshim karya Imam Ibn al-Wazîr (I/228).

(2) Lihat: Syarh Lumah al-Itiqâd karya Syaikh al-Allâmah al-Utsaimîn (hal. 159).

(3) Majmû al-Fatâwâ (XXVIII/206), Minhâj as-Sunnah (I/63-65) karya Ibn Taimiyyah, Al-Awâshim wa al-Qawâshim (I/228-229), Majmû Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwiah karya Ibn Baz (IX/423-424) dan Nashîhah li asy-Syabâb (hal. 3).

(4) Nukilan ijma tersebut bisa dilihat di: Târîkh Ibn ‘Asâkir (VI/362), Masâil al-Imâm Ahmad karya putra beliau Shâlih (II/166-167) dan al-Ibânah, al-Juz ats-tsâlits, karya Ibn Baththah (II/472), al-Hujjah fî Bayân al-Mahajjah karya Abû al-Qâsim al-Ashbahânî (I/258-259), ‘Aqîdah as-Salaf Ashhâb al-Hadîts karya ash-Shabuniy (hal. 112), Al-Amr bi al-Marûf wa an-Nahy an al-Munkar karya Abu Yala (hal. 190), Syarh as-Sunnah karya al-Baghawiy (I/227), Al-Mufhim limâ Asykala min Talkhîsh Kitâb Muslim karya Abul Abbas al-Qurthubiy, (VI/534), Al-Itishâm karya asy-Syathibiy (I/188), Ad-Durar as-Saniyyah (VIII/443) dan Ijma al-Ulamâ alâ al-Hajr wa at-Tahdzîr min Ahl al-Ahwâ, karya Syaikh Khâlid bin Dhahawî azh-Zhufairî hafizhahullâh (hal. 89-153).

(5) Demikian keterangan dari Syaikh Abdul Mâlik Ramadhânî hafizhahullâh pada tanggal 11/1/1428 H bada Shubuh, ketika kami tanyakan permasalahan ini kepada beliau.

(6) Diriwayatkan oleh Abdurrazzâq dalam al-Mushannaf (X/157-160 no.18678) dan yang lain. Al-Haitsamî di dalam Majma az-Zawâid (VI/241) berkata: Atsar ini diriwayatkan oleh ath-Thabrânî dan sebagian oleh Ahmad, sedangkan para perawinya tsiqah. Al-Hâkim di dalam al-Mustadrak (II/150-152) berkata, Shahih sesuai syarat Muslim, dan adz-Dzahabî menyepakatinya. Ada riwayat lain yang mengatakan bahwa pengikut Khawârij yang rujuk kepada al-haq berjumlah dua ribu orang, riwayat lain lagi mengatakan empat ribu orang. Lihat: Jâmi Bayân al-Ilm wa Fadhlih karya Ibn Abdil Bar (II/148 no 1834) dan Musnad Ahmad (II/86 no 656 -cet Muassasah ar-Risâlah).

(7) Lihat: Kitâb al-Bida, karya Imam Ibn Wadhdhâh (hal. 7) dan dengarkan penjelasan atsar ini di kaset ad-Dîn ash-Shâfî, Talîq Mukhtashar alâ Kitâb al-Bida li Ibn Wadhdhâh, oleh Syaikh Abdurrahmân al-Hajjî (no 1 side A).

(8) Lihat kitab beliau: al-Haidah wa al-Itidzâr fi ar-Rad alâ Man Qâla bi Khalq al-Qurân (hal. 21-dst).

(9) Lihat: Masâil al-Imâm Ahmad, oleh Abû Dâwûd (hal. 276).

(10) Lihat: Tahdzîb at-Tahdzîb, karya Ibn Hajar (II/517).

(11) Lihat: Tahdzîb at-Tahdzîb (IV/173) dan ats-Tsiqât, karya Ibn Hibbân (IX/163).

(12) Lihat: At-Tamhîd (VI/119).

(13) Lihat: Majmû al-Fatâwâ (XXVIII/206) dan Minhâj as-Sunnah (I/63-65).

(14) Lihat: Majmûah ar-Rasâil al-Kubrâ (I/413-421) dan al-Bidâyah wa an-Nihâyah, karya Imam Ibn Katsîr (XVIII/53).

(15) Lihat: Majmûah ar-Rasâil wa al-Masâil (I/128-146).

(16) Lihat: Majmû Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwiah (IX/423-424).

(17) Lihat kitab Muhaddits al-Ashr Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, karya Samîr bin Amîn az-Zuhairî (hal. 74-75).

(18) Lihat: Maqâlât al-Albânî, oleh Nûruddîn Thâlib (hal 214-215) dan It-hâf an-Nufûs al-Muthmainnah, karya Ahmad Abû al-Ainain (hal. 11-13).

(19) Lihat: Al-Majmû ats-Tsamîn (I/31) dan Syarh Lumah al-Itiqâd (hal. 159)
Lihat: Liqâ al-Bâb al-Maftûh (I/25 pertanyaan no. 34).

(20) Lihat: Ibid (I/192 pertanyaan no. 313).

(21) Lihat: Ibid (I/231 pertanyaan no. 363).

(22) Lihat: Ibid (II/21-23 pertanyaan no. 774).

(23) Lihat: Khurafât Haraki, karya Syaikh Abdul Mâlik Ramadhânî (hal. 44).

(24) Lihat:Tuhfah al-Mujîb (hal 277).

(25) Lihat macam-macam mudârâh dalam kitab Mudârâh an-Nâs, karya Imam Ibn Abî ad-Dun-yâ.

(26) HR. Bukhârî (hal. 1282 no: 6032) dan Muslim (IV/2002 no. 2591)

(27) Lihat: Shahîh Bukhârî (hal. 1300 no. 6131).

(28) Lihat: Fath al-Bârî (X/558, 648-649) dan Shahîh Ibn Hibbân (II/218).

(29) Lihat: Syarh Hilyah Thâlib al-‘Ilm (hal. 199).

(30) Lihat: Nashîhah li asy-Syabâb (hal. 2-3).

Abusalma.Net

CARA RUKYAH MANDIRI

*Cara Singkat, Sederhana, Cepat Ruqyah Mandiri, Ruqyah Sendiri di Rumah*

Langkah-langkah di bawah ini, bisa diterapkan untuk meruqyah orang lain, dan diterapkan untuk ruqyah pribadi, mandiri atau sendiri.

Silahkan Terapkan Langkah Sederhana Ruqyah Mandiri di bawah ini :(dari beberapa riwayat)

SIAPKAN DULU KANTONG PLASTIKkalau ingin muntah atau berludah  selama ruqyah ... :

1. Berwudhu atau sudah sholat (*agar kondisi suci)

2. Menghadap Kiblat (*karena doa lebih baik menghadapi kiblat) niatkan dalam hati untuk meruqyah atau mengobati sakit dan mengeluarkan gangguan.

3. Baca do'a perlindungan dulu = A'uzubillahi minasy syaithonir rojiim

4. Letakkan telapak tangan kanan kita ke tempat yang sakit, baca Bismillah 3x atau atau letakkan ke dada atau juga bisa dengan menggunakan telunjuk dengan cara menekan ditempat yang sakit sambil baca bismillah*** (cara telunjuk bisa jadi alternatif saja) 

(dari  riwayat Utsman ibn Abi al-‘Ash ats-Tsaqafi, dan juga dari Aisyah, HR. Bukhari, Muslim)
( keterangan Ibnu Abbas)

( keterangan Aisyah radhiallahu dan Sufyan bin ‘Uyainah) 

5. Baca Al Fatihah*, lalu baca Al Kafirun**(kalau Al Kafirun belum hafal langsung surat selanjutnya saja),  Surat Al Ikhlas, Surat Al Falaq dan Surat An Nas 3x dan Tiupkan ke telapak tangan dan usap-usapkan ke tempat sakit***. 

(*keterangan Abu Sa’id Al Khudry r.a dalam HR Bukhori Muslim) 
( diceritakan ‘Ali bin Abi Thalib dari HR. Ath-Thabrani dan dishahihkan oleh Syekh al-Albani hadits no. 548)
(***dari keterangan Aisyah, HR. Bukhari, Muslim, dan juga keterangan dari Fudhalah ibn ‘Ubaid al-Anshari , dan juga dari Shahih Bukhari 5307). (tambahan admin : lebih baik ditambah lagi Surat Al Fatihah, Ayat Kursyi, Al Ikhlas, jumlah bacaan terserah

6. Tepuk-tepuk tempat yang sakit atau punggung bagi yang kesurupan atau gila

7. Kalau untuk orang kesurupan, selain bacakan ayat ruqyah, dan terapkan semua langkah diatas

8.  Untuk kesurupan atau untuk ruqyah biasa, bisa juga baca ayat surat yang agak banyak di bawah ini :

1. Surah Al-Fatihah, 

2. Surat AL Baqarah ayat 1-4,   ke-163 dan ke-164,  ayat Kursi (ayat 255), dan tiga ayat yang terakhir dari surat Al-Baqarah.

3. surah Ali ‘Imran 18,

4. surah al-A’araf 54,

5.  surah al-Mu’minun 116, 

6. Surah AL Jin  ayat yang ketiga 

7. surah ash-Shaffat 1-10, 

8. tiga ayat terakhir dari surah al-Hasyr, 

9. surah al-Ikhlas, 

10. surat mu’awwidzatain yaitu  surah Al-Aalaq dan An-Nas. 

Cara Ruqyah Mandiri Lain : 

Setelah melakukan  poin 1,2,3,4 di atas,  letakkan telapak tangan ke perut, lalu diusap-usap di putar-putar arah putaran tawaf berlawanan jarum jam, sambil baca-baca ayat-ayat ruqyah dengan niat mengumpulkan penyakit dan gangguan, sambil membaca bismillahi Allahu Akbar, lalu ditarik usapan itu kedada - leher - lalu ke mulut, dan muntahkan jika ingin munta, ulangi beberapa kali sampai sakit atau gangguan hilang.

Effeknya ? Biasanya : Buang Angin, sendawa, batuk, muntah, pusing, ada yang berjalan di bagian badan tertentu, tangan gemetar, mual, dan lainnya.

Penanganannya : segera tepuk-tepuk di tempat yang bereaksi atau yang sakit, sambil baca ayat ruqyah di atas dengan niat menghilangkan penyakit dan gangguan. atau baca  Cara Ruqyah Mandiri Lain di atas.

NOTE : bagi yang ruqyah mandiri, yang penyakit atau gangguannya sudah kategori sedang dan parah, kalau ingin hasil lebih baik,sebelum ruqyah Shalat 2 rakaat dulu, minta ampun yang banyak dan doa minta kesembuhan dan perubahan.

KRITERIA ISTRI YANG BAIK

Kriteria Istri Yang Baik

Dalam islam, orang yang hendak menikah dengan seorang wanita dianjurkan baginya untuk memilih calon istri yang baik. Dan di antara kriteria calon istri yang baik sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita dinikahi karena 4 hal: hartanya, nasabnya, dan kecantikannya, serta agamanya. Namun carilah wanita yang berpegang teguh dengan agamanya, maka engkau akan beruntung” (HR. Bukhari No. 5090 dan Muslim No. 1466)

Jadi, sah-sah saja jika ada seorang lelaki mencari wanita yang cantik atau kaya atau pula baik nasabnya. Namun yang perlu diingat adalah keshalihannya dan kebaikan akhlaknya. Jika seorang wanita kaya namun tidak berpegang teguh dengan agamanya maka jangan nikahi. Atau dia cantik namun tidak beradab maka tinggalkan. Karena wanita yang seperti ini akan merugikan kita.

Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- juga bersabda:

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا، وَلِسَانًا ذَاكِرًا، وَزَوْجَةً تُعِينُهُ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ

“Hendaknyalah kalian menjadikan hatinya selalu bersyukur, dan lisannya selalu berdzikir, serta dia memilih seorang istri yang akan membantunya untuk perkara akhirat (amalan shalih)” (HR. Ahmad No. 22436; Hasan Lighoirih)

Dan dalam riwayat lain, beliau bersabda:

يَا مُعَاذُ قَلْبًا شَاكِرًا، وَلِسَانًا ذَاكِرًا، وَزَوْجَةً صَالِحَةً تُعِينُكَ عَلَى أَمْرِ دُنْيَاكَ وَدِينِكَ خَيْرُ مَا اكْتَسَبَهُ النَّاسُ

“Wahai Mu’adz, hati yang bersyukur, dan lisan yang selalu berdzikir, serta istri shalihah yang selalu membantumu untuk urusan dunia dan agamamu adalah sebaik-baik perkara yang dimiliki oleh manusia” (HR. Thabrani No. 7828; Shahih)

Dan istri yang dapat membantu suaminya untuk urusan akhirat hanyalah istri yang berpegang teguh dengan agamanya dan akhlaknya. Dia selalu mengingatkan suami jika ada kemunkaran ada pada dirinya, dsb.

Dan Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- juga bersabda:

مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ تَرَاهَا تُعْجِبُكَ، وَتَغِيبُ فَتَأْمَنُهَا عَلَى نَفْسِهَا، وَمَالِكَ وَمِنَ الشَّقَاوَةِ: الْمَرْأَةُ تَرَاهَا فَتَسُوءُكَ، وَتَحْمِلُ لِسَانَهَا عَلَيْكَ، وَإِنْ غِبْتَ عَنْهَا لَمْ تَأْمَنْهَا عَلَى نَفْسِهَا، وَمَالِكَ

“Dari kebahagiaan adalah seorang istri yang engkau melihatnya maka dia membahagiakanmu, dan ketika engkau pergi maka dia menjaga dirinya dan hartamu. Dan dari kesengsaraan adalah seorang istri yang engkau melihatnya maka dia akan membuat keadaanmu menjadi buruk, dan dia membawa lisannya untuk mencelamu, dan ketika engkau pergi maka dia tidak menjaga dirinya dan hartamu” (HR. Hakim No. 2684; Hasan)

Jadi wanita perlu juga untuk merias dirinya khusus di hadapan suaminya. Karena ini termasuk kriteria istri yang shalihah yang dianjurkan nabi Muhammad -shallallahu alaihi wa sallam- sebagaimana sabda beliau di atas. Dalam riwayat lain pun, Rasulullah bersabda:

خير النساء امرأة إذا نظرت إليها سرتك، وإذا أمرتها أطاعتك، وإذا غبت عنها حفظتك في نفسها ومالك

“Sebaik-baik istri adalah istri yang mana jika engkau melihatnya dia akan membahagiakanmu, dan jika engkau memerintahkannya maka dia akan patuh, dan jika engkau pergi maka dia akan menjaga dirinya dan hartamu (HR. Al-Bazzar No. 8537; Shahih)

Dan terakhir, Jika kita ingin mendapatkan istri seperti Fathimah bintu Muhammad maka jadikanlah diri kita seperti Ali bin Abi Thalib. Karena Allah ta’ala telah berfirman:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang buruk untuk lelaki-lelaki yang buruk dan lelaki-lelaki yang buruk untuk wanita-wanita yang buruk. Adapun wanita-wanita yang baik untuk lelaki-lelaki yang baik dan lelaki-lelaki yang baik untuk wanita-wanita yang baik” (QS. An-Nur: 26)

Mudah-mudahan yang sedikit ini bermanfaat, wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad.

Penulis: Ustadz Abdurrahman Al-Amiry

Artikel: alamiry.net (Kajian Al-Amiry)

Sumber: http://www.alamiry.net/2017/09/kriteria-istri-yang-baik.html
-----
Ingin pahala jariyah? Dukung pengembangan dakwah Kajian Al-Amiry melalui:

BNI Syariah: 0605588960 a.n Yayasan Kajian Al Amiry (Kode bank: 009)

Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.

WALI HAKIM DALAM NIKAH

1⃣2⃣    *NIKAH & MAHAR*

*🔹🔹 Siapakah Wali Hakim dalam Nikah?*
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

*Wali Hakim dalam Nikah*

*Pertanyaan 1:*

saya telah menikah dengan suami saya secara siri dan yang menikahkan kami adalah wali hakim. Sah kah pernikahan saya dengan suami saya ustad…?

Email: chint******adilla@yahoo.co.id

*Pertanyaan 2:*

Saya dengan dia nikah sirih tanpa wali orang tua laki2 , walinya wali hakim dan saksi 2 orang teman saya, karna orang tuanya tidak setuju dengan saya, bagaimana menurut pandangan pak ustadz apakah sah atau tidak pernikahan saya ini!

Email : ron******7@gmail.com

*Pertanyaan 3:*

Status kakak saya janda dari suami yg ke-4, kemudian dia menikah lg dg mantan suami yg ke-3 secara siri dengan wali hakim tanpa sepengetahuan saya sebagai walinya yg sah, mengingat bapak dan paman saya telah meninggal dunia.

chol****@gmail.com

*🔹 Komentar konsultasisyariah.com**

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Ada beberapa pertanyaan yang mampir di meja redaksi konsultasisyariah.com yang kasusnya seperti di atas. Kami sebutkan dua saja, dan semoga itu sudah mewakili.

Pertanyaan ini menggambarkan bagaimana pemahaman sebagian masyarakat di tempat kita tentang apa itu wali hakim?
*Dan siapa yang berhak disebut wali hakim?. Agar kita bisa memahami lebih baik, kami utarakan secara bertahap sebagai berikut,*

*1.  Wali nikah merupakan rukun dalam akad nikah*

Keberadaan wali merupakan rukun dalam akad pernikahan.
*Karena itu, tidak sah menikah tanpa wali.*
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan kesimpulan, ini, diantaranya,

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

*=  “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali.”*
(HR. Abu Daud 1785, Turmudzi 1101, dan Ibnu Majah 1870).

Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

*=  “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal.*
(HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang lainnya).

*✔ Dan keberadaan wali dalam akad nikah, merupakan salah satu pembeda antara nikah yang sah dengan transaksi prostitusi.*
Dalam transaksi zina, seorang WTS menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, sementara harga bercinta dengannya menjadi mahar baginya.

*2.  Tidak semua orang menjadi wali.*

*Allah menghargai hubungan kekeluargaan manusia. Karena itu, kelurga lebih berhak untuk mengatur dari pada orang lain yang bukan kerabat.*
Allah berfirman,

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

*=  Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.*
(QS. Al-Anfal: 75)

*✔ Bagian dari hak ’mengatur’ itu adalah hak perwalian. Karena itu, kerabat lebih berhak menjadi wali dibandingkan yang bukan kerabat. Lebih dari itu, kerabat yang berhak menjadi wali juga ada urutannya.* Sehingga orang yang lebih dekat dengan wanita, dia lebih berhak untuk menjadi wali bagi si wanita itu.

Urutan kerabat ayah yang berhak menjadi wali nikah, dijelaskan Al-Buhuti berikut,

ويقدم أبو المرأة الحرة في إنكاحها لأنه أكمل نظرا وأشد شفقة ثم وصيه فيه أي في النكاح لقيامه مقامه ثم جدها لأب وإن علا الأقرب فالأقرب لأن له إيلادا وتعصيبا فأشبه الأب ثم ابنها ثم بنوه وإن نزلوا الأقرب فالأقرب

*=   Lebih didahulukan bapak si wanita (pengantin putri) untuk menikahkannya. Karena bapak adalah orang yang paling paham dan paling menyayangi putrinya. Setelah itu, penerima wasiat dari bapaknya (mewakili bapaknya), karena posisinya sebagaimana bapaknya. Setelah itu, kakek dari bapak ke atas, dengan mendahulukan yang paling dekat, karena wanita ini masih keturunannya, dalam posisi ini (kakek) disamakan dengan bapaknya. Setelah kakek adalah anak si wanita (jika janda), kemudian cucunya, dan seterusnya ke bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat.*
(Ar-Raudhul Murbi’, hal. 1/100)

*✔Dan tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah sementara masiha ada kerabat yang lebih dekat. Karena semacam ini sama halnya dengan merampas hak perwalian, sehingga nikahnya tidak sah.*

Al-Buhuti mengatakan,

وإن زوج الأبعد أو زوج أجنبي ولو حاكما من غير عذر للأقرب لم يصح النكاح لعدم الولاية من العاقد عليها مع وجود مستحقها

*=  Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun dia hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang lebih dekat maka nikahnya tidak sah, karena tidak perwalian ketika proses akad, sementara orang yang lebih berhak (untuk jadi wali) masih ada.”*
(Ar-Raudhul Murbi’, 1/10)

Ketiga, k

*3.  Kapan wali hakim berperan?*

Dalam hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

*=  Jika terjadi sengketa antara mereka, maka penguasa menjadi wali untuk orang yang tidak memiliki wali.*
(HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang lainnya).

Dr. Ahmad Rayan mengatakan,

إن للسلطان دورًا في التزويج, ولكنه يأتي بعد الولاية الخاصة

*=  ”Penguasa punya hak untuk menikahkan, namun setelah tidak adanya wali khusus (kerabat).”*
(Fiqih Usroh, hlm. 115).

Berdasarkan hadis dan keterangan di atas, maka penguasa, *dalam hal ini pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan, berhak menjadi wali nikah, jika wali khusus, yaitu kerabat tidak ada yang memenuhi syarat.*

Sebagai contoh, anak dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak nasab. Bapak biologis bukanlah bapaknya. Karena itu, tidak boleh dinasabkan ke bapak biologisnya. Dengan demikian, dia tidak memiliki keluarga dari pihak bapak. Siapakah wali nikahnya? Jika pengantin wanita tidak memiliki anak, wali nikahnya adalah hakim.

*Selanjunya, Siapa Wali Hakim?*

Dalam hadis A’isyah di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut wali hakim dengan Sulthan [arab: السُّلْطَانُ], yang artinya penguasa.

Ibnu Qudamah mengatakan,

السلطان في ولاية النكاح هو الإمام أو الحاكم أو من فوضا إليه ذلك

*=  Sulthon dalam perwalian nikah adalah pemimpin, hakim atau orang yang dipasrahi untuk menangani masalah pernikahan.*
(al-Mughni, 7/17).

===>  Di negara kita, pemerintah telah membentuk KUA sebagai petugas resmi yang menangani masalah pernikahan.
*✔  Sehingga dalam hal ini, pejabat resmi KUA merupakan hakim yang berhak menjadi wali pernikahan, ketika wali kerabat tidak ada, atau terjadi sengketa.*

*====>  Dengan demikian, siapapun yang TIDAK berstatus sebagai pejabat resmi KUA atau yang sepadan dengannya dalam hirarki pemerintahan, dia tidak bisa disebut sebagai wali hakim.*

Kiyai, Ustad, guru ngaji, apalagi teman, tidak bisa disebut wali hakim.
Termasuk juga pejabat KUA yang datang atas nama pribadi, bukan atas nama instansi, TIDAK bisa disebut sebagai wali hakim. Karena yang berstatus sebagai wali hakim adalah pejabat terkait yang datang resmi atas nama LEMBAGA dan BUKAN atas nama PRIBADI.

*✔ Jika mereka tetap nekat mengajukan diri menjadi wali, maka statusnya wali gadungan dan TIDAK SAH MENJADI WALI.*
*===>  Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan tanpa wali dan itu statusnya tidak sah.*

Pertanyaan yang Unik

*===>  Berdasarkan keterangan di atas, seseorang TIDAK mungkin bisa menikah dengan wali hakim, kecuali pernikahan yang resmi dan tercatat.*
*Artinya, TIDAK mungkin ada orang yang melakukan nikah siri dengan wali hakim.*

Karena itu, ada bagian yang unik dari pertanyaan di atas, yaitu kalimat, ”nikah sirih dengan wali hakim”. Ini kalimat yang bertentangan, karena yang namanya nikah siri pasti tidak tercatat, dan tidak mungkin dilakukan dengan wali hakim.

Sehingga bisa dipastikan, wali hakim yang disebutkan dalam pertanyaan BUKAN petugas resmi KUA, atau dengan kata lain wali gadungan.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Repost : ➖➖➖➖➖➖➖
Group WA📚GUDANG ILMU📚
Admin : 081230068283

KEDUDUKAN SHOLAT DALAM ISLAM

0⃣5⃣      *FIQH - SHALAT* 

🍃🌸🍃 *KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM*
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة و السلام على رسول الله و على آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Saudara dan Saudariku yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Shalat wajib ada lima: Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya', dan Shubuh.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata,
*= “Pada malam Isra' (ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dinaikkan ke langit) diwajibkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat lima puluh waktu. Lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian beliau diseru, 'Hai Muhammad, sesungguhnya keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah. Dan sesungguhnya bagimu (pahala) lima ini seperti (pahala) lima puluh'.”*
[Muttafaq 'alaihi: [Sunan at-Tirmidzi (I/137 no. 213)], secara ringkas. Dan diriwayatkan secara panjang dalam Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VII/201 no. 3887), Shahiih Muslim (I/145 no. 259), serta Sunan an-Nasa-i (I/217)]

Dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiyallahu anhu, ia menceritakan bahwa pernah seorang Arab Badui berambut acak-acakan mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,
*= "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku shalat apa yang diwajibkan Allah atasku."*
Beliau menjawab:

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا.

*=  "Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin menambah sesuatu (dari shalat sunnah)."*
[Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/106 no. 46)], Shahiih Muslim (I/40 no. 11), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/53 no. 387), dan Sunan an-Nasa-i (IV/121)]

Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْـلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.

*=  "Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan."*
[Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/45 no. 16 (20))], ini adalah lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/49 no. 8), Sunan at-Tirmidzi (IV/119 no. 2736), Sunan an-Nasa-i (VIII/107)]

🅰 *Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat.*

Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari wajibnya shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam.
*Tetapi mereka berselisih tentang orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari dan yang bermalas-malasan mengerjakannya.*

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.

*=  “Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”*
[Shahiih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 2848)], Shahiih Muslim (I/88 no. 82), ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XII/436 no. 4653), dan Sunan at-Tirmidzi (IV/125 no. 2751), dan Sunan Ibni Majah (I/342 no. 1078)]

Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَتُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

*=  ‘Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’”*
[Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 884)], Sunan Ibni Majah (I/342 no. 1079), Sunan an-Nasa-i (I/231), dan Sunan at-Tirmidzi (IV/125 no. 2756)]

Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama', bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits tersebut dengan beberapa hadits lain, di antaranya:

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَـادِ، مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضِيْعَ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَـانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.

*=  ‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena menganggap enteng, maka dia memiliki perjanjian dengan Allah untuk memasukkannya ke Surga.*
*=  Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya. Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’*
[Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1150)], Muwaththa’ al-Imam Malik (hal. 90 no. 266), Ahmad (II/234 no. 82), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/ 93 no. 421), Sunan Ibni Majah (I/449 no. 1401), dan Sunan an-Nasa-i (I/230)]

⇨ *Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih di bawah derajat kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada kehendak Allah.*

⇨ Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

*=  “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.*
*=  Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”*
[An-Nisaa’: 48]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
*= ‘Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat adalah shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia selamat). Jika tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat sunnah?*
*=  Jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti halnya shalat tadi.’*
[Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1172), Sunan Ibni Majah (I/458 no. 1425), ini adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (I/258 no. 411), dan Sunan an-Nasa-i (I/232)]

Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
*= “Islam akan lenyap sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah.*
*Kitabullah akan diangkat dalam satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah segolongan manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, 'Kami dapati bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat, puasa, qurban, dan shadaqah?”*
*Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi pertanyaannya tiga kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga kali.”*
[Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 3273)], dan Sunan Ibni Majah (II/1344 no. 4049)]

🅱 *Kepada Siapa Diwajibkan?*

*Shalat itu diwajibkan kepada setiap muslim yang telah baligh dan berakal.*
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.

*= “Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga terbangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang gila hingga kembali sadar.”*
[Shahiih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3513), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XII/78 no. 4380)]

*Wajib atas orang tua untuk menyuruh anaknya mengerjakan shalat meskipun shalat tadi belum diwajibkan atasnya, agar ia terbiasa untuk mengerjakan shalat.*

Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَـاءُ سَبْعَ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.

*=  “Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun. Serta pisahkanlah ranjang mereka.”*
[Hasan: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 5868)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/162 no. 491), ini adalah lafazhnya, Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (II/237 no. 84), dan Mustadrak al-Hakim (I/197)]

Ya Allah teguhkanlah kami di atas iman dan amal shalih, hidupkan kami dengan kehidupan yang baik dan sertakan diri kami bersama golongan orang-orang yang Beriman.

والله أعلم… وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

~  *Sumber : http://almanhaj.or.id/content/1267/slash/0/kedudukan-shalat-dalam-islam/*
~  *Editor & Repost By : أبو صفية di Grup Dakwah Permata Sunnah*

Repost : ➖➖➖➖➖➖➖
Group WA📚GUDANG ILMU📚
Admin : 081230068283