ADAKAH LEBARAN ANAK YATIM SETIAP TANGGAL 10 MUHARRAM..?
↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔
📙📙 [ A ]. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من مسح يده على رأس يتيم يوم عاشوراء رفع الله تعالى بكل شعرة درجة
“Barangsiapa yang mengusapkan tangannya ke kepala anak yatim di hari Asyuro’ (10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya dengan setiap helai rambut yang diusap satu derajat”
Hadits ini terdapat dalam kitab Tanbiihul Ghaafiliin no.475 dan dinyatakan maudhu’ atau “PALSU” oleh para ulama, karena dalam jalur sanadnya terdapat nama “Habib bin Abi Habib”, seorang perawi yang tertuduh pernah berdusta dan memalsukan hadits. Oleh karenanya status perawi ini adalah matruk (ditinggalkan).
Para ulama memberikan komentar tentangnya :
– Ahmad bin Hanbal berkata : “Pendusta” (Lisaanul Miizaan II/168/752 oleh Ibnu Hajar).
– Ibnu Ady berkata : “Ia pernah memalsukan hadits” (Al-Maudhuu’aat II/571).
– Ibnul Jauzi berkata : “Ini adalah hadits palsu dengan tanpa keraguan” (Al-Maudhuu’aat II/571)
– Adz-Dzahabi berkata : “Tertuduh berdusta” (Talkhis Kitab al-Maudhuu’aat hal 207).
– Adz-Dzahabi berkata : “Pendusta” (Miizaanul I’tidaal I/451/1693).
– Abu Haatim berkata : “Ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya” (Al-Maudhuu’aat II/571).
– Asy-Syaukani berkata : “Hadits palsu” (Al-Fawaa-idul Majmuu’ah hal 92 no.33)
– lihat juga al-La’aali al-Mashnu’ah II/109 oleh as-Suyuthi, at-Tanziih asy-Syari’ah II/149-150 oleh Ibnu ‘Arraq al-Kanani dll.
📙📙 [ B ]. Berbeda dengan “Agama Syi’ah” dalam menyambut bulan Muharram. Mereka menjadikan hari Asyuro’ (10 Muharram) sebagai hari berkabung, bersedih, menangis, meratap bersama dan menyakiti anggota badan lainnya dengan melukai kepala atau memukulkan pedang ke atas kepala atau dengan memukulkan rantai ke bagian punggung hingga berdarah sebagai tanda berkabung atas syahidnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Mereka berpawai di jalan-jalan raya dan tempat-tempat umum dengan memakai pakaian hitam-hitam sambil mengulang-ngulang nyanyian berisi pujian-pujian kepada Husain.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ritual Asyuro’ oleh syiah ini dimulai tahun 352 H. Pencetusnya adalah Dinasti Buwaih beraliran syi’ah yang mewajibkan penduduk Irak untuk melakukan ratapan terhadap Husein. Yaitu dengan menutup pasar, melarang memasak makanan, dan para wanita mereka keluar kemudian menampar-nampar wajah serta membuat fitnah di hadapan manusia.
Hal ini kemudian diikuti oleh Dinasti Fathimiyah yang merayakannya dengan tindakan serupa. Pada hari itu, khalifah duduk dengan muka masam sambil memperlihatkan kesedihan, begitu juga para hakim, da’i, dan pejabat pemerintah. Para penyair membuat syair dan menyebutkan riwayat dan kisah-kisah karangan tentang pembunuhan Husein.
Mereka menganggap bahwa pada hari itu Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan banyak dari kaum muslimin laki-laki yang terbunuh, sehingga banyak dari anak-anak mereka yang menjadi yatim. Maka mereka pun menjadikan hari itu sebagai tradisi memperingati hari anak yatim yang dibenarkan dalam “Syariat Agama Syiah”.
Mereka merobek-robek pakaian dan meneriakkan ucapan berlebihan kepada Husain. Bukankah Husain mati syahid dan akan mendapatkan tempat yang tinggi di sisi Allah Ta’ala ? Lalu kenapa ia diratapi seperti itu ?
Demikianlah “Agama Syi’ah” dalam memperingati hari terbunuhnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yang sangat mereka agung-agungkan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya melarang perbuatan demikian.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah” (HR.Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103)
Buruknya lagi, cerita kematian Husein pun telah mereka palsukan. Padahal kaum syi’ah sendirilah yang telah membunuhnya.
Salah seorang ulama besar syi’ah, murtadha muthahhari berkata : “Tidak diragukan lagi bahwa penduduk Kufah adalah pendukung Ali dan yang membunuh Imam al-Husein adalah pendukungnya sendiri” (Al-Mahamatul Husainiyah I/129, oleh al-Khamis, 2014: 255).
Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu menyalahkan penduduk Irak sebagai pembunuh Husain dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5994 :
عن ابن أبي نعم قال كنت شاهدا لابن عمر وسأله رجل عن دم البعوض فقال : ممن أنت ؟ فقال : من أهل العراق ، قال انظروا إلى هذا يسألني عن دم البعوض وقد قتلوا ابن النبي صلى الله عليه وسلم ، وسمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول هما ريحانتاي من الدنيا
Dari Ibnu Abi Nu’min, dia berkata : “Saya menyaksikan Abdullah bin Umar ketika ditanya oleh seseorang tentang darah nyamuk, maka Ibnu Umar bertanya : “Engkau berasal dari mana ?”. Dia menjawab : “Dari penduduk Irak”. Ibnu Umar berkata : “Lihatlah kepada orang ini ! Dia bertanya kepadaku tentang darah nyamuk padahal merekalah yang telah membunuh cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib). Aku telah mendengar Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Mereka berdua (yaitu Hasan dan Husain) adalah bunga raihanku di dunia”
Islam tidak pernah mengajarkan tanggal 10 Muharram diisi dengan perbuatan nista seperti “Agama Syiah”. Asyura’ tidak diisi dengan kesedihan dan penyiksaan diri seperti syiah. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajarkan untuk berpuasa sunnah pada hari Asyura’.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam Kitabnya al-Bidaayah wan Nihaayah VIII/221 :
“Setiap muslim seharusnya bersedih atas terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhu karena ia adalah sayyid-nya (penghulunya) kaum muslimin, ulamanya para sahabat dan anak dari putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Fathimah yang merupakan puteri terbaik beliau. Husain adalah seorang ahli ibadah, pemberani dan orang yang murah hati. Akan tetapi kesedihan yang ada janganlah dipertontonkan seperti yang dilakukan oleh syi’ah dengan tidak sabar dan bersedih yang semata-mata dibuat-buat dan dengan tujuan riya’ (cari pujian, tidak ikhlas). Padahal ‘Ali bin Abi Thalib lebih utama dari Husain. ‘Ali pun mati terbunuh, namun ia tidak diperlakukan dengan dibuatkan ma’tam (hari duka) sebagaimana hari kematian Husain. ‘Ali terbunuh pada hari Jum’at ketika akan pergi shalat shubuh pada hari ke-17 Ramadhan tahun 40 H.
Begitu pula ‘Utsman, ia lebih utama daripada ‘Ali bin Abi Thalib menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. ‘Utsman terbunuh ketika ia dikepung di rumahnya pada hari tasyriq dari bulan Dzulhijjah pada tahun 36 H. Walaupun demikian, kematian ‘Utsman tidak dijadikan ma’tam (hari duka). Begitu pula ‘Umar bin Khatthab, ia lebih utama daripada ‘Utsman dan ‘Ali. Ia mati terbunuh ketika ia sedang shalat shubuh di mihrab ketika sedang membaca al-Qur’an. Namun, tidak ada yang mengenang hari kematian beliau dengan ma’tam (hari duka). Begitu pula Abu Bakar ash-Shiddiq, ia lebih utama daripada ‘Umar. Kematiannya tidaklah dijadikan ma’tam (hari duka).
Lebih daripada itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah sayyid (penghulu) cucu Adam di dunia dan akhirat. Allah telah mencabut nyawa beliau sebagaimana para Nabi sebelumnya juga mati. Namun tidak ada satu pun yang menjadikan hari kematian beliau sebagai ma’tam (hari kesedihan). Kematian beliau tidaklah pernah dirayakan sebagaimana yang dirayakan pada kematian Husain, seperti yang dilakukan oleh (syi’ah) rafidhah yang jahil”
___________________________________
Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى
BBG AL ILMU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar