SEBAB-SEBAB TIDAK DILAKSANAKANNYA TAHLILAN SETELAH WAFAT NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM DAN JUGA PARA SAHABATNYA
(Tahlilan pada hari pertama, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 dengan berkumpul di rumah sang mayit)
1. Karena risalah Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah sempurna, dengan menjelaskan semua perintah dan larangan Allah subhanahu wata’ala, terlebih yang bersifat ibadah/ritual, sehingga tidak perlu ditambah dengan syariat baru lagi.
Tidak ada perintah dari beliau untuk melaksanakan tahlilan setelah wafatnya ataupun setelah kematian siapapun dari kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya: “Pada hari ini (haji perpisahan) telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama kalian” (QS. Almaidah: 3)
2. Karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan kaum muslimin untuk mengikuti Sunnahnya dan juga Sunnah Khulafaurrasyidin setelah wafatnya. Tidak ada Sunnah (teladan) dari mereka semua untuk melaksanakan tahlilan setelah wafat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
beliau bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Artinya: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barang siapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegangteguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah perkara (agama) yang diada-adalkan (bid’ah), karena setiap perkara agama yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi 1676)
3. Karena melaksanakan ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah tidak akan mendatangkan pahala (tertolak), meskipun tampak baik.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Artinya: “Barang siapa membuat suatu perkara baru (dalam agama) yang bukan berasal darinya, maka (amalan itu) tertolak”. (HR. Bukhari 2697, Muslim 1718)
4. Karena jika ada salah seorang muslim yang wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabatnya untuk membuatkan makanan bagi keluarga yang ditinggal wafat, bukan malah sebaliknya, yaitu duduk-duduk dan makan di rumah ahli mayit serta menambah kesibukan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اصنعوا لآل جعفر طعاما، فقد أتاهم ما يشغلهم
Artinya: “Masakkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan” (HR Tirmidzi 998, Abu Dawud 3132, Ibnu Majah 1610).
Maka para sahabat membuatkan dan mengirimkan masakan bagi keluarga Ja’far yang ditinggal wafat oleh anggota keluarganya.
5. Karena sebaik-baik ucapan ialah firman Allah, sebaik-baik petunjuk ialah sunnah Rasulullah, sebaik-baik teladan yang patut dicontoh ialah Rasululllah, termasuk adat dan kebiasaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Tidak ada petunjuk, teladan atau kebiasaan (adat) yang beliau jalankan dengan melaksanakan tahlilan setelah kematian seorangpun dari kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)
6. Karena diantara sifat-sifat orang beriman ialah selalu mendoakan kaum muslimin yang telah meninggal, tanpa mengkhususkan dan menghitung hari wafatnya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
7. Karena cara membuktikan cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan juga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ialah dengan ittiba’ atau mengikuti perintah dan menjauhi larangannya, bukan membuat syariat baru yang belum diajarkan dalam agama Islam yang murni.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Ali Imran: 31)
8. Karena standar kebenaran atau kesesatan dalam Islam ialah Al Quran dan Sunnah Rasulullah, bukan ajaran kakek-nenek atau nenek moyang yang telah lama menjadi adat istiadat.
Kafir Quraisy selalu berargumen akan kebenaran kesyirikan mereka dengan alasan menjaga tradisi nenek moyang dan menolak ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Allah Ta’ala berfirman:
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya: “Mereka berkata: “Apakah kamu (Muhammad) datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu (memang) termasuk orang-orang yang benar.” (QS. Al A’raf: 70)
9. Masyarakat Arab pada masa jahiliyah memiliki tradisi jika ada orang yang meninggal maka para wanita meratapi mayat sembari berthawaf mengelilingi ka’bah.
Warga Arab pada masa jahiliyah memiliki adat jika suami wafat, maka anak laki-laki yang paling berhak memiliki istri bapaknya sendiri.
Namun setelah datangnya Islam tradisi/adat tersebut tidak lagi dilanjutkan karena memang tidak diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. dan juga RasulNya.
10. Karena tahlilan bukan termasuk kewajiban seorang anak kepada orang tuanya setelah meninggal, dan masih banyak sunnah-sunnah lain bahkan kewajiban seorang muslim yang belum dilakukan ketimbang membuat syariat baru yang belum dicontohkan.
Diantaranya, dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata:
بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ « نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا ».
Artinya: “Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.). (Bentuknya adalah) mendo’akan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.” (HR. Abu Daud no. 5142 dan Ibnu Majah no. 3664. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi.
Al-Hakim, juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi.
Segala puji bagi Allah, Semoga Allah subhanahu wata’ala mengampuni dosa-dosa kaum muslimin yang masih hidup maupun yang telah wafat. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Oleh: Iskandar Alukhal Lc.
Referensi:
1. Firman Allah ta’ala, Al Quran
2. Teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, As Sunnah
“SELAMATAN KEMATIAN” DALAM PANDANGAN ISLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
Di antara sekian banyak tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat kita adalah “selamatan kematian” yang diadakan setelah mayit dikuburkan. Upacara atau selamatan tersebut dilakukan hingga beberapa hari setelah kematian.
Dari mulai hari pertama (disebut juga “nyusur tanah”), hari ketiga (disebut “niga hari”), hari ketujuh (disebut “nujuh hari”), hari keempat belas (disebut “ngempat belas”), hari keempat puluh (disebut “ngempat puluh”), hari keseratus (disebut “nyeratus”), setahun sesudah kematian (disebut “nemuin” atau “nemu taun”) dan pada setiap tahun (yang disebut dengan “haul”).
Lalu bagaimanakah upacara atau selamatan di atas menurut pandangan Islam?
Kewajiban orang yang hidup kepada orang yang meninggal
Dalam Islam, apabila seseorang meninggal maka kewajiban yang harus dilakukan oleh ummat Islam ada empat:
1. Memandikan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada beberapa wanita yang hendak memandikan puteri Beliau yang wafat yaitu Zainab radhiyallahu ‘anha:
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثاً أَوْ خَمْساً أَوْ أَكْثَرَ منْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ ، وَاجْعَلْنَ فِى الآخِرَةِ كَافُوراً أَوْ شَيْئاً مِنْ كَافُورٍ
“Mandikanlah tiga kali, lima kali atau lebih jika kalian pandang perlu dengan air dan daun bidara. Jadikanlah untuk basuhan terakhir menggunakan kapur barus atau sedikit kapur barus.” (HR. Bukhari, Muslim dll)
2. Mengkafankan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada orang yang meninggal saat sedang ihram:
اِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوْهُ….
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, lalu kafankanlah….” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
3. Menyalatkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ »
“Tidak ada seorang muslim yang meninggal, lalu jenazahnya dishalatkan oleh empat puluh orang yang tidak berbuat syirk kepada Allah dengan sesuatu, kecuali Allah akan menerima syafa’at mereka terhadapnya.” (HR. Muslim dan lain-lain)
4. Menguburkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda saat hendak memakamkan para syuhada’ Uhud:
اِحْفِرُوْا وَاَوْسِعُوْا وَاَعْمِقُوْا وَاَحْسِنُوْا
“Buatlah galian, luaskanlah, dalamkanlah dan buatlah yang bagus.” (Shahih, diriwayatkan oleh Nasa’i, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Hukum melakukan empat hal di atas adalah fardhu kifayah, yakni apabila sudah ada yang melakukannya, maka yang lain tidak berdosa.
Setelah itu, dianjurkan bagi kerabat maupun tetangganya berta’ziyah (menghibur) keluarga mayit baik bentuknya moril maupun materil.
Yang bentuknya moril misalnya dengan menghiburnya, mengingatkan kepadanya pahala yang dijanjikan Allah bagi orang yang bersabar dan kata-kata lain yang dapat mengurangi kesedihannya dan membantunya untuk ridha dan bersabar. Misalnya mengatakan:
« إِنَّ لِلّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلٌّ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى ، فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ » .
“Inna lillaahi maa akhodza, wa lahu maa a’thoo wa kullu syai-in ‘indahu bi-ajalin musamman, faltashbir wal tahtasib.”
“Sesungguhnya milik Allah-lah sesuatu yang diambil-Nya, milik-Nya pula sesuatu yang diberikan-Nya. Semuanya sudah ditentukan ajalnya di sisi-Nya, maka bersabarlah dan haraplah pahala.” (HR. Bukhari-Muslim)
Sedangkan yang bentuknya materil misalnya dengan membuatkan makananan untuk mereka. Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرَ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِصْنَعُوْا لِاَلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاهُمْ اَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ اَوْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Ketika sampai berita wafatnya Ja’far karena terbunuh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah untuk keluarga Ja’far makanan, karena mereka telah kedatangan masalah atau sesuatu yang menyibukkan mereka.” (Hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Ta’ziyah kepada keluarga mayit dapat dilakukan sebelum mayit dikuburkan maupun setelahnya, batasnya sampai tiga hari, kecuali jika orang yang hendak dita’ziyahi sedang tidak ada, maka tidak mengapa setelah lewat tiga hari.
Sunnahnya ta’ziyah dilakukan hanya sebentar, lalu pulang tanpa perlu duduk-duduk di sana. Jarir bin Abdullah Al Bajalliy berkata:
كُنَّا نَعُدُّ الْإِجْتِمَاعَ اِلىَ اَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul dengan keluarga mayit dan membuatkan makanan setelah mayit dikuburkan termasuk meratap.” (Shahih, HR. Ibnu Majah)
Imam Syafi’i rahimahullah dalam Al Umm berkata: “Saya tidak suka ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul, meskipun mereka tidak sampai menangis, karena hal itu dapat memperbarui rasa sedih.”
Selamatan kematian dalam pandangan Islam
Setelah kita mengetahui penjelasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa selamatan kematian (biasa disebut “tahlilan”) tidak ada dalam Islam, bahkan bertentangan dengannya.
Di samping itu, para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum menganggap acara tersebut sebagai meratap, sedangkan meratap hukumnya HARAM.
Selamatan kematian merupakan upacara di luar Islam, yang dibumbui dengan dzikr dan bacan Al Qur’an. Karena sebab ini (dicampur dengan dengan dzikr dan bacaan Al Qur’an), orang-orang awam mengira bahwa perbuatan itu benar, padahal tidak demikian.
Selain itu, selamatan kematian juga membebani keluarga mayit, mereka keluarkan harta dalam jumlah besar untuk acara tersebut, untuk menjamu tamu dan memberi upah kepada orang yang membacakan dzikr-dzikr atau Al Qur’an untuk orang yang sudah meninggal.
Padahal yang diperintahkan adalah meringankan beban mereka. Tidak sebaliknya, mereka sudah tertimpa musibah, ditambah lagi dengan beban mengeluarkan harta.
Dalam I’aanatuth Thaalibin (2: 146) disebutkan, “Tidak syak lagi, bahwa melarang orang terhadap perbuatan bid’ah yang munkar ini dapat menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka pintu-pintu kebaikan yang banyak dan menutup pintu-pintu keburukan.”
Sampaikah pahala bacaan Al Qur’an untuk orang mati?
Al Hafizh Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan bahwa seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (terj. An Najm: 39), berkata, “Yakni sebagaimana dosa orang lain tidak dipikulkan kepadanya, maka ia pun tidak mendapatkan pahala selain dari apa yang diusahakannya untuk dirinya.
Dari ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan Al Qur’an, pahalanya TIDAK DAPAT dihadiahkan kepada orang-orang yang sudah mati, karena hal itu bukan amal mereka dan usaha mereka.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan kepada umatnya, tidak mendorong mereka dan tidak pula mengajarkan mereka, baik dengan nash maupun isyarat. Demikian juga tidak dinukilkan dari salah seorang sahabat. Kalau seandainya hal itu baik, tentu mereka telah mendahului kita (dalam mengerjakannya).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir surat An Najm: 39)
Dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang, seperti mengirimkan surat Al Fatihah atau surat Yasin kepada arwah atau ruh fulan, ruh fulan dsb. adalah perbuatan yang keliru.
Petunjuk singkat mengurus jenazah
a. Memandikan jenazah
Yang wajib dalam memandikan mayyit adalah dengan meratakan air ke seluruh badan sekali tentunya dengan disertai niat orang yang memandikannya (di hati), namun dianjurkan memandikannya seperti pada mandi janabat dengan melakukan sunnah-sunnahnya. Cara lebih rincinya adalah sbb:
Langkah I
Siapkanlah 3 buah ember:
1. Ember untuk air biasa,
2. Ember untuk air yang dicampur dengan daun bidara atau sabun,
3. Ember untuk air yang dicampur kafur/kapur barus (untuk memandikannya pada basuhan yang terakhir)
Syaikh Abu Syuja’ Al Ashfahani dalam Al Ghaayah wat Taqrib berkata, ”Mayit itu dimandikan dalam jumlah ganjil, pada pemandian pertama kali menggunakan daun bidara (air yang dicampur daun bidara), dan pada pemandian yang terakhir dicampur dengan sedikit kapur barus.”
Langkah II
Ditaruh mayit di tempat yang agak tinggi (hendaknya bagian kemaluannya ditutup dengan kain) dan lakukanlah pemandian ini di tempat tertutup, lalu ditekan perutnya dengan pelan (kalau pun tidak ditekan, juga tidak mengapa). Jika ada kotoran yang keluar, maka dibersihkan. Dan hendaknya orang yang memandikan mayit memakai sarung tangan agar tidak menyentuh langsung bagian auratnya.
Langkah III
Gunakanlah air biasa untuk membersihkan farjinya dengan air. Setelah itu, wudhukanlah seperti wudhu’ untuk shalat, kemudian mandikanlah seluruh badannya dari bagian atas kepala sampai bawah kaki (dahulukan bagian kanan, kemudian yang kiri) dengan air yang dicampur daun bidara atau sabun. Selanjutnya mandikanlah dengan air biasa (yang tidak dicampur apa-apa) pada basuhan/pemandian yang kedua. Pada basuhan atau pemandian yang terakhir dianjurkan memakai air yang dicampur sedikit kapur barus.
Catatan:
– Orang yang memandikan mayit boleh melakukan pemandian mayit lebih dari tiga kali jika ia pandang perlu, dan sebaiknya dalam jumlah ganjil serta menjadikan basuhan yang terakhir dicampur dengan kapur barus.
– Jika mayitnya wanita maka jalinan rambutnya dilepas lalu dibasuh, setelah itu dijalin kembali tiga jalinan
Catatan:
– Hendaknya yang memandikan mayit adalah orang yang salehh lagi amanah dan mengerti sunnah-sunnah dalam memandikan mayit, lebih baik lagi jika ia termasuk kerabat si mayyit. Namun jika ada orang yang diwasiatkan untuk memandikan oleh si mayit, maka ia lebih berhak.
– Jenazah laki-laki dimandikan oleh laki-laki, dan jenazah perempuan dimandikan oleh perempuan, kecuali suami-isteri, maka bagi suami boleh memandikan isterinya, demikian sebaliknya.
b. Mengkafankan jenazah
Ada beberapa hal yang dianjurkan ketika mengkafankan:
• Berwarna putih dan diberi wewangian.
• Untuk laki-laki 3 helai kain, sedangkan untuk wanita 5 kain, yaitu: 1) Kain sarung 2) Baju kurung 3)Kerudung 4&5) Dua lapis kain kafan.
Namun sebagian ulama berpendapat, bahwa kaum wanita juga dikafankan seperti kaum lelaki dikafankan, karena hadits yang menyebutkan pembedaan antara laki-laki dan wanita adalah dha’if. (Lihat Mudzakkirah Fiqh oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 250).
•Lebih baik lagi jika salah satu kain ada yang hibarah/bergaris-garis (berdasarkan riwayat Abu Dawud), kemudian dilipat kain kafannya dari sebelah kanan lalu yang kiri. Setelah tiga kain kafannya dilipat, maka ikatlah kain kafan itu dengan tali berapa saja jumlahnya (tujuh, enam ataupun lima), dan ujung-ujungnya (bagian kepala dan kaki) digulung kemudian diikat.
c. Menyalatkan jenazah
Cara shalat jenazah adalah dengan empat kali takbir. Takbir pertama (sambil mengangkat tangan) membaca surat Al Fatihah secara sir (tidak dijaharkan), takbir kedua (boleh diangkat tangannya dan boleh tidak, demikian juga pada takbir selanjutnya) membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lebih utama seperti bacaan shalawat ketika shalat). Takbir ketiga mendoakan si mayyit, seperti dengan doa berikut:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ
Allaahummaghfir lahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ madkholahu, waghsilhu bilmaa-i wats-tsalji wal barod, wa naqqihi minal khothooyaa kamaa naqqoitats-tsaubal abyadho minad-danas, wa abdilhu daaron khoiron min daarihi, wa ahlan khoiron min ahlihi, wa zaujan khoiron min zaujihi, wa adkhilhul jannata, wa a’idzhu min ‘adzaabil qobri (wa ‘adzaabin-naar).
“Ya Allah, ampunilah dia, sayangilah dia, lindungilah dia, ma’afkanlah dia, muliakanlah tempat persinggahannya, luaskanlah tempat masuknya, basuhlah dia dengan air, air es dan air embun. Bersihkan dia dari dosa-dosa sebagaimana dibersihkan kain yang putih dari noda, berikanlah ganti tempat yang lebih baik, keluarga yang lebih baik, istri yang lebih baik, masukkanlah ke surga dan lindungilah dia dari azab kubur atau azab neraka.”(HR. Muslim)
Pada takbir keempat kita membaca do’a juga, seperti membaca:
َاللّهُمَّ لَاتَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَاتَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ
“Ya Allah, janganlah Engkau cegah untuk kami bagian pahalanya. Janganlah Engkau menguji kami setelahnya serta ampunilah kami dan dia.” atau membaca:
اللّهُمَّ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Allah Tuhan kami, berikanlah kami di dunia kebaikan dan di akhirat kebaiakan serta lindungilah kami dari ‘adzab neraka.”
Kalaupun diam pada takbir keempat (tidak membaca apa-apa) juga tidak mengapa..
Catatan: Apabila jenazahnya laki-laki maka imam berdiri di arah kepalanya, dan apabila jenazahnya perempuan maka imam berdiri di arah perutnya.
d. Menguburkan jenazah
Dalam menguburkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
– Dilarang mengubur mayit pada tiga waktu, yaitu ketika matahari baru terbit hingga naik setinggi satu tombak (jarak hingga setinggi satu tombak kira-kira ¼ jam), ketika matahari di tengah langit hingga bergeser ke barat (kira-kira 5 menit) dan ketika matahari mau tenggelam hingga tenggelam (kira-kira ¼ jam sebelum terbenam).
– Yang menurunkan mayyit ke kubur adalah laki-laki, yang malamnya tidak menggauli isterinya dan wali si mayit lebih berhak menurunkan daripada selainnya.
– Bagi yang menaruhnya di lahad hendaknya membaca: “Bismillah wa ‘alaa sunnati rasuuulillah” (artinya “Dengan nama Allah dan di atas Sunnah Rasulullah”).
– Dianjurkan membuka tali kafannya, namun kalau pun tidak, juga tidak apa-apa.
– Dianjurkan agar ditaruh di belakang si mayit sesuatu baik berupa batu ataupun tanah, agar si mayit tidak telentang dan agar menghadap ke kiblat. Dianjurkan pipinya disentuhkan ke tanah.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah, Al Wajiz, Minhajul Muslim, Matan Ghayah wat taqrib, tafsir Ibnu Katsir dll.
•••••••••••••••••••••••
_*Ya Allah, saksikanlah bahwa kami telah menjelaskan dalil kepada umat manusia, mengharapkan manusia mendapatkan hidayah,melepaskan tanggung jawab dihadapan Allah Ta’ala, menyampaikan dan menunaikan kewajiban kami. Selanjutnya, kepadaMu kami berdoa agar menampakkan kebenaran kepada kami dan memudahkan kami untuk mengikutinya*_
_*Itu saja yang dapat Ana sampaikan. Jika benar itu datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Kalau ada yang salah itu dari Ana pribadi, Allah dan RasulNya terbebaskan dari kesalahan itu.*_
Hanya kepada Allah saya memohon agar Dia menjadikan tulisan ini murni mengharap Wajah-Nya Yang Mulia, dan agar ia bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi tabungan bagi hari akhir.
Wa akhiru da’wanā ‘anilhamdulillāhi rabbil ālamīn Wallāhu a’lam, Wabillāhittaufiq
_*“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.”* (HR Muslim no. 2674)_
Sumber : As Sunnah Salafush Shalih