Rabu, 29 Mei 2019

EKSPRESI ORANG TUA KETIKA DIZIARAHI ATAU DIDOAKAN

EKSPRESI ORANG TUA
DI ALAM KUBUR
KETIKA DI ZIARAHI
ATAU DI DOAKAN ANAKNYA

Dalam penjelasan kitab al-Ruh, karya Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah , Apa yang terjadi kepada orang tua ketika Anda berziarah ke makam mereka atau ketika Anda mendoakan mereka?

Syaikh Muhammad al-Syanqithi, berkata:
Semoga Alloh mengampuni keluarga kita yang telah meninggal dunia dan kaum Muslimin yang telah meninggal dunia. Aku tidak mampu menahan tangis melihat betapa perlunya ahli kubur kepada kita. Aku terkesan dan aku ingin semuanya mengetahui hal ini..

Utsman bin Sawad, ulama salaf, bercerita tentang ibunya, seorang wanita yang ahli ibadah. Ketika ibunya akan meninggal dunia, ia mengangkat pandangannya ke langit dan berkata: “Wahai tabunganku, wahai simpananku, wahai Tuhan yang selalu menjadi sandaranku alam hidupku dan setelah kematiaku, jangan Engkau abaikan diriku ketika mati, jangan biarkan aku kesepian dalam kuburku.” Kemudian ia meninggal dunia.

Aku selalu berziarah ke makamnya setiap hari Jum’at . Aku berdoa untuknya, dan memohonkan ampun baginya dan semua ahli kubur di situ. Pada suatu malam aku bermimpi berjumpa dengan ibuku.

Aku berkata: “Wahai ibuku, bagaimana keadaanmu?”

Ia menjawab: *“Wahai anakku, sesungguhnya kematian itu adalah kesusahan yang dahsyat. Aku alhamdulillah ada di alam barzakh yang terpuji. Ranjangnya harum, dan bantalnya terdiri tenunan kain sutera.”

Aku berkata: “Apakah Ibu ada keperluan kepadaku?”

Ia menjawab: “Iya. Jangan kamu tinggalkan ziarah yang kamu lakukan kepada kami. Sungguh aku sangat senang dengan kedatanganmu pada hari Jum’at ketika berangkat dari keluargamu" . Orang-orang akan berkata kepadaku: “Ini anakmu sudah datang.” Lalu aku merasa senang, dan orang-orang mati yang ada di sekitarku juga senang.”

Basysyar bin Ghalib, ulama salaf pula, berkata: “ Aku bermimpi Robiah al-Adawiyah dalam tidurku. Aku memang selalu mendoakannya. Dalam mimpi itu ia berkata kepadaku: “Wahai Basysyar, hadiah-hadiahmu selalu sampai kepada kami di atas piring dari cahaya, ditutupi dengan sapu tangan sutera.”

Aku berkata: *“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Ia menjawab: *“Begitulah doa orang-orang yang masih hidup. Apabila mereka mendoakan orang-orang yang sudah mati dan doa itu dikabulkan, maka doa itu diletakkan di atas piring dari cahaya dan ditutupi dengan sapu tangan sutera. Lalu hadiah itu diberikan kepada orang mati yang didoakan itu" . Lalu dikatakan kepadanya: “Terimalah, ini hadiah si anu kepadamu.”

Seberapa sering kita berziarah ke makam orang tua, keluarga dan guru kita yang telah meninggal dunia?

Seberapa banyak kita mendoakan mereka dalam waktu-waktu kita beribadah?

Ziarah kita dan doa kita sangat penting bagi mereka..

رب اجعلنی مقيم الصلاة ومن ذريتی ربنا وتقبل دعاء ربنا اغفرلی ولوالدي وللمؤمنين يوم يقوم الحساب

QUNUT WITIR LAKUKANLAH

BAGAIMANA QUNUT WITIR DILAKUKAN?

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi

Shalat Witir disyari’atkan dalam shalat malam dan disyari’atkan juga melakukan qunut yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bagaimana ketentuan qunut pada shalat Witir ini? Berikut penjelasannya.

PENGERTIAN QUNUT
Kata qunut, dalam bahasa Arab digunakan untuk beberapa pengertian, di antaranya sebagai berikut.

1. Khusu’, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Subanahu wa Ta’ala :

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. [al-Baqarah/2:238].

2. Doa. [1]
3. Taat dan senantiasa ibadah, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Subanahu wa Ta’ala :

وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ

dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat. [at-Tahrim/66:12].

Oleh karena itu, Ibnul-Qayyim mengatakan: “Kata qunut digunakan untuk pengertian berdiri, diam, berkesinambungan dalam ibadah, doa, tasbih dan khusyu’.”[2] Adapun yang dimaksudkan dalam pembahasan ini, ialah istilah qunut sebagai doa dalam shalat pada tempat posisi yang khusus dari berdiri.[3]

HUKUM QUNUT DALAM WITIR
Secara umum, para ulama memandang qunut dalam Witir disyariatkan, namun mereka berselisih tentang hukumnya, wajib ataukah sunnah? Apakah juga disunnahkan sepanjang tahun setiap malam, ataukah hanya saat Ramadhan saja atau di akhir Ramadhan? [4]

Yang râjih –wallahu a’lam- qunut Witir disunnahkan di sepanjang tahun, inilah pendapat madzhab Hambali dan pendapat Ibnu Mas’ud, Ibrahiim, Ishâq dan ash-hab ar-ra’yi. Hal ini berdasarkan amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana terdapat dalam riwayat Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, ia berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن ماجه.

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan Witir lalu melakukan qunut sebelum ruku`. [HR Ibnu Mâjah, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa` al-Ghalil 2/167, hadits no. 426].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhu untuk mengucapkan doa qunut, sebagaimana terdapat dalam perkataan beliau Radhiyallahu anhu :

عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: ” اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ ؛ إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَ إِنَّهُ لاَ يُذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepadaku doa yang aku ucapkan pada Witir: “Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana Engkau berikan petunjuk (kepada selainku), berilah keselamatan sebagaimana Engkau berikan keselamatan (kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku) sebagai wali, berilah keberkahan kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari kejelekan takdir-Mu; sesungguhnya Engkau mentakdirkan dan tidak ditakdirkan, dan sesungguhnya tidak terhinakan orang yang menjadikan Engkau sebagai wali, dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi. Maha suci dan Maha tinggi Engkau, wahai Rabb kami”. [HR Abu Dawud, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa` al-Ghalil, 2/172].

Demikian juga para sahabat yang meriwayatkan shalat Witir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka tidak menyebutkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut. Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya terus-menerus, tentulah para sahabat akan menukilkannya. Memang ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu yang meriwayatkan qunut Witir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini menunjukkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang melakukannya, dan juga berisi dalil bahwa qunut dalam Witir tidak wajib.[5]

Dalil lainnya, yaitu amalan sebagian sahabat dan Tabi’in yang tidak melakukan qunut Witir, dan sebagian lainnya hanya melakukannya pada bulan Ramadhan. Juga ada sebagian lainnya melakukan qunut Witir sepanjang tahun.[6]

Perbedaan ini disampaikan Imam at-Tirmidzi dalam pernyataan beliau: “Para ulama berbeda pendapat dalam qunut Witir. ‘Abdullah bin Mas’ud z memandang qunut Witir dilakukan sepanjang tahun dan memilih melakukan qunut sebelum ruku’. Ini merupakan pendapat dari sebagian ulama dan pendapat Sufyaan ats-Tsauri rahimahullah, Ibnu al-Mubarak rahimahullah, Ishaaq rahimahullah dan Ahlu Kufah. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu , bahwa beliau tidak qunut kecuali di separuh akhir dari bulan Ramadhan dan melakukannya setalah ruku`. Inilah pendapat sebagian ulama, dan menjadi pendapat asy-Syafi’i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah”.[7]

Semua ini menunjukkan qunut Witir tidak wajib. Sedangkan yang menunjukkan dilakukan di sepanjang tahun, yaitu keumuman amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dijelaskan kekhususannya dalam bulan tertentu. Ini menunjukkan, boleh dilakukan sepanjang tahun, dan lebih utama lagi tidak terus-menerus melakukannya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah yang dirâjihkan Syaikh al-Albâni dalam Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[8] Wallahu a’lam.

KAPAN QUNUT DILAKUKAN DALAM SHALAT?
Qunut dilakukan pada rakaat terakhir setelah membaca surat dan sebelum ruku’. Inilah yang shahîh dari amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum. Namun, terkadang beliau juga melakukannya setelah ruku’ sebelum sujud. Dalinya ialah sebagai berikut.

1. Hadits Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu anhu , ia berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوْتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن ماجه.

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir lalu melakukan qunut sebelum ruku’. [HR Ibnu Majah dan dishahîhkan al-Albâni dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/167 hadits no. 426].

2. Atsar Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu yang disampaikan Alqamah rahimahullah, ia berkata:

أَنَّ ابْنَ مَسْعُوْدٍ وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِي الْوِتْرِ قَبْلَ الرُّكُوْعِ. أخرجه ابن أبي شيبة.

Sungguh, dahulu Ibnu Mas’ud dan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut dalam Witir sebelum ruku’. [HR Ibnu Abi Syaibah, dan dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil (2/166): “Sanadnya baik dan ia sesuai syarat Muslim,” setelah itu beliau berkata: “Kesimpulannya, bahwasanya yang shahih benar dari para sahabat ialah qunut sebelum ruku’ dalam Witir”].

Demikianlah, qunut Witir dilakukan sebelum ruku’. Namun, ada riwayat lain yang menunjukkan bolehnya melakukan qunut Witir setelah ruku’. Yaitu riwayat Urwah bin az-Zubair , ia berkata:

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ عَبْدٍ الْقَارِي –وَ كَانَ فِيْ عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ الأَرْقَمِ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ –قَالَ: أَنَّ عُمَرَ بْنِ الْخَطَاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ خَرَجَ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ فَخَرَجَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَبْدٍ الْقَارِي فَطَافَ بِالْمَسْجِدِ ، وَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَالَ عُمَرُ : وَاللهِ إِنِّيْ أَظُنُّ لَوْ جَمَعْنَا هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ ؛ لَكَانَ أَمْثَلَ. ثُمَّ عَزَمَ عُمَرُ عَلَى ذَلِكَ وَ أَمَرَ أُبَيَّ أَنْ يَقُوْمَ لَهُمْ فِيْ رَمَضَانَ فَخَرَجَ عُمَرُ عَلَيْهِمْ وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، فَقَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هِيَّ ، وَالَّتِيْ يَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ -يريد: آخر الليل- فَكاَنَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ وَكَانُوْا يَلْعَنُوْنَ الْكَفَرَةَ فِيْ النِّصْفِ : اللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ ، وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ ، وَلاَ يُؤْمِنُوْنَ بِوَعْدِكَ ، وَخاَلِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ ، وَأَلْقِ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرَّعْبَ ، وَأَلْقِ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ ، إِلهُ الْحَقِّ. ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَِيَدْعُوْ لِلْمُسْلِمِيْنَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ خَيْرٍ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ . قَالَ: وَكَانَ يَقُوْلُ إِذَا فَرَغَ مِنْ لَعْنِهِ الْكَفَرَةِ وَصَلاَتِهِ عَلَى النَّبِيِّ وَاسْتِغْفَارِهِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَمَسْأَلَتِهِ : اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ رَبَّنَا ، وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدِّ ، إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحَقٌ ، ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَهْوِي سَاجِداً)”.

Sesungguhnya ‘Abdur-Rahmân bin ‘Abdun al-Qâri –beliau, dahulu pada zaman ‘Umar bin al-Khaththab bersama ‘Abdullah bin al-Arqam memegang Baitul Mal- berkata: “Sesungguhnya ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu keluar pada malam hari di bulan Ramadhan, lalu ‘Abdur-Rahmân bin ‘Abdun al-Qâri keluar dan mengelilingi masjid dan mendapatkan orang-orang di masjid terbagi berkelompok-kelompok tidak bersatu; seorang shalat sendiri dan yang lainnya mengimami shalat sejumlah orang. Maka ‘Umar berkata: ‘Demi Allah! Saya pandang, seandainya kita kumpulkan mereka pada satu imam saja, tentu akan lebih baik,’ kemudian ‘Umar bertekad untuk itu, dan ia memerintahkan ‘Ubai bin Ka’ab untuk mengimami shalat malam mereka di bulan Ramadhan. Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu keluar menemui mereka lagi dalam keadaan orang-orang shalat di belakang satu imam, sehingga ‘Umar berkata: ‘Sebaik-baik bid’ah ialah ini dan yang tidur (tidak ikut) lebih utama dari yang ikut shalat,’ -yang beliau inginkan (yang shalat) di akhir malam (lebih utama)- karena orang-orang melakukan shalat tarawih di awal malam. Mereka melaknat (mendoakan keburukan) bagi orang kafir pada separuh bulan Ramadhan dengan doa: ‘Ya Allah, binasakanlah orang-orang kafir yang menghalangi (manusia) dari jalan-Mu, mendustakan para rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikan persatuan mereka dan timpakanlah rasa takut di hati-hati mereka, serta timpakan siksaan dan adzab-Mu atas mereka, wahai sesembahan yang haq,’ kemudian bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin semampunya, kemudian memohon ampunan untuk kaum mukminin”.

Beliau berkata: “Apabila selesai melaknat orang-orang kafir, bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , memohon ampunan untuk kaum mukminin dan mukminat serta permintaan lainnya, ia mengucapkan: ‘Ya Allah, kami hanya menyembah kepada-Mu, berusaha dan beramal hanya untuk-Mu, dan memohon rahmat kepada-Mu, wahai Rabb kami, dan kami takut kepada adzab-Mu yang pedih. Sesungguhnya adzab-Mu ditimpakan kepada orang yang Engkau musuhi,’ kemudian ia bertakbir dan turun untuk sujud”. [HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya 2/155-156. Dikatakan oleh pentahqîqnya: “Isnadnya shahîh”.].

Kata “kemudian bertakbir dan turun untuk sujud,” ini menunjukkan bahwasanya qunut Witir dilakukan setelah ruku’, sebab, bila doa qunutnya dibaca setelah mambaca surat, tentulah bertakbir untuk ruku’ bukan untuk sujud. Yang berarti menunjukkan, bolehnya hal tersebut karena dilakukan di hadapan para sahabat, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Wallahu a’lam.

BACAAN DOA QUNUT
Dari nash-nash yang ada, nampaknya bacaan doa qunut tidak ada pembatasan dengan bacaan tertentu. Di antara doa yang terbaik dalam qunut Witir, ialah doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan beliau Radhiyallahu anhu :

عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ [إذا فرغت من قراءتي] في قنوت الوتر : اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، وَلاَ مَنْجَأَ مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepadaku doa yang aku ucapkan (apabila selesai dari bacaan surat) dalam qunut Witir: “Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana Engkau memberikan petunjuk (kepada selainku), berilah keselamatan sebagaimana Engkau memberikan keselamatan (kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku) sebagai wali, berilah keberkahan kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari kejelekan takdir-Mu, sesungguhnya Engkau mentakdirkan dan tidak ditakdirkan, dan sesungguhnya tidak terhinakan orang yang menjadikan Engkau sebagai wali, dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci dan Maha Tinggi Engkau, wahai Rabb kami, dan tidak ada tempat keselamatan kecuali kepada-Mu”.[HR Abu Dawud, dan doa ini dibawakan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , hlm. 180-181].

Pada bulan Ramadhan, juga dibolehkan berdoa dengan doa yang ada dalam atsar Abdur-Rahman bin ‘Abdun al-Qâri’ di atas.

MENGANGKAT TANGAN DALAM DOA QUNUT WITIR
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata: “Yang shahîh, ialah mengangkat kedua tangan; karena hal itu benar telah diamalkan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu . ‘Umar bin al-Khaththab adalah salah satu dari khulafa` ar-Rasyidin yang memiliki sunnah yang boleh diteladani dengan dasar perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga mengangkat kedua tangannya”.[9]

Begitu pula mengangkat tangan dalam doa Witir telah dilakukan beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana disampaikan oleh Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah dalam Mukhtashar Kitab al-Witri, hlm. 139-140. Di antara mereka ialah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu , ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

CARA MENGANGKAT TANGAN DALAM DOA QUNUT
Tentang cara mengangkat tangan dalam doa qunut, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utasimîn rahimahullah menjelaskan: “Para ulama menyatakan, mengangkat kedua telapak tangan ke dada dan tidak mengangkatnya terlalu tinggi, karena doa ini bukan doa ibtihal yang seorang melebihkan dalam mengangkat tanganya, namun doa ini adalah doa permintaan. Kedua telapak tangan dan bagian dalamnya dibuka ke arah langit. Demikianlah pendapat para ulama kami. Zhahir keterangan para ulama, yaitu kedua tangan dikumpulkan seperti keadaan orang yang membutuhkan, meminta dari orang lain agar memberinya sesuatu”.[10]

Mengangkat tangan ke dada juga dilakukan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu dalam doa qunut Witir, sebagaimana diriwayatkan al-Aswâd rahimahullah, ia berkata:

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُوْدٍ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِيْ الْقُنُوْتِ إِلَى صَدْرِهِ

Sesungguhnya ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu , dahulu mengangkat kedua tangannya dalam qunut hingga dadanya. [HR al-Marwazi dalam Mukhtashar Kitab al-Witr, hlm. 139].

Demikian, beberapa permasalahan tentang qunut Witir, mudah-mudahan bermanfaat.

Washallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala ‘alihi washabihi ajma’ain.

Marâji`:
1. Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shlih al-‘Utsaimîn, Tahqîq: Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Muassasah Âsâm, Cetakan Kedua, Tahun 1416 H.
2. Mukhtashar Kitab al-Witir Muhammad bin Nashr al-Marwazi, karya Ahmad bin Ali al-Maqrizi, Tahqîq: Muhammad Ibrahim al-‘Ali dan Muhammad bin ‘Abdillah, Maktabah al-Manâr, Yordania, Cetakan Pertama, Tahun 1413H.
3. Shahîh Ibnu Khuzaimah, Tahqîq: Muhammad Musthafa al-A’zhami, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan Kedua, Tahun 1412 H.
4. Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Kedua, Tahun 1417.
5. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Syarhu al-Mumti’, 4/25.
[2]. Zâdul-Ma’ad, 1/276.
[3]. Shahîh Fikih Sunnah, 1/390.
[4]. Lihat Shahîh Fikih Sunnah, 1/390.
[5]. Shifat Shalat Nabi n , Syaikh al-Albâni, hlm. 179.
[6]. Lihat riwayat-riwayat dari mereka dalam kitab Mukhtashar Kitab al-Witri, hlm.118-129.
[7]. Sunan at-Tirmidzi, 2/329.
[8]. Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , hlm. 179.
[9]. Syarhu al-Mumti’, 4/24-25.
[10]. Syarhu al-Mumti’, 4/25.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2592-bagaimana-qunut-witir-dilakukan.html

HADIST LEMAH DALAM LAILATUL QADR

𝗛𝗔𝗗𝗜𝗧𝗦-𝗛𝗔𝗗𝗜𝗧𝗦 𝗟𝗘𝗠𝗔𝗛 𝗦𝗘𝗣𝗨𝗧𝗔𝗥 𝗟𝗔𝗜𝗟𝗔𝗧𝗨𝗟 𝗤𝗔𝗗𝗥

Berikut kami mengangkat sejumlah hadits lemah berkaitan dengan lailatul qadr agar kelemahannya diketahui untuk tidak diamalkan. Kami merangkum hadits tersebut dari sejumlah buku yang kualitas pembahasannya bisa dipercaya.

𝙃𝙖𝙙𝙞𝙩𝙨 𝙋𝙚𝙧𝙩𝙖𝙢𝙖

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيَ أَعْمَارَ النَّاسِ قَبْلَهُ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ فَكَأَنَّهُ تَقَاصَرَ أَعْمَارَ أُمَّتِهِ أَنْ لَا يَبْلُغُوا مِنْ الْعَمَلِ مِثْلَ الَّذِي بَلَغَ غَيْرُهُمْ فِيْ طُولِ الْعُمْرِ فَأَعْطَاهُ اللَّهُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam diperlihatkan umur-umur manusia sebelum beliau atau sesuatu yang Allah kehendaki dari hal tersebut. Beliau menganggap bahwa umur umatnya pendek untuk mencapai amalan yang telah dicapai oleh selain umat Islam yang berumur panjang. Maka, kepada beliau, Allah memberikan lailatul qadr yang lebih baik daripada seribu bulan.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththâ` no. 768. Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Saya tidak mengetahui hadits yang diriwayatkan secara musnad, tidak (pula) secara mursal dari jalur periwayatan (apapun), kecuali sesuatu yang ada dalam Al-Muwaththâ`. Itu adalah salah satu di antara empat hadits yang tidak ditemukan kecuali pada (kitab) yang bukan Al-Muwaththâ`.”
(Al-Istidzkâr 10/343. Baca jugalah At-Tamhîd dari Mausû’ah Syurûh Al-Muwaththâ` 9/494.)

Dalam Takmil An-Nafa’, penulisnya, Syaikh Muhammad ‘Amr Abdul Lathif, membawakan riwayat yang semakna dengan hadits di atas, yaitu sebuah hadits dari Ibnu ‘Abbas,sebuah riwayat mursal dari Mujahid, dan sebuah riwayat mu’dhal ‘keterputusan dalam sanad dengan gugurnya dua rawi atau lebih’ dari Ali bin ‘Urwah –salah seorang rawi yang sangat lemah-. Semuanya memiliki kelemahan.

𝙃𝙖𝙙𝙞𝙩𝙨 𝙆𝙚𝙙𝙪𝙖

Dari Yusuf bin Sa’ad, beliau berkata, “Seorang lelaki berdiri kepada Al-Hasan bin Ali radhiyallâhu ‘anhu setelah (Al-Hasan) membaiat muawiyah radhiyallâhu ‘anhu. (Orang tersebut) berkata, ‘Engkau telah mencoreng wajah kaum mukminin (atau dia berkata, ‘Wahai orang yang mencoreng wajah kaum mukminin’),’ maka (Al-Hasan) berkata,

لاَ تُؤَنِّبْنِيْ رَحِمَكَ اللَّهُ فَإِنَّ النَّبِىَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أُرِىَ بَنِى أُمَيَّةَ عَلَى مِنْبَرِهِ فَسَاءَهُ ذَلِكَ فَنَزَلَتْ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ يَا مُحَمَّدُ يَعْنِى نَهْرًا فِي الْجَنَّةِ وَنَزَلَتْ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ يَمْلِكُهَا بَعْدَكَ بَنُو أُمَيَّةَ يَا مُحَمَّدُ

‘Janganlah engkau mencela saya. Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya Bani Umayyah diperlihatkan kepada beliau, sedang beliau berada di atas mimbar, maka hal tersebut tidak menyenangkan beliau. Kemudian, turunlah “innâ a’thainâkal kautsar”. Wahai Muhammad, yakni sebuah sungai di surga. Turun pula “innâ anzalnâhu fî lailatil qadr. Wa mâ adrâka mâ lailatul qadr. Lailatul qadri khairun min alfi syahr”. Wahai Muhammad, hal tersebut dimiliki oleh Bani Umayyah setelahmu.’.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzy, Ibnul Jarîr, dan selainnya. Imam At-Tirmidzy sendiri melemahkan hadits di atas, demikian pula Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, dan Ibnu Katsir menambahkan bahwa sanad hadits tersebut juga mengandung idthirâb ‘keguncangan’ dan, pada matannya, terdapat nakârah ‘kemungkaran’ dari beberapa sisi.

𝙃𝙖𝙙𝙞𝙩𝙨 𝙆𝙚𝙩𝙞𝙜𝙖

Dari Abu Dzar Al-Ghifary, beliau berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنِي عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ فِيْ رَمَضَانَ أَوْ فِيْ غَيْرِهِ ؟ قَالَ: ” بَلْ هِيَ فِيْ رَمَضَانَ “، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ تَكُونُ مَعَ الْأَنْبِيَاءِ مَا كَانُوا فَإِذَا قُبِضَ الْأَنْبِيَاءُ رُفِعَتْ أَمْ هِيَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ؟ قَالَ: ” لَا، بَلْ هِيَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “، قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، فِيْ أَيِّ رَمَضَانَ هِيَ ؟ قَالَ: ” الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأُوَلِ وَالْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ ” قَالَ: ثُمَّ حَدَّثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاهْتَبَلْتُ غَفْلَتَهُ ، فَقُلْتُ: فِيْ أَيِّ الْعَشْرَينِ ؟ قَالَ: ” الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ لَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا “، ثُمَّ حَدَّثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَدَّثَ فَاهْتَبَلْتُ غَفْلَتَهُ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَقْسَمْتُ عَلَيْكَ لَتُخْبِرَنِّيْ أَوْ لَمَا أَخْبَرْتَنِيْ فِيْ أَيِّ الْعَشْرِ هِيَ ؟ قَالَ: فَغَضِبَ عَلَيَّ غَضَبًا مَا غَضِبَ عَلَيَّ مِثْلَهُ لَا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، فَقَالَ: ” إِنَّ اللهَ لَوْ شَاءَ لَأَطْلَعَكُمْ عَلَيْهَا الْتَمِسُوهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ “

“Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepadaku bahwa lailatul qadr berada pada (bulan) Ramadhan atau pada (bulan) lain.’ Beliau menjawab, ‘Bahkan (malam) itu berada pada (bulan) Ramadhan.’ Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah (malam) itu bersama para nabi sepanjang mereka ada, apabila mereka meninggal, (malam) itu juga ikut terangkat, ataukah (malam) itu (tetap ada) hingga hari kiamat?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, tetapi (malam) itu (tetap ada) hingga hari kiamat.’ Saya bertanya (lagi), ‘Berada pada (malam) Ramadhan manakah (malam) itu?’ Beliau menjawab, ‘Carilah pada sepuluh malam pertama dan sepuluh malam terakhir.’ Kemudian, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melanjutkan pembicaraan maka saya menunggu kesempatan, lalu saya bertanya, ‘Di manakah di antara dua sepuluh itu?’ Beliau menjawab, ‘Carilah pada sepuluh malam terakhir, jangan engkau bertanya sesuatu apapun setelahnya.’ Kemudian, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melanjutkan pembicaraan maka saya menunggu kesempatan, lalu saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya bersumpah terhadapmu agar engkau memberitahukan kepadaku di manakah (malam) itu di antara sepuluh (malam terakhir) tersebut.’ Maka, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam marah kepadaku, dengan kemarahan yang beliau tidak pernah seperti itu sebelumnya tidak (pula) setelahnya, kemudian bersabda, ‘Sesungguhnya Allah -jika berkehendak- akan memperlihatkan (malam) itu kepada kalian. Carilah pada tujuh malam terakhir.’.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ahmad, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’âni Al-Atsar, Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqy, dan selainnya.

Pada sanadnya, terdapat rawi yang bernama Martsad bin ‘Abdillah, seorang rawi yang majhul ‘tidak dikenal’. Hadits tersebut dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah no. 3100 dan disebutkan pula oleh beliau bahwa ada bentuk nakârah ‘kemungkaran’ dalam matannya.

𝙃𝙖𝙙𝙞𝙩𝙨 𝙆𝙚𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩

مَنْ قَرَأَ فِيْ إِثْرِ وُضُوْئِهِ : { إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ } مَرَّةً وَاحِدَةً كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَمَنْ قَرَأَهَا مَرَّتَيْنِ كُتِبَ فِيْ دِيْوَانِ الشُّهَدَاءِ وَمَنْ قَرَأَهَا ثَلَاثًا حَشَرَهُ اللهُ مَحْشَرَ الْأَنْبِيَاءِ

“Barangsiapa yang, setelah berwudhu, membaca, ‘Innâ anzalnâhu fî lailatil qadr,’ sebanyak sekali, dia (tergolong salah satu) dari para shiddiqin. Barangsiapa yang membaca (ayat) itu sebanyak dua kali, dia akan terhitung ke dalam catatan para syuhada. Barangsiapa yang membaca (ayat) itu sebanyak tiga kali, dia akan dikumpulkan oleh Allah bersama perkumpulan para nabi.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ad-Dailamy dalam Musnad Firdaus dari jalur Abu ‘Ubaidah, dari Al-Hasan, dari Anas, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Demikian yang disebutkan oleh As-Suyuthy dalam Al-Hawy. Pada sanad tersebut, ada Abu ‘Ubaidah, sementara pengguna kata dari oleh Al-Hasan Al-Bashry, padahal beliau adalah seorang mudallis.
Hadits di atas dianggap palsu oleh Syaikh Al-Albany rahimahullâh dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah no. 1449 dan no. 1527.
Anggapan kepalsuan hadits di atas –menurut Syaikh Al-Albany rahimahullâh – sangat tampak dari konteks hadits itu.

𝙃𝙖𝙙𝙞𝙩𝙨 𝙆𝙚𝙡𝙞𝙢𝙖

إِنَّ اللهَ وَهَبَ لِأُمَّتِيْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَلَمْ يُعْطِهَا مَنْ كَانَ قَبْلَهُمْ

“Sesungguhnya Allah telah memberikan lailatul qadr pada umatku, dan tidak pernah diberikan kepada umat-umat sebelumnya.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh Ad-Dailamy dalam Musnad Firdaus sebagaimana dalam Ad-Durr Al-Mantsûr karya As-Suyuthy dan dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah no. 3106 karya Syaikh Al-Albany.
Hadits tersebut divonis sebagai hadits palsu oleh Syaikh Al-Albany lantaran, di dalam sanadnya, terdapat seorang pemalsu hadits, Ismail bin Abi Ziyad Asy-Syamy.

𝙃𝙖𝙙𝙞𝙩𝙨 𝙆𝙚𝙚𝙣𝙖𝙢

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ومَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

“Barangsiapa yang qiyam Ramadhan karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan diampuni untuknya segala dosanya yang telah berlalu. Barangsiapa yang qiyam pada lailatul qadr karena keimanan dan hal mengharap pahala, akan diampuni untuknya segala dosanya yang telah berlalu 𝘥𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨.”

Hadits dengan konteks di atas dikeluarkan oleh Imam An-Nasâ`iy dalam As-Sunan Al-Kubrâ` dengan bersandar pada nukilan Syaikh Al-Albany dari manuskrip As-Sunan Al-Kubrâ`, walaupun ada sedikit perbedaan dengan konteks kitab tersebut yang tercetak saat ini.
Tambahan kalimat pada akhir hadits dianggap syâdz ‘ganjil’ oleh Syaikh Al-Albany pada sebuah pembahasan ilmiah dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah no. 5083, demikian pula dianggap sebagai tambahan yang mungkar oleh Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 7/105.

𝙃𝙖𝙙𝙞𝙩𝙨 𝙆𝙚𝙩𝙪𝙟𝙪𝙝

مَنْ قَرَأَ “إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ” عُدِلَتْ بِرُبُعِ الْقُرْآنِ

“Barangsiapa yang membaca, ‘Innâ anzalnâhu fî lailatil qadr,’ (bacaannya) akan dinilai dengan seperempat Al-Qur`an.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh Muhammad bin Nashr Al-Marwazy sebagaimana dalam Mukhtashar Qiyâmul Lail dari jalur ‘Amr bin Riyâh (seorang dajjal, pendusta), dari Yazîd Ar-Raqâsy (seorang yang dhaif), dari Anas bin Malik secara marfu.

Hadits ini divonis palsu oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dha’îfah no. 4324.

𝙃𝙖𝙙𝙞𝙩𝙨 𝙆𝙚𝙙𝙚𝙡𝙖𝙥𝙖𝙣

اطْلُبُوهَا لَيْلَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ مِنْ رَمَضَانَ وَلَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَلَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ. ثُمَّ سَكَتَ

“(Rasulullah bersabda,) ‘Carilah (lailatul qadr) pada malam ketujuh belas, malam kedua puluh satu, dan malam kedua puluh tiga,’ kemudian beliau diam.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dâwud no. 244, tetapi dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dha’îf Sunan Abu Dâwud 2/65/66.

𝙃𝙖𝙙𝙞𝙩𝙨 𝙆𝙚𝙨𝙚𝙢𝙗𝙞𝙡𝙖𝙣

Dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,
“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila saya mengetahui lailatul qadr pada suatu malam. Apa yang mesti saya baca? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,

قُولِيْ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ

‘Katakanlah, ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai rasa maaf, maka maafkanlah aku.’.’.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh At-Tirmidzy, An-Nasâ`iy, Ibnu Mâjah, dan selainnya dari jalur Abdullah bin Buraidah dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Abdullah bin Buraidah dianggap tidak mendengar hadits apapun dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Demikian ucapan Ad-Dâraquthny dan Al-Baihaqy, serta diikuti oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar.

Dahulu, Syaikh Al-Albany pernah melemahkan hadits ini berdasarkan sebab tersebut dalam risalah beliau, Naqd Nushûsh Haditsiyah hal. 45, tetapi beliau rujuk dan menshahihkan hadits tersebut dalam Silsilah Al-Ahâdits Ash-Shahîhah no. 3337.

Alasan Syaikh Al-Albany adalah bahwa Abdullah bin Buraidah mendapati masa hidup Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ dan mungkin mendengar dari Aisyah.

Sangkaan saya adalah bahwa, dalam hal ini, ucapan Ad-Dâraquthny dan Al-Baiqhaqy lebih harus diterima. Hal tersebut disebabkan oleh tiga hal:

Pertama, Ad-Dâraquthny memastikan bahwa Abdullah bin Buraidah tidak mendengar dari Aisyah.

Kedua, tidak seorang pun di antara imam ahli hadits yang menetapkan sebaliknya.

Ketiga, sebagaimana ucapan Ad-Dâraquthny diterima dalam hal menghukumi seorang rawi walaupun bersendirian, demikian pula ucapan tersebut harus diterima dalam hal menafikan pendengaran.

Hadits di atas juga telah dilemahkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dalam kitab beliau, Ahâdits Mu’allah Zhâhiruhâ Ash-Shihhah hal. 450-460 (cet. Dârul Atsar).

Wallâhu A’lam.

Demikian beberapa pembahasan yang berkaitan dengan lailatul qadr. Semoga pembahasan ini bermanfaat untuk para pembaca. Wallâhu A’lam.

Ust. Dzulqarnain M. Sunusi

Sumber :
https://dzulqarnain.net/hadits-hadits-lemah-seputar-lailatul-qadr.html

📝 MARI IKUTI SUNNAH
https://web.facebook.com/mariikutisunnah/

Minggu, 26 Mei 2019

RUQYAH ITU MUDAH

BISMILLAH
RUQYAH ITU MUDAH

Ternyata Begini Cara Meruqyah Rumah, Kantor dan Tempat Kerja yang Panas dan "Angker"

Pernah merasakan tidak nyaman atau suasan terasa “panas” di tempat kerja/kantor/tempat usaha? Atau saat ini Anda merasakan usaha yang sepi, rejeki seret atau bahkan sedang diujung kebangkrutan? Memang ada banyak faktor penyebab dari kondisi tidak menyenangkan tersebut, namun perlu diwaspadai jika salah satu penyebabnya adalah sihir. Tujuan dikirimnya sihir ke tempat kerja Anda sangat beragam, mungkin agar karyawan tidak betah bekerja, penghuni kantor jadi sering sakit-sakitan, usaha jadi sepi atau bahkan bangkrut, dan beragam cara licik lainnya. Menghadapi kondisi tersebut, kita tidak perlu panik, apalagi sampai menempuh jalan yang dilarang oleh Allah Subhanallahu wa taala, misalnya : minta tolong ke dukun/paranormal. Islam mengajarkan cara sederhana untuk menangkal pengaruh buruk dari sihir, salah satunya ruqyah tempat kerja. Ruqyah bisa dilakukan oleh Anda sendiri atau yang dinamakan ruqyah mandiri.

Jadi, tidak perlu harus memanggil Ustad/Kyai untuk meruqyah rumah usaha Anda, karena ternyata Anda juga bisa mencoba melakukannya ruqyah secara mandiri. Nah, agar Anda lebih mudah melakukannya, simak langsung penjelasannya dalam artikel ini.

Hadits dibolehkannya Ruqyah
Ada beberapa hadits yang menunjukkan diperbolehkannya pengobatan menggunakan ruqyah, dinataranya :

Menyembuhkan sakit dengan ruqyah
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw apabila ada orang mengeluh kesakitan maka diusapnya dengan tangan kanannya seraya membaca doa: penyakit telah hilang ya Allah tuhan seluruh manusia, sembuhkanlah karena Engkau yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali atas izin Mu, berilah kesembuhan yang tidak menyisakan rasa sakit. (HR Bukhari dan Muslim)

Boleh ruqyah asalkan tidak mengandung syirik
Diriwayatkan dari Auf Ibn Malik r.a. bahwa pada masa jahiliyah kami selalu melakukan ruqyah, lalu kami tanyakan kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah, bagaimana tanggapan anda tentang hal itu?” Rasulullah menjawab, “Sampaikan kepada tukang ruqyah kalian, tidak ada larangan melakukan ruqyah selama tidak mengandung syirik di dalamnya. (HR Muslim)

Boleh ruqyah dari penyakit Ain, demam dan fitnah
Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik bahwa Rasulullah Saw memberikan kelonggaran untuk melakukan ruqyah dari penyakit korban tatapan mata, demam, dan fitnah (HR Muslim)

Tata Cara Ruqyah Mandiri sebagaimana disebutkan Ustad Khalid Basalamah
Langkah awal yang perlu dilakukan :
1. Bersihkan rumah usaha/kantor Anda dari patung, gambar-gambar, atau foto makhluk yang bernyawa
2. Bersihkan rumah usaha dari tumpukan sampah atau bau-bauan yang tidak sedap
3. Bersihkan diri dan bersuci (wudhu)
4. Ambil daun bidara 7 lbr, lalu tumbuk hingga halus lalu, masukkan dalam air yang akan digunakan untuk ruqyah
5. Aduk-aduk sambil bacakan ayat Ruqyah
-    Baca Al Quran surat Al fatihah, Ayat kursi, Al ikhlas, al falaq dan an nas
6. Gunakan air rukyah untuk mengepel lantai atau gunakan semprotan. Lalu semprot tembok rumah dengan niat menghancurkan sihir.
7. Berdasarkan pengalaman yang ada, rumah usaha yang diruqyah akan menunjukkan reaksi, yakni : ada ular keluar, ada kalajengking, ada laron, binatang yang mati, bau gosong, dan hal-hal aneh lainnya.
Cara Kedua (Ini cara agak panjang)
1. Baca istighfar
2. Baca dzikir (tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir)
3. Baca shalawat nabi
4. Baca kalimat tammah  
“A’uudzu bikalimaatilaahit taammati min syarri maa kholaq”
“A’uudzu bikalimaatillahit taammati min kulli syaithonin wa haam matin wa mingkulii ‘aiinin laammah”
5. Al Fatihah (3x)
6. Al Hasyr ayat 21-24 (3x)
7. Al Baqarah ayat 1-4 (3x)
8. Al Baqarah ayat 255 (3x)
9. Al Baqarah ayat 256-257 (3x)
10. Al Baqarah ayat 284-286 (3x)
11. Al Ikhlas (3x)
12. Al Falaq (3x)
13. An Naas (3x)
14. Tiupkan ke air dan tumbukan daun bidara setiap selesai membaca satu surat
15. Siramkan semprotkan pada tembok/depan toko sambil membaca ayat kursi. Atau bisa juga gunakan airnya untuk mengepel lantai toko atau kantor.
16. Ulangi cara tersebut hingga seminggu berturut-turut

Nah, bagaimana sobat, ternyata ruqyah mandiri tidak sesulit yang dibayangkan bukan? Semoga cara islami diatas dapat membantu mengatasi masalah yang terjadi di kantor atau tempat usaha Anda. Semoga bermanfaat!

Sumber : KajianLagi

Sabtu, 25 Mei 2019

PANDUAN I TIKAF

PANDUAN I'TIKAF RAMADAHAN

Bagaimana panduan i’tikaf?

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. [8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf

Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf

Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
Mandi dan berwudhu di masjid.
Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/1150-panduan-itikaf-ramadhan.html

HUKUM DAN ETIKA SHOLAT MALAM

𝗕𝗘𝗕𝗘𝗥𝗔𝗣𝗔 𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗗𝗔𝗡 𝗘𝗧𝗜𝗞𝗔 𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗕𝗘𝗥𝗞𝗔𝗜𝗧𝗔𝗡 𝗗𝗘𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗦𝗛𝗢𝗟𝗔𝗧 𝗠𝗔𝗟𝗔𝗠

𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘈𝘥𝘢 𝘋𝘶𝘢 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘞𝘪𝘵𝘪𝘳 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘚𝘦𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮

Telah diketahui tentang keutamaan pelaksanaan shalat Tarawih bersama imam sampai selesai, walaupun pelaksanaan tersebut di awal malam. Juga diketahui bahwa dilarang mengerjakan shalat Witir sebanyak dua kali dalam semalam sebagaimana keterangan dalam hadits,

لَا وِتْرَانِ فِيْ لَيْلَةٍ

“Tidak ada dua (shalat) Witir dalam semalam.”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thayâlisy no. 1095, Ahmad 4/23, Ibnu Abi Syaibah 2/84, Abu Dâud no. 1439, At-Tirmidzy no. 469, An-Nasâ`iy 3/229, Ath-Thahâwy 1/342, Ibnu Khuzaimah no. 1101, Ibnu Hibbân no. 2449, Ath-Thabarâny 8/no. 8247, dan Al-Baihaqy 3/36 dari Thalq bin Ali radhiyallâhu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam beberapa bukunya.]

𝘗𝘦𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢𝘢𝘯 𝘘𝘪𝘺𝘢𝘮𝘶𝘭 𝘓𝘢𝘪𝘭 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘈𝘬𝘩𝘪𝘳 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘚𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘗𝘦𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢𝘢𝘯 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘞𝘪𝘵𝘪𝘳 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘈𝘸𝘢𝘭 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘮

Bila ingin menambah shalat Lail pada akhir malam setelah mengerjakan shalat Tarawih dan Witir bersama imam pada awal malam, apa yang harus makmum lakukan?
[Bacalah pembahasan hal ini dalam Al-Mughny 2/597-598, Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/88-89, dan Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ`il Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn 14/123-126.]

Ada dua penyelesaian dalam hal ini:
𝘗𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢, menggenapkan rakaat, yaitu, ketika imam bersalam pada akhir shalat Witirnya, makmum tidak ikut bersalam, tetapi berdiri untuk menambah satu rakaat sehingga shalat sang makmum menjadi genap. Sehingga, kalau ingin mengerjakan shalat Lail pada akhir malam, sang makmum tetap bisa mengerjakan shalat Witir. Dengan hal ini, seseorang tetap mendapatkan pahala shalat berjamaah bersama imam dan tetap bisa mengerjakan shalat pada akhir malam. Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, ini adalah cara yang paling baik.
𝘒𝘦𝘥𝘶𝘢, makmum ikut mengerjakan shalat Witir bersama imam sampai selesai, dan ikut bersalam bersama imam. Kalau ingin bangun pada malam hari, ia boleh mengerjakan shalat lagi sebanyak dua rakaat-dua rakaat, berdasarkan keumuman hadits,

صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى

“Shalat malam (dikerjakan sebanyak) dua (rakaat)-dua (rakaat).”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 472, 473, 990, 993, 995, 1137, Muslim no. 749, Abu Dâud no. 1326, At-Tirmidzy no. 437, An-Nasâ`iy 3/227-228, 233, dan Ibnu Mâjah no. 1318-1320.]

Akan tetapi, seseorang tidak boleh mengerjakan shalat Witir lagi agar tidak terjatuh ke dalam larangan pelaksanaan shalat Witir sebanyak dua kali dalam semalam.

𝘗𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘕𝘢𝘲𝘥𝘩𝘶𝘭 𝘞𝘪𝘵𝘳

Sebenarnya ada cara ketiga yang disebut dengan naqdhul witr, yaitu, setelah mengerjakan shalat Witir pada awal malam kemudian bangun untuk mengerjakan shalat pada akhir malam, seseorang memulai shalatnya dengan mengerjakan shalat satu rakaat dengan niat untuk menggenapkan rakaat shalat Witirnya (agar shalat Witir tersebut batal) yang telah ia lakukan pada awal malam. Namun, hal tersebut adalah lemah menurut pendapat jumhur ulama.
[Silakan membaca pembahasan hal di atas dalam Al-Istidzkâr 2/113-114, Fathul Bâry 6/250-257 karya Ibnu Rajab, Al-Mughny 2/597-598, Al-Inshâf 2/182, Al-Majmu’ 3/521, Tharhut Tatsrîb 3/81, dan Nailul Authâr 3/49.]

𝘚𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘓𝘢𝘪𝘭 𝘉𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘢𝘢𝘩 𝘚𝘦𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘋𝘶𝘢 𝘒𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘚𝘦𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 (𝘗𝘦𝘮𝘣𝘢𝘩𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘛𝘢’𝘲𝘪𝘣)

Tidak disunnahkan, ta’qîb dalam shalat Tarawih, yaitu perbuatan sekelompok orang yang mengerjakan shalat Lail berjamaah pada awal malam, kemudian mengerjakan shalat berjamaah kembali pada akhir malam. Hal ini adalah perkara makruh menurut pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menguatkan pendapat ini. Namun, menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, kalau ta’qîb mereka lakukan setelah mengerjakan shalat Tarawih tanpa mengerjakan shalat Witir, hal itu bukanlah makruh. Sisi yang menunjukkan kekuatan simpulan ini tentunya bisa dipahami dari uraian-uraian yang telah berlalu.

𝘗𝘦𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢𝘢𝘯 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘚𝘶𝘯𝘯𝘢𝘩 𝘈𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘙𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵-𝘙𝘢𝘬𝘢𝘢𝘵 𝘛𝘢𝘳𝘢𝘸𝘪𝘩

Adapun pelaksanaan shalat sunnah antara rakaat-rakaat shalat Tarawih saat istirahat, hal tersebut adalah perkara yang makruh karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatan hal tersebut.
[Bacalah Al-Mughny 2/607, Al-Inshaf 2/183, dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/90-91 karya Ibnu ‘Utsaimin.]

𝘗𝘦𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢𝘢𝘯 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘞𝘪𝘵𝘪𝘳 𝘥𝘪 𝘈𝘵𝘢𝘴 𝘒𝘦𝘯𝘥𝘢𝘳𝘢𝘢𝘯

Seseorang boleh mengerjakan shalat Witir di atas hewan tunggangan atau kendaraan menurut pendapat kebanyakan ulama berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa beliau berkata,
[Silakan membaca pembahasannya dalam Al-Istidzkâr 2/111, Fathul Bâry 6/265-267 karya Ibnu Rajab, dan Bidâyatul Mujtahid 1/204.]

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوْتِرُ عَلَى الْبَعِيْرِ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Witir di atas unta.”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 999, Muslim no. 700, dan An-Nasâ`iy 3/232.]

𝘗𝘦𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢𝘢𝘯 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘞𝘪𝘵𝘪𝘳 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘗𝘦𝘳𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘢𝘯

Shalat Witir juga tetap disunnahkan untuk dikerjakan, walaupun seseorang berada dalam safar/perjalanan, karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Witir dalam keadaan mukim dan safar. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal tersebut.
[Bacalah Majmu’ Fatâwâ 23/98 karya Ibnu Taimiyah, Fathul Bâry 6/258-259 karya Ibnu Rajab, dan Al-Majmu’ 2/517]

𝘉𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢 𝘒𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘐𝘴𝘵𝘪𝘳𝘢𝘩𝘢𝘵 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘗𝘦𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢𝘢𝘯 𝘛𝘢𝘳𝘢𝘸𝘪𝘩

Berdoa ketika istirahat pada pelaksanaan shalat Tarawih tidak disyariatkan, demikian pula tidak ada doa setelah shalat Tarawih.
[Bacalah Al-Inshâf 2/181 dan 182 karya Al-Mardâwy.]

𝘕𝘪𝘢𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘉𝘢𝘪𝘬 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘈𝘬𝘢𝘯 𝘛𝘪𝘥𝘶𝘳

Seseorang hendaknya berniat untuk bangun mengerjakan shalat malam ketika akan tidur sehingga niat tersebut bernilai kebaikan untuknya.

Telah sah dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِى أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Barangsiapa yang mendatangi pembaringannya dengan niat untuk mengerjakan shalat pada malam hari, kemudian (rasa kantuk pada) kedua matanya lebih menguasainya (sampai dia tidak bangun) hingga waktu shubuh masuk, akan ditulis (sebagai amalan untuknya) amal sebagaimana hal yang telah dia niatkan, sementara tidurnya adalah sedekah dari Rabb-nya ‘Azza wa Jalla.”
[Diriwayatkan oleh An-Nasâ`iy, Ibnu Majah, Al-Bazzar, Muhammad bin Nashr, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, dan selainnya dari hadits Abu Darda` radhiyallâhu ‘anhu. Hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, yang dikeluarkan oleh An-Nasâ`iy, Al-Baihaqy, dan selainnya, juga semakna dengannya. Berdasarkan jalur-jalur tersebut, hadits di atas dikuatkan oleh Al-Albâny dalam Irwa`ul Ghalil no. 454.]

𝘉𝘦𝘳𝘴𝘪𝘸𝘢𝘬 𝘚𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘔𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘫𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘓𝘢𝘪𝘭

Hal tersebut diterangkan dalam sejumlah hadits, di antaranya adalah hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa beliau bersabda,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ لِيَتَهَجَّدَ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

“Adalah Nabi, bila bangun untuk bertahajjud, menggosok mulutnya dengan siwak.”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, Abu Dâud, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Majah.]

𝘚𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘵𝘶𝘬

Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ meriwayatkan dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa Nabi bersabda,

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ

“Apabila salah seorang dari kalian mengantuk dalam shalat, hendaknya dia tidur hingga rasa kantuknya hilang, (karena) sesungguhnya, bila mengerjakan shalat dalam keadaan mengantuk, salah seorang dari kalian barangkali ingin beristighfar, tetapi (yang terjadi adalah) dia mencela dirinya.”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, Abu Dâud, At-Tirmidzy, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Majah.]

𝘒𝘰𝘯𝘵𝘪𝘯𝘶 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘗𝘦𝘯𝘦𝘨𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘮

Seorang hamba hendaknya mengerjakan shalat malam dan membiasakan hal tersebut. Agar menjadi kebiasaan, shalat malamnya hendaknya dikerjakan sebanyak jumlah rakaat yang dia bisa kontinu dalam hal menjaganya.

Dalam hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

“Wahai sekalian manusia, hendaknya kalian melakukan amalan yang kalian sanggupi karena Allah tidak bosan hingga kalian sendiri yang bosan, dan sesungguhnya sebaik-baik amalan di sisi Allah adalah yang terus menerus dilakukan, walaupun sedikit.”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, Abu Dâud, dan An-Nasâ`iy.]

𝘊𝘰𝘯𝘵𝘰𝘩 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘛𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬

Dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Ash radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ ، كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا ، وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ ، كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ

“Puasa yang paling dicintai oleh Allah adalah puasa (Nabi) Dâud, yang beliau berpuasa sehari dan berbuka (yakni tidak berpuasa) sehari, serta shalat yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat (Nabi) Dâud, yang beliau tidur pada seperdua malam, kemudian berdiri (untuk mengerjakan shalat) pada sepertiga (malam) itu, lalu tidur pada seperenam (malam) tersebut.”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, Abu Dâud, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Majah.]

Ust. Dzulqarnain M. Sunusi

Sumber :
https://dzulqarnain.net/beberapa-hukum-dan-etika-yang-berkaitan-dengan-pembahasan.html

📝 MARI IKUTI SUNNAH
https://web.facebook.com/mariikutisunnah/