Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal
PENJELASAN BACAAN SHOLAWAT NABI PADA TASYAHUD AWAL BERSAMA SYAIKH AL-ALBANI
بسم الله الرحمن الرحيم
Sebagian orang membatasi bacaannya pada tasyahud pertama/awal hingga bacaan dua kalimat syahadat saja, kemudian berdiri.
Yang benar –Wallohu a’lam– adalah membaca tahiyat/tasyahud dengan sempurna.
Sebagaimana halnya ucapan salam disyari’atkan di dalam setiap kali tasyahud, demikian juga halnya disyari’atkan bacaan sholawat kepada beliau shollallohu 'alaihi wa sallam setiap kali selesai tasyahud, baik itu pada duduk tasyahud yang awal atau yang akhir, berdasarkan pada keumuman dan kemutlakan dalil-dalil yang ada.
Diantaranya firman Allah subhanahu wa Ta'ala
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadnya.” (QS. Al-Ahzab : 56).
Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan di dalam kitabnya, Jalaa-ul Afham (hal. 249), “Ayat ini menunjukkan ketika ucapan salam disyari’atkan kepada beliau berarti juga disyari’atkan ucapan sholawat kepadanya. Oleh karena itu, para sahabat telah menanyakan kepada beliau tata cara mengucapkan sholawat kepadanya. Mereka mengatakan, ‘Kami telah mengetahui tata cara mengucapkan salam kepada anda, lalu bagaimanakah kami mengucapkan sholawat kepada anda?’
Hal ini menunjukkan bahwa ucapan sholawat selalu beriringan dengan ucapan salam kepada beliau shollallohu 'alaihi wa sallam. Dan, telah maklum, bahwa seseorang yang sholat akan mengucapkan salam kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam –yaitu pada tasyahud awal–.
Maka, disyari’atkan juga baginya untuk mengucapkan sholawat kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam.”
Diantara dalil-dalil tersebut juga: hadits-hadits yang sangat banyak yang menyebutkan ucapan sholawat kepada beliau shollallohu 'alaihi wa sallam dan ucapan sholawat yang ditunjukkan pada hadits-hadits tersebut ada dua macam:
Ada yang berkenaan khusus pada ibadah sholat, ada pula yang bersifat umum.
Adapun yang pertama terbagi menjadi dua bagian: Ada yang khusus pada bacaan tasyahud dan ada juga yang diucapkan secara umum di dalam sholat.
Bagian yang pertama, ada empat hadits yang menerangkan hal tersebut:
Hadits Pertama, Hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan secara marfu’:
" إذا تشهد أحدكم في الصلاة ؛ فليقل : اللهم ! صلِّ على محمد ... "
“Apabila salah seorang diantara kalian membaca tasyahud di dalam sholat, hendaknya dia mengucapkan, Allohumma sholli ‘alaa muhammad...” hingga akhir hadits. (HR. Al-Hakim [I/269], al-Baihaqi [II/279] dengan sanad al-Hakim, dari jalan Yahya bin As-Sabbaq dari seorang Bani al-Harits dari Ibnu Mas’ud). Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini shohih.” Disetujui oleh Adz-Dzahabi.
Ini adalah hukum yang sangat mengherankan, karena orang dari Bani al-Harits ini tidak disebutkan namanya. Oleh karena itulah al-Hafidz di dalam at-Talkhis [III/504], mengatakan, “Para perawinya tsiqoh, kecuali orang dari Bani al-Harits ini, harus dilihat dulu siapa dia.”
Hadits Kedua, dari hadits Ibnu Mas’ud juga. Beliau berkata:
علمني رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التشهد كما يعلمنا السورة من القرآن ... فذكره ، وفيه : " اللهم ! صل على محمد ... "
“Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepadaku tasyahud, sebagaimana mengajarkan surah-surah Al-Qur-an...” lalu beliau menyebutkannya. Dan pada hadits ini disebutkan, “Allohumma sholli ‘alaa muhammad... dst.” (HR. Ath-Thabrani di dalam Al-Kabiir, ad-Daraquthni [135] dari jalan Muhammad bin Bakar al-Bursani, dia berkata: ‘Abdul Wahhab bin Mujahid menceritakan kepada kami, dia berkata: Mujahid menceritakan kepadaku, dia berkata: ‘Abdurrohman bin Abu Laila ataukah Abu Ma’mar menceritakan kepadaku dari Ibnu Mas’ud). Ad-Daraquthni mendho’ifkan hadits ini –dan diikuti pula oleh al-Haitsami [II/145]– dengan alasan Ibnu Mujahid, keduanya mengatakan, “Dia perawi yang dho’if.”
Hadits Ketiga, hadits Ibnu ‘Umar semisal hadits Ibnu Mas’ud.
Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni [134], dari jalan Kharijah bin Mush’ab dari Musa bin ‘Ubaidah dari ‘Abdulloh bin Dinar dari Ibnu ‘Umar.
Ad-Daraquthni mengatakan, “Musa bin ‘Ubaidah dan Kharijah, keduanya perawi yang dho’if.”
Hadits Keempat, hadits Buraidah secara marfu’:
" يا بريدة ! إذا جلست في صلاتك ؛ فلا تترك التشهد والصلاة عليَّ ؛ فإنها زكاةُ
الصلاة "
“Wahai Buraidah! Apabila engkau duduk di dalam sholatmu, janganlah engkau sampai melupakan membaca tasyahud dan sholawat kepadaku. Karena sholawat kepadaku adalah zakatnya sholat.” (HR. Ad-Daraquthni [136] dari jalan ‘Amru bin Syimr dari Jabir dari ‘Abdulloh bin Buroidah dari -bapak beliau- Buroidah). Ad-Daraquthni mengatakan, “’Amru bin Syimr dan Jabir keduanya perawi yang dho’if.”
Hadits-hadits ini, walaupun sanadnya dho’if, namun secara keseluruhan dapat dijadikan sandaran, insya Allah. Terlebih lagi hadits-hadits ini dikuatkan dengan hadits-hadits yang ada pada bagian yang kedua, di dalamnya terdapat tiga hadits berikut:
Hadits Pertama, hadits Ka’ab bin ‘Ujroh dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:
أنه كان يقول في الصلاة : " اللهم ! صل على محمد ... "
“Bahwa beliau di dalam sholatnya mengucapkan: Allohumma sholli ‘alaa muhammad...dst.” (HR. Imam Syafi’i di dalam Al-Umm [I/102], dia berkata: Ibrohim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Sa’ad bin Ishaq bin Ka’ab bin ‘Ujroh menceritakan kepadaku dari ‘Abdurrohman bin Abi Laila dari Ka’ab bin ‘Ujroh).
Ibrohim bin Muhammad ini adalah perawi yang dho’if
Ibnul Qoyyim [15] mengatakan, “Asy-Syafi’i berpendapat bolehnya menjadikan dia sebagai hujjah dengan semua cacat dan aib dia. Malik dan ulama lainnya memperbincangkan dirinya.”
Hadits Kedua: hadits Abu Huroiroh, bahwa beliau mengatakan:
يا رسول الله ! كيف نصلي عليك - يعني : في الصلاة - ؟ قال : " قولوا : اللهم ! صلِّ على محمد ... " إلخ .
“Wahai Rosululloh, bagaimanakah kami mengucapkan sholawat kepadamu –yaitu di dalam sholat–? Beliau bersabda, “Ucapkanlah: Allohumma sholli ‘alaa muhammad... dst.” (Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i juga dari syaikhnya yang ini juga dengan sanad yang sama kepada dia).
Hanya saja hadits ini mempunyai syahid:
Hadits Ketiga: dari hadits Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amru, beliau berkata:
أقبل رجل حتى جلس بين يدي رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ونحن عنده ؛ فقال : يا رسول الله !أما السلام عليك ؛ فقد عرفناه ، فكيف نصلي عليك إذا نحن صلينا في صلاتنا – صلى الله عليك - ؟ قال : فَصَمَت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حى أحببنا أن الرجل لم يسأله . فقال : " إذا أنتم صليتم علي ؛ فقولوا : اللهم ! صل على محمد ... "
“Seseorang datang hingga dia duduk di depan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam sedangkan kami berada di sisi beliau. Orang itu berkata, ‘Wahai Rosululloh, adapun ucapan salam kepadamu, kami telah mengetahuinya. Lalu, bagaimanakah kami mengucapkan sholawat kepadamu, apabila kami mengucapkan sholawat di dalam sholat kami –shollallahu ‘alaika–?’” Abu Mas’ud berkata, “Lalu, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam terdiam, hingga kami lebih senang orang tersebut tidak menanyakan hal itu. Maka beliau bersabda, ‘Apabila kalian hendak mengucapkan sholawat kepadaku, ucapkanlah: Allohumma sholli ‘alaa muhammad... dst.” (HR. Abu Daud [I/155],
ad-Daraquthni [135], al-Baihaqi [II/146 dan 278], dan Ahmad [IV/119] dari jalan Muhammad bin Ishaq, dia berkata: Muhammad bin Ibrohim bin al-Harits at-Taimi menceritakan kepadaku –tentang sholawat kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam apabila seorang muslim hendak mengucapkan sholawat kepada beliau di dalam sholatnya– dari Muhammad bin ‘Abdulloh bin Zaid bin ‘Abdu Robbihi al-Anshori dari Abu Mas’ud).
Sanad ini sanad yang hasan dan muttashil –sebagaimana dikatakan oleh ad-Daraquthni–.
Adapun perkataan al-Hakim [I/268] –setelah menyebutkan hadits ini beserta sanadnya–, “Shohih sesuai kriteria Muslim.” Perkataan yang tepat, walaupun adz-Dzahabi menyetujuinya. Karena Ibnu Ishaq hanya disebutkan haditsnya sebagai mutaba’ah saja –sebagaimana berulang kali kami peringatkan akan hal ini–.
Begitu pula sebagian ulama memperbincangkan hadits dia ini, dikarenakan dia bersendiri meriwayatkan dengan perkataan, “Apabila kami hendak mengucapkan sholawat di dalam sholat kami.”
Sedangkan para perawi lainnya yang meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Ishaq tidak menyebutkan kalimat tersebut –sebagaimana hal itu disebutkan oleh Ibnul Qoyyim, yang beliau jelaskan di dalam kitabnya: al-Jalaa-u, lihat [4-6]–.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya dan tidak ada penyebutan kalimat tambahan ini.
Mengenai perkataan orang tersebut, “Adapun ucapan salam kepadamu, kami telah mengetahuinya. Lalu, bagaimanakah kami mengucapkan sholawat kepadamu?”
Ucapan ini shohih dan disebutkan di dalam beberapa hadits –yang akan disebutkan nanti–.
Adapun hadits-hadits yang dikategorikan pada bagian akhir –pada pembagian di atas–, masing-masing akan disebutkan nanti pada tempatnya sendiri, insya Allah Ta’ala.
Para Ulama –seperti halnya al-Baihaqi, Ibnu Katsir dan al-Asqolaani– mengatakan, “Makna ucapan para sahabat: (ucapan salam kepadamu, kami telah mengetahuinya), adalah bahwa ucapan salam yang telah beliau shollallohu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada para sahabat di dalam tasyahud, yaitu ucapan mereka:
السلام عليك أيها النبي ! ورحمة الله وبركاته
Hadits ini merupakan dalil yang sangat jelas menerangkan disyari’atkannya ucapan sholawat kepada beliau shollallohu 'alaihi wa sallam di dalam tasyahud awal juga, karena adanya ucapan salam kepada beliau di dalam tasyahud tersebut. Yang mana juga dikuatkan dengan hadits-hadits yang disebutkan sebelumnya.
Ini merupakan madzhab asy-Syafi’i rohimahulloh –sebagaimana beliau kemukakan di dalam al-Umm [I/102 dan 105][1]– dan merupakan pendapat yang dianggap shohih oleh ulama syafi’iyah, sebagaimana ditegaskan oleh an-Nawawi di dalam al-Majmu’ [III/460]. Kemudian beliau mengatakan, “Yang shohih, bahwa ucapan sholawat adalah sunnah, dan ini dari nash perkataan Imam Asy-Syafi’i di dalam al-Umm dan al-Imlaa.” Dan beliau lebih memperjelas perkataannya di ar-Raudhoh [I/263].
Ini juga pendapat yang dipilih oleh al-Wazir ibnu Hubairah al-Hanbali di dalam al-Ifshoh, sebagaiamana dikutip oleh Ibnu Rajab di dalam Dzail ath-Thobaqoh [I/280] dan membenarkannya.
Ibnul Qoyyim telah mengkhususkan satu pasal tentang sholawat kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam di dalam tasyahud awal, dan menyebutkan perselisihan ulama dalam masalah itu. Beliau menyebutkan dalil-dalil yang membolehkan dan menyatakannya sebagai sunnah, yaitu sebagian dari hadits-hadits yang kami lampirkan pada bagian pertama, seperti hadits Ibnu ‘Umar dan hadits Buraidah.
Lalu, beliau mengatakan, “Ucapan ini berlaku umum, baik pada duduk tasyahud awal maupun akhir.”
Kemudian, beliau menyebutkan sandaran lainnya, yaitu ayat al-Qur-an yang telah kami sebutkan bersamaan komentar Ibnul Qoyyim terhadap ayat tersebut. Kemudian beliau mengatakan, “Dikarenakan –yakni tasyahud awal– adalah tempat disyari’atkannya bacaan tasyahud dan ucapan salam kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, berarti disyari’atkan juga bacaan sholawat kepada beliau sebagaimana halnya di dalam tasyahud akhir. Dan, dikarenakan pada tasyahud awal ini adalah tempat yang disenangi untuk mengucapkan sholawat kepada beliau, dikarenakan hal itu akan menyempurnakan nama beliau.”
Lalu, beliau menyebutkan dalil-dalil yang menolak dan menyelisihi hal tersebut. Tidak satupun dari dalil-dalil mereka yang layak untuk menyibukkan diri memberi jawaban atasnya, selain pendapat mereka, “Bahwa tasyahud awal disyari’atkan untuk disegerakan. Apabila Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam duduk pada tasyahud awal, seolah-olah beliau duduk di atas pemanggang api.”
Juga perkataan mereka, “Bahwa tidak satu pun hadits yang shohih menyebutkan bahwa beliau melakukan hal itu pada tasyahud awal.”
Adapun jawaban atas perkataan mereka yang pertama:
Hadits yang mereka sebutkan adalah hadits dho’if yang tidak dapat dijadikan sandaran. Karena, hadits ini berasal dari riwayat Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdulloh bin Mas’ud dari bapaknya dan dia tidak mendengar dari bapaknya –hal itu telah berulang kali disebutkan–.
Diriwayatkan oleh Ashab As-Sunan –kecuali Ibnu Majah–, al-Hakim [I/269], al-Baihaqi [II/134], ath-Thoyalisi [hal.44], dan Ahmad [I/386, 410, 428, 436 dan 460] dari beberapa jalan dari Sa’ad bin Ibrohim dari Abu ‘Ubaidah.
Al-Hakim mengatakan, “Hadits ini shohih sesuai kriteria al-Bukhori dan Muslim.”
Adz-Dzahabi mengomentarinya dengan mengatakan, “Perlu diperhatikan lebih teliti, apakah Sa’ad benar-benar telah mendengar dari Abu ‘Ubaidah.”
Namun, tanggapan yang diberikan oleh adz-Dzahabi tidak berarti sama sekali, karena Sa’ad telah menegaskan hal tersebut pada riwayat Ahmad. ‘Illat hadits ini yang sebenarnya adalah yang baru saja kami isyaratkan. At-Tirmidzi juga telah menyebutkan ‘illat tersebut, dia berkata, “Hadits ini hasan, hanya saja Abu ‘Ubaidah tidak mendengar dari bapaknya.”
Dan, yang mengherankan dari ucapan at-Tirmidzi ini, bagaimana mungkin beliau dapat menyatukan hukum beliau, yaitu menghasankan hadits ini dan menyebutkan ‘illatnya yang mana ‘illat tersebut dapat menghalangi hukum hadits ini sebagai hadits yang hasan. Telah diketahui bahwa hadits ini tidak mempunyai sanad selain sanad ini!
An-Nawawi dalam al-Majmu’ [III/460] telah mengutip pernyataan beliau secara ringkas dan menanggapinya, beliau berkata, “At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang hasan, namun tidak seperti beliau katakan, karena Abu ‘Ubaidah tidak mendengar dari bapaknya dan tidak juga berjumpa dengannya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama hadits. Berarti hadits ini adalah hadits munqothi’.”
Demikian juga al-Hafidz menyatakan, di dalam at-Talkhis [III/506], adanya ‘illat pada hadits ini. Beliau berkata, “Hadits ini munqothi’, dikarenakan Abu ‘Ubaidah tidak mendengar dari bapaknya. Syu’bah berkata dari ‘Amru bin Murroh, dia berkata: Saya bertanya kepada Abu ‘Ubaidah: Apakah anda dapat menyebutkan sesuatu –yaitu hadits– dari ‘Abdulloh? Dia menjawab: tidak. Diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya.”
Walaupun seandainya hadits ini shohih, tetap tidak dapat dijadikan dalil dari apa yang mereka sebutkan. Asy-Syaukani [II/242] mengatakan –setelah menyebutkan perselisihan tentang wajibnya sholawat kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan menybutkan dalil dari masing-masing pihak–, “Akan tetapi, mengkhususkan ucapan sholawat hanya pada tasyahud akhir adalah suatu yang tidak ditunjukkan oleh satu dalil yang shohih, bahkan yang dho’if sekalipun. Dan, semua dalil-dalil ini, yang dijadikan pegangan oleh ulama yang berpendapat wajibnya sholawat, tidak berlaku khusus pada tasyahud akhir. Dan, dalil yang paling memungkinkan untuk dijadikan pegangan dalam mengkhususkan ucapan sholawat hanya pada tasyahud akhir adalah hadits Ibnu Mas’ud ini. Namun, hadits ini tidak menunjukkan kecuali disyari’atkan untuk menyegerakan bacaan tasyahud dan itu dapat tercapai dengan menyegerakannya dibandingkan dengan tasyahud lainnya –yaitu tasyahud akhir–. Adapun hal tersebut mengharuskan untuk meninggalkan sesuatu yang telah ditunjukkan oleh dalil akan pensyariatan sesuatu tersebut, sama sekali didapati pada hadits itu. Dan tidak disangsikan lagi bagi sorang yang mengerjakan sholat –dengan membaca salah satu bacaan tasyahud dan ucapan sholawat kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam yang paling ringkas, sudah tergolong bersegera, bahkan sudah terlalu cepat jika dibandingkan dengan bacaan tasyahud akhir yang panjang, dengan ucapan at-Ta’awwudz (meminta perlindungan dari empat hal) dan bacaan do’a yang mutlak maupun yang dibatasi yang juga diperintahkan pada tasyahud akhir.”
Adapun menjawab perkataan mereka: mengenai tidak adanya hadits shohih dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melakukan hal itu.
Ini pun dapat dipertentangkan dengan mengatakan: Demikian pula, tidak ada hadits yang shohih dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melakukan hal itu pada tasyahud akhir. Kalau begitu, apakah ini menunjukkan bahwa ucapan sholawat ini bukan sesuatu yang disyari’atkan?
Tentu saja tidak seperti itu.
Ulasan akan hal itu: Bahwa perkara-perkara yang disyari’atkan dapat ditetapkan baik dengan sabda beliau shollallohu 'alaihi wa sallam, perbuatan beliau, atau dengan pengakuan dari beliau. Dan, telah disepakati bahwa bukan sesuatu yang diharuskan untuk menyatukan ketiga penunjukan itu dalam menetapkan sebuah perkara.
Dengan demikian, dalil-dalil yang telah kami lampirkan dan dalil-dalil yang akan kami sebutkan nantinya –sebagaimana dalil-dalil tersebut menunjukkan pensyari’atan ucapan sholawat pada duduk tasyahud awal, dengan berpegang pada keumuman dan kemutlakan dalil-dalil tersebut–seperti telah diuraikan sebelumnya–.
Benarlah kiranya, seandainya ada dalil yang membatasi hal itu dari dalil-dalil tersebut, kami akan mengamalkan dalil tersebut, karena dalil yng bersifat mutlak harus dipahami sejalan dengan dalil lainnya yang membatasi kemutlakan dalil tersebut. Akan tetapi, dalil yang membatasinya tidaklah shohih –seperti yang anda telah ketahui–.
Namun, masih ada beberapa riwayat yang harus kami berikan peringatan, karena mungkin dikira bahwa riwayat-riwayat itu bisa dijadikan pegangan dari sisi maknanya yang zhohir walaupun dari sisi sanad riwayat-riwayat tersebut tidak dapat dijadikan pegangan. Ada dua riwayat berkenaan dengan hal itu:
Pertama: hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata:
علَّمني رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التشهد في وسط الصلاة وفي آخرها ... الحديث وفيه : قال : ثم إن كان في وسط الصلاة ؛ نهض حين يفرغ من تشهده ، وإن كان في آخرها ؛ دعا بعد تشهده بما شاء الله أن يدعو ، ثم يسلم .
“Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku tasyahud di pertengahan sholat dan pada akhir sholat: ... al-hadits.” Dan, pada hadits ini disebutkan: Beliau berkata, “Apabila di pertengahan sholat, beliau segera berdiri tatkala telah selesai dari bacaan tasyahud beliau. Dan, apabila di akhir sholat, beliau berdo’a setelah membaca tasyahud dengan do’a yang –Allah telah kehendaki– bagi beliau untuk berdo’a dengan do’a tersebut, kemudian beliau salam.” (Diriwayatkan oleh Ahmad –dan juga Ibnu Khuzaimah– sebagaimana disebutkan di dalam at-Talkhis [III/507]. Hadits ini adalah hadits dho’if, seperti telah diterangkan pada pembahasan duduk tasyahud.
Riwayat yang lainnya (kedua): hadits Aisyah:
أن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان لا يزيد في الركعتين على التشهد .
“Bahwa Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam tidak melebihkan bacaan beliau pada duduk tiap dua raka’at selain bacaan tasyahud.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari jalan Abu al-Huwairits dari Aisyah). Al-Haitsami [II/142] mengatakan, “Abu al-Huwairits pada sanad hadits ini adalah Kholid bin al-Huwairits, dia perawi yang tsiqoh.”
Saya katakan: “Kholid yang ini, saya tidak menjumpai seorang pun –ulama hadits– yang menyebutkan kunyah dia adalah Abu al-Huwairits atau kunyah lainnya (Bahkan, dia adalah Abu al-Jauzaa’ sebagaimana tercantum di dalam Musnad Abu Ya’la [4373]. Mungkin beliau keliru membaca perkataan al-Haitsami. Lalu, sekiranya perawi ini adalah dia, maka dia adalah perawi yang majhul. Ibnu Ma’in mengatakan, “Saya tidak mengenalnya.”
Ibnu Adiy mengatakan, “Aapabila Yahya tidak mengenalinya, berarti dia tidak terkenal dan tidak diketahui jati dirinya.”
Sedangkan al-Haitsami dalam mentsiqohkan perawi berpegang dengan pentsiqohan Ibnu Hibban, sedangkan Ibnu Hibban telah terkenal dengan sikap menggampangkan dalam hal itu. Dengan begitu, pernyataan al-Haitsami tidak dapat dijadikan pegangan.
Oleh karena itu, al-Hafidz di dalam at-Taqriib mengatakan, “Dia perawi yang maqbul.” Yaitu Majhul –hal itu beliau terangkan di dalam muqoddimahnya–.
Al-Hafidz lebih mapan di dalam ilmu hadits dan lebih menguasai ilmu-ilmu hadits dibandingkan dengan syaikhnya, yakni al-Haitsami.
Adapun dalil-dalil lain yang dilontarkan oleh ulama yang menolak sholawat pada tasyahud awal, yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim, khusus hanya tertuju pada kalangan syafi’iyah. Karena, mereka membedakan lafadz sholawat kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam yang diucapkan pada tasyahud awal dan tasyahud akhir, baik dari sisi hukumnya maupun jumlah lafadznya. Mereka berpendapat wajibnya ucapan sholawat pada tasyahud akhir, namun tidak pada tasyahud awal. Dan, mereka berpendapat bahwa pada tasyahud awal tidak disyari’atkan menyempurnakan ucapan sholawat hingga akhir, bahkan mereka menganggap makruh tambahan lafadz dari ucapan: (Allohumma sholli ‘alaa muhammad...). Berbeda halnya pada tasyahud akhir, yang mana hal itu tidak dianggap makruh, bahkan dianggap sunnah. Oleh karena itu, ulama yang menyelisihi mereka mendesak mereka untuk menyamakan hukum kedua ucapan sholawat tersebut dan juga jumlah lafadznya serta tata caranya. Ini adalah konsekuensi yang kuat dan tidak mungkin mereka hindari. Karena, dalil masing-masing kedua ucapan itu hanya satu. Dengan begitu, bagaimana mungkin ada indikasi yang membolehkan dibedakannya kedua ucapan sholawat tersebut?! Dari sanalah kami berpendapat bahwa seharusnya lafadz sholawat kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam ini diucapkan secara utuh pada setiap tasyahud, dengan begitu berarti telah mengamalkan perintah ini secara sempurna. Wallohu Ta’ala Huwa al-Muwaffiq.
Kemudian saya mendapati sebuah hadits yang menyebutkan penegasan ucapan sholawat beliau kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam –di dalam masing-masing tasyahud– yang diriwayatkan oleh Abu ‘Awanah [II/324] dan an-Nasaa-i:
وكان صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يصلي على نفسه في التشهد الأول وغيره
“Beliau shollallohu 'alaihi wa sallam mengucapkan sholawat untuk diri beliau sendiri di dalam tasyahud awal dan lainnya.”
Dan inilah yang menjadi mahdzabnya imam asy-Syafi’i sebagaimana beliau telah jelaskan di kitab “al-Umm” (1/144) dan lain-lain ulama yang sefaham dengan beliau seperti imam Ibnu Hazm di kitabnya “Al-Muhalla” (3/272; 4/134), dan imam Ibnul Qayyim di kitab Jalaa-ul Afhaam (hal. 216-217) dan lain-lain ulama. ) Bacalah Nailul Authar (2/324) oleh Asy-Syaukani; Shifatu Shalatin Nabi saw (hal. 177-178) dan Tamaamul Minnah (hal. 224) oleh Syaikh Al-Albani (
Maka barangsiapa yang tidak menyukai (tidak menyunatkan) membaca shalawat di waktu tasyahhud awal, hendaklah ia berikan kepada kami dalil yang shahih dan sharih/tegas. Dan mereka tidak akan mendapatkannya kecuali riwayat yang dhaif dan tidak tegas sebagaimana telah kami
PERHATIAN:
Mencukupkan membaca shalawat di tasyahhud awal dengan ucapan”Allahumma Shalli ‘Ala Ali Muhammad” , kemudian bangkit, tidak ada asalnya dari sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam sepanjang pemeriksaan kami. Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin membacanya, hendaklah ia menyempurnakannya sebagaimana riwayat-riwayat yang tersebut di bab sebelumnya. Kecuali ia sebagai makmum, boleh ia membaca seberapa dapat karena keterkaitannya mengikuti imam. Wallahu A’lam.
[1] Imam Syafi’i berkata, “Bacaan tasyahud dan sholawat atas Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tidak dipisahkan satu dengan lainnya. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Daqiqil Ied dalam kitab Talkhis Al-Habiir, 1/236. Dia dikenal dengan nama Al-Wazir bin Hubairoh Al-Hambali dalam kitab Al-Ifshoh. Begitu pula yang dikutip oleh Ibnu Rajab dalam kitab Zail ath Thobaqot, 1/280 dan hal ini telah menjadi ketetapan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Disalin Oleh Muhammad Syarif
6 syawal 1439 H
19 Juni 208
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~