Senin, 26 Oktober 2020

️20 Hadits Dhaif Dan Maudhu Yang Populer.

Hadist2 yang tidak boleh diamalkan

📋 ️20 Hadits Dhaif Dan Maudhu Yang Populer.

Berikut adalah 20 hadits maudhu dan dhaif yang sering diucapkan oleh orang awam atau bahkan pula para penceramah dan khotib. Semoga kita diberi hidayah oleh Allah dan dijauhkan diri dari kebodohan.

1. Hadits :

الحديث في المسجد يأكل الحسنات كما تأكل البهائم الحشيش

“Bercakap-cakap di masjid itu memakan (menghilangkan) kebaikan sebagaimana hewan ternak memakan rerumputan”

Hadits tidak ada asalnya. 
Lihat :Takhrijul Ihya (1/136), Thabaqot Asy-Syafi’iyyah karya As-Subki (4/145) dan Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/4)

2. Hadits :

اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً واعمل لآخرتك كأنك تموت غداً

“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati esok hari ”

Hadits tidak shahih secara marfu’. 
Lihat : Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/8)

3. Hadits :

صنفان من أمتي إذا صلحا، صلح الناس : الأمراء والفقهاء

“Dua golongan dari umatku, apabila mereka baik maka baik pulalah seluruh manusia, yaitu para penguasa dan para ulama”

Hadits maudhu’ (palsu). 
Lihat : Takhrijul Ihya (1/6) dan Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/16)

4. Hadits :

توسلوا بجاهي فإن جاهي عند الله عظيم

“Bertawassullah dengan jahku (kedudukanku), karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat agung”

Hadits tidak ada asalnya 
Lihat : Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/22)

5. Hadits :

من نام بعد العصر فاختُلس عقله فلا يلومنَّ إلا نفسه

“Barangsiapa yang tidur setelah ashar kemudian akalnya hilang, maka janganlah ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri”

Hadits Maudhu’. 
Lihat : Al-Maudhu’at (3/69), Al-La’ali al-Mashnu’ah (2/279), dan Tartibul Maudhu’at (839)

6. Hadits :

من حج البيت ولم يزرني فقد جفاني

“Barangsiapa berhaji ke Baitullah dan tidak mengunjungiku, sungguh dia telah berlaku tidak sopan padaku”

Hadits maudhu’ 
Lihat : Tartibul Maudhu’at (600) dan Al-Fawaid al-Majmu’ah (326)

7. Hadits :

من حج فزار قبري بعد موتي كان كمن زارني في حياتي

“Barangsiapa berhaji lalu mengunjungi kuburanku setelah matiku, dia seperti mengunjungiku waktu hidupku”

Hadits dhaif. 
Lihat : Qa’idah Jalilah (57), Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/47)

8. Hadits :

اختلاف أمتي رحمة

“Perbedaan pada umatku adalah rahmat”

Hadits Maudhu’. 
Lihat : Al-Asrar al-Marfu’ah (506) dan Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/11)

9. Hadits :

من عَرَفَ نفسهُ فقد عرف ربَّه

“Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhannya”

Hadits maudhu’. 
Lihat : Tanzih Asy-Syariah (2/402) dan Tadzkiratul Maudhu’at (11)

10. Hadits :

الناس كلهم موتى إلا العالمون والعالمون كلهم هلكى إلا العاملون والعاملون كلهم غرقى إلا المخلصون والمخلصون على خطر عظيم

“Seluruh manusia adalah mati kecuali orang-orang yang berilmu, dan semua orang-orang yang berilmu adalah celaka kecuali orang-orang yang beramal, dan semua orang-orang yang beramal adalah tenggelam kecuali orang-orang yang ikhlas dan orang-orang yang ikhlas berada pada bahaya yang besar ”

Hadits Maudhu’ 
Lihat : Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/76)

11. Hadits :

إن لكل شيء قلباً وإن قلب القرآن (يس) من قرأها فكأنما قرأ القرآن عشر مرات

“Segala sesuatu mempunyai hati (inti) dan sesungguhnya hati Alqur'an adalah surat Yaasiin, barangsiapa membacanya, maka bagaikan membaca Alqur'an sebanyak sepuluh kali”

Hadits maudhu’. 
Lihat : Al-‘Ilal Li Ibni Abi Hatim (2/55) dan Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/169)

12. Hadits :

فكرة ساعة خير من عبادة ستين سنة

“Berfikir sesaat lebih baik daripada beribadah selama enampuluh tahun”

Hadits maudhu’. 
Lihat : Tanzih Asy-Syariah (2/305) dan Tartibul Maudhu’at (964)

13. Hadits

صوموا تصحوا

“Berpuasalah kalian, niscaya kalian sehat” 

Hadits dhaif. 
Lihat : Takhrijul Ihya (3/87) dan Tadzkiratul Maudhu’at (70)

14. Hadits :

لولاك ما خلقت الدنيا

“Kalau bukan karena kamu (Muhammad), tidaklah Aku menciptakan dunia”

Hadits maudhu’. 
Lihat : Tartibul Maudhu’at (196) dan Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/282)

15. Hadits :

من قرأ سورة الواقعة في كل ليلة لم تصبه فاقة أبداً

“Barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah pada tiap malam, maka tidak akan tertimpa kefakiran selamanya”

Hadits dhaif .
Lihat : Tanzih Asy

-Syariah (1/301) dan Al-Fawaid al-Majmu’ah (972)

16. Hadits :

من تمسك بسنتي عند فساد أمتي فله أجر مئة شهيد

“Barangsiapa berpegang teguh dengan sunnahku pada waktu rusaknya umatku, maka baginya pahala seratus orang syahid”

Hadits dhaif jiddan .
Lihat : Silsilah al-Ahadits ad-Dhaifah (1/326)

17. Hadits :

أنا ابن الذبيحين

“Aku adalah anak dua orang yang (akan) disembelih”

Hadits tidak ada asalnya .
Lihat : Al-Maqasid al-Hasanah (141)

18. Hadits :

خير الأسماء ما عبِّد وما حمِّد

“Sebaik-baik nama adalah yang disisipkan Abd (=hamba) dan ada Hamd (pujian)nya” 

Hadits maudhu’ .
Lihat : Al-Asrar al-Marfu’ah (192)

19. Hadits :

اطلبوا العلم ولو بالصين

“Tuntutlah ilmu walaupun di negeri China”

Hadits maudhu’ .
Lihat : Tartibul Maudhu’at (111) dan Al-Fawaid al-Majmu’ah (852)

20. Hadits :

شاوروهن - يعني النساء - وخالفوهن

“Bermusyawarahlah dengan mereka (yaitu para istri) dan selisihilah”

Hadits tidak ada asalnya.
Lihat : Tadzkiratul Maudhu’at (128) Al-Asrar al-Marfu’ah (240) 
Wallahu A'lam 

📝 (Abu Maryam Abdusshomad, dinukil dari tulisan Syaikh Ihsan bin Muhammad ‘Ayisy : Miatu Hadits Minal Ahadits ad-Dhaifah Wal Maudhu’ah di situs www.islamtoday.net)

➖✽ஜ🌺🌻🌺🌻🌺🌻🌺ஜ✽➖
Reposted grup wa manhaj salaf

Kamis, 22 Oktober 2020

Membedakan Beberapa Model Doa, Apakah Termasuk Syirik Akbar ataukah Bukan

بسم الله الرحمن الرحیم

Membedakan Beberapa Model Doa, Apakah Termasuk Syirik Akbar ataukah Bukan

Di antara kewajiban kita kaum muslimin adalah memurnikan doa, permohonan, dan permintaan hanya kepada Allah Ta’ala dalam rangka merealisasikan dan mewujudkan tauhid dalam kehidupan. Dan berkaitan dengan ibadah doa tersebut, terdapat beberapa model doa yang harus kita ketahui hukumnya secara rinci, agar kita bisa menyikapi permasalahan tersebut dengan ilmu. Bisa jadi karena kemiripan kasusnya, kita pun menjadi rancu dalam menentukan hukumnya.

Dalam tulisan ini, kami akan membahas tiga

macam (model) doa dan status hukumnya masing-masing

Berdoa dengan model meminta langsung kepada orang shalih yang telah meninggal dunia

Contoh kasusnya adalah seseorang mendatangi kubur orang shalih atau wali yang meninggal dunia dan berdoa, “Wahai wali A, berikanlah aku anak dan lunasilah hutang-hutangku.” Atau dia mendatangi kubur wali B dan berdoa, “Wahai wali B, sembuhkanlah penyakitku.”

Kalau kita melihat teks doanya, jelas-jelas orang tersebut berdoa kepada selain Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika kita bertanya kepada pelakunya, si pelaku akan memberikan dalih atau alasan, “Lafadz doa kami memang demikian, akan tetapi i’tiqad (keyakinan) kami tidaklah demikian. Wali-wali ini kami yakini hanya sebagai perantara dalam doa kepada Allah Ta’ala. Karena kami tidak meyakini bahwa wali-wali tersebut memiliki sifat rububiyyah.”

Inilah dalih atau alasan mereka ketika kita mengingkari ucapan doa mereka di sisi kubur wali yang telah meninggal dunia tersebut.

Lafadz doa semacam ini, tidak lepas dari dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, dia meyakini bahwa wali yang sudah mati tersebut memiliki sifat rububiyyah. Kemungkinan pertama ini bisa kita jumpai pada sebagian orang-orang musyrik jaman sekarang yang berdoa kepada jin atau wali yang sudah mati, karena meyakini bahwa mereka yang dimintai tersebut bisa mengabulkan dan mendatangkan apa yang mereka minta.

Meskipun demikian, kemungkinan pertama ini bukanlah model kemusyrikan pada jaman jahiliyyah sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena model kemusyrikan jaman jahiliyyah adalah kemungkinan ke dua, yaitu:

Kemungkinan ke dua, si pelaku tidak meyakini bahwa wali yang diminta itu memiliki sifat rububiyyah. Akan tetapi, si pelaku meyakini bahwa wali-wali tersebut adalah pemberi syafa’at di sisi Allah Ta’ala, yaitu syafa’at syirkiyyah.

Keyakinan adanya syafa’at syirkiyyah adalah keyakinan bahwa:

Allah Ta’ala tidak akan mengijabahi (mengabulkan) doa orang yang berdoa secara langsung kepada-Nya, namun harus memakai perantara, yaitu si pemberi syafa’at.
Allah Ta’ala itu menjawab doa perantara karena Allah Ta’ala memang membutuhkan perantara (dengan kata lain, Allah Ta’ala membutuhkan makhluk).
Si perantara tersebut memiliki hak yang wajib Allah Ta’ala tunaikan, sebagaimana keadaan orang yang memberi syafa’at di sisi para raja. Misalnya, sang Raja memiliki paman. Maka ketika paman ini menjadi perantara permohonan sebagian rakyat, tentu sang Raja akan mengabulkan permohonan sebagian rakyatnya tersebut, karena kedudukan paman tersebut di sisi Raja, sehingga sang Raja “tidak berani” menolak permintaan pamannya. (Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, hal. 168)
Keyakinan adanya syafa’at syirkiyyah inilah sebab kemusyrikan orang-orang musyrik jahiliyyah. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan. Dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah, “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).” (QS. Yunus [10]: 18)

Perhatikan baik-baik ayat di atas. Orang-orang musyrik dahulu, mereka beribadah kepada selain Allah Ta’ala, tidak beribadah kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, ketika ditanya mengapa mereka berbuat demikian, mereka mengatakan, “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” Artinya, mereka meyakini bahwa sesembahan-sesembahan mereka tersebut adalah perantara yang akan mengantarkan doa dan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala, karena mereka menganggap dirinya sebagai makhluk yang hina yang tidak pantas berdoa langsung kepada Allah Ta’ala.

Dan di akhir ayat, Allah Ta’ala vonis perbuatan mereka tersebut sebagai kemusyrikan syirik akbar. Oleh karena itu, hukum berdoa dengan model pertama ini adalah syirik akbar dengan ijma’ (kesepakatan) ulama, tidak ada khilaf (perselisihan) ulama di dalamnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

فمن جعل الملائكة والأنبياء وسائط يدعوهم ويتوكل عليهم ويسألهم جلب المنافع ودفع المضار مثل أن يسألهم غفران الذنب وهداية القلوب وتفريج الكروب وسد الفاقات فهو كافر بإجماع المسلمين

“Barangsiapa yang menjadikan malaikat dan para Nabi sebagai perantara (dalam ibadah), mereka berdoa kepadanya, bertawakkal kepadanya, meminta kepada mereka untuk mendatangkan manfaat dan mencegah datangnya bahaya, misalnya meminta kepada mereka agar diampuni dosanya, mendapatkan hidayah, menghilangkan kesusahan, atau memenuhi kebutuhan, maka dia telah kafir dengan kesepakatan kaum muslimin.” (Majmu’ Fataawa, 1: 124)

Meminta didoakan oleh orang yang telah meninggal dunia

Model ke dua adalah seseorang mendatangi kubur wali atau kubur orang shalih tertentu, kemudian meminta kepada si mayit agar mendoakan kepada Allah Ta’ala agar hutangnya lunas atau segera punya anak. Misalnya dengan kalimat, “Wahai wali A, mohonkanlah kepada Allah Ta’ala agar Allah Ta’ala memberikan aku anak (momongan).”

Bedakanlah lafadz doa ini dengan lafadz doa pada model pertama.

Berbeda dengan model pertama yang hukumnya syirik akbar, berdoa dengan model ke dua ini (meminta didoakan oleh orang yang telah meninggal dunia) diperselisihkan oleh ulama, apakah termasuk syirik akbar ataukah bukan. Sebagian ulama menilai syirik akbar. Di antara ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh hafidzahullahu Ta’ala [1]. Sebagian ulama yang lain menilai bahwa perbuatan ini belum sampai derajat syirik akbar, akan tetapi sarana menuju syirik akbar.

Pendapat ke dua inilah yang –insyaa Allah- lebih tepat, yaitu bahwa doa dengan model semacam ini adalah wasilah (sarana) menuju syirik akbar dan bid’ah dalam doa, belum sampai derajat syirik akbar, kecuali diiringi dengan i’tiqad syafa’at syirkiyyah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz dan juga Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahumullahu Ta’ala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ وَالصَّالِحُونَ وَإِنْ كَانُوا أَحْيَاءً فِي قُبُورِهِمْ وَإِنْ قُدِّرَ أَنَّهُمْ يَدْعُونَ لِلْأَحْيَاءِ وَإِنْ وَرَدَتْ بِهِ آثَارٌ فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَطْلُبَ مِنْهُمْ ذَلِكَ وَلَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ لِأَنَّ ذَلِكَ ذَرِيعَةٌ إلَى الشِّرْكِ بِهِمْ وَعِبَادَتِهِمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ تَعَالَى؛ بِخِلَافِ الطَّلَبِ مِنْ أَحَدِهِمْ فِي حَيَاتِهِ فَإِنَّهُ لَا يُفْضِي إلَى الشِّرْكِ

“Demikian pula para Nabi dan orang-orang shalih, meskipun mereka hidup di kubur-kubur mereka. Jika diandaikan bahwa mereka bisa mendoakan orang-orang yang masih hidup dan seandainya terdapat riwayat tentang masalah ini, tidak boleh bagi seorang pun untuk minta doa dari mereka yang telah mati (agar mendoakan mereka kepada Allah Ta’ala). Ini satu hal yang tidak pernah dilakukan oleh satu pun dari ulama salaf, karena perbuatan itu merupakan sarana menuju kemusyrikan dan beribadah kepada mereka, yaitu selain Allah Ta’ala. Hal ini berbeda dengan perbuatan meminta kepada mereka agar berdoa kepada Allah Ta’ala ketika mereka masih hidup, maka perbuatan ini tidak mengantarkan kepada kemusyrikan.” (Majmu’ Fatawa, 1: 330)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata,

أَنْ يُقَالَ لِلْمَيِّتِ أَوْ الْغَائِبِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ: اُدْعُ اللَّهَ لِي أَوْ اُدْعُ لَنَا رَبَّك أَوْ اسْأَلْ اللَّهَ لَنَا كَمَا تَقُولُ النَّصَارَى لِمَرْيَمَ وَغَيْرِهَا فَهَذَا أَيْضًا لَا يَسْتَرِيبُ عَالِمٌ أَنَّهُ غَيْرُ جَائِزٍ وَأَنَّهُ مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي لَمْ يَفْعَلْهَا أَحَدٌ مِنْ سَلَفِ الْأُمَّةِ

“Atau dikatakan kepada mayit atau orang yang ghaib (hidup namun di lain tempat), baik dari kalangan Nabi atau orang shalih, “Berdoalah kepada Allah Ta’ala untukku” atau “Berdoalah kepada Rabb-mu untuk kami” atau “Mintalah kepada Allah Ta’ala untuk kami”, sebagaimana yang diucapkan oleh orang-orang Nashrani kepada Maryam atau yang lainnya. Maka perbuatan semacam ini tidaklah diragukan oleh orang yang berilmu bahwa perbuatan ini tidaklah diperbolehkan, karena termasuk bid’ah (dalam doa) yang tidak pernah dilakukan oleh satu pun ulama salaf.” Majmu’ Fatawa, 1: 351)

Ketika memberikan catatan (komentar) perkataan Ibnu Hajar di Fathul Baari,

فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا

“Maka datanglah seseorang ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, mintalah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa.”

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahumullahu Ta’ala berkata,

وأن ما فعله هذا الرجل منكر ووسيلة الى الشرك , بل قد جعله بعض أهل العلم من أنواع الشرك

“Sesungguhnya apa yang diperbuat oleh orang itu adalah sebuah kemungkaran dan sarana menuju syirik. Bahkan sebagian ulama menilainya termasuk dalam kemusyrikan.” (Ta’liq Fathul Baari oleh Ibnu Baaz, 2: 49)

Perkataan Syaikh Ibnu Baaz di atas jelas menunjukkan bahwa beliau menilai bahwa perbuatan tersebut adalah sarana kemusyrikan (alias belum sampai derajat syirik akbar), tanpa menutup mata adanya khilaf ulama dalam masalah ini, di mana sebagian ulama menilai bahwa perbuatan tersebut adalah syirik akbar.

Namun, terdapat perincian dalam masalah dengan melihat jarak antara orang yang berdoa tersebut dengan kubur si mayit, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Bakr bin ‘Abdullah Abu Zaid rahimahullahu Ta’ala [1]. Yaitu, jika jaraknya jauh, maka ini termasuk syirik akbar karena adanya keyakinan bahwa si mayit tersebut mengetahui atau mendengar aktivitas doa orang yang meminta tolong agar didoakan (mengetahui hal yang ghaib). Namun jika jaraknya dekat (dia berada di sisi kubur langsung), sebagaimana perbuatan para pemuja (pengagung) kubur, maka ini termasuk bid’ah dan bukan syirik akbar, kecuali jika diiringi dengan i’tiqad syafa’at syirkiyyah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.

Berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebut pangkat dan kemuliaaan orang shalih tertentu

Model ke tiga adalah berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan pangkat, kedudukan, dan kemuliaan orang shalih. Misalnya berdoa dengan lafadz, “Ya Allah, dengan kemuliaan Nabi-Mu di sisi-Mu, berilah aku anak (momongan).”

Atau lafadz lainnya, “Ya Allah, dengan kemuliaan Imam Asy-Syafi’i, ampunilah dosa-dosaku, mudahkanlah urusanku, dan berikanlah aku momongan.”

Untuk doa model ke tiga ini, status hukumnya adalah tawassul bid’iyyah (tawassul dalam doa yang statusnya bid’ah), dan bukan kemusyrikan, kecuali jika diiringi dengan i’tiqad syafa’at syirkiyyah.

Kita katakan sebagai bid’ah, karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dikenal pada jaman sahabat radhiyallahu Ta’ala ‘anhum. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا ، قَالَ: فَيُسْقَوْنَ

“Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika kaum muslimin tertimpa musibah, ia meminta hujan dengan bertawassul kepada ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib seraya berdo’a, “Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan untuk kami.” Anas berkata, “Mereka pun kemudian mendapatkan hujan.” (HR. Bukhari no. 1010 dan 3710)

Hadits ini berkaitan dengan musim kemarau panjang yang terjadi di jaman ‘Umar bin Khaththab. Lalu ‘Umar mendatangi paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau berdoa kepada Allah Ta’ala supaya diturunkan hujan.

Sehingga yang dimaksud dengan “bertawassul kepada ‘Abbas paman Nabi” adalah bertawassul dengan doa ‘Abbas kepada Allah Ta’ala, yaitu ‘Umar meminta ‘Abbas (yang masih hidup) untuk berdoa kepada Allah Ta’ala meminta diturunkan hujan.

“Bertawassul kepada ‘Abbas paman Nabi” tidaklah maksudnya bertawassul dengan dzat dan kedudukan (jah) beliau. Jika yang dimaksud dengan “tawassul kepada ‘Abbas” adalah tawassul dengan menyebutkan dzat dan kedudukan (jah) ‘Abbas, maka ‘Umar tentu akan lebih memilih untuk tawassul dengan dzat dan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, daripada bertawassul dengan ‘Abbas. Karena kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu terus langgeng (tetap ada) meskipun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, sebagaimana kedudukan yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam miliki ketika masih hidup. Sehingga kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu lebih utama dibandingkan dengan kedudukan paman beliau, ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib.

Jika tawassul dengan jah (kedudukan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan, dan merupakan sebab terkabulnya doa, niscaya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan perintahkan kepada kita serta memotivasi kita semua untuk mengamalkannya. Hal ini menunjukkan bahwa tawassul dengan menyebutkan jah (kedudukan) orang shalih tidaklah dikenal di jaman sahabat radhiyallahu Ta’ala ‘anhum.

Adapun hadits berikut ini,

توسلوا بجاهي فإن جاهي عند الله عظيم

“Bertawassul-lah kalian dengan jah-ku, karena sesungguhnya jah-ku di sisi Allah adalah agung.”

adalah hadits yang batil, tidak memiliki asal usul di kitab-kitab hadits.

--------
Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Catatan kaki:

[1] Teks asli dan terjemah perkataan Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh hafidzahullahu Ta’ala dan Syaikh Bakr bin ‘Abdullah Abu Zaid rahimahullahu Ta’ala dapat dibaca di tulisan berikut ini:

https://ayobelajartauhid.wordpress.com/2018/07/03/berdoa-kepada-makhluk/

SAUDARAKU HATI-HATILAH KESESATAN TASAWWUF bag 5

SAUDARAKU HATI-HATILAH KESESATAN TASAWWUF bag 5

Ujung jalan tasawuf adalah klenik perdukunan. 

Pengikut tasawuf pemula mungkin belum menyadari, namun semakin dalam meniti jalan tasawuf semakin jatuh dalam bidah, syirik khurafat, hanya pertolongan Allah semata yang dapat mengeluarkan dari kesesatan jika antum sudah terperosok jauh, karena semakin dalam tercebur dalam tasawuf segala khurafat akan diyakini benar, segala dalil palsu diyakini sahih ,dan kesyirikan dianggap kewajaran dan klenik perdukunan dianggap ilmu hikmah karomah wali. 

Salah satu penyebab tertipu jalan tasawuf sebab tasawuf di ajarkan oleh kyai-kyai terkenal dan kajian  pesantren terkenal beraliran tasawuf  , didukung  banyak  habaib adalah dai penyeru tasawuf, sebagai orang awam tidak mungkin mengira pesantren dan kyai mengajarkan penyimpangan apalagi kesyirikan .Namun  siapa sangka menuntut ilmu dari pesantren beraliran  tasawuf belajar ilmu kesyirikan berupa  rajah-rajah berlafaz huruf arab,keyakinan syirik  ,mengamalkan amalan perdukunan dengan istilah ilmu hikmah demi tujuan mendapatkan kemampuan klenik supranatural  ? ..bukankah ilmu perdukununan syirik tetap syirik meskipun pelakunya berpeci atau bersurban. ...naudzubillah 

Begitu pula tasawuf yang diajarkan dalam  tarekat-tarekat berbungkus penyucian jiwa   ujung-ujungnya mengejar tingkat kasyaf agar dapat mencapai derajat wali berkaromah  dengan mengamalkan zikir-zikir bidah dan cara-cara menyimpang ,dianggap sudah mencapai derajat kasyaf jika ditandai kemampuan klenik berinteraksi dengan makhluk astral,bagaimana mungkin jin dan setan yang dinyatakan musuh manusia justru ketika bertasawuf malah berinteraksi dengannya?

KERUGIAN TIDAK BERTAUBAT DARI  SYIRIK 

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن مات لا يشركُ باللهِ شيئًا دخل الجنةَ ، ومَن مات يشركُ باللهِ شيئًا دخل النارَ
“Barangsiapa yang mati, tanpa berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, ia masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan membawa dosa syirik, maka ia masuk neraka” (HR. Muslim no. 93).

Barakallah fikum Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. 

✍Hanaandhiya Assalafy 
📚meniti jalan salafushaleh 
📚yuk bertaubat dari ajaran bidah syirik khurafat 
📚teguh diatas manhaj salafushaleh

Rabu, 21 Oktober 2020

TATKALA ISTRI DURHAKA / BERBUAT NUSYUZ

TATKALA ISTRI DURHAKA / BERBUAT NUSYUZ

By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc -23 March 2012

Setelah kita mengetahui apa saja kewajiban istri, begitu pula kewajiban suami, barangkali ketika menjalani rumah tangga sering ada cek-cok, masalah, dan keributan. Sampai-sampai istri berbuat nusyuz atau melakukan pembangkangan. Terutama karena tidak memperhatikan kewajiban masing-masing dan seringnya menuntut hak. Akhirnya keributan pun terjadi. Islam sudah mengetahui akan terjadi masalah semacam ini dan Islam berusaha memberikan solusi terbaik, supaya rumah tangga tetap utuh. Jangan sampai istri berbuat melampaui batas, begitu pula suami ketika menyikapi istri.

Apa itu  Nusyuz?

Nusyuz secara bahasa berarti tempat yang tinggi (menonjol). Sedangkan secara istilah nusyuz berarti istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud nusyuz adalah wanita keluar dari rumah suaminya tanpa ada alasan yang benar.

Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang wajib kepada suami. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 284). Ringkasnya, nusyuz adalah istri tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajibannya. Silakan merujuk kembali pada bahasan kewajiban istri.

Hukum Nusyuz

Nusyuz wanita pada suami adalah haram. Karena wanita nusyuz yang tidak lagi mempedulikan nasehat, maka suami boleh memberikan hukuman. Dan tidaklah hukuman ini diberikan melainkan karena melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Mengenai hukuman yang dimaksud disebutkan dalam ayat,

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).

Mengobati Istri yang Nusyuz

Jika wanita terus bermuka masam di hadapan suami, padahal suami sudah berusaha berwajah seri; berkata dengan kata kasar, padahal suami sudah berusaha untuk lemah lembut;  atau ada nusyuz yang lebih terang-terangan seperti selalu enggan jika diajak ke ranjang, keluar dari rumah tanpa izin suami, menolak bersafar bersama suami, maka hendaklah suami menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan yang telah dituntukan oleh Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Urutannya dimulai dari hal berikut ini:

1. Memberi nasehat

Hendaklah suami menasehati istri dengan lemah lembut. Suami menasehati istri dengan mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat pada suami dan tidak menyelisihinya. Ia pun mendorong istri untuk taat pada suami dan memotivasi dengan menyebutkan pahala besar di dalamnya. Wanita yang baik adalah wanita sholehah, yang taat, menjaga diri meski di saat suami tidak ada di sisinya. Kemudian suami juga hendaknya menasehati istri dengan menyebutkan ancaman Allah bagi wanita yang mendurhakai suami.

Ancaman-ancaman mengenai istri yang durhaka telah disebutkan dalam bahasan kewajiban istri.

Jika istri telah menerima nasehat tersebut dan telah berubah, maka tidak boleh suami menempuh langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (QS. An Nisa’: 34).

Namun jika nasehat belum mendapatkan hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.

2. Melakukan hajr

Hajr artinya memboikot istri dalam rangka menasehatinya untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah inilah yang disebutkan dalam lanjutan ayat,

وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ

“Dan hajarlah mereka di tempat tidur mereka” (QS. An Nisa’: 34).

Mengenai cara menghajr, para ulama memberikan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauzi:

Tidak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh
Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
Pisah ranjang (Lihat Zaadul Masiir, 2: 76).
Cara manakah yang kita pilih? Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi istri ketika hajr.

Namun catatan penting yang perlu diperhatikan, tidak boleh seorang suami memboikot istri melainkan di rumahnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya mengenai kewajiban suami pada istri oleh Mu’awiyah Al Qusyairi,

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih). Karena jika seorang suami melakukan hajr di hadapan orang lain, maka si wanita akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah nusyuz.

Namun jika melakukan hajr untuk istri di luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hajr terhadap istri-istri  beliau di luar rumah selama sebulan.

Juga perlu diperhatikan bahwa hajr di sini jangan ditampakkan di hadapan anak-anak karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak atau menjadi anak yang broken home yang terkenal amburadul dan nakal.

Berapa lama masa hajr?

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa masa hajr maksimal adalah empat bulan. Namun yang lebih tepat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah bahwa masa hajr adalah sampai waktu istri kembali taat (tidak nusyuz). Karena dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak, maka kita pun mengamalkannya secara mutlak dan tidak dibatasi.

Namun jumhur ulama berpandangan bahwa jika hajr yang dilakukan adalah dengan tidak berbicara pada istri, maka maksimal hajr adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan nusyuz karena suami bisa melakukan cara hajr yang lain. Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ

“Tidak halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara) lebih dari tiga hari” (HR. Bukhari no. 6076 dan Muslim no. 2558).

Jika tidak lagi bermanfaat cara kedua ini, maka ada langkah berikutnya.

3. Memukul istri

Memukul istri yang nusyuz dalam hal ini dibolehkan ketika nasehat dan hajr tidak lagi bermanfaat. Namun hendaklah seorang suami memperhatikan aturan Islam yang mengajarkan bagaimanakah adab dalam memukul istri:

a.  Memukul dengan pukulan yang tidak membekas

Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,

وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).

Jika seorang suami memukul istri layaknya petinju –Mike Tyson-, maka ini bukanlah mendidik. Sehingga tidak boleh pukulan tersebut mengakibatkan patah tulang, memar-memar, mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak.

b. Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan, sebagaimana pendapat madzhab Hambali. Dalilnya disebutkan dalam hadits Abu Burdah Al Anshori, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ

“Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah” (HR. Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).

c. Tidak boleh memukul istri di wajah

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ

“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

“Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

d. Yakin bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi. Jika tidak demikian, maka tidak boleh dilakukan.

e. Jika istri telah mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).

Demikian beberapa solusi yang ditawarkan oleh Islam. Jika solusi yang ditawarkan di atas tidaklah bermanfaat, maka perceraian bisa jadi sebagai jalan terakhir. Mudah-mudahan Allah memudahkan untuk membahas hal ini. Semoga Allah memberi kemudahan demi kemudahan.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.

Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 30 Rabi’uts Tsani 1433 H

www.rumaysho.com

Minggu, 18 Oktober 2020

AHLUSUNNAH, AQIDAH DAN AKHLAK

Ⓜ️edia Hijrah Salaf

AHLUSUNNAH, AQIDAH DAN AKHLAK

Bismillah

Ahlussunah paling mengerti kedudukan akhlak dalam agama. Ahlussunah menempatkan urusan akhlak di maqam yang tinggi. 

Lihat bagaimana Ibnu Taimiyyah memaparkan masalah akhlak dan penyucian jiwa di bagian akhir risalah Aqidahnya, al-Waasithiyyah. 
Bacalah bagaimana ash-Shaabuuni menutup kitab aqidahnya, Aqiidatus Salaf wa Ash-haabil Hadiits, dengan pembahasan akhlak dan penyucian jiwa. 

Lihat bagaimana hal serupa juga dilakukan oleh; al-Ismaa'iily dalam I'tiqood A-immatil Hadiits, al-Muzani dalam Syarhus Sunnah, dan  Ibnu Bathtah dalam al-Ibaanatu ash-Shughraa.
 Itu semua adalah kitab-kitab aqidah, namun di bagian akhir kitab, mereka berbicara tentang akhlak dan pentingnya kesucian jiwa, kesucian lahir dan batin. Karena memang, akhlak tidak bisa dipisahkan dari aqidah shahihah.

Renungkan bagaimana Allah menyifatkan orang yang menghardik anak yatim sebagai orang yang mendustakan agama (yukadz-dzibu bid-diin) dalam Surat al-Ma'un. 

Renungkan juga bagaimana Allah menyifati orang yang tidak mendorong selainnya untuk memberi si miskin makan sebagai orang yang tidak beriman kepada Allah (QS. al-Haqqoh: 33-34). Ini semua menunjukkan keterikatan hubungan antara aqidah dan akhlak yang sangat kuat di mata Islam.

Sebaliknya, jangan sampai salah kaprah. Aqidah shahihah juga tidak bisa dilepaskan dari akhlak. Simak ungkapan indah dari Syaikh Prof. Dr. Shaalih Sindi berikut ini. Beliau sampaikan kalimat ini di akhir kajian beliau membahas kitab al-'Aqiidah al-Waasithiyyah:

يظن بعض الناس أن الصلابة في السنة والاتباع لمنهج السلف الصالح ملازم لشراسة الخلق وبذاءة اللسان ! وحاشا وكلا ، بل كلما كان الإنسان أصلب في السنة وأعظم اتباعا لمنهج السلف الصالح كان أكثر الناس أخذا بمحاسن الأخلاق ومعالي الأمور واتباعا للرفق ، حتى وإن هجر أو زجر أو رد فإنه لا يمكن أن يتخلى عن آدابه ورفقه وأخلاقه ؛ لأن المتبع للسلف الصالح حقاً أحرص الناس على هداية الخلق ، لذا هو يبذل ما يستطيع في سبيل هدايتهم ، فهو أعلم بالحق وأرحم بالخلق

"Sebagian orang menyangka bahwasanya ketegaran di dalam sunnah dan mengikuti manhaj as-Salafus Shaalih, mengharuskan akhlak yang buruk dan lisan yang keji. Sama sekali tidak..!! Bahkan semakin seseorang tegar di dalam sunnah dan semakin besar ittiba'nya pada manhaj salaf, maka semakin agung pula akhlak, keluhuran adab, dan kelembutannya. Bahkan pun di saat dia memboikot, men-tahdziir, dan membantah (penyimpangan), dia tidak mungkin lepas dari adab, kelembutan, dan akhlaknya. 
Sebab pengikut as Salafus Shaalih yang sejati, mereka adalah orang yang paling antusias menginginkan hidayah bagi manusia. Untuk itu, mereka menempuh segala jalan (syar'i) yang mereka mampu tempuh demi mewujudkan hidayah tersebut untuk mereka. Ahlussunnah adalah yang paling mengenal kebenaran, dan paling welas asih kepada manusia."

Alhasil, KELUHURAN AKHLAK adalah BUAH PASTI DARI AQIDAH YANG LURUS DAN TULUS.
Keduanya tidak bisa dipisahkan. Semakin kuat aqidah seseorang di atas aqidah dan manhaj yang haq, semakin agung pula akhlaknya, tambah menjulang pula keluhuran adabnya. 

Akhlak yang buruk adalah indikasi kuat; masih adanya cacat dalam aqidah atau masih ada noktah pada tauhid seseorang. Menampakkan akhlak yang baik namun memendam aqidah yang busuk, adalah sebingkai kemunafikan, akhlaknya jadi tak berarti, sia-sia belaka. Lambat laun, bau busuknya akan tercium juga.

Wallahu a'lam.

Johan Saputra Halim hafidzhahullah

 📎Sunnah dijaga dengan kebenaran, kejujuran, dan keadilan bukan dengan kedustaan dan kedhaliman."
(Ibnu Taimiyyah rahimahullah)

Kamis, 15 Oktober 2020

10 PEMBATAL KEISLAMAN

10 pembatal keislaman 
1✅syirik 
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48).

 2✅menjadikan kuburan orang sholih sebagai perantara agar doanya cepat dikabulkan 
“Dan orang-orang yang kamu berdoa
 (menyeru/sembah) selain Allâh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu berdoa atau menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. 
(Fâthir/35: 13-14)

✅Menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dirinya dengan Allah
 (Subhanahu wa Ta’ala), meminta do’a dan syafaat serta bertawakkal ( berserah diri ) 
kepada perantara tersebut.
Orang yang melakukan hal itu, menurut ijma’ ulama ( kesepakatan) para ulama, adalah kafir.

3✅ tidak mengkafirkan orang kafir 
Yang bukan islam itu kafir 
dukun
Atau pelaku kesyirikan menyembah selain Allah ta ala 
Juga kafir
Artinya  yang bukan islam namanya kafir

✅Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih." (Al-Maidah: 73).

✅Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik
 (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6)

4)✅Meyakini Hukum Manusia Lebih Baik Dari Pada Hukum Allāh dan Nabi
Hal tersebut dikarenakan orang yang menyangka bahwa ada hukum yang lebih baik dari pada hukum Nabi, telah menyangkal sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam:
وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ
“Sebaik-baik petunjuk, jalan, hukum, adalah yang dituntunkan oleh Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam” (HR. Muslim 867)

✅Syaikh Bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa seorang telah melakukan kekafiran dengan keyakinan seperti ini, ketika ia menyangka bahwa hukum buatan manusia itu lebih baik, atau sama baiknya dengan Hukum Islam, serta menganggap berhukum dengan hukum tersebut dibolehkan.

✅Adapun seorang yang masih beranggapan bahwa berhukum dengan hukum manusia tidak diperbolehkan, atau menganggap bahwa Hukum Islam tetap lebih baik, tapi karena suap, atau karena paksaan penguasa ia menggunakan hukum manusia, maka ia tidak kafir. (Majmu’ Fatawa (28/269))

✅Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. 
(QS. Al-Maaidah : 44)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
✅Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik
. (QS. Al-Maaidah : 47)

✅seharusnya yang mencuri harus dipotong tangannya 
Yang membunuh juga dihukum hal yang sama
Dikarenakan negara kita tercinta ini tidak 
Menerapkan itu maka yang kita lakukan adalah 
Mengingkari dalam hati 
Selemah lemahnya iman adalah mengingkari dalam hati 

5✅ :Tidak senang dan membenci hal-hal yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun ia melaksanakannya, maka ia telah kafir.
Yaitu orang yang marah, murka, atau benci terhadap apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun ia melakukannya, maka ia telah kafir.

✅Allah Subhanahu wa Ta’ala) telah berfirman :
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُ
Artinya :Demikian itu adalah dikarenakan mereka benci terhadap apa yang di turunkan oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala), maka Allah (Subhanahu wa Ta’ala) menghapuskan (pahala ) segala amal perbuatan mereka”.
 ( Muhammad : 9)

✅Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka." (Muhammad:8-9)

6✅menghina membenci 
 alquran dan as sunnah 
Memperolok–olok sesuatu dari ajaran Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi Wassalam), atau memperolok – olok pahala maupun siksaan yang telah menjadi ketetapan agama Allah (Subhanahu wa Ta’ala), maka orang yang demikian menjadi kafir, karena Allah (Subhanahu wa Ta’ala) telah berfirman :

💌Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu 
selalu berolok-olok?” 
 Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.
 (QS. At-Taubah : 65 – 66)

Contoh membenci celana cingkrang 
Membenci menolak hadits tentang bid ah dll
Kami tidak mengkafirkan siapapun kecuali jelas kekafirannya

7✅Melakukan Sihir
Sihir adalah salah satu perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang berbuat sihir maka sungguh ia telah melakukan perbuatan syirik yang mengeluarkan dirinya dari agama Islam. Allah ta’ala berfirman :

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. 
(QS. Al-Baqarah : 102)7)

8✅:Membantu dan menolong orang – orang musyrik untuk memusuhi kaum muslimin. Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman:

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Artinya : “ Dan barang siapa diantara kamu mengambil mereka (Yahudi dan Nasrani ) menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang tersebut termasuk golongan mereka. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang zhalim
” .( Al- Maidah: 51)

9✅menyatakan bolehnya keluar dari syariat islam barang siapa yang menganggap bahwa manusia dibebaskan memilih syari’at semaunya sendiri, atau membolehkan keluar dari syar’at Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam maka sungguh ia telah kafir. Allah ta’ala berfirman :
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
 (QS. Ali Imran : 85)

10✅berpaling dari agama Allah 
Berpaling dari Agama Allah, Tidak Mau Mempelajari, dan Tidak Mau Mengamalkannya
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa. (QS. As-Sajadah : 22)

💌Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kita telah mengetahui bahwa 10 pembatal islam tersebut wajib kita jauhi. Barang siapa yang melakukan 10 pembatal islam tersebut walaupun hanya salah satunya maka ia telah membatalkan keislamannya atau murtad dan keluar dari agama Islam. Meskipun demikian, kita tidak boleh menuduh atau memvonis kafir secara sembarangan kepada saudara kita yang kita saksikan bahwa ia adalah seorang muslim.

Disusun oleh Humaira Medina

PERINGATAN MAULUD NABI DALAM TINJAUAN SEJARAH

Nyimpen disini
بسم الله الرحمن الرحيم
*PERINGATAN MAULUD NABI DALAM TINJAUAN SEJARAH*

.
Maulud Nabi dalam Tinjauan Sejarah
Tanggal 12 Rabi’ul Awal telah menjadi salah satu hari istimewa bagi sebagian kaum muslimin. Hari ini dianggap sebagai hari kelahiran Nabi akhir zaman, sang pembawa risalah penyempurna, Nabi agung Muhammad shallallahu alaihi wa ‘alaa alihi wa sahbihi wa sallam. Perayaan dengan berbagai acara dari mulai pengajian dan dzikir jamaah sampai permainan dan perlombaan digelar untuk memeriahkan peringatan hari yang dianggap istimewa ini. Bahkan ada di antara kelompok thariqot yang memperingati maulid dengan dzikir dan syair-syair yang isinya pujian-pujian berlebihan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Yang paling ekstrim, diantara mereka ada yang meyakini bahwa ruh Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang mulia akan datang di puncak acara maulid. Pada saat puncak acara itulah, sang pemimpin thariqot tersebut memberikan komando kepada peserta dzikir untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan ruh Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam yang hanya diketahui oleh pemimpin thariqot.
Itulah salah satu sisi kelam adanya peringatan maulid, yang sejatinya bukan ajaran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. selanjutnya, kita berpindah tinjauan sejarah untuk maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.

💠 *KAPANKAH NABI SHALALLAHU'ALAIHI WA SALLAM DILAHIRKAN?*

Pada hakikatnya para ahli sejarah berselisih pendapat dalam menentukan sejarah kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, terutama yang terkait dengan bulan, tanggal, hari, dan tempat di mana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dilahirkan.

➡️ Pertama : Bulan kelahiran
Pendapat yang paling masyhur, beliau dilahirkan di bulan Rabi’ul Awal. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Bahkan dikatakan oleh Ibnul Jauzi sebagai kesepakatan ulama. Klaim ijma’ ini tidak benar. Karena banyak pendapat lain yang menegaskan di luar Rabi’ul Awal.
Diantara pendapat lainnya, beliau dilahirkan di bulan Safar, Rabi’ul Akhir, dan bahkan ada yang berpendapat beliau dilahirkan di bulan Muharram tanggal 10 (hari Asyura). Kemudian sebagian yang lain berpendapat bahwa beliau lahir di bulan Ramadlan. Karena bulan Ramadlan adalah bulan di mana beliau mendapatkan wahyu pertama kali dan diangkat sebagai nabi. Pendapat ini bertujuan untuk menggenapkan hitungan 40 tahun usia beliau shallallahu ‘alahi wa sallam ketika beliau diangkat sebagai nabi. Sebagaimana keterangan Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu ,
ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻴﺲ ﺑﺎﻟﻄﻮﻳﻞ ﺍﻟﺒﺎﺋﻦ ﻭﻻ ﺑﺎﻟﻘﺼﻴﺮ … ﺑﻌﺜﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﺱ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﺳﻨﺔ ﻓﺄﻗﺎﻡ ﺑﻤﻜﺔ ﻋﺸﺮ ﺳﻨﻴﻦ
“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak terlalu tingi dan tidak pendek….. Allah mengutusnya di awal usia 40 tahun. Kemudian tinggal di Mekah selama 10 tahun.” (HR. Bukhari & Muslim).

➡️ Kedua : Tanggal kelahiran
Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari senin. Kemudian beliau menjawab: “Hari senin adalah hari dimana aku dilahirkan dan pertama kali aku mendapat wahyu.” Akan tetapi para ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal berapa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dilahirkan. Di antara pendapat yang disampaikan adalah: Hari senin Rabi’ul Awal (tanpa ditentukan tanggalnya), tanggal 2 Rabi’ul Awal, tanggal 8, 10, 12, 17 Rabiul Awal, dan 8 hari sebelum habisnya bulan Rabi’ul Awal.

⭕ Pendapat yang lebih kuat
Berdasarkan penelitian ulama ahli sejarah Muhammad Sulaiman Al-Mansurfury dan ahli astronomi Mahmud Basya, disimpulkan bahwa hari senin pagi yang bertepatan dengan permulaan tahun dari peristiwa penyerangan pasukan gajah dan 40 tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan atau bertepatan dengan 20 atau 22 april tahun 571, hari senin tersebut bertepatan dengan tanggal 9 Rabi’ul Awal. (ar-Rahiqum al-Makhtum , al-Mubarakfuri).

💠 *TANGGAL WAFATNYA BELIAU*

Para ulama ahli sejarah menyatakan bahwa beliau meninggal pada hari senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H dalam usia 63 tahun lebih empat hari. ( ar-Rahiqum al-Makhtum , al-Mubarakfuri).
Satu catatan penting yang perlu kita perhatikan dari dua kenyataan sejarah di atas. Antara penentuan tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan tanggal wafatnya beliau shallallahu ‘alahi wa sallam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa para ulama tidak banyak memberikan perhatian terhadap tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Karena penentuan kapan beliau dilahirkan sama sekali tidak terkait dengan hukum syari’at.
Beliau dilahirkan tidak langsung menjadi nabi, dan belum ada wahyu yang turun di saat beliau dilahirkan. Beliau baru diutus sebagai seorang nabi di usia 40 tahun lebih 6 bulan. 
Hal ini berbeda dengan hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seolah para ulama sepakat bahwa hari wafatnya beliau adalah tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H. Hal ini karena wafatnya beliau berhubungan dengan hukum syari’at. Wafatnya beliau merupakan batas berakhirnya wahyu Allah yang turun. Sehingga tidak ada lagi hukum baru yang muncul setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.

Sehingga ada satu pertanyaan yang layak kita renungkan, tanggal 12 Rabi’ul Awal itu lebih dekat sebagai tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam ataukah tanggal wafatnya Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam?? Melihat pendekatan ahli sejarah di atas, tanggal 12 Rabi’ul Awal lebih dekat dengan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam masalah tanggal kelahiran, para ulama ahli sejarah berselisih pendapat, sementara dalam masalah wafatnya penulis ar-Rahiqum al-Makhutm tidak menyebutkan adanya perselisihan.
Memahami hal ini, setidaknya kita bisa renungkan, tanggal 12 Rabi’ul Awal yang diperingati sebagai hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pada hakikatnya lebih dekat pada peringatan hari wafatnya Nabi yang mulia Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam dibanding peringatan hari kelahiran beliau.
As-Suyuthi menyebutkan keterangan Abu Amr bin al-Alla’ (w. 154 H)
ﻭﻟﻘﺪ ﺃﺣﺴﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻮ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻼﺀ ﺣﻴﺚ ﻳﻘﻮﻝ : ﻻ ﻳﺰﺍﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺨﻴﺮ ﻣﺎ ﺗﻌﺠﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺠﺐ – ﻫﺬﺍ ﻣﻊ ﺃﻥ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﻭﻟﺪ ﻓﻴﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻫﻮ ﺭﺑﻴﻊ ﺍﻷﻭﻝ ﻫﻮ ﺑﻌﻴﻨﻪ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﻮﻓﻲ ﻓﻴﻪ، ﻓﻠﻴﺲ ﺍﻟﻔﺮﺡ ﺑﺄﻭﻟﻰ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺰﻥ ﻓﻴﻪ
Sungguh benar yang dinyatakan Imam Abu Amr bin al-Alla’, beliau mengatakan, “Masyarakat akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka masih merasa terheran. Mengingat bulan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rabiul Awal, yang ini juga merupakan bulan wafatnya beliau. Sementara bergembira di bulan ini karena kelahirannya, tidak lebih istimewa dari pada bersedih karena wafatnya beliau. (al-Hawi Lil Fatawa, 1/190).

Dengan membaca ini, barangkali anda akan teringat dengan sikap kaum nasrani terhadap nabi Isa ‘alahis salam . Mereka menetapkan tanggal 25 Desember sebagai peringatan kelahiran Isa. Mereka beranggapan bahwa itu adalah tanggal kelahiran Yesus. Padahal sejarah membuktikan bahwa Yesus tidak mungkin dilahirkan di bulan Desember. Karena mereka sendiri-pun pada hakikatnya tidak memiliki bukti yang nyata tentang natalan (peringatan kelahiran nabi Isa). Tidak dari sejarah, tidak pula dari kitabnya.

💠 *SEJARAH MUNCULNYA PERINGATAN MAULID*

Disebutkan para ahli sejarah bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid adalah kelompok Bathiniyah, yang mereka menamakan dirinya sebagai bani Fatimiyah dan mengaku sebagai keturunan Ahli Bait (keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam). Disebutkan bahwa kelompok batiniyah memiliki 6 peringatan maulid, yaitu maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maulid Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu , maulid Fatimah, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid penguasa mereka. Daulah Bathiniyah ini baru berkuasa pada awal abad ke-4 H. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam baru muncul di zaman belakangan, setelah berakhirnya massa tiga abad yang paling utama dalam umat ini (al quruun al mufadholah). Artinya peringatan maulid ini belum pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabat, tabi’in dan para Tabi’ tabi’in. Al Hafid As Sakhawi mengatakan: “Peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam belum pernah dinukil dari seorangpun ulama generasi terdahulu yang termasuk dalam tiga generasi utama dalam Islam. Namun peringatan ini terjadi setelah masa itu.”
Pada hakikatnya, tujuan utama daulah ini mengadakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dalam rangka menyebarkan aqidah dan kesesatan mereka. Mereka mengambil simpati kaum muslimin dengan kedok cinta ahli bait Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. ( Dhahiratul Ihtifal bil Maulid an-Nabawi karya Abdul Karim al-Hamdan)

💠 *SIAPAKAH BANI FATIMIYAH?*

Bani Fatimiyah adalah sekelompok orang Syi’ah pengikut Ubaid bin Maimun al-Qoddah. Mereka menyebut dirinya sebagai bani Fatimiyah karena menganggap bahwa pemimpin mereka adalah keturunan Fatimah putri Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam. Meskipun aslinya ini adalah pengakuan dusta. Nama yang lebih layak untuk mereka adalah Bani Ubaidiyah bukan Bani Fatimiyah. Kelompok ini memiliki paham Syi’ah yang menentang ahlu sunnah, dari sejak didirikan sampai masa keruntuhannya. Berkuasa di benua Afrika bagian utara selama kurang lebih dua abad. Dimulai sejak keberhasilan mereka dalam meruntuhkan daulah Bani Rustum tahun 297 H dan diakhiri dengan keruntuhan mereka di tangan daulah Salahudin al-Ayyubi pada tahun 564 H. ( ad-Daulah al-Fathimiyah karya Ali Muhammad ash-Shalabi).

Daulah Fatimiyah ini memiliki hubungan erat dengan kelompok Syi’ah al-Qaramithah Bathiniyah. Perlu diketahui bahwa Kelompok al-Qaramithah Bathiniyah ini memiliki keyakinan yang sangat menyimpang dari ajaran Islam. Diantaranya mereka hendak menghilangkan syariat haji dalam agama Islam. Oleh karena itu, pada musim haji tahun 317 H kelompok ini melakukan kekacauan di tanah haram dengan membantai para jamaah haji, merobek-robek kain penutup pintu ka’bah, dan merampas hajar aswad serta menyimpannya di daerahnya selama 22 tahun. ( al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir, 11:252).

💠 *SIAPAKAH ABU UBAID AL-QADDAH ?*

Nama aslinya Ubaidillah bin Maimun, kunyahnya Abu Muhammad. Digelari dengan al-Qoddah yang artinya mencolok, karena orang ini suka memakai celak sehingga matanya kelihatan mencolok. Pada asalnya dia adalah orang yahudi yang membenci Islam dan hendak menghancurkan kaum muslimin dari dalam. Dia menanamkan aqidah batiniyah. Dimana setiap ayat Alquran itu memiliki makna batin yang hanya diketahui oleh orang-orang khusus diantara kelompok mereka. Maka dia merusak ajaran Islam dengan alasan adanya wahyu batin yang dia terima dan tidak diketahui oleh orang lain. ( al-Ghazwu al-Fikr dan ad-Daulah al-Fathimiyah karya Ali Muhammad ash-Shalabi).
Dia adalah pendiri dan sekaligus orang yang pertama kali memimpin bani Fatimiyah. Pengikutnya menggelarinya dengan al-Mahdi al-Muntadhor (al-Mahdi yang dinantikan kedatangannya). Berasal dari Iraq dan dilahirkan di daerah Kufah pada tahun 206 H. Dirinya mengaku sebagai keturunan salah satu ahli bait Ismail bin Ja’far ash-Shadiq melalui pernikahan rohani (nikah non fisik). Namun kaum muslimin di daerah Maghrib mengingkari pengakuan nasabnya. Yang benar dia adalah keturunan Said bin Ahmad al-Qoddah. Dan terkadang orang ini mengaku sebagai pelayan Muhammad bin Ja’far ash-Shodiq. Semua ini dia lakukan dalam rangka menarik perhatian manusia dan mencari simpati umat. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak diantara orang-orang bodoh daerah afrika yang membenarkan dirinya dan menjadikannya sebagai pemimpin. ( al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir & ad-Daulah al-Fathimiyah karya Ali Muhammad ash-Shalabi).

💠 *SIKAP PARA ULAMA TERHADAP BANI UBAIDIYAH (FATIMIYAH)*

Para ulama ahlus sunnah telah menegaskan status kafirnya bani ini. Karena aqidah mereka yang menyimpang. Para ulama menegaskan tidak boleh bermakmum di belakang mereka, tidak boleh menshalati jenazah mereka, tidak boleh adanya hubungan saling mewarisi di antara mereka, tidak boleh menikah dengan mereka, dan sikap-sikap lainnya sebagaimana yang selayaknya diberikan kepada orang kafir. Diantara ulama Ahlus Sunnah yang sezaman dengan mereka dan secara tegas menyatakan kekafiran mereka adalah Syaikh Abu Ishaq as-Siba’i. Bahkan beliau mengajak untuk memerangi mereka. Syaikh Al Faqih Abu Bakr bin Abdur Rahman al-Khoulani menceritakan:
“Syaikh Abu Ishaq bersama para ulama lainnya pernah ikut memerangi bani Aduwillah (Bani Ubaidiyah) bersama Abu Yazid. Beliau memberikan ceramah di hadapan tentara Abu Yazid: ‘Mereka mengaku ahli kiblat padahal bukan ahli kiblat, maka kita wajib bersama pasukan ini yang merupakan ahli kiblat untuk memerangi orang yang bukan ahli kiblat (yaitu Bani Ubaidiyah)…’”
Diantara ulama yang ikut berperang melawan Bani Ubaidiyah adalah Abul Arab bin Tamim, Abu Abdil Malik Marwan bin Nashruwan, Abu Ishaq As Siba’i, Abul Fadl, dan Abu Sulaiman Rabi’ al-Qotthan. (ad-Daulah al-Fathimiyah karya Ali Muhammad ash-Shalabi).
Setelah kita memahami hakikat peringatan maulid yang sejatinya digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan aqidah kekafiran bani Ubaidiyah. Itu artinya, peringatan maulid yang dianggap sebagai syiar, sejatinya syiar aliran syiah dan bukan syiar Islam.
Sebagai kaum muslimin yang membenci Syi’ah, apalagi yang beralran ekstrim seperti bathiniyah, tidak selayaknya melestarikan syi’ar yang merupakan bagian dari ajaran pokok mereka.

💠 *APAKAH PERINGATAN MAULID BUKTI CINTA KEPADA NABI SHALALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM?*

Anda tentu meyakini, orang yang paling mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah keluarga beliau dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Sementara di awal kita telah sepakat, peringatan ini belum pernah ada di zaman sahabat maupun tabi’in, bahkan tabi’ tabi’in. Abu Bakr ash-Shiddiq tidak pernah merayakan maulid, Umar juga tidak pernah, Utsman juga tidak merayakan maulid, demikian pula Ali bin Abi Thalib. Hasan dan Husain, cucu kesayangan beliau juga tidak pernah merayakan maulid. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan para ulama pelopor Islam lainnya, tidak tercatat dalam sejarah bahwa mereka merayakan peringatan maulid. Akankah kita katakan mereka tidak mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.

Seorang penyair mengatakan:
ﻟﻮ ﻛﻨﺖ ﺻﺎﺩﻗﺎ ﻓﻲ ﺣﺒﻪ ﻷﻃﻌﺘﻪ *** ﺇﻥ ﺍﻟﻤــﺤﺐ ﻟﻤﻦ ﻳﺤـﺐ ﻣﻄﻴـﻊ
Jika cintamu jujur tentu engkau akan mentaatinya…
karena orang yang mencintai akan taat kepada orang yang dia cintai…
Cinta yang sejati bukanlah dengan merayakan hari kelahiran seseorang… namun cinta yang sejati adalah dibuktikan dengan ketaatan kepada orang yang dicintai. Dan bagian dari ketaatan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dengan tidak melakukan perbuatan yang tidak beliau ajarkan.
Wallahu Waliyyut Taufiq

Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Sumber:
https://konsultasisyariah.com/16065-peringatan-maulud-nabi.html

Kiranya berfaedah
.

Selasa, 13 Oktober 2020

8 ADAB MEMBACA AL-QUR’AN

8 ADAB MEMBACA AL-QUR’AN

Membaca Al-Qur’an tentu memiliki adab. Karena yang dibaca adalah kalamullah (firman Allah), bukan koran, bukan perkataan makhluk. Di bulan Ramadhan apalagi, adab ini mesti diperhatikan. Karena intensitas berinteraksi dengan Al-Qur’an sangat tinggi di bulan Ramadhan. Dikarenakan para ulama biasa menyembut Ramadhan dengan bulan Al-Qur’an.

Beberapa adab penting yang perlu diperhatikan dalam membaca Al-Qur’an:

1- Hendaklah yang membaca Al-Qur’an berniat ikhlas, mengharapkan ridha Allah, bukan berniat ingin cari dunia atau cari pujian.

2- Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan mulut yang bersih. Bau mulut tersebut bisa dibersihkan dengan siwak atau bahan semisalnya.

3- Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci. Namun jika membacanya dalam keadaan berhadats dibolehkan berdasarkan kesepatakan para ulama.

Catatan: Ini berkaitan dengan masalah membaca, namun untuk menyentuh Al-Qur’an dipersyaratkan harus suci. Dalil yang mendukung hal ini adalah:

عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni no. 449. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 122).

4- Mengambil tempat yang bersih untuk membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, para ulama sangat anjurkan membaca Al-Qur’an di masjid. Di samping masjid adalah tempat yang bersih dan dimuliakan, juga ketika itu dapat meraih fadhilah i’tikaf.

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hendaklah setiap orang yang duduk di masjid berniat i’tikaf baik untuk waktu yang lama atau hanya sesaat. Bahkan sudah sepatutnya sejak masuk masjid tersebut sudah berniat untuk i’tikaf. Adab seperti ini sudah sepatutnya diperhatikan dan disebarkan, apalagi pada anak-anak dan orang awam (yang belum paham). Karena mengamalkan seperti itu sudah semakin langka.” (At-Tibyan, hlm. 83).

5- Menghadap kiblat ketika membaca Al-Qur’an. Duduk ketika itu dalam keadaan sakinah dan penuh ketenangan.

6- Memulai membaca Al-Qur’an dengan membaca ta’awudz. Bacaan ta’awudz menurut jumhur (mayoritas ulama) adalah “a’udzu billahi minasy syaithonir rajiim”. Membaca ta’awudz ini dihukumi sunnah, bukan wajib.

Perintah untuk membaca ta’awudz di sini disebutkan dalam ayat,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)

7- Membaca “bismillahir rahmanir rahim” di setiap awal surat selain surat Bara’ah (surat At-Taubah).

Catatan: Memulai pertengahan surat cukup dengan ta’awudz tanpa bismillahir rahmanir rahim.

8- Hendaknya ketika membaca Al-Qur’an dalam keadaan khusyu’ dan berusaha untuk mentadabbur (merenungkan) setiap ayat yang dibaca.

Perintah untuk mentadabburi Al-Qur’an disebutkan dalam ayat,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29)

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hadits yang membicarakan tentang perintah untuk tadabbur banyak sekali. Perkataan ulama salaf pun amat banyak tentang anjuran tersebut. Ada cerita bahwa sekelompok ulama teladan (ulama salaf) yang hanya membaca satu ayat yang terus diulang-ulang dan direnungkan di waktu malam hingga datang Shubuh. Bahkan ada yang membaca Al-Qur’an karena saking mentadabburinya hingga pingsan. Lebih dari itu, ada di antara ulama yang sampai meninggal dunia ketika mentadabburi Al-Qur’an.” (At-Tibyan, hlm. 86)

Diceritakan oleh Imam Nawawi, dari Bahz bin Hakim, bahwasanya Zararah bin Aufa, seorang ulama terkemuka di kalangan tabi’in, ia pernah menjadi imam untuk mereka ketika shalat Shubuh. Zararah membaca surat hingga sampai pada ayat,

فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ (8) فَذَلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيرٌ (9)

“Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit.” (QS. Al-Mudattsir: 8-9). Ketika itu Zararah tersungkur lantas meninggal dunia. Bahz menyatakan bahwa ia menjadi di antara orang yang memikul jenazahnya. (At-Tibyan, hlm. 87)

Ingat nasihat Ibrahim Al-Khawwash bahwa tombo ati (obat hati) ada lima:

Membaca Al-Qur’an disertai tadabbur (perenungan)Perut kosong (rajin puasa)Rajin qiyamul lail (shalat malam)Merendahkan diri di waktu sahurDuduk dengan orang-orang shalih. 

Adab membaca Al-Qur’an diringkas dari penjelasan Imam Nawawi dalam At-Tibyan, hlm. 80-87. Semoga manfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Bagaimana adab setelah membaca Al-Qur’an? Apakah disyariatkan membaca shadaqallahul ‘azhim? Temukan jawabannya di link: Ucapan Shadaqallahul ‘Azhim.

Referensi:

At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an. Cetakan pertama, tahun 1426 H. Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Tahqiq: Abu ‘Abdillah Ahmad bin Ibrahim Abul ‘Ainain. Penerbit Maktabah Ibnu ‘Abbas.


Diselesaikan menjelang Isya di Darush Sholihin Panggang, Gunungkidul, 7 Ramadhan 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

sumber: https://rumaysho.com/11261-8-adab-membaca-al-quran.html

Senin, 12 Oktober 2020

MENUNTUT ILMU BAGIAN DARI JIHAD

MENUNTUT ILMU BAGIAN DARI JIHAD

Jihad ternyata bukan hanya dengan berperang mengangkat senjata. Menuntut ilmu agama bisa pula disebut jihad. Bahkan sebagian ulama berkata bahwa jihad dengan ilmu ini lebih utama daripada dengan senjata. Karena setiap jihad mesti pula didahului dengan ilmu.

PERKATAAN ULAMA: Menuntut Ilmu Bagian dari Jihad

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Menuntut ilmu adalah bagian dari jihad di jalan Allah karena agama ini bisa terjaga dengan dua hal yaitu dengan ilmu dan berperang (berjihad) dengan senjata.

Sampai-sampai sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya menuntut ilmu lebih utama daripada jihad di jalan Allah dengan pedang.”

Karena menjaga syari’at adalah dengan ilmu. Jihad dengan senjata pun harus berbekal ilmu. Tidaklah bisa seseorang berjihad, mengangkat senjata, mengatur strategi, membagi ghonimah (harta rampasan perang), menawan tahanan melainkan harus dengan ilmu. Ilmu itulah dasar segalanya”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 108)

Di halaman yang sama, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata bahwa ilmu yang dipuji di sini adalah ilmu agama yang mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz pernah ditanya, “Apakah afdhol saat ini untuk  berjihad di jalan Allah ataukah menuntut ilmu (agama) sehingga dapat bermanfaat pada orang banyak dan dapat menghilangkan kebodohan mereka? Apa hukum jihad bagi orang yang tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya, namun ia masih tetap pergi berjihad?”

Jawab beliau, “Perlu diketahui bahwa menunut ilmu adalah bagian dari jihad. Menuntut ilmu dan mempelajari Islam dihukumi wajib. Jika ada perintah untuk berjihad di jalan Allah dan jihad tersebut merupakan semulia-mulianya amalan, namun tetap menuntut ilmu harus ada. Bahkan menuntut ilmu lebih didahulukan daripada jihad. Karena menuntut ilmu itu wajib. Sedangkan jihad bisa jadi dianjurkan, bisa pula fardhu kifayah. Artinya jika sebagian sudah melaksanakannya, maka yang lain gugur kewajibannya. Akan tetapi menuntut ilmu adalah suatu keharusan. Jika Allah mudahkan bagi dia untuk berjihad, maka tidaklah masalah. Boleh ia ikut serta asal dengan izin kedua orang tuanya. Adapun jihad yang wajib saat kaum muslimin diserang oleh musuh, maka wajib setiap muslim di negeri tersebut untuk berjihad. Mereka hendaknya menghalangi serangan musuh tersebut. Termasuk pula kaum wanita hendaklah menghalanginya sesuai kemampuan mereka. Adapun jihad untuk menyerang musuh di negeri mereka, jihad seperti ini dihukumi fardhu kifayah bagi setiap pria.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 24: 74)

DALIL PENDUKUNG 

Adapun dalil yang mendukung bahwa menuntut ilmu termasuk jihad adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيرًا (51) فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52)

“Dan andaikata Kami menghendaki benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar” (QS. Al Furqon: 51-52). Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’ad, “Surat ini adalah Makkiyyah (turun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah, -pen). Di dalam ayat ini berisi perintah berjihad melawan orang kafir dengan hujjah dan bayan (dengan memberi penjelasan atau ilmu, karena saat itu kaum muslimin belum punya kekuatan berjihad dengan senjata, -pen). … Bahkan berjihad melawan orang munafik itu lebih berat dibanding berjihad melawan orang kafir. Jihad dengan ilmu inilah jihadnya orang-orang yang khusus dari umat ini yang menjadi pewaris para Rasul.”

Dalam hadits juga menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari jihad. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ

“Siapa yang mendatangi masjidku (masjid Nabawi), lantas ia mendatanginya hanya untuk niatan baik yaitu untuk belajar atau mengajarkan ilmu di sana, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Jika tujuannya tidak seperti itu, maka ia hanyalah seperti orang yang mentilik-tilik barang lainnya.” (HR. Ibnu Majah no. 227 dan Ahmad 2: 418, shahih kata Syaikh Al Albani).

Semoga kita terus semangat berjihad dengan ilmu. Moga Allah beri petunjuk.


Faedah di Puskesmas Panggang, Girisekar, Panggang Gunungkidul, 19 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho: 
https://rumaysho.com/3383-menuntut-ilmu-bagian-dari-jihad.html

HUKUM MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA KETIKA TERJADI PERSELISIHAN

السلام عليكم ورحمه الله وبركاته 

HUKUM MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA KETIKA TERJADI PERSELISIHAN

🖊️ Oleh Syaikh Abu Abdirrahman Ibrahim bin Abdillah Al-Mazru’i

 Sesungguhnya syaithan senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan menyesatkan mereka dari jalan kebenaran dengan wasilah yang beraneka ragam. Di antara pintu-pintu kejelekan yang telah dibuka oleh syaithan untuk menusia adalah :”Mencari rukhsah (pendapat paling ringan) dari para fuqaha’ dan mengikuti kesalahan-kesalahan mereka”. Dengan cara ini syaithan menipu banyak kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar, dan hal-hal yang wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsah yang palsu. Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam masah-masalah khilafiyah (perselisihan). Mereka memilih pendapat yang paling mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada dalil syar’i. Bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang alim, yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapatnya (yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu. 

➡️Ketika tidak ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka mereka akan beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan pendapat mereka semata, tetapi ada ulama yang memfatwakan bolehnya apa yang telah mereka lakukan. Dan bahwa mereka bukanlah yang dimintai pertanggung jawaban adalah pada ulama yang memfatwakannya, jika benar atau salah. Bahkan mereka mengambil rukhsah dari para fuqaha’ pada suatu permasalahan dan meninggalkan pendapat-pendapat para fuqaha itu pada permasalahan yang lain. Mereka menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat (menurut hawa nafsu mereka –pent).

➡️ Mereka menyangka telah melakukan amalan yang sebaik-baiknya (padahal malah sebaliknya, –pent) Syaithan telah menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan : ”Letakkanlah dia di leher orang alim, dan keluarlah darinya dalam keadaan selamat”. (Maksudnya yaitu serahkan tanggung jawab akibat perbuatan kalian kepada orang alim yang memfatwakan hal itu, maka kalian akan keluar dengan selamat tanpa beban –pent). Ketika timbul suatu masalah pada salah seorang di antara orang-orang bodoh tersebut, maka dia akan pergi kepada sebagian ulama yang tasahul (mudah memberikan jawaban yang ringan dan enak, –pent) dalam berfatwa, lalu mereka (sebagian ulama yang tasahul, –pent) mencarikan untuknya rukhsah yang telah difatwakan oleh seseorang, lalu mereka berfatwa dengan rukhsah tersebut padahal rukhsah itu menyelesihi dalil dan kebenaran yang telah mereka yakini.

➡️ Kebanyak orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu (pertama) orang awam yang pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan (yang kedua) mufti yang mencari keridhaan manusia yang tidak berfatwa dengan dalil.

➡️ Apakah mafsadah (kerusakan) dan mudharat (bahaya) yang ditimbulkan oleh cara seperti ini.? manakah dalil-dalil syar’i yang menunjukkan kebatilan hal ini? bagaimanakan pendapat-pendapat para ulama tentang hal ini  beserta penjelasan tentang bagaimanakan sikap yang benar dalam menghadapi masalah khilafiyah (perselisihan)?, dan apakah kewajiban seorang mufti?, dan apa kewajiban seorang yang meminta fatwa? (inilah yang akan diterangkan, –red).

➡️ APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN RUKHSAH DI SINI ?

 Yang dimaksud dengan rukhsah di sini adalah pendapat para ulama dalam masalah khilafiyah yang paling ringan (paling enak, –pent) yang tidak bersandar kepada dalil yang shahih. Atau kesalahan seorang alim mujtahid yang kesalahannya tersebut diselisihi oleh para mujtahid yang lain. Dan inilah makna rukhsah menurut bahasa. 

➡️Adapun makna syar’i yaitu istilah terhadap sesuatu yang berubah dari perkara yang asal karena adanya halangan, atau untuk kemudahan dan keringanan. Seperti diqasharnya shalat ketika safar dan kesalahan-kesalahan padanya yang rukhsah-rukhsah syar’i yang lainnya.

➡️ Contoh-contoh rukhsah para ahli fiqih :

1.Pendapat bolehnya mencukur jenggot 2 2. 2. 2.Pendapat bolehnya membayar zakat fitrah dengan uang.
3. Pendapat bolehnya meminum semua yang memabukkan kecuali yang dari anggur. Pendapat bahwasanya tidak ada shalat Jum’at kecuali pada tujuh wilayah.
4. Pendapat tentang diakhirkannya shalat asar hingga (panjang) bayangan setiap benda adalah empat kalinya. 
5.Pendapat bolehnya lari pada saat bertemu dengan musuh (ketika jihad, -pent). 
6.Pendapat bolehnya mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik. 
7.Pendapat bolehnya nikah mut’ah. Pendapat bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham secara kontan/tunai. 
8.Pendapat bolehnya menjima’i istri dari duburnya. 
9Pendapat sahnya nikah tanpa wali dan tanpa mahar.
10 Pendapat tidak disyariatkannya dua saksi dalam nikah.

➡️ MAFSADAH (KERUSAKAN) YANG TIMBUL KARENA MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA’

 Mengikuti rukhsah para fuqaha’ menimbulkan mafsadah yang banyak. Di antaranya hilangnya kemulian agama (Islam), dan jadilah agama ini permainan ditangan manusia. Di antaranya juga meremehkan hal-hal yang haram dan meremehkan batasan-batasan syari’at.

 Asy-Syatibi telah menyebutkan sejumlah kerusakan-kerusakan ini, lalu menyebutkan kerusakan-kerusakan yang lain, dia berkata : ”Seperti memisahkan diri dari (ajaran) agama dengan tidak mengikuti dalil beralih mengikuti khilaf (perselisihan), meremehkan agama, meninggalkan apa-apa yang telah diketahui (kebenarannya), rusaknya kaedah politik yang syar’i, yaitu dengan tidak adanya ketegasan amar ma’ruf (sehingga para hakimpun berbuat sewenang-wenang dalam keputusan-keputusan hukum mereka, maka seorang hakim berfatwa dengan rukhsah kepada orang yang dia senangi dan berfatwa yang menyulitkan kepada yang dia tidak sukai. Maka tersebarlah kekacauan dan kedzaliman-kedzaliman, dan seperti menjadi sarana menuju pendapat mengabung-gabungkan madzhab-madzhab dengan cara yang merusak ijma”[1] 

➡️Imam Ibnul Jauzi berkata : “Dan termasuk perangkap syaithan bagi para fuqaha’ yaitu mereka bergaulnya dengan penguasa dan para sultan serta besikap mudhahanah[2] terhadap mereka, serta meninggalkan nahi mungkar terhadap para penguasa tersebut, padahal mereka mampu melaksanakannya. Dan terkadang mereka memberikan rukhsah kepada para penguasa tersebut pada perkara-perkara yang (sebenarnya) tidak ada rukhsah padanya agar mendapatkan tujuan-tujuan duniawi mereka.

 Sehingga dengan hal itu timbullah kerusakan kepada tiga kelompok. 

1.Penguasa, dia berkata :”Kalau seandainya aku tidak di atas kebenaran, maka tentu si fulan akan mengingkariku. Dan bagaimana aku tidak benar sedangkan dia (si faqih) makan dari hartaku”. 
2.Orang awam, dia berkata :”Tidak mengapa dengan penguasa ini, demikian juga dengan harta dan perbuatan-perbuatannya karena si faqih senantiasa di sisinya”. 
3.Si faqih, karena sesunguhnya dia telah merusak agamanya dengan perbuatannya tersebut”[3]

➡️ AKIBAT-AKIBAT DAN MAFSADAH-MAFSADAH DARI MENCARI-CARI RUKHSAH 

Sebagian ulama membahas pendapat-pendapat yang marjuh (lemah) untuk menghilangkan kegelisahan dari banyak manusia yang mereka terjerumus dalam sebagian kemungkaran-kemungkaran, misalnya mencukur jenggot. 

Contohnya sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Hubaibullah Asy-Syingqiti dalam kitabnya “Fathul Mun’im” (1/179) dalam pembahasannya tentang bolehnya mencukur jenggot dimana dia berkata :”Ketika telah meluas musibah mencukur jenggot di negeri-negeri Timur, maka aku bersungguh-sungguh mencari (kaidah) asal yang di atas (kaidah) asal tersebut aku lahirkan hukum bolehnya mencukur jenggot, hingga sebagian orang-orang yang mulia (yaitu mulia menurut Muhammad Hubaibullah, namun pada hakikatnya mereka tidak mulia, karena mereka mencukur jenggot mereka, –pent) memiliki kelapangan dalam melaksanakan hal yang haram dengan kesepakatan (maksudnya dia ingin agar orang-orang yang mulia yang mencukur jenggot mereka tidak dikatakan telah melakukan keharaman, –pent). Maka aku membawa pengertian larangan mencukur jenggot kepada kaidah ushul, bahwa bentuk af’ala (yaitu bentuk fi’il amr yang terdapat dalam hadits mengenai perintah Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam untuk memanjangkan jenggot, –pent) menurut pendapat kebanyakan orang adalah untuk menunjukkan kewajiban, namun dikatakan (juga) untuk mustahab (dia ingin memalingkan asal perintah adalah wajib menjadi mustahab), sehingga menurut dia perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memanjangkan jenggot hanyalah mustahab, –pent). 

Al-Allamah As-Safariniy berkata (wafat 1188H) -setelah menjelaskan haramnya mencari-cari rukhsah dalam taqlid- : “Pada hal ini (mencari-cari rukhsah) terdapat banyak kerusakan dan kehancuran, dan pintu ini kalau dibuka maka akan merusak syari’at yang baik dan akan menghalalkan kebanyakan hal-hal yang haram, dan manakah pintu-pintu yang lebih rusak dari pintu yang menghalalkan zina dan minum khamr dan yang lainnya?”.

➡️ SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

 Syubhat Pertama. Mereka -para pencari rukhsah- berhujjah dengan كَلاَمٌ حَقٌّ أُرِيْدَ بِهِ بَاطِلٌ   (kalimat yang haq tetapi dimaksudkan untuk hal yang bathil). Mereka berkata bahwasanya agama ini mudah dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
 يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ 

“Allah menghendaki bagi kalian kemudahan dan tidak menghendaki bagi kalian kerusakan” [Al-Baqarah/2:185] 

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. 
 يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا “

Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit” [Dari Hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu, Riwayat Bukhari 1/163 dan Muslim 3/1359] 

Mereka berkata :”Jika kami memilih pendapat yang paling ringan (paling enak, -pent) maka tindakan kami ini adalah memudahkan dan menghilangkan kesulitan”. 

Maka jawaban kita kepada mereka :”Sesungguhnya penerapan syari’at dalam seluruh sisi kehidupan itulah yang disebut memudahkan dan menghilangkan kesulitan, bukan menghalalkan hal-hal yang haram dan meninggalkan kewajiban-kewajiban”. 

Ibnu Hazm berkata[4] :”Sesungguhnya kita telah mengetahui bahwa seluruh yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kemudahan, sesuai dengan

 firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ 

“Dan dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) sekali-kali tidak menjadikan bagi kalian dalam agama suatu kesempitan” [Al-Haj/22:78] 

Imam Asy-Syatibi telah membantah orang-orang yang berhujjah dengan model ini dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ 

“Aku telah diutus dengan (agama yang) lurus yang penuh kelapangan” [Hadits Hasan] 

Seraya (Imam Asy-Syatibi) berkata : “Dan engkau mengetahui apa yang terkandung dalam perkataan (dalam hadits) ini. Karena sesungguhnya (agama) “lurus yang penuh kelapangan” itu. hanyalah timbul kelapangan padanya dalam keadaan terkait dengan kaidah-kaidah pokok yang telah berlaku dalam agama, bukan mencari-cari rukhsah dan bukan pula memilih pendapat-pendapat dengan seenaknya”. Maksud beliau yaitu bahwasanya kemudahan syari’at itu terkait dengan kaidah-kaidah pokok yang telah diatur dan bukan mencari-cari rukhsah yang ada dalam syari’at.

 Imam Syatibi juga berkata :”Kemudian kita katakan bahwasanya mencari-cari rukhsah adalah mengikuti hawa nafsu, padahal syari’at melarang mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu mencari-cari rukhshah bertentangan dengan kaidah pokok yang telah disepakati (yaitu dilarangnya mengikuti hawa nafsu). Selain itu hal ini juga bertentangan dengan

 firman Allah Subahanahu wa Ta’ala.

 فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ 

“Dan jika kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” [An-Nisa/4:59]

 Maka, khilaf (perselisihan) yang ada di antara para ulama tidak boleh kita kembalikan kepada hawa nafsu (dengan memilih pendapat yang paling enak, -pent), tetapi kita kembalikan kepada syari’at” [Al-Muwafaqat 4/145]

 ➡️Syubhat Kedua Mereka berkata :”Kami

 hanyalah mengikuti orang yang berpendapat dengan rukhshah tersebut”

 Maka dijawab : “Sesungguhnya orang lain yang kalian taqlidi tersebut telah berijtihad dan dia telah salah, maka dia mendapatkan (satu) pahala atas ijtihadnya tersebut. Adapun kalian, apa hujjah kalian mengikuti kesalahannya.? kenapa kalian tidak mengikuti ulama yang lain yang memfatwakan pendapat (yang benar) yang berbeda dengan pendapat si alim yang salah itu?”. Demikian juga dapat dijawab -dengan perkataan- :”Kenapa kalian bertaqlid kepada si Faqih ini dalam perkara rukhsah (yang enak menurut kalian, –pent) namun kalian tidak taqlid kepada pendapatnya yang lain yang tidak ada rukhsah (yaitu yang tidak enak pada kalian), lalu kalian mencari dari ahli fiqih selain dia yang berpendapat rukhsah ??

 Ini menunjukkan bahwa kalian menjadikan taqlid sebagai benteng (alasan saja untuk membela) hawa nafsu kalian !!!” Dan para salaf telah memperingatkan terhadap kesalahan-kesalahan para ulama dan berijtihad kepada kesalahan-kesalahan mereka tersebut.

 Umar Radhiyallahu anhu berkata : 

ثَلاَثٌ يَهُدُّ مِنَ الدِّيْنِ : زَلَّةُ عَالِمٍ, وَجِدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ, وَ أَئِمَّةٌ ْمُضِلُّوْنَ “

Tiga perkara yang merobohkan agama : “Kesalahan seorang alim, debatnya orang munafiq dengan Al-Qur’an, dan para imam yang menyesatkan”[5] 

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata : 

وَيْلٌ لِلأَتْبَاعِ مِنْ زَلَّةِ الْعَالِمِ، يَقُوْلُ الْعَالِمِ الشَيْءَ بِرَأْيِهِ, فَيَلْقَى مَنْ هُوَ أَعْلَمُ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْهُ, فَيُخْبِرُهُ وَيَرْجِعُ وَيَقْضِي الأَتْبَاعُ بِمَا حَكَمَ 

“Celakalah orang-orang yang mengikuti kesalahan seorang alim. Si alim berpendapat dengan ra’yinya (akalanya), lalu dia bertemu dengan orang yang lebih alim darinya tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian orang tersebut memberitahukannya (pendapat yang benar) maka si alim tersebut mengikuti pendapat yang benar dan meninggalkan pendapatnya yang salah. Sedangkan para pengikutnya (tetap) berhukum dengan pendapat si alim yang salah tersebut”[6]

➡️ HUKUM MENCARI-CARI RUKHSAH PARA FUQAHA’ DAN MENGGABUNGKAN MADZHAB-MADZHAB (PENDAPAT PARA ULAMA) -DENGAN HAWA NAFSU-.

 Para ulama telah sepakat tentang haramnya mencari-cari rukhsah dan menggabungkan madzhab-madzhab dan pendapat-pendapat tanpa dalil syar’i yang rajih (kuat), dan berfatwa kepada manusia dengan pendapat tersebut.

 Diantara perkataan-perkataan para ulama tentang haramnya hal ini adalah : 

1.Sulaiman At-Taimy berkata (wafat tahun 143H) :”Kalau engkau mengambil rukhshah setiap orang alim, maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan”. Ibnu Abdil Barr berkata memberi komentar :”Hal ini adalah ijma’, dan aku tidak mengetahui ada khilaf dalam perkara ini” [Al-Jami’ 2/91,92]

2. Berkata Ma’mar bin Rosyid (wafat tahun 154H) :”Seandainya seorang laki-laki mengambil pendapat Ahlul Madinah tentang (bolehnya) nyanyian dan (bolehnya) mendatangi wanita dari duburnya, dan mengambil pendapat Ahlul Makkah tentang (bolehnya) nikah mut’ah dan (bolehnya) sorf (semacam riba) dan mengambil pendapat Ahlul Kuffah tentang khamer (yaitu khamer yang haram hanyalah terbuat dari anggur), maka dia adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling buruk” [Lawami’il Anwar karya As-Safarini 2/466]. 

3.Imam Auza’i berkata : (wafat tahun 157H) :”Barangsiapa mengambil pendapat-pendapat yang aneh (asing, menyelisihi para ulama lain) dan para ulama maka dia telah keluar dari Islam” [Syiar A’lam An-Nubala’ 7/125 karya Adz-Dzahabi] 

4.Imam Ahmad bin Hanbal berkata (wafat tahun 241H) :”Kalau seseorang mengamalkan pendapat Ahlul Kuffah tentang anggur dan pendapat Ahlul Madinah tentang nyanyian (yaitu bolehnya nyanyian, –pent) dan pendapat Ahlul Makkah tentang mut’ah (yaitu bolehnya nikah mut’ah, –pent) maka dia adalah orang fasiq”. [Lawamil Anwar al-Bahiyah, karya As-Safarini 2/466 dan Irsyadul Fuhul, karya Asy-Syaukani hal. 272] Ibrahim bin Syaiban berkata (wafat tahun 337H) :”Barangsiapa yang ingin rusak maka ambillah rukhsah” [Siyar A’alam An-Nubala’ karya Adz-Dzahabi 15/392]

 5.Ibnu Hazm berkata (wafat tahun 456H) di dalam menjelaskan tingkatan orang-orang yang berselisih :”Dan tingkatan yang lain di antara mereka, adalah kaum yang tipisnya nilai agama mereka dan kurangnya ketakwaan mereka mengantarkan mereka untuk mencari apa yang sesuai dengan hawa nafsu mereka pada pendapat setiap orang. Mereka mengambil pendapat rukhsah (yang ringan) dari seorang alim dengan bertaqlid kepadanya tanpa mencari pendapat yang sesuai dengan nash dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Al-Ihkam hal. 645). 
Imam Syatibi telah menukil dari Ibnu Hazm, bahwa beliau menyampaikan ijma’ (para ulama) tentang mencari-cari rukhsah madzhab-madzhab tanpa bersandar kepada dalil syar’i adalah merupakan kefasikan yang haram [Al-Muwafaqat 4/134].

 Abu ‘Amr Ibnu Shalah berkata (wafat tahun 643H) menjelaskan tentang sifat tasahul (mudah memberikan fatwa yang enak, –pent) seorang mufti :”Dan terkadang sifat tasahul dan mencari kemudahan dengan tujuan-tujuan dunia yang rusak telah membawa seorang mufti untuk mencari-cari tipu daya yang haram atau yang makruh, dan berpegang teguh dengan syubhat-syubhat untuk mencarikan rukhsah bagi orang yang dia ingin beri manfaat, atau bersikap keras terhadap orang yang dia kehendaki mendapat mudharat. Maka barangsiapa yang melakukan hal ini maka telah hina agamanya” [Adabul Mufti, hal : 111] Sulathanul ulama Al-Izz bin Abdis Salam berkata (wafat tahun 660H) :”Tidak boleh mencari-carri rukhsah” [Al-Fatawa hal. 122] Imam An-Nawawi ditanya :”Apakah boleh seseorang yang bermadzhab dengan suatu madzhab untuk bertaqlid pada suatu madzhab yang lain pada perkara yang dengannya ada kemanfaatan dan mencari-cari rukhsah?”, beliau menjawab : ”Tidak boleh mencari-cari rukhsah, walalhu ‘a’lam” [Fatawa An-Nawawi yang dikumpulkan oleh muridnya Ibnul ‘Attor, hal. 168]

 Imam Ibnul Qayyim berkata (wafat 751H) :”Tidak boleh seseorang mufti mengamalkan dengan pendapat yang sesuai dengan kehedaknya tanpa melihat kepada tarjih (pendapat yang lebih kuat)”. [I’lamul Muwaqi’in 4/211]. 

Al-‘Alamah Al-Hijawi berkata (wafat 967H) :”Tidak boleh bagi seorang mufti maupun yang lainnya untuk mencari-cari hilah (tipu daya) yang haram dan mencari-cari rukhsah bagi orang yang membutuhkannya, karena mencari-cari hal itu adalah kefasikan dan diharamkan meminta fatwa dengan hal itu”. [Al-Imta’ 4/376].

 Al-‘Alamah As-Safarini berkata (wafat 1188H) :”Diharamkan bagi orang awam yang bukan mujtahid untuk mencari-cari rukhsah untuk ditaqlidi” [Lawami’il Anwar 2/466] Kesimpulan dari uraian di atas bahwasanya empat imam, yaitu Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm, Ibnu Sholah, dan Al-Baji telah menukilkan ijma’ tentang haramnya mencari-cari rukhsah.

➡️ SIKAP YANG BENAR TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT DALAM SUATU MASALAH DAN APAKAH YANG WAJIB BAGI ORANG YANG MEMINTA FATWA.? 

Jika seorang muslim mendapatkan banyak fatwa dalam suatu permasalahan, maka bagaimanakah sikapnya yang benar dengan perbedaan pendapat ini.? 

Tidak boleh baginya mencari-cari rukhsah para fuqaha’ dan wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar dalam permasalahan tersebut. 

Lalu apakah yang harus dia lakukan.?

 Jawab : 
Selayaknya pilihannya itu berdasarkan timbangan yang pasti, yang bisa digunakan untuk mengetahui pendapat yang rajih (kuat) dari pendapat yang marjuh (lemah). Dan timbangan ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

 “Dan jika kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” [An-Nisa/4:59] 

Maka pendapat mana saja yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka itulah yang benar dan yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah maka pendapat itu batil.

 1. Wajib bagi seorang muslim yang (mampu) meneliti untuk memilih pendapat yang sesuai dengan dalil yang kuat. Abu Amr Ibnu Abdil Barr berkata :”Yang wajib dalam menyikapi perselisihan para ulama adalah mencari dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah dan ijma’ serta qiyas yang berdasarkan ushul-ushul (qaidah-qaidah pokok) yang bersumber dari semua itu. Dan demikian itu tidak bisa tidak. Dan jika semua kuat dalil-dalil (khilaf tersebut), maka wajib untuk memilih pendapat yang paling menyerupai dengan apa-apa yang telah kita sebutkan dengan Kitab dan Sunnah. Apabila dalil-dalil (khilaf tersebut) tidak jelas maka wajib untuk tawaqquf (menahan diri). Apabila seseorang terpaksa mengamalkan salah satu pendapat (dari khilaf tersebut) pada kondisi yang khusus pada dirinya, maka boleh baginya untuk taqlid sebagaimana dibolehkan bagi orang awam. Dan dia dapat mengamalkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Kebaikan itu adalah apa yang menenangkan hati dan dosa adalah apa yang menggelisahkan hati. Maka tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu menuju kepada apa-apa yang tidak meragukanmu”. (Jami’ Bayan Al-Ilmi 2/80-81). Demikian juga perkataan Al-Khatib Al-Baghdadi di dalam kitab Al-Faqih Wal-Mutafaqih 2/203 

2. Wajib bagi seorang muslim untuk meminta fatwa kepada orang yang telah terpenuhi syarat-syarat untuk berfatwa, baik dalam hal ilmu maupun wara’ (kehati-hatian). Dan janganlah dia bertanya kepada (orang yang dianggap) ahli ilmu yang mengeluarkan fatwa dengan kebodohan dan kebohongan. Atau janganlah dia bertanya kepada orang-orang yang tasahul dalam berfatwa, yaitu yang suka memberi fatwa dengan rukhsah dan hilah (penipuan terselubung). Mereka tersebut tidak boleh dimintai fatwa.
3 Dan wajib bagi pencari kebenaran untuk beristi’anah (mohon pertolongan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tunduk kepada-Nya, dengan berdoa agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukinya menuju kebenaran. Dan hendaklah dia berdo’a dengan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيْلَ وَ مِيْكَائِيْلَ وَ إِسْرَافِيْلَ, فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَلأَرْضِ, عَالِمَ الْغَيْبِ وّالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمَ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ, اِهْدِنِيْ لِمَا اخِتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهِدِي مَنْ تَشَاءُ اِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

 ”Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Isrofil, Yang menciptakan langit-langit dan bumi, Yang mengetahui perkara ghaib dan yang nampak, Engkau menghakimi hamba-hamba-Mu pada apa-apa yang mereka perselisihkan. Tunjukillah kepadaku kebenaran dari apa-apa yang mereka perselishkan dengan idzin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjuki siapa saja yang engkau kehendaki menuju jalan yang lurus” [Hadits Riwayat Muslim 1/534 dari ‘Aisyah]

4.  Jika khilaf sangat kuat, sehingga seorang muslim tidak mampu untuk mengetahui mana yang benar, maka dia (boleh) bertaqlid kepada orang yang dia percayai ilmu dan dinnya, dan tidaklah dia dibebani dengan beban yang lebih dari ini.
5.  Berkata Al-Khatib Al-Baghdadi :”Jika seseorang berkata : ”Bagaimana pendapatmu terhadap orang awam yang meminta fatwa, jika ada dua orang yang memberinya fatwa, sedangkan kedua orang tersebut berselisih, apakah boleh baginya taqlid.?”, maka dijawab untuk perkara ini ada dua sisi : 

Pertama :Jika orang awam tersebut luas akalnya (pintar) dan baik pemahamannya, maka wajib baginya untuk bertanya kepada dua orang yang beselisih tersebut tentang madzhab (pendapat) mereka berserta hujjah mereka. Lalu dia mengambil pendapat yang paling kuat menurut dia, Namun jika akalnya kurang tentang hal ini dan pemahamannya tidak baik, maka dia boleh taqlid kepada pendapat yang paling baik menurut dia diantara kedua orang tersebut. 

Kedua : Jika dia memenuhi jalan yang lebih hati-hati dan wara’ maka hendaknya dia memilih pendapat yang paling hati-hati dari kedua pendapat tersebut. Maka hendaklah dia mendahulukan (memilih) pendapat yang melarang daripada pendapat yang membolehkan dalam rangka menjaga dirinya dari syubhat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 فَمَنِ اتَّقَى الشُّبْهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْدِهِ

 ”Barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara syubhat maka dia telah membersihkan agamanya dan kehormatannya” [Muttafaqun ‘alaih] 

Wallahu a’lam 

Majalah Al-Ashalah No. 29 Tahun ke 5, Penerjemah Ibnu Abidin As-Soronji) [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Al-Muwafaqat 4/147-148 [2] Mudahanah : meninggalkan dan melalaikan amar ma’ruf dan nahi mungkar karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi, -red [3] Talbis Iblis hal, 121 [4] Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam. hal.69 [5] Riwayat Ad-Darimi 1/71 dengan sanad yang shahih, dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi 2/110 [6] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal dan Ibnu Abdil Barr (2/122) dengan sanad yang hasan

Referensi: https://almanhaj.or.id/14454-hukum-mencari-cari-rukhsah-para-fuqoha-ketika-terjadi-perselisihan.html