Senin, 31 Agustus 2020

Lebaran Anak Yatim pada Hari Asyura, Adakah Tuntunan?

بسم الله الرحمن الرحیم

Lebaran Anak Yatim pada Hari Asyura, Adakah Tuntunan?

Lebaran anak yatim dijadikan moment di hari Asyura untuk berbagi dengan anak yatim. Kita pun sudah tahu keutamaan menyantuni anak yatim dan itu berlangsung setiap waktu, bukan dikhususkan moment dalam setahun sekali. Adapun hadits yang membicarakan lebaran anak yatim adalah hadits yang bermasalah.

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim

Dari Abu Hurairah, berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّاعِي عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمَسَاكِيْنِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَكَالَّذِي يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ

“Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di malam hari.” 

(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 131, shahih) Lihat As Silsilah Ash Shahihah (2881): [Bukhari: 69-Kitab An Nafaqaat, 1-Bab Fadhlun Nafaqoh ’ala Ahli. Muslim: 53-Kitab Az Zuhud, hal. 41]

Dari Ummu Said  binti  Murrah Al Fihri, dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

أَنَا وَكاَفِلُ الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ، أَوْ كَهَذِهِ مِنْ هَذِهِ -شَكَّ سُفْيَانُ فِي الْوُسْطَى أَوِ الَّتِيْ يَلِيْ الإِبْهَامُ

“Kedudukanku dan orang yang mengasuh anak yatim di surga seperti kedua jari ini atau bagaikan ini dan ini.” [Salah seorang perawi Sufyan ragu apakah nabi merapatkan jari tengah dengan jari telunjuk atau jari telunjuk dengan ibu jari]. 

(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 133, shahih) Lihat As Silsilah Ash Shahihah (800)

Dari Sahl ibnu Sa’ad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

أَنَا وَكاَفِلُ الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا” وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

“Kedudukanku dan orang yang menanggung anak yatim di surga bagaikan ini.”   [Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya]. 

(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 135, shahih) Lihat As Silsilah Ash Shahihah (800): [Bukhari: Kitab Al Adab, 24-Bab Fadhlu Man Ya’ulu Yatiman]

Itulah beberapa hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitab beliau Adabul Mufrod.

Lebaran Anak Yatim

Mengkhususkan waktu untuk menyantuni anak yatim harus butuh dalil. Karena kita diperintahkan menyantuni dan membahagiakan anak yatim setiap saat, bukan hanya pada moment tertentu. Jika ada yang mengkhususkannya pada hari Asyura (10 Muharram), maka datangkanlah dalilnya. Jika tidak ada, maka ia telah membuat amalan yang mengada-ada, alias bid’ah. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

شَرْعُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِلْعَمَلِ بِوَصْفِ الْعُمُومِ وَالْإِطْلَاقِ لَا يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ مَشْرُوعًا بِوَصْفِ الْخُصُوصِ وَالتَّقْيِيدِ

“Jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu amalan dengan maksud umum dan mutlak, maka itu tidak menunjukkan mesti dikhususkan dengan cara dan aturan tertentu.” 

(Majmu’ Al Fatawa, 20: 196). 

Ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak untuk menyantuni anak yatim secara mutlak, maka jangan dikhususkan pada moment tertentu seperti pada hari Asyura.

( 👆oleh Ustadz Abdu Tuasikal)

Adapun dalil yang membicarakan masalah ini adalah hadits 👇

Sebuah hadis dalam kitab tanbihul ghafilin:

من مسح يده على رأس يتيم يوم عاشوراء رفع الله تعالى بكل شعرة درجة

Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari Asyuro’ (tanggal 10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yang diusap satu derajat.

Hadis ini menjadi motivator utama masyarakat untuk menyantuni anak yatim di hari Asyura. Sehingga banyak tersebar di masyarakat anjuran untuk menyantuni anak yatim di hari Asyura. Bahkan sampai menjadikan hari Asyura ini sebagai hari istimewa untuk anak yatim.

Namun sayangnya, ternyata hadis di atas statusnya adalah hadis palsu. Dalam jalur sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang bernama: Habib bin Abi Habib, Abu Muhammad. Para ulama hadis menyatakan bahwa perawi ini matruk (ditinggalkan). Untuk lebih jelasnya, berikut komentar para ulama kibar dalam hadis tentang Habib bin Abi Habib:

a. Imam Ahmad: Habib bin Abi Habib pernah berdusta
b. Ibnu Ady mengatakan: Habib pernah memalsukan hadis (al-Maudhu’at, 2/203)
c. Adz Dzahabi mengatakan: “Tertuduh berdusta.” (Talkhis Kitab al-Maudhu’at, 207).

Karena itu, para ulama menyimpulkan bahwa hadis ini adalah hadis palsu. Abu Hatim mengatakan: “Ini adalah hadis batil, tidak ada asalnya.” (al-Maudhu’at, 2/203)

Keterangan di atas sama sekali bukan karena mengingkari keutamaan menyantuni anak yatim. Bukan karena melarang anda untuk bersikap baik kepada anak yatim. Sama sekali bukan.

Tidak kita pungkiri bahwa menyantuni anak yatim adalah satu amal yang mulia. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan dalam sebuah hadis:

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِى الْجَنَّةِ , وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى , وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا قَلِيلاً

“Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim seperti dua jari ini ketika di surga.” Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, dan beliau memisahkannya sedikit.” (HR. Bukhari no. 5304)

Dalam hadis shahih ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyebutkan keutamaan menyantuni anak yatim secara umum, tanpa beliau sebutkan waktu khusus. Artinya, keutamaan menyantuni anak yatim berlaku kapan saja. Sementara kita tidak boleh meyakini adanya waktu khusus untuk ibadah tertentu tanpa dalil yang shahih.

Dalam masalah ini, terdapat satu kaidah terkait masalah ‘batasan tata cara ibadah’ yang penting untuk kita ketahui:

كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام ؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة

“Semua bentuk ibadah yang sifatnya mutlak dan terdapat dalam syariat berdasarkan dalil umum, maka membatasi setiap ibadah yang sifatnya mutlak ini dengan waktu, tempat, atau batasan tertentu lainnya, dimana akan muncul sangkaan bahwa batasan ini merupakan bagian ajaran syariat, sementara dalil umum tidak menunjukkan hal ini maka batasan ini termasuk bentuk bid’ah.” (Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 52)

Karena pahala dan keutamaan amal adalah rahasia Allah, yang hanya mungkin kita ketahui berdasarkan dalil yang shahih.

Allahu a’lam…

(Ustadz Ammi Nur Baits)

Minggu, 30 Agustus 2020

DOA IBLIS SAJA DIKABULKAN, MASIH MALAS BERDOA

السلام عليكم ورحمه الله وبركاته 

*DOA IBLIS SAJA DIKABULKAN, MASIH MALAS BERDOA?*
________✒

🍀 Terkadang rasa bergantung dan tawakkal kita rendah. Rasa bergantung kepada Allah terhadap segala sesuatu yang kita usahakan. 

Kebanyakan manusia ketika berusaha dan melakukan sesuatu ia lupa bergantung kepada Allah. 

Lupa sekedar meminta dan mengemis kepada Allah agar memudahkan usahanya, melancarkan rezekinya dan memuluskan usahanya. 

Kebanyakan manusia hanya bersandar kepada sebab, fokus kepada usaha yang ia lakukan, tetapi lupa sekedar mengucapkan doa permohoan, lupa sekedar mengucapkan  beberapa patah kata,

*_“Ya Allah permudahkanlah”_*

*_“Ya Allah lancarkanlah”_*

Atau sekedar mengucapkan doa singkat ,

اللهم يسر ولا تعسر

_*Allahumma yassir wa laa tu’assir*_

_“Ya Allah permudahkanlah jangan engkau persulit”_ [1]

Atau doa dalam setiap aktifitas seperti sebelum dan sesudah makan, masuk dan keluar WC atau sebelum dan sesudah tidur.

🍀 Manusia semakin lupa berdoa tatkala, usaha yang ia lakukan selalu berhasil tanpa berdoa. Padahal ini adalah *ISTIDJRAJ (makar dari Allah).* Ia dibiarkan bersenang-senang padahal hakikatnya Allah melupakannya. 

Allah Ta’ala berfirman,

نَسُواْ اللّهَ فَنَسِيَهُمْ

_“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.”_ *(At-Taubah: 67)*

Padahal sudah selayaknya kita menggantungkan diri dan berdoa memohon kepada Allah, setiap saat dan bahkan pada hal yang terkesan sepele kita juga menggantungkan dan memohon kepada Allah. 

Dalam hadits dijelaskan bahkan sekedar tali sandal yang putus kita berdoa kepada Allah agar dimudahkan dan digantikan dengan yang lebih baik.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,

” وفي الحديث دليل على أن الله يحب أن يسأله العباد جميع مصالح دينهم ودنياهم من الطعام والشراب والكسوة وغير ذلك ، كما يسألونه الهداية والمغفرة ، وفي الحديث : ( ليسأل أحدكم ربه حاجته كلها حتى شسع نعله إذا انقطع ) ، وكان بعض السلف يسأل الله في صلاته كل حوائجه حتى ملح عجينه وعلف شاته ، وفي الإسرائيليات : أن موسى عليه الصلاة والسلام قال : يا رب ! إنه ليعرض لي الحاجة من الدنيا فأستحي أن أسألك . قال : سلني حتى ملح عجينك وعلف حمارك

_“Pada hadits terdapat dalil bahwa Allah mencintai hamba-Nya yang meminta kepada-Nya semua mashlahat agama dan dunia berupa makanan, minuman, pakaian dan lain-lain sebagai mana mereka meminta hidayah dan ampunan._

_Dalam hadist, *‘hendaklah setiap kalian meminta kepada Rabbnya semua kebutuhan,* sampai-sampai ketika tali sandalnya lepas’.”_ *[Jami’ Al-‘ulum wal hikam 2/48, Mu’assasah Risalah, Beirut, , cet. VII,1422 H, syamilah]*

dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ a يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنَ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَى ذلِكَ

_“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam *menyukai doa-doa yang sederhana dan padat makna* (al-Jawami) dan beliau meninggalkan doa-doa selainnya.”_ *[HR. Ath-Thayalisi, no. 1491; Ahmad 6/148 dan 189; Abu Dawud, Ibid., 1/467, no. 1482; Ibnu Hibban, no. 867, Al-Albani telah menshahihkannya.]*

🟡 *Doa Iblis saja dikabulkan*

AllahTa’ala berfirman mengenai permohonan Iblis,

قَالَ أَنظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

_“Iblis menjawab: *“Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”*_

Maka Allah menjawab,

قَالَ إِنَّكَ مِنَ المُنظَرِينَ

_“Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.”_ *(Al-A’raf: 14-15)* 

Ahli Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

أجابه تعالى إلى ما سأل، لما له في ذلك من الحكمة والإرادة والمشيئة التي لا تخالف ولا تمانع

_“Allah Ta’ala mengabulkan apa yang Iblis Minta karena padanya ada hikmah, keinginan dan kehendak yang tidak bisa ditolak dan diselisihi.”_ *[Tafsir Ibnu Katsir, Darut Thayyibah, cet. II, 1429 H, syamilah]*

🟡 *Doa kita pasti dikabulkan*

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

_“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.”_ *(Al Mukmin: 60).*

🍀  Orang yang berdoa tidak pernah rugi karena doanya akan ada 3 kemungkinan:

*1.dikabulkan*

*2.disimpan sebagai kebaikan (jika tidak dikabulkan) untuk akhirat*

*3.dijauhkan dari keburukan*

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ «اللَّهُ أَكْثَرُ»

_“Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidak ada seorangpun yang berdoa dengan sebuah dosa yang tidak ada dosa di dalamnya dan memuutuskan silaturrahim, melainkan Allah akan mengabulkan salah satu dari tiga perkara, [1] baik dengan disegerakan baginya (pengabulan doanya) di dunia atau [2]dengan disimpan baginya (pengabulan doanya) di akhirat atau [3] dengan dijauhkan dari keburukan semisalnya”, para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu kami akan memperbanyak doa?” Beliau menjawab: “Allah lebih banyak (pengabulan doanya)”_ *[Tafsir Ibnu Katsir, Darut Thayyibah, cet. II, 1429 H, syamilah]*

Oleh karena itu Allah malu jika hambanya berdoa kemudian kembali dengan tangan hampa. 

dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

إن ربكم تبارك وتعالى حيي كريم يستحي من عبده إذا رفع يديه إليه أن يردهما صفرا

_“Sesunguhnya Rabb kalian tabaraka wa ta’ala Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.”_ *[HR. Abu Daud no. 1488 dan At Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dha’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih]*

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ.

_“Tidak ada sesuatu pun di sisi Allah subhanahu wata’ala yang lebih mulia daripada doa.”_ *[HR. Ath-Thayalisi, no. 2585; Ahmad 2/362; al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad , At-Tirmidzi dan Al-Albani menghasankannya]*

🍀 Tentu saja berdoa perlu memperhatikan sebab terhalang doa seperti *makanan yang haram* kemudian juga perhatikan waktu dan tempat mustajabnya doa. 

Yang terpenting adalah keyakinan dan keimanan kita.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

_“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.”_ *[HR. Tirmidzi no. 3479, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan]*

___________________
[1] Ini bukan lafadz doa dari hadits, akan tetapi boleh berdoa dengan lafadz ini sebagaimana fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah no.29075:

الدعاء ب‏:‏ ‏(‏اللهم يسر ولا تعسر‏)‏ جائز، ولا حرج فيه، واليسر والعسر كله بتقدير الله سبحانه

_“doa dengan lafadz *“Allahumma yassir wa laa tu’assir”* boleh, tidak masalah, karena kemudahan dan kesulitan adalah takdir Allah_

🖊  Ustadz dr. Raehanul Bahraen
www.muslimafiyah.com
__________
*Oleh: Mutiara Risalah Islam*
>>>>>>>🌺🌺<<<<<<<<

Sabtu, 22 Agustus 2020

MEMBANTAH Buku SYUBHAT

.
MEMBANTAH Buku SYUBHAT
Karangan : Idrus ✍🏻
__

Membedah Syubhat-Syubhat “Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi”
(Bagian pertama)

Membedah Syubhat-Syubhat “Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi”
berdebat dengan wahabi oleh :
Ustadz Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah.

Di antara karakteristik ahli bid’ah dari masa ke masa, bahwasanya mereka selalu mencela dan mencoreng citra Ahli Sunnah wal Jama’ah untuk menjauhkan umat dari al-haq. 

Al-Imam Abu Hatim ar-Razi Rahimahullahu Ta’ala berkata :

“Ciri ahli bid’ah adalah mencela ahlil atsar.” -(Ashlu Sunnah hlm. 24)✍🏻

Al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni Rahimahullahu Ta’ala berkata :

 “Tanda yang paling jelas dari ahli bid’ah adalah kerasnya permusuhan mereka kepada pembawa Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka melecehkan dan menghina Ahli Sunnah dan menamakan Ahli Sunnah dengan Hasyawiyyah, Jahalah, Dhahiriyyah, dan Musyabbihah.” -(Aqidah Salaf Ashabul Hadits hlm. 116)✍🏻

Di antara deretan buku-buku ‘hitam’ yang mencela ulama Sunnah adalah Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi yang beredar belakangan ini. Buku ini penuh dengan banyak cercaan, kedustaan, tadlis (manipulasi), dan pengkhianatan ilmiah terhadap Dakwah Salafiyyah.

Mengingat kitab ini telah menyebar di kalangan kaum muslimin—bahkan banyak dijadikan rujukan oleh para pemasar bid’ah—maka untuk menunaikan kewajiban kami dalam nasihat kepada kaum muslimin dan membela dakwah yang haq, dengan memohon pertolongan kepada Allah akan kami paparkan telaah kritis terhadap buku ini agar menjadi kewaspadaan dan peringatan bagi kita semua.
__

Penulis dan Penerbit Buku Ini :

Buku ini ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli dan diterbitkan oleh Bina Aswaja, Surabaya, cetakan ketujuh, Rajab 1433 H/Juni 2012 M.
PENULIS MENGINGKARI “ALLAH DI LANGIT”

Penulis berkata di dalam hlm. 16:
Allah juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah ada tanpa tempat.

Dia juga berkata di dalam hlm. 18:

Tidak jarang, kaum Wahabi menggunakan ayat-ayat Al-Qur‘an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah bertempat di langit. Akan tetapi dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat Al-Qur‘an yang sama.

KAMI KATAKAN :

Tidak syak lagi bahwa bahwa penulis telah terpengaruh dengan pemikiran Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah seperti istiwa‘ dan yang lainnya. Ini menyelisihi manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan semua sifat yang tsabitah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Yang shahih adalah bahwa “Allah bersemayam di atas ’Arsy di atas semua makhluk-Nya”. Al-Qur‘an, hadits shahih, dan fitrah yang bersih serta cara berpikir yang sehat adalah dalil-dalil yang qath’i yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas ’Arsy:

Allah Ta’ala berfirman:

ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ

Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa‘ di atas ’Arsy. (QS Thaha [20]: 5)

Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas ’Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: al-A’raf [7]: 54, Yunus [10]: 3, ar-Ra’d [51]: 2, Thaha [20]: 5, al-Furqan [25]: 59, as-Sajdah [22]: 4, dan al-Hadid [59]: 4.

Para tabi’in menafsirkan istiwa‘ dengan “naik dan tinggi”, sebagaimana diterangkan dalam hadits al-Bukhari (lihat Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyyah, asy-Syaikh al-Fauzan hlm. 73–75 cet. Maktabah al-Ma’arif).

1. Dan Allah Ta’ala berfirman:

ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ ٱلْأَرْضَ

Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian? (QS al-Mulk [67]: 16)

Menurut Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah, seperti disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauzi.

2. Dan Allah Ta’ala berfirman:

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka. (QS an-Nahl [16]: 50)

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mi’raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun ’alaih)

4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?” (Muttafaqun ’alaih)

5. Di dalam Shahih Muslim (no. 537) bahwa ada seorang jariyah (budak perempuan) penggembala kambing ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Di manakah Allah?” Jawab budak perempuan, “Di atas langit.” Beliau bertanya (lagi), “Siapakah aku?” Jawab budak itu, “Engkau adalah Rasulullah.” Beliau bersabda, “Merdekakan ia, karena sesungguhnya ia mukminah (seorang perempuan yang beriman).”

6. Al-Imam Malik, ketika ditanya tentang masalah istiwa‘ (tingginya) Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ’Arsy-Nya berkata, “Istiwa‘ (Allah) sudah sama dipahami, dan bagaimana (hakikat)nya tidak diketahui, sedangkan mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentang bagaimana (hakikat) Allah ber-istiwa‘ adalah bid’ah.” (Lihat Mukhtashar al-’Uluwoleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 141.)

7. Al-Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Kita mengetahui bahwa Tuhan kita berada di atas langit yang tujuh; ber-istiwa‘ di atas ’Arsy-Nya; terpisah dari makhluk-Nya. Kami tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jahmiyyah.” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 151.)

8. Al-Imam al-Auza’i Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Kami dan para Tabi’in mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah penyebutannya di atas ’Arsy-Nya dan kami mengimani apa saja yang terdapat di dalam Sunnah.’” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 138.)

9. Al-Imam Abu Hanifah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang mengatakan ‘Saya tidak tahu apakah Tuhan saya berada di langit atau bumi’ berarti dia telah kafir.” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 136.)

10. Al-Imam Ibnu Khuzaimah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ’Arsy-Nya Dia istiwa‘ di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Rabbnya…” (Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam kitab Ma’rifah Ulumul Hadits hlm. 84 dengan sanad yang shahih)

KEDUSTAAN-KEDUSTAAN PENULIS

Penulis berkata di dalam hlm. 90:

Misalnya Abdul Muhsin Al-‘Abbad dari Madinah menganggap Al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud Al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai Al-Albani telah mulhid (tersesat)…

KAMI KATAKAN:

Demikianlah penulis telah membuat kedustaan yang besar yang diketahui oleh setiap orang yang memiliki perhatian terhadap perikehidupan para ulama, penulis telah melecehkan para ulama Sunnah dan membuat kebohongan-kebohongan atas mereka.

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad SANGAT MENGHORMATI Syaikh al-Albani sebagaimana Syaikh al-Albani juga sangat menghormati beliau. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad tidak pernah menuduh Syaikh al-Albani Murji’ah bahkan beliau mengatakan:

قد كان رحمه الله من العلماء الأفذاذ الذين أفنوا أعمارهم في خدمة السنة و التأليف فيها و الدعوة إلى الله عز و جل و نصرة العقيدة السلفية و محاربة البدعة، و الذب عن سنة الرسول- صلى الله عليه و سلم-

“Beliau Syaikh al-Albani termasuk para ulama yang menonjol yang menghabiskan umur mereka di dalam pengabdian kepada Sunnah, berdakwah ilallah, membela aqidah salaf, memerangi bid’ah, dan membela sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Tarjamah Syaikh al-Albani dari www.albani.org dan lihat juga buku kami Barisan Ulama Pembela Sunnah Nabawiyyah hlm. 172 cet. kedua)

Demikian juga Syaikh Hamud at-Tuwaijiri sangat menghormati Syaikh al-Albani dan beliau mengatakan tentang Syaikh al-Albani:

الألباني – الآن – علم على السنة ، الطعن فيه إعانة على الطعن في السنة

“Syaikh al-Albani sekarang adalah lambang dari Sunnah, mencela beliau akan memudahkan cela pada Sunnah.” (Sirah al-Allamah Hamud bin Abdullah at-Tuwaijiri hlm. 14 dan lihat juga buku kami Barisan Ulama Pembela Sunnah Nabawiyyah hlm. 165 cet. kedua)

BID’AH HASANAH MENURUT PENULIS

Penulis berkata di dalam hlm. 36:

Dalam acara itu saya menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dan pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar) Karena meskipun Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Muslim: 867)

Ternyata Rasulullah juga bersabda: “Barangsiapa yang MEMULAI mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR Muslim: 1017)

Dalam hadits pertama Rasulullah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang MEMULAi perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahalanya dn pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits yang pertama “kullu bid’atin dhalalah” (setiap bid’ah adalah sesat) sebagaimana dikatakan oleh Imam An-Nawawi dan lain-lain.

KAMI KATAKAN:

Demikianlah penulis berusaha melegalkan bid’ah hasanah dengan menyebarkan pemahaman yang keliru tentang hadits Man Sanna fil Islam Sunnatan Hasanatan padahal tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan “Man sanna fil Islam” yang artinya “Barangsiapa berbuat dalam Islam”, sedangkan bid’ah tidak termasuk dalam Islam; kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan “sunnatan hasanatan” yang berarti “sunnah yang baik”, sedangkan BID’AH BUKAN YANG BAIK. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid’ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata “Man sanna” bisa diartikan pula “BARANGSIAPA MENGHIDUPKAN SUATU SUNNAH”, yaitu sunnah yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “sanna” tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sabab wurud (sebab timbulnya) hadits di atas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda, “Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu.”

Dari sini dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah melaksanakan (mengerjakan), BUKAN BERARTI MEMBUAT (MENGADAKAN) SUATU SUNNAH. Jadi, arti dari sabda beliau “Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan” yaitu: “Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik dalam Islam”, bukan membuat atau mengadakannya karena yang demikian ini dilarang berdasarkan sabda beliau “Kullu bid’atin dhalalah”. (Lihat al-Ibda’ fi Kamalisy Syar’i wa Khatharil Ibtida’.)

MENOLAK HADITS SHAHIH

Penulis di dalam hlm. 21–22 menyebutkan hadits Jariyah yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di dalam Shahih-nya 2/70:

فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

“Lalu beliau bertanya kepada budak wanita tersebut, ‘Di manakah Allah?’ Budak itu menjawab, ‘Di langit.’ Beliau bertanya, ‘Siapakah aku?’ Dia menjawab, ‘Engkau adalah utusan Allah.’ Beliau bersabda, ‘Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah.’”

Kemudian penulis berkata:

Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits) Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtarib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi tidak bertanya dimana Allah. Akan tetapi Nabi bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.

KAMI KATAKAN:

Demikianlah, untuk melegalkan pemikiran sesatnya bahwa Allah tidak di langit, penulis telah berani menolak hadits yang disepakati keshahihannya oleh para ulama. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahullahu Ta’alaberkata, “Hadits ini disepakati keabsahannya oleh para ulama muslimin semenjak dahulu hingga sekarang dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar, seperti Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu ’Awanah, Ibnul Jarud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para pakar dan sebagian mereka adalah para penakwil, seperti al-Baihaqi, al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) al-Asqalani, dan lainnya.

Lantas, bagaimana pendapat seorang muslim yang berakal terhadap orang jahil dan sombong yang menyelisihi para imam dan pakar tersebut, bahkan mencela lafal (yang diucapkan) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah dishahihkan oleh para ulama tersebut?!” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 1/11)

Al-Imam al-Baihaqi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Hadits ini shahih. Dikeluarkan oleh Muslim.” (al-Asma‘ wash Shifat hlm. 532–533)

Al-Imam adz-Dzahabi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Hadits ini shahih. Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, an-Nasa‘i, dan imam-imam lainnya dalam kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa takwil dan tahrif.” (al-’Uluw lil ’Aliyyil ’Azhim 1/249)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim.” (Fathul Bari13/359)

Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada satu pun dari ulama hadits yang menyebutkan bahwa hadits tersebut adalah mudhtarib, maka penulis telah melakukan pelemahan hadits dengan dalih dari kantongnya sendiri.

BERARGUMEN DENGAN HADITS LEMAH

Penulis berkata di dalam hlm. 10:
Sebagai penegasan bahwa Nabi yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut:

عن عبد الله بن مسعود عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: حياتي خير لكم ، تحدثون ويحدث لكم ، ووفاتي خير لكم ، تعرض علي أعمالكم ، فما رأيت من خير حمدت الله عليه ، وما رأيت من شر استغفرت الله لكم

“Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda: ‘Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku akan memintakan ampun kalian kepada Allah.’” (HR al-Bazzar, 1925)

KAMI KATAKAN:

Ini adalah hadits yang lemah. Ia diriwayatkan oleh al-Bazzar di dalam Musnad-nya 5/308 dari Yusuf bin Musa dari Abdul Majid bin Abdil Aziz bin Abi Rawwad dari Sufyan dari Abdullah bin Saib dari Zadzan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ يُبَلِّغُونِي عَنْ أُمَّتِي السَّلَامَ قَالَ: وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَيَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُحَدِّثُونَ وَنُحَدِّثُ لَكُمْ ، وَوَفَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ ، فَمَا رَأَيْتُ مِنَ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللَّهَ عَلَيْهِ ، وَمَا رَأَيْتُ مِنَ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ اللَّهَ لَكُمْ

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat Sayyahin (yang berkeliling) di bumi. Mereka menyampaikan salam dari umatku kepadaku.” Abdullah berkata, “Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbicara dan kami berbicara kepada kalian. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku akan memintakan ampun kalian kepada Allah.’”

Al-Bazzar Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Dan hadits ini, (bagian) akhirnya kami tidak mengetahui diriwayatkan dari Abdullah kecuali dari jalan dengan sanad ini.”

Abdul Aziz bin Abi Rawwad telah sendirian di dalam meriwayatkan hadits ini dari Sufyan ats-Tsauri dengan tambahan “Hidupku lebih baik bagi kalian…”, dia telah diselisihi oleh banyak dari para perawi yang tsiqah dari para sahabat Sufyan ats-Tsauri yang meriwayatkan hadits ini dari Sufyan tanpa tambahan di atas.

Para perawi yang tsiqah tersebut adalah: Yahya al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi, Waki’ bin Jarrah, Ibnul Mubarak, Abdurrazzaq bin Hammam, Mu’adz al-’Anbari, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Abdullah bin Numair, Zaid bin Habbab, Ubaidullah bin Musa, Abu Nu’aim, Fudhail bin ’Iyadh, Muhammad bin Katsir, dan Abu Ishaq al-Fazari, yang total jumlah mereka ada 14 orang (riwayat mereka ada di dalam Sunan an-Nasa‘i 3/43, Musnad Ahmad 1/452 dan yang lainnya, lihat Silsilah Ahadits Dha’ifah: 975 dan Fatawa Haditsiyyah 2/14).

Maka riwayat Abdul Majid bin Abi Rawwad adalah mungkar, dia dilemahkan oleh Abu Hatim Ibnu Sa’ad, Abu Zur’ah, Daruquthni, dan yang lainnya.

Hadits ini dilemahkan oleh al-’Ujluni di dalam Kasyful Khafa’ 1/442, al-Hafizh al-’Iraqi di dalam Mughnil Isfar 2/1051, dan Ibnul Qaisarani di dalam Ma’rifat Tadzkirah 3/1250.

Syaikh al-Albani Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Dan kesimpulannya bahwa hadits ini adalah lemah dengan seluruh jalan-jalannya.” (Silsilah Dha’ifah 2/406)

Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Hadits ini termasuk mungkar-mungkar Abdul Majid bin Abi Rawwad.” (Arsip Multaqa Ahlil Hadits 27/327)

Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini menyebutkan bahwa hadits ini mungkar secara matan dengan dalil hadits yang Muttafaq ’Alaih dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ألا وإنه سيجاءُ برجالٍ من أمتي، فيؤخذُ بهم ذات الشمال، فأقولُ: يا ربِّ أصحابي، فقال: إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك

“Ingat, sesungguhnya beberapa orang dari umatku akan didatangkan lalu mereka diambil ke golongan kiri, aku berkata, ‘Wahai Rabb, (mereka itu) sahabat-sahabatku.’ Dikatakan, ‘Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka buat-buat sepeninggalmu.’”

Hadits ini merupakan dalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengetahui amalan-amalan umat beliau setelah beliau wafat. (Lihat Fatawa Haditsiyyah 2/16.)

Penutup

Inilah yang bisa kami sampaikan kepada para pembaca tentang jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat buku ini. Sebetulnya masih banyak hal-hal lain dari syubhat-syubhat buku ini yang perlu dijelaskan, tetapi insya Allah yang telah kami paparkan di atas sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang bahaya buku ini. Semoga Allah selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikutinya.

Aamiin.

والله أعلم بالصواب

Follow FP Muslim Al Ghuroba'

Selengkapnya klik dsni :

https://abunamira.wordpress.com/2014/03/03/membedah-syubhat-syubhat-buku-pintar-berdebat-dengan-wahabi/

Rabu, 19 Agustus 2020

JUMLAH YANG BANYAK BUKAN TOLAK UKUR KEBENARAN

Jumlah Yang Banyak Bukan Tolak Ukur Kebenaran

📑 Allah Ta'ala berfirman,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ﴿١١٦﴾إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabb-Mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am 116-117)

✔ Pada ayat ini, Allah Azza wa Jalla memberikan perintah kepada Nabi-Nya dan perintah ini berlaku juga kepada seluruh pengikutnya. Yaitu perintah agar tidak mengikuti kebanyakan manusia yang ada di muka Bumi ini. Karena kebanyakan mereka berada dalam kesesatan. Jika seseorang tetap mengikuti mereka, maka ini akan menyebabkannya tersesat dari jalan Allah Azza wa Jalla.

👤 Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Azza wa Jalla memberitahukan tentang keadaan sebagian besar penduduk bumi dari anak keturunan Adam yang berada dalam kesesatan.” (Tafsîr Ibni Katsîr, III/322)

✔ Kebanyakan manusia tidak mengikuti ajaran yang murni dari Allah Azza wa Jalla. Ajaran yang mereka anut adalah ajaran-ajaran yang MENYIMPANG, amalan-amalan mereka bercampur dengan hal-hal baru yang mereka ada-adakan sendiri tanpa petunjuk dari Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

👤 Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan,

“Sesungguhnya sebagian besar dari mereka telah menyimpang dalam Agama, amalan-amalan dan Ilmu-ilmu mereka. Agama-agama mereka telah rusak, amalan-amalan mereka mengikuti hawa nafsu mereka; dan Ilmu-ilmu mereka tidak didasarkan atas penelitian untuk mencari kebenaran dan tidak bisa mendapatkan jalan yang lurus.” (Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42)

Kita tidak bisa menjadikan apa yang dipegang oleh KEBANYAKAN MANUSIA sebagai suatu kebenaran jika mereka berada dalam kesesatan. Gaya hidup menyimpang yang terus berkembang, kemaksiatan dan kesesatan yang terus merajalela, jangan sampai membuat kita tergiur dan terpengaruh. Sebagian kaum Muslimin merasa tidak enak jika menyelisihi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di dunia ini, padahal kebiasaan itu salah. Sebagai seorang Muslim kita harus berpegang kepada kebenaran yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla.

👤 Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“Sesungguhnya jumlah yang banyak bisa menjadi suatu kesesatan. Allah Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya), 'Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan MENYESATKANMU dari jalan Allah.'

Dan di sisi lain, dengan jumlah yang banyak, seseorang bisa tertipu dengannya dan dia menyangka bahwa dia tidak akan terkalahkan dan pasti menang. Ini juga termasuk sebab dari kesesatan. Dan jumlah yang banyak jika kita lihat kepada sebagian besar penduduk Bumi, maka kebanyakan mereka sesat dan janganlah kamu tertipu dengan mereka.

Janganlah kamu katakan, 'Sesungguhnya manusia telah berpegang pada ini, bagaimana mungkin saya menyelisihi mereka?'” (Lihat al-Qaulul-Mufîd, I/110)

👤 Pesan yang sangat indah disampaikan oleh Imam al-Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah, beliau pernah mengatakan,

“Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan sedikitnya orang yang mengikutinya tidak akan berbahaya bagimu. Jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya jumlah orang yang binasa (terjerumus di sana).” (Al-I’tishâm lisy-Syâthibi, I/83)

👉 AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN LAFAZ DI ATAS

Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengikuti kebanyakan manusia di muka Bumi ini.

📑 Di antaranya adalah firman Allah ﷻ :

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan SEBAGIAN BESAR manusia tidak akan beriman (walaupun kamu sangat menginginkannya).” (QS. Yûsuf : 103)

📑 Begitu juga firman Allah ﷻ :

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan SEBAGIAN BESAR dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yûsuf : 106)

📑 Dan juga firman-Nya :

وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَىٰ أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا

“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur’an ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi KEBANYAKAN MANUSIA tidak menyukai kecuali mengingkari (nya).” (QS. Al-Isra’ : 89)

📑 Dan juga firman-Nya :

وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ ۖ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati KEBANYAKAN MEREKA orang-orang yang fasik.” (Al-A’râf : 102)

✔ Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa Allah Azza wa Jalla mensifati SEBAGIAN BESAR MANUSIA di muka Bumi ini dengan sifat : SESAT, KAFIR (ingkar), SYIRIK dan FASIK, serta TIDAK BERIMAN kepada Allah Azza wa Jalla.

⚠ TIDAK BOLEH TERTIPU DENGAN JUMLAH YANG BANYAK

Di antara para Nabi ada yang memiliki pengikut hanya Satu atau Dua orang, karena kebanyakan Manusia pada saat itu berada dalam kesesatan. Pengikut Nabi tersebut meskipun hanya sedikit jumlahnya, mereka tidak tertipu dengan banyaknya manusia yang berada dalam kesesatan.

Rasulullah ﷺ bersabda :

عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَجَعَلَ يَمُرُّ النَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلُ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ

“Ditunjukkan kepadaku umat-umat. Kemudian lewatlah seorang nabi bersama satu orang (pengikut), seorang Nabi bersama dua orang (pengikut) dan seorang Nabi bersama beberapa orang dan seorang Nabi yang lewat tidak bersama siapa pun…” (HR. Al-Bukhâri, no. 5752)

📑 Firman Allah Ta’ala :

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja.”

👤 Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,

“Bahkan tujuan mereka adalah mengikuti prasangka yang tidak mengandung kebenaran. Mereka hanya mengira-ngira dalam berbicara tentang Allah Azza wa Jalla dalam masalah yang tidak mereka ketahui. Jika seperti ini keadaannya, maka sangat wajar, jika Allah Azza wa Jalla memperingatkan para hamba-Nya dari keburukan tersebut dan menjelaskan keadaan mereka. Meskipun yang diajak bicara pada ayat ini adalah Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, (namun) sesungguhnya umatnya mengikuti Beliau ﷺ dalam seluruh hukum yang tidak dikekhususkan buat Beliau Shallallahu’alaihi wasallam.” (Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42)

Dengan demikian kita mengetahui bahwa orang-orang Kafir berada dalam kesesatan karena dalam beragama mereka hanya mengikuti prasangka dan mengira-ngira akan suatu kebenaran sehingga mereka harus membuat kedustaan demi kedustaan atas nama Allâh Azza wa Jalla.

⚠ KEBENARAN HARUS MEMILIKI BUKTI

Kebenaran itu harus memiliki bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh tertipu dengan jumlah pengikut suatu Agama, keyakinan atau aliran tertentu yang banyak. Yang menjadi timbangan kebenaran bukan banyak atau sedikitnya pengikut, namun yang menjadi timbangan adalah kebenaran.

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menghukumi orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang yang sesat dan mereka menyangka bahwa mereka akan masuk ke dalam Surga.

📑 Allah Ta’ala berfirman :

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.’ Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’” (QS. Al-Baqarah : 111)

Allah ﷻ menyuruh mereka untuk mendatangkan burhân (bukti), dan mereka tidak bisa mendatangkan bukti itu selama-lamanya. Diantara alasannya adalah kitab-kitab suci mereka, yaitu Taurat dan Injil, telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman dan mereka pun meyakini akan terjadi perubahan tersebut.

Oleh karena itu, apabila kita mendapatkan suatu Agama, Kepercayaan, Keyakinan atau Aliran tidak bisa mendatangkan bukti akan kebenaran mereka, maka sudah sepantasnya kita tidak mengikuti mereka. Kebenaran adalah apa yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad ﷺ, bukan ngarang-ngarang, bukan prasangka-prasangka dan juga bukan pendapat-pendapat manusia.

⚠ KEBENARAN AKAN MENJADI SUATU YANG ASING

✔ Di zaman sekarang ini, banyak sekali kaum Muslimin yang mengikuti dan meniru-niru orang kafir dan tidak mau mempelajari agama Islam. Akibatnya, banyak sekali kaum Muslimin yang tidak mengenal Agama mereka sendiri.

✔ Bahkan ketika ada seseorang yang menjalankan ibadah atau berpenampilan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ, banyak orang yang mengaku Muslim yang mengejek mereka, bahkan dengan lancang berani mengatakan bahwa orang tersebut adalah orang yang sesat.

📚 Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Nabi kita Muhammad ﷺ :

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana dia datang, maka beruntunglah orang-orang yang asing tersebut.” ([HR. Muslim no. 145/232)

📚 Di dalam riwayat lain ketika Rasulullah ﷺ ditanya tentang siapakah orang-orang asing tersebut, Rasulullah ﷺ bersabda :

قَوْمٌ صَالِحُونَ قَلِيلٌ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ

“Mereka adalah orang-orang shalih yang jumlahnya sedikit di antara orang-orang buruk yang jumlahnya banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang menuruti mereka.” (HR. ‘Abdullah bin al-Mubârak dalam Musnad Ibni al-Mubârak, no. 23 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 1457. Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih di dalam ash-Shahîhah, no. 1619)

👤 Mubârak bin Fadhâlah meriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah, beliau mengatakan,

“Seandainya ada seseorang yang mendapati kaum Salaf generasi pertama kemudian dia dibangkitkan pada hari ini, maka dia tidak mengenal Islam sedikit pun.”

Kemudian beliau meletakkan tangannya di pipinya dan berkata, “Kecuali shalat ini.” (Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 92)

👤 Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari ‘Isa bin Yunus dari Al-Auza’i dari Hibban bin Abi Jabalah dari Abu Darda’ Radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Seandainya Rasulullah ﷺ keluar kepada kalian pada saat ini, maka beliau tidak mengenal apa-apa yang dulu dikerjakan oleh beliau dan para Sahabatnya kecuali shalat.”
👤 Kemudian al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Bagaimana jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada saat ini?”
👤 ‘Isa bin Yunus berkata, “Bagaimana seandainya al-Auza’i mendapatkan zaman sekarang ini?” (Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 94)

Ini adalah perkataan beliau-beliau pada zaman dimana mereka hidup, Bagaimana jika para Ulama itu melihat manusia pada zaman kita sekarang ini?

📍 KESIMPULAN

✔ Berdasar uraian di atas maka kita bisa simpulkan beberapa hal sebagai berikut :

☑ Kebanyakan manusia di atas muka bumi adalah orang-orang yang menyimpang, sehingga kita tidak boleh mengikuti penyimpangan mereka atau jangan sampai kita tertipu dengan jumlah mereka yang banyak.

☑ Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan orang-orang yang menyimpang hanya mengikuti prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja dalam beragama dan mereka tidak memiliki burhân (bukti) atas apa yang mereka lakukan.

☑ Kebenaran harus bisa dibuktikan dan dia harus berasal dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

☑ Sangat sedikit di akhir zaman orang-orang yang memahami kebenaran dan kebenaran tersebut akan terlihat asing oleh orang-orang Islam sendiri.

☑ Kaum Muslimin akan senantiasa mendapatkan petunjuk di jalan yang lurus selama mereka berpegang teguh dengan jamaah kaum Muslimin yang pertama, yaitu jamaah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

📌 Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa menunjuki kita ke jalan yang lurus. Aamiin.

🔽➖➖➖🔽➖➖➖🔽

🖋 Penulis : Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA
🌐 Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/6531-jika-beragama-mengikuti-kebanyakan-orang.html
🌇 Sumber Komik : https://instagram.com/satnitekomiks

📑 Beberapa Referensi dari Al-Qur’an :

(QS. Al-Baqarah : 243) “..kebanyakan manusia tidak bersyukur”
(QS. Ali Imran : 110) “..kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”
(QS. Al Madinah : 49) “..kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik”
(QS. Al Aʼraf : 102) “..kebanyakan mereka orang-orang fasik”
(QS. Al A'raf : 187) “..kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(QS. Yunus : 60) “..kebanyakan mereka tidak bersyukur”
(QS. Yunus : 92) “..kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda kekuasaan kami”
(QS Hud : 17) “.. kebanyakan manusia tidak beriman”
(QS. Yusuf : 21) “..kebanyakan manusia tidak mengerti”
(QS. Yusuf : 38) “..kebanyakan manusia tidak bersyukur”
(QS. Yusuf : 40, 68) “..kebanyakan manusia tidak mengetahui” 
(QS. Yusuf : 103) “..kebanyakan manusia tidak beriman”
(QS. Yusuf : 106) “..kebanyakan mereka tidak beriman”
(QS. Ar Ra'd : 1) “..kebanyakan manusia tidak beriman”
(QS. An Nahl : 38) “..kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(QS. Al Isra' : 89) “..kebanyakan manusia tidak menyukainya bahkan mengingkarinya”
(QS. Al Furqan : 50) “..kebanyakan manusia tidak mau bersyukur bahkan mereka mengingkari nikmat”
(QS. An Naml : 73) “..kebanyakan mereka tidak mensyukurinya”
(QS. Ar Rum : 6, 30) “..Kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(QS. Saba' 28, 36) “..kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(QS. Az Zumar : 49) “..kebanyakan mereka tidak mengetahui”
(QS. Ghafir : 57) “..kebanyakan mereka tidak mengetahui”
(QS. Ghafir : 59) “..kebanyakan mereka tidak beriman”
(QS. Ghafir : 61) “..kebanyakan manusia tidak bersyukur”
(QS. Al Jasiyah : 26) “..kebanyakan manusia tidak mengetahui”
.......dst.

Selasa, 18 Agustus 2020

BAHAYA AMBISI HARTA & KEKUASAAN.....

BAHAYA AMBISI HARTA & KEKUASAAN..... 

Dari Ka’ab bin Malik Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

“ Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kehormatan ” [1] .

Hadit ini berisi permisalan yang sangat agung, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kerusakan pada dien seorang muslim dengan sebab ambisi terhadap harta dan kehormatan di dunia. Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang yang berambisi terhadap harta dan kehormatan (dunia) tidak akan selamat dari keutuhan keislamannya, kecuali sedikit orang yang selamat.

Permisalan yang agung ini mencakup peringatan keras dari bahaya ambisi terhadap harta dan kehormatan di dunia.

Adapun ambisi terhadap harta terbagi menjadi dua macam, yaitu:

Pertama : Sangat cinta terhadap harta, dan memforsir diri serta berlebih-lebihan dalam mencarinya meskipun dengan jalan yang halal.
Walaupun akibat yang timbul dari ambisi terhadap harta hanyalah tersia-sianya waktu dalam hidup ini, padahal memungkinkan bagi manusia untuk memanfaatkan waktu tersebut agar mencapai kedudukan yang tinggi dan kenikmatan yang abadi disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, cukuplah hal tersebut sebagai celaan terhadap perbuatan ambisi terhadap harta.

Kedua : Disamping yang pertama, dia mencari harta dari jalan-jalan yang haram dan menahan hak-hak yang wajib ia berikan kepada orang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“ Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung ” [at-Taghaabun/64: 16]

Dalam Sunan Abu Daud dari Abdullah bin Amru Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ أَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخِلُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا

“ Hati-hatilah kalian terhadap As-syuhh (kikir), sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa karena disebabkan oleh As-syuhh (kikir). As-syuhh (kikir) itu mengajak mereka untuk bakhil, maka mereka berbuat bakhil; ia itu mengajak memutuskan tali silaturrahmi, maka mereka memutuskan tali silaturrahmi; dan ia itu mengajak mereka untuk berdosa, maka mereka berbuat dosa ” [2]

Dan di dalam Shahih Muslim (4/1996, no. 56/2578) dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:

اتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ

“Hindarilah As-syuhh (kikir) sesungguhnya as-syuhh itu menyebabkan kebinasaan kepada orang-orang sebelum kalian, as-syuh itu membawa mereka untuk menumpahkan darah dan menghalalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah buat mereka”.

Hakekat as-syuhh itu adalah kecenderungan jiwa kepada apa-apa yang diharamkan oleh Allah, dan tidak puasnya seseorang dari apa-apa yang dihalalkan oleh Allah, baik berupa harta, hubungan sexual dan selainnya, kemudian setelah itu dia melapaui batas dengan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah.

Al-Bukhlu (pelit) itu adalah menahan diri dari mengeluarkan harta yang dimilikinya. Adapun as-syuh itu adalah mengambil sesuatu yang bukan miliknya secara zhalim dan permusuhan, baik berupa harta ataupun selainnya. Tetapi terkadang kata as-syuh juga dipakai dengan makna al-bukhlu, dan sebaliknya, tetapi pada dasarnya ada perbedaan antara keduanya sebagaimana telah kami sebutkan.

Adapun ambisi seseorang terhadap kehormatan maka hal itu lebih membinasakan daripada ambisi terhadap harta. Sesungguhnya mencari kehormatan dunia, ketinggian dan mengejar pangkat dan jabatan karena senang menjadi pemimpin orang banyak dan melakukan kesombongan di dunia, maka hal itu lebih berbahaya bagi seseorang dibandingkan dengan bahaya yang ditimbulkan akibat ambisi seseorang untuk mengejar harta, bahkan seseorang tidak segan-segan untuk mengeluarkan hartanya demi mencapai kekuasaan dan kepemimpinan atas manusia serta mendapatkan kehormatan di dunia.

Ambisi Terhadap Kehormatan Terbagi Menjadi Dua Macam :
1. Mencari Kehormatan Melalui Jabatan, Kekuasaan Dan Harta.
Hal ini berbahaya sekali karena biasanya akan menghalangi nikmat akhirat dan kemuliannya. Allah berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ اْلأَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لاَيُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي اْلأَرْضِ وَلاَفَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“ Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa ” [al-Qashash/28:83]

Dalam Shahih Bukhari no. 7148 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ …

“ Kalian akan berambisi atas kekuasaan dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat …”.

Ketahuilah, bahwa ambisi terhadap kehormatan sangat membahayakan pelakunya, (ia akan menghalalkan segala macam cara) dalam usahanya mencapai tujuan, dan juga sangat membahayakan pelakunya ketika telah mendapatkan kehormatan di dunia, dengan cara mempertahankan statusnya meskipun harus melakukan kezhaliman, kesombongan dan kerusakan-kerusakan yang lain sebagaimana dilakukan oleh penguasa yang zhalim.

Di antara bahaya ambisi terhadap kehormatan adalah, biasanya orang yang memiliki kehormatan karena harta atau kekuasaannya, ia akan suka dipuji dengan perbuatannya dan ia menginginkan pujian dari manusia, meskipun terkadang perbuatan itu lebih tepat disebut sebagai perbuatan tercela dari pada perbuatan terpuji. Orang yang tidak mengikuti keinginannya, dia tidak segan-segan untuk menyakiti dan meterornya. Bahkan terkadang dia melakukan perbuatan yang zhahirnya baik, tetapi ia menyembunyikan maksud yang buruk, ia senang dengan kamuflase tersebut, apalagi dengan adanya sambutan yang positif dari khalayak ramai. Perbuatan tersebut termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَواْ وَيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ

“ Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa ”. [Ali Imran/3 :188]

Dari sinilah para ulama’ yang mendapatkan petunjuk dari Allah melarang manusia untuk memuji mereka atas kebaikan yang mereka lakukan kepada sesama manusia, bahkan mereka menyuruh manusia untuk mengembalikan pujian hanya kepada pemiliknya, yaitu hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tiada sekutu bagiNya, karena sesungguhnya segala kenikmatan itu datang dariNya.

(Penguasa yang adil) menginginkan agar dien Islam itu semuanya milik Allah, begitu pula kemuliaan hanya milik Allah, bersama itu pula ia takut kalau-kalau ia lalai dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya.

Orang-orang yang mencintai sesama muslim dengan dasar ikhlas karena Allah, maka yang paling mereka inginkan dari orang lain adalah agar manusia mencintai Allah, mentaati dan mengesakanNya dalam beribadah. Mereka tidak menginginkan imbalan jasa ataupun ucapan terimakasih dari manusia, mereka hanya mengharapkan imbalan dari Allah atas amalan baik yang mereka lakukan.

Dari sinilah pengikut setia para rasul, baik para ulama’ maupun para pejabat, tidak mengajak manusia untuk mengagungkan diri mereka sendiri, tetapi hanya mengagungkan Allah saja, dan beribadah kepadaNya. Ada di antara mereka yang menginginkan kekuasaan hanya sebagai sarana untuk amar ma’ruf nahi mungkar, dan berdakwah mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah semata.

2. Mencari Kehormatan Dan Kedudukan Yang Tinggi Di Mata Manusia Melalui Jalan Agama, Seperti Ilmu, Amal Shalih Dan Zuhud.
Bentuk seperti ini lebih keji dari yang pertama, lebih buruk, lebih berbahaya dan lebih besar kerusakannya. Karena sesungguhnya ilmu, amal shalih dan zuhud hanyalah dimaksudkan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah, berupa kedudukan yang tinggi, kenikmatan yang langgeng dan kedekatan denganNya.

Point yang kedua inipun terbagi menjadi dua:
a. Dimaksudkan untuk mencari harta. Ini termasuk ke dalam ambisi terhadap harta dan mencarinya dengan jalan yang diharamkan. Dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“ Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya ditujukan untuk mencari ridla Allah, hanya saja dia mempelajarinya semata-mata untuk mendapatkan bagian di dunia maka dia tidak mendapatkan bau syurga di hari kiamat ” [3]

b. Dimaksudkan untuk mencari pengaruh pada manusia dan agar dihormati oleh mereka, agar mereka tunduk patuh kepadanya, agar ia menjadi pusat perhatian manusia, untuk menampakkan kepada manusia kelebihan ilmunya melampaui para ulama’, maka orang seperti ini bagiannya adalah neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

“ Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang yang bodoh atau menandingi para ulama’ atau untuk mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya kedalam api neraka ” [4]

Dari sini pula para salafus shalih tidak suka lancang dalam memberikan fatwa dan tidak berambisi untuknya, tidak terburu-buru dan tidak suka banyak berfatwa.

Sebagian ulama’ berkata kepada orang yang suka memberikan fatwa: “jika kalian ditanya satu masalah, janganlah perhatian kalian tentang bagaimana terbebas dari si penanya, akan tetapi bagaimana kalian bisa selamat lebih dahulu”. Ada juga yang berkata: “Apabila anda ditanya tentang satu masalah, berpikirlah terlebih dahulu, jika anda mendapatkan jalan keselamatan untuk dirimu maka berbicaralah, jika tidak maka diamlah !”

Dari sini pula para salafus Shalih tidak suka mendatangi dan mendekati para penguasa, adapun ulama’ dunia ia akan masuk dari pintu ke pintu untuk mendapatkan kemuliaan dunia dan kedudukan. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

مَنْ سَكَنَ الْبَادِيَةَ جَفَا وَمَنِ اتَّبَعَ الصَّيْدَ غَفَلَ وَمَنْ أَتَى السُّلْطَانَ افْتُتِنَ

“ Barangsiapa tinggal di daerah orang-orang Badui dia akan berperangai kasar, barangsiapa mengikuti hewan buruan ia akan lalai, dan barangsiapa mendatangi pintu para penguasa, ia akan terfitnah ” [5]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya:

وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُّلْطَانِ دُنُوًّا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ الهِ u بُعْدًا

“ Tidaklah seseorang semakin dekat kepada penguasa kecuali akan semakin jauh dari Allah ” [6]

Yang sangat ditakutkan atas orang yang mendatangi para penguasa yang zhalim adalah membenarkan kedustaan mereka, menolong kezhaliman mereka meskipun dengan diam membiarkan mereka berbuat zhalim. Karena orang yang mendatangi mereka dengan tujuan mendapatkan kemuliaan dan kedudukan di dunia serta berambisi terhadap keduanya, dia tidak akan mengingkari mereka, bahkan sangat mungkin baginya untuk menganggap baik tindakan buruk mereka, sebagai upaya untuk untuk mendekatkan diri kepada mereka, dan untuk mendapatkan posisi yang baik di sisi mereka, agar mereka membantunya untuk mewujudkan ambisinya.

Dari Ka’ab bin Ujrah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ وَلَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ

“ Akan datang sesudahku para penguasa, maka siapa yang masuk menemui mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan membantu mereka atas kezhaliman yang mereka lakukan, maka dia bukanlah dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan ia tidak akan minum air telaga. Barangsiapa yang tidak masuk menemui mereka, dan tidak menolong mereka atas kezhaliman mereka, dan tidak membenarkan kedustaan mereka, maka dia adalah termasuk golonganku dan aku darinya dan dia akan minum air telaga ” [7]

Banyak dari kalangan Salaf yang melarang masuk mendatangi para penguasa meskipun bertujuan amar ma’ruf nahi mungkar. Di antara mereka adalah Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Mubarak, Sufyan Ats-Tsauri dan lain-lain.

Abdullah bin Mubarak berkata: “Menurut kami, tidak disebut penganjur kebaikan dan pemberantas kemungkaran, orang-orang yang masuk mendatangi para penguasa untuk amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi yang disebut penganjur kebaikan dan pemberantas kemungkaran adalah orang yang menjauhi mereka”.

Penyebabnya adalah apa yang ditakutkan berupa fitnah (kesesatan) akibat masuk menemui mereka. Karena telah dikhayalkan kepada diri manusia, bahwasanya ketika ia masih jauh dari para penguasa, ia dapat menganjurkan kebaikan kepada mereka dan melarang serta mengingkari kemungkaran kepada mereka, lalu jika ia telah menemui mereka dari jarak dekat, condonglah jiwa kepada mereka, ia memendam cinta akan kemulian dunia, ia bahkan bisa jadi jatuh cinta kepada mereka, lebih-lebih jika mereka memberikan kemudahan dan fasilitas kepadanya, dan ia terima pemberian tersebut.

Sufyan Ats-Tsauri (161 H) telah menulis surat kepada Abbad bin Abbad, di antara isinya adalah: “Hati-hatilah anda dari penguasa, janganlah dekat dengan mereka atau berhubungan dalam urusan apapun, janganlah anda tertipu dengan tipuan Iblis yang membisikkanmu bahwa engkau menemui mereka dalam rangka membela orang-orang yang tertindas dan mengembalikan hak-hak mereka. Hanya ulama su’ (buruk) yang menjadikan dekat dengan penguasa sebagai tangga untuk mencapai ambisi dunianya. Adapaun fatwa yang sudah ada maka pergunakanlah, janganlah menjadi orang yang senang jika ucapanya didengar dan diikuti, serta diekspose secara meluas. Apabila ia meninggalkan itu semua, maka diketahuilah keikhlasannya.

Hati-hatilah anda dari cinta kepemimpinan, karena orang yang berambisi terhadap kepemimpinan ia lebih mencintai kepemimpinan daripada cintanya terhadap emas dan perak. Celah ini sangat tersamar, tidak ada yang mengetahuinya kecuali ulama yang berpengalaman.

Waspadalah dalam urusan hati, dan beramalah dengan niat yang ikhlash, dan ketahuilah sudah dekat waktunya bahwa perkara yang diinginkan oleh seseorang adalah apabila meninggal dunia, wassalam”.

Dikarenakan bahaya ambisi terhadap kemuliaan dunia, maka para Salafush shalih tidak menyukai mempertontonkan keunggulan dirinya kepada manusia, baik dalam hal ilmu, zuhud, dan ibadah. Mereka tidak suka menampakkan amal shalih, ucapan, atau menyebutkan karamah yang Allah berikan kepadanya agar ia dikunjungi, diharapkan berkahnya, dimintai do’anya, dan supaya dicium tanganya, lalu senang serta bergembira terhadap hal demikian, bahkan berusaha untuk mendapatkan penghormatan dari manusia dengan apa yang telah disebutkan tadi.

Dari sinilah para Salafush Shalih sangat tidak menyukai ketenaran, di antara mereka: Ayyub As-Sikhtiani, An-Nakha’i, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad bin Hambal, dan ulama Rabbani lainnya. Mereka merendahkan amalan mereka, dan sangat menyembunyikan amal shalih mereka.

Ibrahim An-Nakha’i apabila sedang membaca Al-Qur’an, kemudian datang seseorang maka ia segera menutupi wajahnya dengan mushaf.

Banyak di antara ulama’ Salaf yang tidak suka apabila ia dimintai do’a, sambil berkata kepada yang minta do’a: “Siapakah saya ini ?” (dia merasa tidak pantas untuk dimintai do’a). Seseorang mengirim surat kepada Imam Ahmad meminta agar beliau berdo’a untuknya, maka Imam Ahmad menyatakan: “Jika kami berdo’a untuknya, maka siapakah yang berdo’a untuk kami?”

Salah seorang shalih menceritakan kepada raja tentang seseorang yang gemar beribadah, maka raja ingin berkunjung kepadanya, diberitahukanlah jadwal kunjungan sang raja kepada ahli ibadah terebut. Pada saat kedatangan raja, ahli ibadah tersebut duduk di pinggir jalan sambil makan, sang raja datang menemui ahli ibadah yang sedang duduk di pinggir jalan sambil makan, raja mengucap salam dan dijawab oleh ahli ibadah dengan singkat sambil menyantap makanan dengan lahap tanpa menghiraukan kedatangan sang raja. Raja menjadi kecewa dan berkata: “Orang ini tidak mempunyai kebaikan sama sekali !” lalu pulanglah sang raja. Setelah sang raja pergi, si ahli ibadah berkata: “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah menjauhkan saya dari orang itu dan dia pulang dalam keadaan mencelaku”.

Permasalahan ini sangat luas sekali, dan di sini terdapat point yang sangat halus sekali. Yaitu bahwa seorang manusia kadang mencela diri sendiri di hadapan orang lain, dengan tujuan agar orang lain menganggap dia sebagai orang yang tawaddlu’, sehingga ia menjadi mulia dan terpuji di mata manusia. Ini merupakan bagian dari pintu riya’ yang sangat halus, para ulama’ telah memperingatkan terhadap hal ini.

Jelaslah sudah sebagaimana telah kami sebutkan, bahwa cinta harta dan kedudukan serta ambisi terhadap keduanya dapat merusak dien seorang muslim sampai habis tak bersisa, kecuali Allah berkehendak lain. Akar dari cinta kepada harta dan kemuliaan adalah cinta kepada dunia dan akar cinta kepada dunia adalah mengikuti hawa nafsu.

Wahab bin Munabbih berkata: “Mengikuti hawa nafsu akan melahirkan cinta kepada dunia, cinta kepada dunia akan melahirkan cinta kepada harta dan kemuliaan, dan cinta kepada harta dan kemuliaan melahirkan sikap menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah”.

Ucapan itu benar, hanya taqwa kepada Allah yang dapat membentengi seseorang dari mengikuti hawa nafsu dan memalingkan hati kita dari cinta kepada dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا مَن طَغَى . وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا . فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى . وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى . فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“ Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya) ”. [an-Nazi’aat/79: 37-41]

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensifatkan penduduk neraka sebagai orang yang memiliki harta dan kekuasaan di beberapa tempat dalam kitabNya. Dia berfirman:

وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ . وَلَمْ أَدْرِ مَاحِسَابِيَهْ . يَالَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ . مَآأَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ . هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ

“ Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya kepadanya dari sebelah kirinya, maka dia berkata:”Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu, hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku, telah hilang kekuasaan dariku ”. [al-Haaqqaah/69: 25-29]

Ketahuilah bahwa jiwa manusia mencintai kedudukan yang tinggi melebihi orang lain. Dari sinilah timbul sifat sombong dan hasad, akan tetapi orang-orang yang berakal akan berlomba untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi yang kekal dan langgeng di sisi Allah, mendapatkan ridlaNya dan membenci kedudukan tinggi yang fana dan bersifat sementara, tetapi disertai dengan kemurkaan Allah dan kebencianNya, rendah dan jauh dariNya.

Ambisi untuk mendapatkan kedudukan tinggi di dunia adalah perbuatan tercela yang mengakibatkan kecongkakan dan kesombongan di muka bumi. Sedangkan ambisi untuk mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah adalah hal yang terpuji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَفيِ ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“ Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba ” [al-Muthaffifiin/83: 26]

Untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi di akhirat diperintahkan untuk berlomba-lomba dan berambisi terhadapnya, dengan jalan berusaha berjalan di atas rel-relnya, tidak boleh merasa puas dengan rangking terakhir padahal ia mampu meraih rangking teratas. Adapun kedudukan tinggi di dunia, maka di akhirat akan berakibat penyesalan dan kerugian serta kehinaan dan kerendahan yang akan dirasakan oleh orang yang berambisi. Maka yang disyari’atkan dalam hal ini adalah menghindar dan zuhud terhadapnya.

BEBERAPA PENYEBAB ZUHUD
Untuk memproleh sikap zuhud terdapat beberapa sebab, di antaranya:
1. Dengan merenungi tentang akibat buruk di akhirat dengan sebab kehormatan dunia, berupa jabatan dan kekuasaan bagi orang yang tidak melaksanakan tugasnya dengan benar.

2. Dengan merenungi tentang hukuman yang diperoleh bagi orang-orang yang zhalim dan sombong.

3. Dengan merenungi tentang pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang ketika di dunia rendah hati, ikhlas karena Allah, yaitu dengan mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat, karena sesungguhnya barangsiapa yang rendah hati karena Allah (tawaddlu’), niscaya Allah akan mengangkat derajatnya.

4. Zuhud didapat bukan karena kemampuan seorang hamba, akan tetapi merupakan karunia Allah dan rahmatNya. Orang yang zuhud akan memperoleh kehidupan yang baik di dunia sesuai dengan janji Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Kehidupan yang baik ini berupa balasan yang segera akan Allah berikan bagi orang-orang yang zuhud terhadap harta dan kemuliaan dunia. Kehidupan yang baik ini secara zhahir berupa kemuliaan taqwa dan kewibawaan di mata manusia, dan secara bathin berupa manisnya iman dan ketaatan.

Barangsiapa mendapat karunia zuhud dari Allah, tentu ia sibuk mencari kemuliaan akhirat dan tidak akan tertipu dengan kemuliaan dunia yang semu dan sementara. Allah berfirman:

وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ

“ Dan pakaian taqwa itulah yang terbaik ”. [al-A’raaf/7: 26]

مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا

“ Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka milik Allah-lah semua kemuliaan itu ”. [al-Fathiir/35: 10]

Muhammad bin Sulaiman, seorang gebernur Bashrah datang menemui Hammad bin Salamah. Gubernur itu duduk di hadapan Hammad lalu bertanya: “Wahai Abu Salamah, mengapa setiap kali saya memandangmu, saya gemetar segan kepadamu ?” Beliau menjawab: “Karena seorang alim apabila menghendaki ridla Allah dengan ilmunya, maka segala sesuatu akan takut kepadanya, apabila ia menginginkan untuk memperbanyak harta dengan ilmu, maka ia takut kepada segala sesuatu”.

Barangsiapa sibuk membina dirinya untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, dengan jalan mengenal Allah, takut kepadaNya, cinta kepadaNya, selalu merasa dalam pengawasanNya, tawakkal, ridla dengan takdirNya, merasa tentram dan rindu kepadaNya, dia akan sampai kepadaNya dan dia tidak akan perduli dengan kedudukan yang tinggi di sisi manusia. Meskipun demikian, Allah akan memberikan kedudukan yang tinggi di mata manusia, dan mereka hormat kepadanya, padahal dia sendiri tidak menginginkan hal tersebut, bahkan lari menjauhinya dan khawatir kalau kehormatan dunia ini bisa memutuskan jalannya menuju ridla Allah. Allah Subhanahu wa Ta’la berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا

“ Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang ” [Maryam/19: 96]

Dan dalam sebuah hadits yang shahih:

إِذَا أَحَبَّ الهُ a الْعَبْدَ نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ الهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحْبِبْهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ الهَa يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي اْلأَرْضِ

“ Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, Dia berfirman: “Wahai jibril Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia!” lalu Jibrilpun mencintainya. Lalu jibril berseru kepada penduduk langit: Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia!”, maka penduduk langitpun mencintainya. Kemudian dia di karuniai dengan diterimanya di muka bumi ”. [HR. Bukhari no. 3037, 5693,7047 dan Shahih Muslim no. 2637]

Kesimpulannya mencari kehormatan akhirat akan mendapatkan kehormatan akhirat plus kehormatan dunia, meskipun ia tidak menginginkan dan tidak mencarinya. Sedangkan mencari kehormatan dunia tidak akan bertemu dan tidak akan mungkin berkumpul dengan kehormatan akhirat.

Orang yang bahagia adalah orang yang lebih mengutamakan akhirat yang kekal dibandingkan dengan dunia yang fana.

(Disarikan dari kitab: Syarhun wa bayanun lihaditsi “MAA DZI’BAANI JA’IAANI” Oleh Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah  (736-795), Takhrij : Muhammad Shubhi Hasan Hallaq, Penerbit : Muassasah Ar-rayyan-Beirut-Libanon, Cet: Pertama, tahun 1413 H – 1992 M. Penerjemah: Fariq bin Ghasim Anuz)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_________
Footnote
[1] HR. Ahmad, Nasa’, Tirmidzi dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya, Imam Tirmidzi berkata (tentang) hadits ini: “Hasan shahih”. Muhammad Shubhi Hasan Hallaq menyatakan: “Hadits ini telah dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Albani dan selain mereka.
[2] Syaikh Muhammad Syubhi Hasan Hallaq menyatakan hadits ini Shahih. HR. Abu Daud 2/324 no. 1698.
[3] HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban serta dishahihkan oleh Syeikh Muhammad As-Subhi Hasan Hallaq
[4] HR. Tirmidzi no. 2654 dari Ka’ab bin Malik serta dishahihkan oleh syeikh Muhammad As-Subhi Hasan Hallaq
[5] HR. Ahmad. Abu Daud no. 2859, Tirmidzi dan Nasa’i no. 4309. Syeikh Muhammad As-Subhi Hasan Hallaq berkata: “Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam Al-Jami’ (I/163), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (4/72), Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/397), Thabrani dalam Al-Kabir no. 11030, dan Bukhari dalam Al-Kuna (8/70) dan itu adalah hadits shahih, dan dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud
[6] HR. Ahmad, Abu Daud no. 4860. Syeikh Muhammad As-Subhi Hasan Hallaq berkata: “Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (1/312) Al-Qudhai dalam Musnad as-Syihab (1/222 no. 339) dan Syaikh Al-Albani memuatnya dalam as-Shahihah no. 1272
[7] (HR. Ahmad 3/321 dan 399, Tirmidzi 4/525 no. 2259, Nasa’i 7/160, 161 no. 4207 dan 4208 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (Dalam Al-Ihsan 1/248 no. 279; 1/249 no. 282; 1/250 no. 283; dan 1/251 no. 285

sumber: https://almanhaj.or.id/10681-bahaya-ambisi-terhadap-harta-dan-kehormatan-2.html

Senin, 17 Agustus 2020

CARA KEBIASAAN ORANG DALAM MERESPON PERKARA BID'AH DENGAN BERBAGAI TEKNIK

▪️CARA KEBIASAAN ORANG DALAM MERESPON PERKARA BID'AH DENGAN BERBAGAI TEKNIK

1. TEKNIK FALLACY DEFINISI : "Kalau seperti itu jangan dakwah menggunakan IG, FB, TW, WA dll sebab itu semua GAK ADA di zaman Rasulullah."
-
2. TEKNIK ILMUWAN : "Amerika sudah ke bulan, orang Islam masih debat masalah tahlilan."
-
3. TEKNIK SUFI : "anggaplah yang kami lakukan ini bid'ah, lalu hakmu apa? Biar Allah yg menilai."
-
4. TEKNIK YANG PENTING ADA DALIL : "bumi ini milik Allah, jadi mau di jalan, dimana pun, tidak mengapa. (lalu mengutip ayat Al Baqoroh 115), 'kepunyaan Allah-lah timur dan barat....' (dan mengutip hadis), 'bertaqwalah engkau di manapun berada'."
-
5. TEKNIK TAFSIR KONTEKSTUAL : "kita harus melihat konteks geografi dan sosiologi ayat, soalnya di masa itu belum ada begitu, belum ada begini, kalau sekarang ada begitu dan begini. Jadi mungkin saja untuk dilakukan."
-
6. TEKNIK BID'AH HASANAH : "Kalau pun memang bid'ah, tapi niatnya kan baik.Ini untuk memperjuangan Islam dari sisi manapun. Untuk menunjukkan bahwa kita kaum muslimin juga tidak melupakan ibadah meski sedang melakukan apapun."
-
7. TEKNIK IMAGINASI : "Mungkin dulu Rasul pernah begini dan begitu tapi hadisnya tak sampai kepada kita."
-
8. TEKNIK FANATIK BUTA : "Ini kata guru saya, sedangkan beliau seorang soleh dan berilmu, mempunyai ilmu kasyaf dan ladunni, jadi jangan coba-coba mengatakan ini bid'ah."
-
9. TEKNIK LEPAS DIRI : "sudahlah, amalan itu boleh jadi bid'ah, boleh jadi juga tidak. Yang tahu bid'ah hanya Allah."
-
10. TEKNIK MAU MENANG SENDIRI : "Jangan merasa jadi yang paling benar dengan menganggap amalan orang lain bid'ah atau pemahaman islam-nya setengah-setengah"
-
11. TEKNIK AMBIL BAIKNYA dan PEMBENARAN PAKAI HADIST DHOIF :"...biarlah mereka dengan perbedaannya dengan kita. Dari JT kita ambil akhlaknya, dari IM kita ambil Siyasah harokah-nya, dari Salafi kita ambil akidahnya. Jadi semua sudah ada bagiannya masing-masing, tinggal kitanya yang patut ditanya, udah sumbangsih apa kita buat kejayaan Islam dibanding mereka."
-
Kan kita cuma manfaatkan fulusnya, tapi kalau misal ada pemikiran-pemikiran yang rusak, ya kita tinggalkan. Gampang kan?!. Mereka aja tuh yang iri ga bisa dapet fulus kayak kita, jadi yang kayak beginian dijadikan masalah besar.""... toh perbedaan itu adalah rahmat.Yang penting umat islam harus bersatoe!"

12. TAK PUNYA TEKNIK : "DASAR WAHABI" 😂😂😂

Via Akhy Abu Daffa
[Copas&PostedBy Fp Ittiba' Rasulullah ].

Rabu, 05 Agustus 2020

PENJELASAN LENGKAP TENTANG BID,AH

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Menjelaskan Bid’ah Bukan Berarti Memvonis Neraka

Ketika pada da’i menasehati dan melarang amalan-amalan bid’ah maka sama sekali bukan berarti memvonis pelakunya penghuni neraka. Ini adalah kesalah-pahaman yang menjalar di tengah masyarakat. Yang kesalah-pahaman ini juga dijadikan senjata untuk menentang dakwah sunnah dan melarang orang membahas masalah bid’ah. Oleh karena ini mari kita luruskan duduk perkaranya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Teladan Dalam Mengingkari Bid’ah
Orang yang mencontohkan dan memberi kita teladan untuk menjauhi bid’ah serta melarang bid’ah adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

Bahkan tidak hanya sekali-dua kali beliau bicara masalah bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867).

Tidak hanya itu, di akhir-akhir hidup beliau, beliau masih mewanti-wanti masalah bid’ah. Al Irbadh bin Sariyah radhiallahu’anhu mengatakan:

صلَّى بنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ذاتَ يَومٍ، ثُمَّ أقبَلَ علينا، فوَعَظَنا مَوعِظةً بَليغةً ذَرَفَتْ منها العُيونُ، ووَجِلَتْ منها القُلوبُ، فقال قائلٌ: يا رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، كأنَّ هذه مَوعِظةُ مُودِّعٍ، فماذا تَعهَدُ إلينا؟

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami suatu hari. Setelah shalat beliau menghadap kami kemudian memberikan nasehat yang mendalam yang membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Maka ada berkata: wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan berpisah, apa yang engkau pesankan kepada kami?”.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).

Maka jelas, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sangat mewanti-wanti umatnya terhadap kebid’ahan, melarang kebid’ahan bahkan sering dan terus-menerus beliau lakukan hal ini. Maka sudah semestinya para da’i yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga menyerukan hal yang sama. Tentunya dengan ilmu dan dakwah yang hikmah.

Masalah Bid’ah Adalah Masalah Penting
Tidak heran jika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sering mewanti-wanti masalah bid’ah. Karena masalah ini adalah masalah penting. Karena inti dari Islam adalah dua kalimat syahadat. Dan kandungan dari syahadat laa ilaaha illallah adalah tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah. Sedangkan kandungan dari syahadat muhammadun rasululullah adalah kita tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan tuntunan beliau.

Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

جماع الدين اصلان: أن لا نعبد إلا الله , ولا نعبده إلا بما شرع , لا نعبده بالبدع

“Inti agama ini berporos pada 2 hal: (1) kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah semata, (2) kita tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang telah Allah syariatkan, kita tidak menyembah-Nya dengan kebid’ahan” (Majmu’ Al Fatawa, 10/234, dinukil dari Dirasah wat Tahqiq Qaidah Al Ashl fil Ibadah Al Man’u, 52).

Inti dari Islam seluruhnya adalah menyembah kepada Allah semata dan beribadah sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak membuat bid’ah. Maka masalah bid’ah ini masalah penting, terkait dengan pokok agama. Wajarlah jika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sering mewanti-wanti masalah bid’ah dengan keras.

Bedakan Vonis Umum Dengan Vonis Individu
Jika seorang da’i membicarakan sebuah larangan dalam agama dan akibat buruknya dalam syariat, apakah itu berupa mendapat laknat Allah, mendapat dosa, mendapat ancaman neraka atau lainnya, bukan berarti sang da’i sedang memvonis pelaku larangan tersebut bahwa mereka pasti mendapat akibat-akibat buruk ini. Karena ia sedang berbicara dalam konteks umum (multhlaq) tidak bicara mengenai person tertentu (mu’ayyan). Bedakan vonis muthlaq dengan mu’ayyan!

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,

ولو كان كل ذنب لعن فاعله يلعن المعين الذي فعله؛ للعن جمهور الناس، وهذا بمنزلة الوعيد المطلق لا يستلزم بثبوته في حق المعين إلا إذا وجدت شروطه وانتفت موانعه وهكذا اللعن

“Andai setiap dosa yang dilaknat pelakunya, kemudian dilaknat semua pelakunya secara mu’ayyan (spesifik), maka mayoritas manusia akan terkena laknat. Maka ini sebagaimana dalil ancaman yang bersifat muthlaq (umum) tidak berarti jatuh ancaman tersebut pada setiap orang secara spesifik. Kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada mawani’ (penghalang)nya. Maka demikian juga laknat” (Minhajus Sunnah, 4/573).

Maka ketika kita bicara hadits bahwa pelaku bid’ah diancam neraka, maka bukan berarti semua orang yang melakukan bid’ah pasti masuk neraka. Bisa jadi ia tidak masuk neraka karena adanya mawani’ (penghalang) semisal karena ia jahil (tidak paham tentang bid’ah), karena sekedar ikut-ikutan, karena syubhat dan semisalnya. Atau karena belum terpenuhinya syarat-syarat jatuhnya vonis, seperti tegaknya hujjah, hilangnya syubhat, bukan penyeru bid’ah dan lainnya.

Oleh karena itu para ulama membedakan mubtadi’ (ahlul bid’ah) dan orang yang jatuh pada bid’ah. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan:

إذا كان هذا المخالف يخالف نصاً. أولاً: لا يجوز اتباعه، وثانياً: لا نبدع القائل بخلاف النص، وإن كنا نقول: إن قوله بدعة. وأنا أفرق بين أن تقول: فلان وقع في الكفر، وفلان كفر. وكذلك: فلان وقع في البدعة، وفلان مبتدع .. فأقول: فلان مبتدع؛ مش معناه وقع في بدعة، وهو مَن شأنه أنه يبتدع؛ لأن (مبتدع) اسم فاعل؛ هذا كما إذا قلنا: فلان عادل؛ ليس لأنه عدل مرة في حياته؛ فأخذ هذا اسم الفاعل. القصد: أن المجتهد قد يقع في البدعة؛ لكن لا أؤثمه بها، ولا أطلق عليه اسم مبتدع:

“Jika seseorang menyelisihi nash (dalil), maka pertama tidak boleh mengikutinya. Kedua, Tidak boleh langsung kita vonis bid’ah orang yang perkataannya menyelisihi nash tersebut. Walaupun tetap kita katakan, apa yang ia ucapkan tersebut bid’ah. Saya membedakan antara ungkapan “Fulan jatuh dalam kekufuran” dengan “Fulan kafir”. Demikian juga berbeda antara “Fulan jatuh pada kebid’ahan” dengan “Fulan ahlul bid’ah”.

Jika saya katakan “Fulan ahlul bid’ah” maka maknanya bukan sekedar ia jatuh pada kebid’ahan. Namun kebid’ahan memang menjadi urusan utamanya. Karena istilah mubtadi’ ini merupakan isim fa’il. Sebagaimana kalau kita katakan “Fulan itu orang yang adil” maka bukan maknanya ia berbuat keadilan sekali saja dalam hidupnya. Maka inilah makna dari isim fa’il.

Intinya, terkadang seorang ulama mujtahid terjatuh pada kebid’ahan, namun tidak kita vonis dengan kebid’ahan tersebut dan tidak kita vonis dengan ahlul bid’ah” (kaset Silsilah Huda wan Nur, no. 849).

Oleh karena itu, para ulama sunnah mengajarkan kita agar tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan label dan vonis untuk individu secara spesifik. Syaikh Musthafa Al Adawi menjelaskan:

التأني في تنزيل الأحكام على الأشخاص و ذلك حتى يتعلم الجاهل و يرشد الضال و تعلم أعذار المتعذرين و وجهات المخالفين. فلا يعمد شخص إلى امرأة متنمصة بعينها ويسميها باسمها و ينشر في الناس أن فلانة من الملعونة

“Hendaknya berhati-hati dalam menerapkan hukum pada individu secara spesifik. Penerapan hukum ini baru bisa diterapkan setelah orang yang jahil diajari, orang yang sesat diberi arahan, orang yang memiliki udzur diketahui udzurnya dan orang yang menyelisihi dalil diketahui sisi pandangnya. Maka (contohnya) seseorang tidak boleh bersengaja secara spesifik menunjuk seorang wanita yang mencukur alisnya kemudian menyebut namanya dan menyebarkan di tengah orang-orang bahwa ia adalah wanita yang terlaknat” (Mafatihul Fiqhi fid Diin, 93).

Yang beliau maksud adalah hadits:

لعن اللهُ الواشماتِ والمستوشماتِ ، والنامصاتِ والمتنمصاتِ

“Semoga Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dirinya atau meminta ditato, yang mencukur alisnya atau meminta dicukurkan” (HR. Bukhari no. 5948, Muslim no. 2125).

Wanita yang mencukur alisnya dilaknat oleh Allah, namun laknat ini secara muthlaq. Adapun ketika kita bertemu dengan seorang wanita yang mencukur alisnya, maka tidak boleh langsung kita katakan dia terlaknat, karena bisa jadi belum terpenuhi syarat dan ada penghalang.

Baca Juga: Larangan Terhadap Bid’ah Dalam Al Qur’an

Sikap Terhadap Dalil-Dalil Wa’id (Ancaman)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

“setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i).

Ini adalah hadits wa’id (ancaman). Artinya kita diancam oleh syariat, bahwa bisa jadi kita masuk neraka karena sebab bid’ah yang kita lakukan. Namun apakah pasti masuk neraka? Belum tentu.

Sebagaimana juga kalau kita menasehati orang yang berdusta. Apakah dengan itu kita memvonis neraka? Padahal hadits mengatakan:

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ؛ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَالْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ

“Dan jauhilah dusta, karena dusta itu membawa kepada perbuatan fajir (maksiat) dan perbuatan fajir membawa ke neraka” (HR. Muslim no. 2607).

Tentu tidak bukan? Karena ini juga wa’id (ancaman). Artinya kita diancam bahwa bisa jadi kita masuk neraka karena sebab dusta yang kita lakukan. Namun apakah pasti masuk neraka? Belum tentu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

لعن المطلق لا يستلزم لعن المعين الذي قام به ما يمنع لحوق اللعنة له، وكذلك (التكفير المطلق) و (الوعيد المطلق) ولهذا كان الوعيد المطلق في الكتاب والسنة مشروطاً بثبوت شروط وانتفاء موانع

“Laknat yang muthlaq (umum) tidak berkonsekuensi laknat bagi semua pelakunya secara spesifik selama ada penghalang yang menghalanginya dari terkena laknat. Demikan juga takfir muthlaq dan ancaman yang muthlaq. Oleh karena itu ancaman yang muthlaq yang ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah baru jatuh jika terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya” (Majmu Al Fatawa, 10/329).

Maka orang yang melakukan bid’ah diancam neraka, namun apakah mereka pasti masuk neraka? Belum tentu. Bisa jadi masuk neraka –wal’iyyadzubillah– jika terpenuhi syarat-syarat dan tidak ada penghalangnya. Bisa jadi tidak masuk neraka karena tidak terpenuhi syarat-syarat dan ada penghalangnya. Mengenai syarat-syarat dan ada penghalang yang dimaksud, ini jika ingin dirinci maka butuh kepada pembahasan tersendiri yang panjang dan lebar.

Maka mulai sekarang stop menuduh para da’i yang memperingatkan umat dari bid’ah bahwa mereka memvonis orang pasti masuk neraka. Terlebih lagi menggunakan stigma ini untuk melegalkan bid’ah di masyarakat. Bid’ah itu berbahaya dan wajib diperingatkan dan dijauhi oleh setiap orang.

Yulian Purnama, S.Kom

Sumber:
https://muslim.or.id/45084-menjelaskan-bidah-bukan-berarti-memvonis-neraka.html