Minggu, 30 Juni 2019

GAMBARAN UMUM ARAB SAUDI SEKARANG

*PRAKTEK KEAGAMAAN DI SAUDI ARABIA DAN FAKTA YANG DIRASAKAN MASYARAKAT DI SANA*

_Ust. Abdullah Roy MA_

□  Masyarakat dunia bisa dipastikan mengetahui adanya Negara Saudi Arabia yang terletak di kawasan yang dikenal dengan Timur Tengah, dan mengenalnya sbg satu-satunya negara yang menerapkan dan menetapkan Islam sebagai agama resmi negara.

□  Tetapi sejauh mana pengetahuan masyarakat dunia selama ini terutama lantaran penerapan Islam?

□ Berikut adalah catatan singkat yang dirasakan dan dilihat secara langsung, yang tentu tak terlepas dengan praktek keagamaan di Saudi Arabia.

□ Dan ini merupakan sebagian kecil dari praktek tersebut.Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk mengambil pelajaran yang baik dari yang kita lihat di Negara Saudi Arabia ini.

■ *1. Pendidikan*

□ Kerajaan Saudi Arabia *memisahkan antara sekolah laki-laki dan wanita* sejak tingkat (SD).

□ Yang demikian supaya anak-anak terbiasa dengan adab Islam dalam bergaul dengan lawan jenis.

□ Siswi, sejak SD tidak dibolehkan memakai *rok pendek.*

□ Siswi, dari kelas 1 sampai 3 SD masih
diberi kelonggaran oleh sekolah dan keluarga untuk tidak memakai kerudung.

□ Tetapi kalau sudah sampai kelas 4 dan kelihatan sudah besar dan bisa menimbulkan godaan maka sudah dibiasakan *memakai kerudung* ketika ke sekolah, meski pada asalnya tidak wajib sampai dia baligh.

□ Berbeda jika Siswi sudah memasuki
bangku setingkat SMP, ia sudah diwajibkan
memakai *cadar* ketika sekolah.

□ Siswi diajar *guru wanita,* sedangkan siswa diajar oleh guru laki-laki.

□ Murid-murid dari TK dan SD sudah dibiasakan membaca *dzikir pagi* yang disyari’atkan ketika awal belajar.

□ Kurikulum sekolah di Saudi Arabia juga penuh dengan nuansa Islami. *Hafalan al-Qur’an* merupakan muatan tetap dari sejak TK sampai kuliah.

□ Anak yang lulus SD minimal telah menghafal 2 juz dari belakang (juz 29 dan juz 30). Pelajaran agama dipisahkan dari hafalan al- Qur’an.

□ Anak-anak sejak TK sudah diajarkan *tiga landasan utama* _(Al-ushulu ats-tsalatsah),_ yaitu: *mengenal Allah, mengenal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenal agama,* tiga pertanyaan yang kelak kita ditanya tentangnya.

□ Pelajaran lainnya, seperti IPA, IPS, Matematika dan lain-lain tidak jarang materinya dikaitkan dengan agama. Misalnya, bagaimana mengenal Allah dengan melihat kekuasaannya di alam semesta, yang menunjukkan bahwa ilmu-ilmu tersebut tidak bertentangan dengan agama.

□ Di saudi terdapat sekolah SD yang memiliki prioritas al-Qur’an lebih daripada SD lainnya.
Menerapkan jam hafalan lebih banyak. Dan SD seperti ini menjadi rebutan banyak orang.

□ Setiap tahunnya, murid-murid SD ini mendapat *beasiswa* dari kerajaan.

■ *2. Kesehatan*

□ Di saudi Arabia antara pasien laki-laki dan wanita *dipisahkan.*

□ Demikian juga *dokter laki-laki untuk laki-laki* dan dokter wanita untuk wanita kecuali dalam beberapa keadaan darurat, atau keterbatasan tenaga medis.

□ Sering ditemui saat menunggu pasien, para dokter di kamar-kamar praktek mereka membaca al-Qur’an.

□ Komputer mereka terisi dengan murattal. Semuanya itu untuk memanfaatkan waktu supaya tidak terbuang sia-sia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻧِﻌْﻤَﺘَﺎﻥِ ﻣَﻐْﺒُﻮْﻥٌ ﻓِﻴْﻬِﻤَﺎ ﻛَﺜِﻴْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺍﻟﺼِّﺤَّﺔُ ﻭَﺍﻟْﻔَﺮَﺍﻍُ

Dan nikmat yang manusia banyak terlena di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang. [HR. Al-Bukhari]

□ Ada di antara dokter-dokter itu yang hafal al-Qur’an bahkan memiliki sanad al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Pagi bekerja sebagai dokter dan sore hari mengajar al-Qur’an di masjid.

Tidak jarang mereka menasihati pasien untuk bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak bertawakkal kepada dokter atau obat.

□ Mereka memahami bahwa dokter dan obat hanya sebab dan Allah Azza wa Jalla yang memberikan kesembuhan.

□ Apabila kedatangan pasien anak kecil, terkadang anak-anak itu ditanya tentang hafalan al-Qur’annya sudah sampai mana.

□ Para dokter wanita memakai cadar adalah
sesuatu yang biasa. Demikian pula dokter
berjenggot tebal.

□ Ketika shalat mereka menunaikan shalat berjama’ah kecuali dalam keadaan darurat yang mengharuskan keberadaannya bersama pasien.

■ *3. Sosial*

□ Orang-orang kaya di Saudi Arabia menyadari jika di dalam harta mereka terdapat hak orang lain.

□ Banyak yayasan sosial yang berdiri untuk menjadi jembatan antara orang kaya dengan orang miskin dan yg membutuhkan seperti :
* pembag zakat
harta,
• sembako,
• alat-alat dan perkakas rumah tangga.

□ Orang-orang miskin dan membutuhkan yang mendaftar dan terpenuhi syarat-syaratnya akan mendapatkan kesempatan menerima bantuan.

□ Banyak di antara orang-orang kaya tersebut yang mewaqafkan bangunan untuk tempat tinggal, *mewaqafkan* masjid, dan lain-lain. Mereka berlomba menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ﻣَﺜَﻞُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻨْﻔِﻘُﻮﻥَ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﻤَﺜَﻞِ ﺣَﺒَّﺔٍ
ﺃَﻧْﺒَﺘَﺖْ ﺳَﺒْﻊَ ﺳَﻨَﺎﺑِﻞَ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﺳُﻨْﺒُﻠَﺔٍ ﻣِﺎﺋَﺔُ ﺣَﺒَّﺔٍ ۗ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ
ﻳُﻀَﺎﻋِﻒُ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ ۗ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺍﺳِﻊٌ ﻋَﻠِﻴﻢٌ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. [al-Baqarah/2:261]

□ Ketika Ramadhan tiba,  semakin terlihat
kedermawanan mereka.
• Mulai dari berbuka puasa,
• membebaskan orang yang dipenjara karena terlilit hutang,
• membagikan pakaian untuk lebaran,
shadaqah, dan lain-lain.

□ Oleh karena itu, orang- orang miskin di Saudi tidak iri dengan orang- orang kaya. Dan orang kayapun tidak menghina si miskin. Masing-masing melaksanakan kewajibannya.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata:

ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃَﺟْﻮَﺩَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﻛَﺎﻥَ
ﺃَﺟْﻮَﺩُ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻓِﻲ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣِﻴْﻦَ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﺟِﺒْﺮِﻳْﻞُ

Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau sangat dermawan ketika Ramadhan saat ditemui Jibril [Muttafaqun ‘alaih].

■ *4. Keamanan*

□ Hal yang sangat dirasakan di Negara Saudi Arabia ini adalah nikmat keamanan.

□ Seseorang tidak takut melakukan perjalanan jauh sekeluarga pada malam hari kecuali kepada Allah Azza wa Jalla.

□ Terminal-terminalnya jangan dibayangkan seperti di negara yang lain, yang sering terjadi tindak kriminal.

□ Mobil-mobil pribadi di Saudi tidak perlu disimpan rapat-rapat di garasi.

□ Pada malam hari barang-barang dagangan milik pedagang kaki lima di sekitar Masjid Nabawi dibiarkan tergeletak saja di luar dengan ditutup kain sampai pagi tanpa ada yang mengambilnya.

□ Alhamdulillah, semua ini merupakan nikmat dari Allah karena mereka mau menerapkan syariat Islam.

□ Masyarakat di Saudi ditanamkan rasa takut terhadap hari pembalasan, yang sedikit banyak mempengaruhi perilaku mereka sehari- hari.

■ *5. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar*

□ Sepengetahuan penulis, Negara Saudi Arabia adalah satu-satunya negara yang memiliki *polisi agama resmi* yang tergabung dalam _Haiah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar._

□ Kedudukan mereka sejajar dgn polisi lain, dan berada di bawah Kementrian Dalam Negeri.

□ Haiah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar ini jangan disamakan dengan ormas yang ada di negara kita (Indonesia), karena Haiah di Saudi Arabia adalah bagian dari aparat negara.

□ Mereka berstatus pegawai negeri, dan diberi kewenangan yang terbatas.

□ Mereka tidak berseragam seperti
angkatan lain, tetapi mereka lebih disegani
daripada polisi keamanan.

□ Tugas polisi agama ini memberantas
• kemungkaran,
• baik dalam bidang aqidah, seperti
pemberantasan tukang sihir, dukun dan lain-lain,
• maupun dalam bidang akhlak, seperti
pemberantasan pacaran, minuman keras dan sebagainya.

□ Disamping itu juga menerbitkan
penegakan syiar-syiar Islam, seperti shalat
berjamaah.

□ Mereka melakukan patroli menjelang
shalat untuk mengajak manusia mendirikan
shalat berjamaah dan menghentikan kegiatan lain seperti,
• berdagang di toko-toko,
• pasar-pasar,
• pom bensin ataupun tempat lainnya.
• Begitu pula
tempat-tempat atau acara-acara yang
diperkirakan digunakan untuk bermaksiat akan dikirim pasukan dari pihak Haiah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, dan bagi warga yang melanggarnya akan dikenakan denda.

□ Inilah yang membuat kokoh negara minyak ini.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ
ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ۚ ﻭَﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ

Dan hendaklah ada diantara kalian yang mengajak kepada kebaikan dan memerintah
kepada perbuatan baik, dan melarang dari
kemungkaran, dan merekalah orang-orang yang beruntung. [Ali ‘Imran/3:104].

■ *6. Ditegakkan Hukum Islam Di Saudi Arabia*

□ orang yang membunuh setelah
melalui proses peradilan yang syar’i, akan
mendapatkan qishash (pembalasan) bunuh –
tentunya- dengan cara yang disyari’atkan.

Yaitu dipenggal lehernya dengan pedang di hadapan orang banyak.

□ Biasanya, sebelum dihukum mati, orang yang mendapat qishash ini dinasihati untuk bertaubat dan diingatkan tentang keutamaan akhirat di atas dunia.

□ Adapun pelajaran bagi yang lain supaya tidak mudah menumpahkan darah manusia.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ﻭَﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘِﺼَﺎﺹِ ﺣَﻴَﺎﺓٌ ﻳَﺎ ﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻟْﺒَﺎﺏِ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﺘَّﻘُﻮﻥَ

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang- orang yang berakal, supaya kamu bertakwa [al- Baqarah/2:179].

■ *7. Saling Mendoakan*

□ Diantara kebiasaan baik orang-orang Saudi Arabia adalah bila bertemu mereka akan saling mendoakan antara yang satu dengan lainnya.

□ Seperti mendoakan agar senantiasa diberi
• keselamatan,
• keberkahan,
• rahmat dari Allah, dan
lainnya.

□ Kebiasaan saling mendoakan ini tentu
membawa pengaruh terhadap keharmonisan
hubungan diantara masyarakat.

■ *8. Tentara dan Polisi Berjenggot*

□ Di Kerajaan Saudi Arabia, kita akan terbiasa mendapatkan tentara dan polisi itu berjenggot, karena membiarkan jenggot bagi laki-laki merupakan kewajiban, dan ini umum baik yang polisi ataupun lainnya.

Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

ﺃَﺣْﻔُﻮْﺍ ﺍﻟﺸَّﻮَﺍﺭِﺏَ ﻭَﺃَﻋْﻔُﻮْﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ

Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot.

[HR al-Bukhari]

□ dari Abdullah bin ‘Umar].
Demikian pula banyak diantara mereka yang
memakai celana di atas mata kaki untuk
mengamalkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ﻣَﺎ ﺃَﺳْﻔَﻞَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ ﻣِﻦَ ﺍﻹِﺯَﺍﺭِ ﻓَﻔِﻲ ﺍﻟﻨّﺎﺭِ

Apa yang ada di bawah kedua mata kaki dari
sarung ada di neraka.

[HR al-Bukhari]

□ Banyak polisi-polisi yang berhenti mampir ke masjid-masjid untuk menunaikan shalat
berjamaah.

□ Ini semua tidak mengganggu tugas
mereka.

□ Beberapa waktu bahkan diadakan
perlombaan hafalan al-Qur’an untuk kalangan polisi dan tentara.

■ *9. Supermarket*

□ Apabila kita memasuki supermarket di Saudi Arabia maka kita tidak akan mendengarkan lagu-lagu di putar keras-keras.

□ Kebanyakan tidak ada suara, atau terkadang yang diputar adalah murattal al-Qur’an.

□ Lima belas atau tiga puluh menit sebelum waktu shalat tiba, para pembeli sudah diminta keluar meninggalkan supermarket untuk mengerjakan shalat.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ﻓَﺄَﻗِﻴﻤُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ۚ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ
ﻣَﻮْﻗُﻮﺗًﺎ

Maka tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang sudah ditentukan waktunya.

[an Nisa’/4:103].

■ *10. Al-Qur’an*

□ Perhatian pemerintah Saudi terhadap al-Qur’an sangatlah besar.

□ Mulai dari percetakan khusus al-Qur’an yang di dalamnya bergabung para Ulama dan Syaikh-Syaikh yang ahli dalam bidang al- Qur’an, penulisannya, cara membacanya, tafsirnya, dan lain-lain.

□ Tahfizh al-Qur’an juga semarak.

□ Hampir setiap kampung terdapat masjid yang mengadakan halaqah tahfizh al-Qur’an, biasanya untuk anak laki-laki.

□ Untuk laki-laki dewasa juga ada meski
tidak sebanyak halaqah tahfizh anak-anak.

□ Sedangkan untuk tahfizh wanita, baik anak-anak maupun dewasa diadakan di sekolah khusus tertutup bukan di masjid, kecuali di masjid besar seperti Masjid Nabawi, karena memang tempatnya memungkinkan.

□ Tahfizh al-Qur’an ini biasanya dilaksanakan setelah Ashar, karena waktu pagi untuk belajar di sekolah. Dan yang tidak sekolah pada pagi hari banyak diantara mereka yang memilih tahfizh pagi hari.

□ Di Saudi juga ada lembaga yang kegiatannya terfokus pada tahfizh bagi orang lanjut usia.

□ Banyak diantara orang tua yang hafal al-Qur’an padahal umurnya sudah lebih dari 50 tahun.

■ *11. Shalat Istisqa’*

□ Ketika lama tidak hujan, biasanya ada perintah langsung dari pemerintah kepada masjid-masjid di seluruh penjuru negeri untuk mendirikan shalat Istisqa’, yaitu shalat minta hujan untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

■ *12. Shalat Jama’ah*

□ Begitu adzan berkumandang, kantor-kantor, toko- toko dan pusat perbelanjaan segera tutup.

□ Mobil patroli Badan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar mulai bergerak memasuki jalan dan gang di perkampungan.

□ Dengan pengeras suara di tangan,
mereka mengajak orang ke masjid, mengingatkan mereka yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka, dan menindak toko atau kantor yang belum tutup.

Surat ijin usaha mereka bisa dicabut karena kesalahan itu.

Kami tidak tahu, apakah ada pemandangan seperti ini di negeri lain?

□ Para Ulama Saudi memang pada umumnya
memfatwakan wajibnya shalat jamaah.

□ Di kampung tempat penulis tinggal yang tidak begitu padat, masjid memiliki tujuh shaf yang masing-masing bisa diisi sekitar tiga puluh orang.

□ Saat shalat Maghrib dan Isya, seluruh shaf ini biasanya terisi penuh.

□ Sedangkan di waktu shalat yang lain, biasanya terisi lebih dari setengah.

□ Seorang jamah umrah yang pernah berkunjung mengatakan bahwa suasana shalat jamaah di sini seperti suasana shalat Ied di kampungnya. Mungkin di sedang berhiperbola, tapi bisa jadi juga dia benar.

■ *13. Keamanan*

□ Tidak berlebihan jika kami mengatakan bahwa *Arab Saudi adalah salah satu negeri paling aman di dunia saat ini.*

□ Dahulu jalur haji merupakan jalur maut karena hadangan para perampok. Saat itu perjalanan haji adalah perjalanan yang
menakutkan, sehingga saat berpamitan kepada handai tolan, mereka dilepas dengan
kekhawatiran tidak akan bertemu lagi.

□ Kondisi itu berubah setelah Raja Abdul Aziz –pendiri dinasti Saudi ketiga- menjadi penguasa Jazirah Arab.

□ Beliau menugaskan setiap kabilah untuk menjaga keamanan wilayah masing-masing.

□ Jika sampai ada jamaah haji yang dirampok atau dibunuh di suatu wilayah itu. Sejak saat itu, jamaah haji bisa tenang dalam menjalani perjalanan ibadah mereka.

□ Pada masa sekarang, hampir-hampir tidak ada keluarga di Saudi yang tidak memiliki mobil, termasuk golongan miskin sekalipun.

□ Bahkan hampir setiap pria dewasa memiliki mobil sendiri. Namun sebagian besar rumah tidak memiliki garasi. Mobil-mobil itu hanya mereka parkir di pinggir jalan. Begitu sepanjang waktu tanpa ada kekhawatiran hilang.

□ Berarti tidak ada pencurian di sana? Ada, tapi jarang, padahal kesempatan untuk berbuat jahat begitu besar.

□ Seorang kawan pernah memasuki terminal ibu kota Jeddah, kota terbesar kedua, menjelang Shubuh dengan membawa tujuh koli bagasi sendirian.

□ Namun ternyata dia tidak menemui gangguan apapun. Saat waktu shalat Shubuh tiba, dia pergi ke mushalla terminal dan meninggalkan barang sebanyak itu begitu saja di pinggir jalan dan barang itu tidak hilang.

□ Bayangkan jika hal serupa terjadi di Jakarta atau Surabaya!

□ Bahkan saat banyak negara Timur Tengah yang lain dilanda gejolak dalam beberapa tahun belakangan, kemanan Arab Saudi tetap stabil, dan semoga terus demikian.

□ Negeri ini seolah-olah
merupakan negeri yang berbeda dengan lainnya.

□ Saat pemberontakan di negara-negara tetangga di kobarkan dari mimbar-mimbar masjid, para  khatib Arab Saudi serentak membela dan mendoakan kebaikan bagi Raja Abdullah dalam setiap mimbar Jumat.

□ Paparan ini mengingatkan kita akan janji Allah Ta’ala untuk para penegak tauhid, seperti dalam ayat-ayat berikut:

ﻭَﻋَﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ
ﻟَﻴَﺴْﺘَﺨْﻠِﻔَﻨَّﻬُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻛَﻤَﺎ ﺍﺳْﺘَﺨْﻠَﻒَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻬِﻢْ
ﻭَﻟَﻴُﻤَﻜِّﻨَﻦَّ ﻟَﻬُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻬُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺍﺭْﺗَﻀَﻰٰ ﻟَﻬُﻢْ ﻭَﻟَﻴُﺒَﺪِّﻟَﻨَّﻬُﻢْ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ
ﺧَﻮْﻓِﻬِﻢْ ﺃَﻣْﻨًﺎ ۚ ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻧَﻨِﻲ ﻟَﺎ ﻳُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ ﺑِﻲ ﺷَﻴْﺌًﺎ ۚ ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﻔَﺮَ
ﺑَﻌْﺪَ ﺫَٰﻟِﻚَ ﻓَﺄُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.
Mereka tetap mengibadahi-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.

[an-Nur/24:55]

ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻠْﺒِﺴُﻮﺍ ﺇِﻳﻤَﺎﻧَﻬُﻢْ ﺑِﻈُﻠْﻢٍ ﺃُﻭﻟَٰﺌِﻚَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟْﺄَﻣْﻦُ
ﻭَﻫُﻢْ ﻣُﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

[al-An’am/6:82]

★ *PENUTUP*

☆ Itulah sebagian dari apa yang kita lihat di negara Saudi Arabia.
  

☆ Kita tidak pungkiri bahwa kekurangan masih ada di sana-sini.

☆ Namun tidak diragukan juga bahwa dakwah tauhid yang dirintis syaik Muhammad bin Abdul Wahhab telah membuahkan hasil yang manis.

☆ Mereka yang ingin menegakkan syariat Islam hendaknya mengambil teladan dari perjalanan dakwah beliau.

☆ Kesempurnaan hanya milik Allah Ta’ala.
Kawajiban kita sebagai hamba adalah
mengadakan perbaikan semampu kita.
 
Semoga Allah Ta’ala mengampuni dosa kita semua.

_Disalin dari majalah Assunnah Edisi 7/Tahun XVII/1434H/2013,_ diterbitkan oleh Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp 0271-76101

Via Fp Kajian Sunnah

🌹Repost Fp Ittiba'Rasulullah

🌹Barakallahu Fiikum...

WANITA HAID MEMBACA ALQURAN

*📖 HUKUM WANITA HAID ATAU JUNUB MEMBACA AL-QURAN*

🔗 http://kontakk.com/@permatasunnah

_Bismillah was shalatu was salamu 'ala Rasulillah wa ba'du._

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu:

```🅰 Pendapat pertama: Jumhur Ulama berpendapat haram hukumnya membaca Al-Quran, berdasarkan hadits:```

ⓐ Hadits *Ibnu Umar:*

لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ

_*“(Tidak boleh) bagi seorang yang junub dan wanita haid, membaca Al-Quran sedikitpun.”*_ [HR. At-Tirmidzi no. 131]

ⓑ Hadits *Ali* yang diriwayatkan oleh semua pemilik Kitab Sunan, yaitu:

أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحْجُبُهُ عَنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ

_*“Sungguh tidak ada sesuatu apapun yang menghalangi* Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membaca Al-Quran *selain junub.”*_

ⓒ Hadits *Ali:*

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثُمَّ قَرَأَ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ قَالَ هَذَا لِمَنْ لَيْسَ بِجُنُبٍ فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلَا وَلَا آيَةَ

_“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu kemudian membaca Al-Quran, lalu berkata: beginilah bagi orang yang tidak junub. Adapun *kalau junub maka tidak boleh membaca Al-Quran walaupun satu ayatpun."*_ [HR. Ahmad, dan Abu Ya’la]

ⓓ Hadits *Ali:*

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ عَلَى كُلِّ حَالٍ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا

_“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Quran dalam setiap keadaan *kecuali junub.”*_ [HR. Tirmidzi]

```🅱 Pendapat Kedua: Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, Dawud Dhahiri dan para pendukungnya, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Al-Bukhari, Ibnu Jarir At-Thabari, Ibnul Mundzir dan An-Nakha’i berpendapat BOLEHNYA membaca Al-Quran. Berdasarkan dalil di antaranya:```

*ⓐ Hukum asal tidak ada larangan untuk membaca Al-Quran,* maka barang siapa yang melarang membaca, ia harus mendatangkan dalil (bukti).

*ⓑ Hadits Aisyah:*

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

_“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam *berdzikir kepada Allah tiap saat.”*_ [HR. Muslim]

Dalam hadits ini *secara dhahir* menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam *juga membaca Al-Quran ketika dalam keadaan junub,* karena lafadz (عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ = tiap saat) *mencakup juga pada waktu keadaan junub* dan lafadz (يَذْكُرُ اللَّهَ = berdzikir kepada Allah) *mencakup juga membaca Al-Quran.*

*ⓒ Hadits Aisyah:*

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْكُرُ إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ … فَقَالَ افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

_“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menunaikan ibadah haji, maka ketika kami sampai di desa Sarof, aku (Aisyah) mengalami haid, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: *'Kerjakanlah sebagaimana yang dikerjakan oleh orang haji kecuali thawaf di Ka’bah sampai engkau suci'.”*_ [HR. Bukhari]

```Dan pendapat 🅱 (Yang KEDUA) inilah yang paling kuat.```

Apapun dalil-dalil yang dipakai oleh pengikut pendapat pertama, bisa dijawab sebagai berikut:

_*Hadits point ⓐ*_

Hadits tersebut dikeluarkan oleh *At-Tirmidzi no. 131 dan selainnya,* yaitu dari jalan periwayatan Ismail bin Iyyas dari Musa bin Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’. Tetapi jika Ismail bin Iyyas meriwayatkan dari selain ulama dari Syam, haditsnya dhoif. Sedang Musa bukan termasuk ulama dari Syam tetapi dari Hijaz.

Oleh karena itulah *Al-Baihaqi* dalam kitab Al-Ma’rifah berkomentar: _"Ini adalah hadits yang hanya Ismail bin Iyyas saja yang meriwayatkan, sedang *hadits yang diriwayatkan dari Ulama negeri Hijaz adalah dhoif. Maka hadits tersebut tidak bisa dipakai hujjah/dalil."*_

Dan yang senada dengan perkataan *Al-Baihaqi* ini adalah pendapat *Al-Bukhari dan Imam Ahmad,* sebagaimana dalam kitab Tuhfadzul Ahwadzi. Ini adalah _‘illah (cacat) yang pertama,_ sedangkan _‘illah (cacat) yang kedua_ adalah: Berkata Abu Hatim dalam kitab "Illalnya:" _Aku mendengar bapakku dan dan ia menyebut Ismail bin Iyyas ini, lalu berkata: *“Ismail bin Iyyas telah salah, karena hal itu tidak lain melainkan hanya perkataan Umar saja.”*_

_*Hadits point ⓑ*_

Hadits ini juga *dhoif,* karena di jalan periwayatannya ada perawi yang bernama Abdullah bin Salamah yang bersendirian dalam periwayatannya, sedangkan di akhir umurnya ia berubah (kacau hafalannya).

*Asy-Syu’bah* berkata: _*“Kami mengetahui Abdullah bin Salamah dan kami mengingkari dia.”*_ Yaitu Abdullah bin Salamah yang telah tua umurnya ketika berjumpa dengan Amr bin Murrah, sedangkan ia meriwayatkan hadits darinya (Amr bin Murrah).

*Al-Bukhari* menceritakan bahwa *Amr bin Murrah* berkata: _“Abdullah bin Salamah meriwayatkan hadits dari kami, *kami mengetahuinya dan kami mengingkarinya,* lagi pula ia telah tua dan tidak ada yang mengikuti haditsnya.”_

_*Hadits point ⓒ*_

Hadits tersebut *dhoif,* karena mempunyai _dua cacat._ *Pertama,* dalam jalan periwayatannya ada Amir bin As-Simthi, yaitu dia *majhul (tidak dikenal). Kedua, hadits tersebut mauquf.*

*Ad-Daruquthni dan yang lainnya* mengeluarkan hadits tersebut dari jalan periwayatan Abdul Ghorif dari Ali secara marfu’. Tetapi Abdul Ghorif orangnya *majhul (tidak dikenal).*

_*Hadits yang point ⓓ*_

Merupakan *hadits yang hanya diriwayatkan oleh Abdullah bin Salamah, sedangkan keadaan dia telah tersebut di atas.* Hadits yang senada diriwayatkan oleh Jabir yang dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni secara marfu’. Tetapi dalam periwayatannya ada perawi yang bernama Muhammad bin Fadl *yang matruk (ditinggalkan haditsnya).* Dan juga secara mauquf tetapi dalam periwayatannya ada perawi yang bernama Yahya bin Abi Anisah *yang pendusta.*

🖇 ```Kesimpulannya hadits yang dipakai pendapat pertama semuanya DHOIF (LEMAH). Sehingga gugurlah berdalil dengan hadits-hadits tersebut bahwa haram hukumnya membaca Al-Quran bagi orang yang junub dan haid. Oleh karena itu, wajib merujuk kembali pada hukum asal yaitu BOLEH membaca Al-Quran.```

Maka daripada itu *Ibnu Taimiyyah* berkata: _*“Tidak ada satu hadits pun yang shahih yang menjelaskan haramnya membaca Al-Quran bagi orang yang junub atau haid,* karena hadits “Tidak boleh bagi seorang yang junub dan wanita haid membaca Al-Quran sedikitpun", merupakan *hadits dhoif (lemah) berdasarkan kesepakatan Ulama-Ulama yang mengetahui tentang hadits.*_

_Sungguh para wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengalami haid, *jadi seandainya membaca Al-Quran itu diharamkan kepada yang sedang haid sebagaimana shalat, tentu hal itu akan dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam* kepada umatnya dan istri-istri beliau pun tentu akan mengetahuinya, serta yang demikian itu akan dinukil oleh para sahabat._

_Maka tatkala tidak ada seorang pun yang menukilkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan tersebut, tidak boleh menghukumi haram karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. *Apabila beliau tidak melarangnya sedang pada saat itu banyak wanita haid, maka kita ketahui bahwa hal itu tidak haram.”*_

Namun yang demikian itu tidak terlepas dari afdhol (utama) atau tidak. Dan *yang paling utama adalah tidak membaca Al-Quran dalam keadaan junub atau haid,* berdasarkan hadits:

إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَوْ طَهَارَةٍ

_*“Sungguh aku tidak suka berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci (dari hadats kecil maupun besar).”*_

Walaupun hadits ini kejadiannya dilatar belakangi dalam hal menjawab salam, tetapi Al-Quran lebih ditekankan lagi. Adanya hukum makruh tidak meniadakan hukum boleh, karena makruh adalah meninggalkan perkara yang afdhol (utama) sebagaimana perkataan *An-Nawawi.*

[Maroji’: Al-Muhalla I/no.116, Al-Ausath II/96, Nailul Author I/335-336, Irwaul Gholil I/160, Al-Majmu’ II/358, Tuhfadzul Ahwadzi I/342, Majmu’ Fatawa 21/36, Tamamul Minnah 117-119]

والله أعلم وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

🖋 ```Ditulis kembali dari Terjemah kitab Adz-Dzakhirotun Nafiisah Fii Ahkamil Ibadaat, Abul Harits Kholiiful Hadi```

*----------•••●◆●•••----------*

💎 *Permata Sunnah*
🌐 *Web:* http://permatasunnah.com
📷 *Instagram:* https://www.instagram.com/permata.sunnah/
🛩 *Twitter:* https://twitter.com/PermataSunnah
🛰 *Channel Telegram:* telegram.me/PermataSunnah
🅿 *Fanspage:* https://www.facebook.com/DakwahPermataSunnah/
📲 *WAGrup* Silakan bergabung. Klik!
• Pria: http://bit.ly/2PendaftaranPSI
• Wanita: http://bit.ly/2PendaftaranPSM

📡 Silakan disebar Artikel ini dengan tidak menambah dan mengurangi isi tulisan.

Rabu, 26 Juni 2019

HAL HAL YG BOLEH, DILARANG, MAKRUH DALAM SHOLAT

HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN, DILARANG, DAN DIMAKRUHKAN DALAM SHOLAT

Kaidah umum tentang gerakan yang dilakukan di dalam sholat (selain gerakan-gerakan sholat), terbagi menjadi 5 hal: wajib, sunnah, mubah (boleh), haram (membatalkan sholat), makruh.

#Wajib: gerakan-gerakan yang harus dilakukan untuk menjaga agar sholat tetap sah. #Contoh: seseorang yang safar tidak tahu posisi kiblat, tidak ada petunjuk maupun orang yang bisa ditanya tentang posisi kiblat yang benar, kemudian dia sholat dengan beritjihad tentang posisi kiblat yang benar. Di tengah sholat, ia baru tahu posisi kiblat yang benar, maka ia kemudian bergerak menghadap ke arah kiblat yang benar.

Contoh lain, seseorang yang sholat menggunakan jas baru sadar di tengah sholat bahwa jasnya telah terkena najis dengan yakin. Ia kemudian bergerak melepaskan jasnya yang najis itu.

#Sunnah: gerakan-gerakan yang berakibat pada kesempurnaan sholat. Contoh: seorang makmum yang bergerak maju #menutup #celah shaf di depannya yang baru ditinggalkan oleh makmum lain yang batal sholatnya. Bisa juga celah ditutup oleh makmum yang berada di samping kiri atau kanannya.

Contoh lain: seorang makmum yang sholat bersama seorang Imam. Awalnya ia berada di posisi kiri Imam, kemudian ia berpindah menuju posisi kanan Imam.

Contoh lain: dua orang sholat berjama'ah. Makmum berdiri sejajar di sebelah kanan Imam. Kemudian datang seorang lain ingin menjadi makmum, kemudian makmum yang pertama tadi bergerak mundur untuk membuat shaf bersama makmum baru di belakang Imam.

#Mubah: gerakan yang dilakukan karena kebutuhan, seperti : berjalan membukakan pintu (dengan tetap menghadap ke arah kiblat), membunuh binatang berbahaya (seperti kalajengking), menggaruk bagian tubuh yang gatal, menggendong anak kecil, menoleh karena keperluan, memberikan isyarat dengan tangan atau kepala, berpindah posisi menuju tempat yang lebih dingin karena kepanasan, dan semisalnya. #Termasuk gerakan yang mubah adalah jika pada saat sholat kita lupa menset HP dalam posisi diam/silent, kemudian pada saat sholat berjamaah HP berbunyi dengan nada dering yang mengganggu, dan  posisinya mudah dijangkau (seperti di saku baju), kemudian dimatikan atau diset diam atau dimatikan. Demikian juga diperbolehkan menangis dalam sholat (bukan karena dibuat-buat, namun karena khusyu’)

Contoh lain gerakan yang mubah adalah memegang mushaf/ hp yang memuat alQuran untuk dibaca dalam sholat. Namun, sebaiknya hal itu hanya dilakukan di dalam sholat sunnah seperti sholat malam, dan semisalnya. Aisyah radhiyallahu anha pernah menyuruh budak laki-lakinya menjadi Imam dalam sholat malam, dan Imam tersebut membacakan dari mushaf al-Quran.

#Haram: gerakan yang dilakukan tanpa keperluan dalam gerakan yang banyak dan berurutan. Atau gerakan-gerakan yang disepakati para Ulama bisa membatalkan sholat, seperti tertawa, makan dan minum, serta berbicara dalam sholat.

Namun, jika seseorang lupa atau tidak tahu bahwa suatu gerakan tertentu sebenarnya membatalkan sholat, maka sholatnya tidak batal. Ketidaktahuan atau karena lupa tidak membatalkan sholat.

#Makruh: gerakan yang dilakukan bukan karena kebutuhan namun hanya sedikit, seperti seseorang merubah posisi kopiahnya (padahal tidak terlalu dibutuhkan), atau merubah posisi arloji atau melihat waktu pada arlojinya, dan semisalnya.

(kebanyakan poin contoh di atas disarikan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fataawa Nuurun alad Darb)

#Faidah : Tidak terdapat batasan secara khusus dari Nabi tentang berapa jumlah gerakan berurutan yang bisa dilakukan. Tidak benar kalau dinyatakan bahwa batasannya 3 kali gerakan berurutan, karena hal itu tidak berdasar hadits atau atsar yang shahih.

#Berikut ini adalah beberapa dalil dan penjelasan yang menerangkan hal-hal yang diperbolehkan dilakukan dalam sholat:

#Berjalan dalam Sholat dan #Membukakan Pintu

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جِئْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي الْبَيْتِ وَالْبَابُ عَلَيْهِ مُغْلَقٌ فَمَشَى حَتَّى فَتَحَ لِي ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مَكَانِهِ وَوَصَفَتْ الْبَابَ فِي الْقِبْلَةِ

Dari Aisyah –radhiyallahu anha- beliau berkata: Saya datang pada saat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sholat di rumah sedangkan pintu tertutup. Kemudian beliau berjalan hingga membukakan pintu kemudian kembali ke posisinya (dalam keadaan sholat). Aisyah menjelaskan bahwa pintu berada di arah kiblat (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, dihasankan atTirmidzi dan disepakati al-Mundziri)

#Menggendong Anak Kecil dalam Sholat

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا وَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا

Dari Abu Qotadah –radhiyallahu anhu- bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sholat dengan menggendong Umamah putri Zainab putri Rasulullah shollallahu alaihi wasallam…jika beliau berdiri beliau menggendongnya, dan jika beliau sujud beliau meletakkannya (H.R al-Bukhari dan Muslim)

#Membunuh Ular dan Kalajengking dalam Sholat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ الْأَسْوَدَيْنِ فِي الصَّلَاةِ الْحَيَّةُ وَالْعَقْرَبُ

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh dua makhluk hitam dalam sholat, yaitu ular dan kalajengking (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan al-Albany)

#Menoleh dalam Sholat karena Ada Keperluan

عَنْ جَابِرٍ قَالَ اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُ النَّاسَ تَكْبِيرَهُ فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا فَرَآنَا قِيَامًا فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا فَصَلَّيْنَا بِصَلَاتِهِ قُعُودًا

Dari Jabir –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pernah mengalami sakit sehingga kami sholat di belakang beliau dalam keadaan beliau duduk. Abu Bakr memperdengarkan takbir kepada manusia. Kemudian Nabi menoleh ke arah kami, beliau melihat kami berdiri. Kemudian beliau memberikan isyarat kepada kami agar kami duduk maka kami sholat dengan sholat beliau dalam keadaan duduk (H.R Muslim)

Menoleh dalam sholat #jika dilakukan #bukan karena #kebutuhan, maka bisa masuk kategori #terlarang (makruh). 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الِالْتِفَاتِ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ هُوَ اخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ الْعَبْدِ

Dari Aisyah –radhiyallahu anha- beliau berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tentang menoleh dalam sholat. Nabi bersabda: Itu adalah perampasan dari Syaithan terhadap sholat seseorang (H.R al-Bukhari)

#Memberikan Isyarat dengan Tangan Atau Kepala dalam Sholat

عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ أَتَيْتُ عَائِشَةَ وَهِيَ تُصَلِّي فَقُلْتُ مَا شَأْنُ النَّاسِ فَأَشَارَتْ إِلَى السَّمَاءِ فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ فَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ قُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ بِرَأْسِهَا أَيْ نَعَمْ

Dari Asma’ beliau berkata: Aku mendatangi Aisyah dalam keadaan beliau sholat. Aku bertanya kepadanya: Apa yang dilakukan oleh manusia? Aisyah mengisyaratkan dengan menunjuk ke langit. Manusia sedang berdiri (untuk sholat). Aisyah berkata: Subhanallah. Aku berkata: Apakah ini ayat (tanda kekuasaan Allah berupa gerhana matahari). Aisyah mengisyaratkan dengan kepalanya yang artinya: ya (H.R al-Bukhari)

Hadits ini memberikan beberapa pelajaran, di antaranya: bolehnya berbicara dengan orang yang sholat (jika dibutuhkan), sedangkan orang yang sholat menjawab dengan isyarat tangan atau kepala. Jika harus menanggapi dengan berbicara, seorang yang sholat bisa mengatakan: Subhaanallah.

#Menangis dalam Sholat

عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الْمِرْجَلِ مِنْ الْبُكَاءِ

Dari Muthorrif bin Abdillah dari ayahnya beliau berkata: Saya melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sholat sedangkan dadanya bergemuruh bagaikan bunyi air mendidih dalam periuk karena tangisan (H.R Abu Dawud, anNasaai, atTirmidzi, Ahmad, dinyatakan shahih sesuai syarat shahih Muslim oleh al-Hakim dan disepakati adz-Dzahaby)

Mengaduh secara spontan, karena kesakitan dengan mengucapkan: ah, au, dan semisalnya bukan termasuk hal yang membatalkan sholat.

#Mengingatkan Imam dengan Mengucapkan #Subhanallah Atau #Tepuk Tangan Bagi Wanita

Nabi shollallahu alaihi wasallam menuntun umatnya yang sholat dan ingin mengingatkan Imam, maka dengan mengucapkan Subhanallah untuk laki-laki dan tepuk tangan (perut tangan kanan dipukulkan pada punggung tangan kiri) bagi wanita.

التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ

Ucapan tasbih (Subhanallah) untuk laki-laki, sedangkan tepuk tangan untuk wanita (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Sebagian Ulama menjelaskan bahwa jika wanita sholat bersama wanita lain atau bersama suami / mahramnya, maka tidak mengapa ia memberikan isyarat dengan mengucapkan Subhaanallah. Mereka berdalil dengan perbuatan Aisyah yang menjawab pertanyaan Asma’ dalam sholat gerhana di hadits riwayat al-Bukhari.

Dalam kondisi tertentu, makmum perlu mengingatkan Imam dengan bacaan ayat misalnya jika Imam lupa terhadap kelanjutan ayat dalam surat yang dibacanya.

#Larangan Berbicara dalam Sholat

إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya sholat ini tidak boleh ada ucapan manusia padanya, yang ada hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an”(H.R Muslim dari Muawiyah bin al-Hakam) 

Seseorang yang berbicara dengan sengaja dalam sholat, maka sholatnya batal. Namun jika ia lupa atau tidak sengaja, atau tidak tahu hukumnya, maka sholatnya tidak batal, sebagaimana hadits Muawiyah bin al-Hakam riwayat Muslim.

#Tertawa dalam Sholat

عَنْ جَابِرٍ ، قَالَ : إذَا ضَحِكَ الرَّجُلُ فِي الصَّلاَةِ ، أَعَادَ الصَّلاَةَ وَلَمْ يُعِد الْوُضُوءَ

Dari Jabir –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Jika seseorang laki-laki tertawa dalam sholat, ia harus mengulang sholat namun tidak mengulang wudhu (riwayat Ibnu Abi Syaibah, sesuai dengan syarat Muslim)

Ibnul Mundzir juga menukil ijma’ (kesepakatan Ulama’) bahwa orang yang tertawa dalam sholat batal sholatnya.

#Makan dan #Minum dalam Sholat

Makan dalam sholat menyebabkan sholat batal. Hal ini berdasarkan hadits:

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ

Tidak ada sholat ketika hadirnya makanan (H.R Muslim)

Seseorang yang dalam keadaan sangat ingin makan, dan makanan telah dihidangkan (tersedia), makruh baginya sholat. Nabi menyarankan untuk mendahulukan makan dalam kondisi seperti itu. Seandainya makan dalam sholat diperbolehkan, niscaya Nabi akan memerintahkan: Silakan sholat sambil makan. (Faidah dari penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam Ta’liqot Ibn Utsaimin alal Kaafii libni Qudaamah)

Ibnul Mundzir menukil ijma’ (kesepakatan Ulama) bahwa barangsiapa yang makan dan minum dalam sholat secara sengaja harus mengulangi sholatnya (batal).

(FIQH BERSUCI DAN SHOLAT SESUAI TUNTUNAN NABI, Penulis: Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman -hafidzahullah-)

Senin, 24 Juni 2019

TATA CARA MENIKAHKAN DALAM ISLAM

📝TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM📝

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul

• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.” [2]

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [3]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ

“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]

Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.

Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۗ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]

Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,

زَوَّجْتُ أُخْتًا لِيْ مِنْ رَجُلٍ فَطَلَّقَهَا حَتَّى إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا جَاءَ يَخْطُبُهَا، فَقُلْتُ لَهُ: زَوَّجْتُكَ وَفَرَشْتُكَ وَأَكْرَمْتُكَ فَطَلَّقْتَهَا ثُمَّ جِئْتَ تَخْطُبُهَا؟ لاَ، وَاللهِ لاَ تَعُوْدُ إِلَيْكَ أَبَدًا! وَكَانَ رَجُلاً لاَ بَأْسَ بِهِ وَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تُرِيْدُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ. فَأَنْزَلَ اللهُ هَذِهِ اْلآيَةِ ( فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ ) فَقُلْتُ: اْلآنَ أَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ

“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6]

Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya…” [9]

Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”

• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam saja.” [11]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin membatalkannya). [12]

• Mahar

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.

Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.

Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيْرُ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيْرُ صَدَاقِهَا وَتَيْسِيْرُ رَحِمِهَا

“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]

‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”

‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]

Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]

• Khutbah Nikah
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:

إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran : 102]

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa’ : 1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]

Amma ba’du: [17]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits.
[2]. Fat-hul Baari (IX/187).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083), at-Tirmidzi (no. 1102), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (VI/47, 165), ad-Darimi (II/137), Ibnul Jarud (no. 700), Ibnu Hibban no. 1248-al-Mawaarid), al-Hakim (II/168) dan al-Baihaqi (VII/105) dan lainnya, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524) dan Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 880).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2085), at-Tirmidzi (no. 1101), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (IV/394, 413), ad-Darimi (II/137), Ibnu Hibban (no. 1243 al-Mawaarid), al-Hakim (II/170, 171) dan al-Baihaqi (VII/107) dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/196, no. 10473), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XVIII/142, no. 299) dan al-Baihaqi (VII/125), dari Shahabat ‘Imran bin Hushain. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7557). Hadits-hadits tentang syarat sahnya nikah wajib adanya wali adalah hadits-hadits yang shahih. Tentang takhrijnya dapat dilihat dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriij Ahaadiits Manaris Sabil (VI/235-251, 258-261, no. 1839, 1840, 1844, 1845, 1858, 1860).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5130), Abu Dawud (2089), at-Tirmidzi (2981), dan lainnya, dari Shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Fat-hul Baari (IX/187).
[8]. Al-Umm (VI/35), cet. III/Darul Wafaa’, tahqiq Dr. Rif’at ‘Abdul Muththalib, th. 1425 H.
[9]. l-Muhalla (IX/451).
[10]. Dinukil secara ringkas dari kitab al-Mughni (IX/119), cet. Darul Hadits-Kairo, th. 1425 H, tahqiq Dr. Muhammad Syarafuddin dan Dr. As-Sayyid Muhammad as-Sayyid.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5136), Muslim (no. 1419), Abu Dawud (no. 2092), at-Tirmidzi (no. 1107), Ibnu Majah (no. 1871) dan an-Nasa-i (VI/86).
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096), Ibnu Majah (no. 1875). Lihat Shahih Ibni Majah (no. 1520) dan al-Wajiiz (hal. 280-281).
[13]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/77, 91), Ibnu Hibban (no. 1256 al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/181). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (VI/350).
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no. 724), dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu. Dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 3300).
[15]. Berdasarkan hadits yang diriwauyatkan oleh al-Bukhari (no. 5087) dan Muslim (no. 1425).
[16]. Lihat kitab Khutbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H, dan Syarah Khutbah Haajah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij wa ta’liq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarul Adh-ha, th. 1409 H.
[17]. Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah (ÎõØúÈóÉõ ÇáúÍóÇÌóÉö), yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Shahabatnya radhiyallaahu ‘anhum. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097 dan 2118), an-Nasa-i (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214 dan VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini shahih.
Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat) dari beberapa Shahabat, yaitu:
1. Shahabat Abu Musa al-Asy’ari (Majma’uz Zawaa-id IV/288).
2. Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas (Muslim no. 868, al-Baihaqi III/214).
3. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah (Ahmad II/37, Muslim no. 867 dan al-Baihaqi III/214).
4. Shahabat Nubaith bin Syarith (al-Baihaqi III/215).
5. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.
Lihat Khutbatul Haajah Allatii Kaana Rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Yu’allimuhaa Ash-haabahu, karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, cet. IV/ al-Maktab al-Islami, th. 1400 H dan cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H.

Di setiap khutbahnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai dengan memuji dan menyanjung Allah Ta’ala serta ber-tasyahhud (mengucapkan dua kalimat syahadat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Shahabat:
1. Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “… Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma ba’du….” (HR. Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922)
2. ‘Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma’. (HR. Al-Bukhari, no. 923)
3. ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata: “…Tatkala selesai shalat Shubuh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepada para Shahabat, beliau bertasyahhud (mengucapkan kalimat syahadat) kemudian bersabda: Amma ba’du…” (HR. Al-Bukhari, no. 924)
4. Abu Humaid as-Sa’idi berkata: “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri khutbah pada waktu petang sesudah shalat (‘Ashar), lalu beliau bertasyahhud dan menyanjung serta memuji Allah yang memang hanya Dia-lah yang berhak mendapatkan sanjungan dan pujian, kemudian bersabda: Amma ba’du…” (HR. Al-Bukhari no. 925).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيْهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ.

“Setiap khutbah yang tidak dimulai dengan tasyahhud, maka khutbah itu seperti tangan yang berpenyakit lepra/kusta.” (HR. Abu Dawud no. 4841; Ahmad II/ 302, 343; Ibnu Hibban, no. 1994-al-Mawaarid; dan selainnya. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 169).

Menurut Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah khutbatul haajah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum, yaitu: “Innalhamdalillaah…” (Hadits Ibnu Mas’ud).

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: “Khutbah ini adalah Sunnah, dilakukan ketika mengajarkan Al-Qur-an, As-Sunnah, fiqih, menasihati orang dan semacamnya…. Sesungguhnya hadits Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, tidak mengkhususkan untuk khutbah nikah saja, tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk berbicara kepada hamba-hamba Allah, sebagian kepada se-bagian yang lainnya…” (Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah, XVIII/286-287)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah berkata, “…Sesungguhnya khutbah ini dibaca sebagai pembuka setiap khutbah, apakah khutbah nikah, atau khutbah Jum’at, atau yang lainnya (seperti ceramah, mengajar dan yang lainnya-pent.), tidak khusus untuk khutbah nikah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang…” (Khutbatul Hajah (hal. 36), cet. I/ Maktabah al-Ma’arif).

Kemudian beliau melanjutkan: “Khutbatul haajah ini hukumnya sunnah bukan wajib, dan saya membawakan hal ini untuk menghidupkan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin dan tidak dipraktekkan oleh para khatib, penceramah, guru, pengajar dan selain mereka. Mereka harus berusaha untuk menghafalnya dan mempraktekkannya ketika memulai khutbah, ceramah, makalah, atau pun mengajar. Semoga Allah merealisasikan tujuan mereka.” (Khutbatul Haajah (hal. 40) cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, dan an-Nashiihah (hal. 81-82) cet. I/ Daar Ibnu ‘Affan/th. 1420 H.)

🔅🍑🔅🍑🔅🍑🔅🍑