Selasa, 30 Oktober 2018

AIR MUSTAMAL

Apakah Air Musta’mal Suci Dan Mensucikan?
↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔

🔴 Definisi air musta’mal

Mus’tamal artinya sesuatu yang dipakai. Air mus’tamal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci.

Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah mengatakan:

وهو المنفصل من أعضاء المتوضئ والمغتسل

“air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota badan orang yang berwudhu atau mandi” (Fiqhus Sunnah, 1/18).

Namun dalam pembahasan di kitab-kitab fiqih, para ulama juga memasukkan air yang telah digunakan untuk menghilangkan najis dan hadats sebagai air musta’mal, sebagaimana akan kami paparkan pada pembahasan.

🔴 Hukum air musta’mal

Untuk memahami pembahasan air musta’mal, perlu dipahami dahulu bahwa para ulama membedakan antara status kesucian air (thahiriyyah) tersebut dengan status keabsahan air tersebut untuk mensucikan (thahuriyyah). Adapun masalah kesucian air musta’mal, selama salah satu sifatnya (warna, bau, rasa) tidak berubah oleh najis maka ia tetap dalam keadaan suci. Yang menjadi permasalahan dalam pembahasan air musta’mal adalah status thahuriyyah-nya.

🔴 Air musta’mal secara umum dibagi menjadi dua:

➖ Pertama: air musta’mal yang dipakai untuk menghilangkan hadats, yaitu dengan wudhu atau mandi.

Maka hukumnya suci namun para ulama khilaf mengenai thahuriyyah-nya. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah (4/20) : “jika air mutlak digunakan untuk thaharah membersihkan hadats kecil atau hadats besar, maka tidak lagi disebut air mutlak. Sehingga ia memiliki hukum yang berbeda dari segi thahuriyyah-nya. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan bahwa ia suci namun tidak bisa mensucikan. Ulama Malikiyyah menyelisihi jumhur dengan mengatakan bahwa air tersebut tetap bisa mensucikan namun makruh hukumnya jika sebenarnya ada air lain yang bukan musta’mal”.

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad menjelaskan: “air musta’mal yang masuk ke dalam bak ini, statusnya suci. Sebagian ulama mengatakan, ia tidak boleh untuk bersuci. Karena ia telah digunakan untuk menghilangkan hadats, maka tidak bisa untuk menghilangkan hadats kedua kalinya. Adapun dari segi thahiriyyah-nya, maka ia statusnya suci dan bukan najis. Karena badan manusia itu suci, dan air yang mengenainya itu suci” (Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/31517/).

Maka tidak benar sikap sebagian orang yang takut terkena cipratan air musta’mal, karena air musta’mal itu suci.

➖ Kedua: air musta’mal yang dipakai untuk menghilangkan najis.

Maka hukum kesuciannya (thahiriyyah) kembali melihat pada perubahan sifat airnya. Jika salah satu sifatnya (warna, bau, rasa) berubah oleh najis maka ia dihukumi sebagai najis, jika tidak demikian, maka statusnya suci. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan: “adapun air musta’mal yang sudah digunakan untuk menghilangkan najis, jika ia berubah sifatnya (oleh najis) maka ia berstatus najis” (Irsyad Ulil Bashair li Nailil Fiqhi, 18).

Sedangkan status keabsahannya untuk mensucikan (thahuriyyah), jika ia suci, para ulama khilaf mengenai hal ini sebagaimana telah disebutkan.

🔴 Dalil-dalil sucinya air musta’mal

Telah kami sebutkan di atas bahwa air musta’mal yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats statusnya suci dan bukan najis, kecuali merupakan air musta’mal yang telah digunakan untuk menghilangkan najis dan berubah salah satu sifatnya. Berikut ini diantara dalil-dalilnya yang kami ambil dari Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah Syaikh Husain Al ‘Awaisyah:

➖ Pertama:

Hadits dari Al Miswar radhiallahu’anhu:

وإِذا توضَّأ النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –، كادوا يقتتلون على وَضوئه

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau” (HR. Al Bukhari 189).

Para sahabat ber-tabarruk dengan air bekas wudhu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika air musta’mal najis, maka tentu tidak akan diperebutkan oleh para sahabat dan akan dilarang oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

➖ Kedua:

عن أبي سعيد الخدري –رضي الله عنه– قال: سمعتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وهو يُقال له: إِنَّه يُستقى لك مِن بئر بُضاعة –وهي بئر يُلقى فيها لحوم الكلاب والمحايض وعُذَر النَّاس– فقال رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “إِنَّ الماء طهور، لا ينجِّسه شيء“

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, ia berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah ditanya mengenai air yang diambil dari sumur bidha’ah, yaitu sumur yang biasa dibuang bangkai anjing, kain pembalut dan kotoran. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “air itu suci, tidak bisa dinajiskan dengan apapun” (HR. Tirmidzi no. 66, ia berkata: “hasan”, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi).

Jika bangkai anjing, kain pembalut wanita dan kotoran tidak menajiskan keseluruhan air selama tidak ada perubahan warna, rasa dan baunya, maka terlebih lagi air yang terkena kulit seseorang melalui cucian dan basuhan, tentu tidak membuatnya menjadi najis.

➖ Ketiga:

وعن أبي هريرة –رضي الله عنه– قال: لقيني رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وأنا جُنُب، فأخذ بيدي، فمشيتُ معه حتى قعد، فانْسَلَلْتُ فأتيتُ الرحل فاغتسلتُ، ثمَّ جئت وهو قاعد، فقال: “أين كنتَ يا أبا هرّ؟ “. فقلتُ له ، فقال: “سبحان الله يا أبا هرّ! إِنَّ المؤمن لا ينجُس“.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menemuiku saat aku sedang dalam keadaan junub. Lalu beliau memegang tanganku dan berjalan bersamaku hingga sampai di suatu tempat, kami duduk. Lalu aku menyelinap pergi, aku pulang dan mandi. Kemudian aku datangi beliau, saat itu beliau masih sedang duduk. Beliau bertanya, “kemana engkau wahai Aba Hirr?”. Lalu aku pun menyampaikan alasanku tersebut. Seketika beliau bersabda: “Subhaanallah! Wahai Aba Hirr, sesungguhnya sesama Mukmin itu tidak saling menajisi” (HR. Bukhari no. 285, Muslim no. 371).

🔴 Apakah air musta’mal dapat mensucikan?

Telah disebutkan di atas bahwa para ulama khilaf mengenai apakah air musta’mal dapat mensucikan?

Jumhur ulama dari Syafi’iyyah, Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa air musta’mal itu suci namun tidak mensucikan.

Mereka berdalil dengan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا يغتسِلُ أحدُكم في الماءِ الدَّائم ِوهو جنُبٌ . فقالَ : كيفَ يفعَلُ يا أبا هُرَيرةَ ؟ قال : يتناولُها تناوُلًا

“janganlah salah seorang dari kalian mandi di air yang tidak mengalir, sedangkan ia sedang junub”. Perawi bertanya kepada Abu Hurairah: “lalu seharusnya bagaimana wahai Abu Hurairah?”. Abu Hurairah menjawab: “seharusnya ia menciduknya” (HR. Bukhari no. 239, Muslim no. 283).

Al Hafidz Al Iraqi mengatakan: “Syafi’iyyah dan jumhur ulama berpendapat bahwa air musta’mal telah hilang sifat thahuriyah-nya. Maka tidak bisa digunakan untuk bersuci lagi. Karena andai mandi di air yang tidak mengalir tidak menghilangkan keabsahannya untuk mandi di situ sekali lagi, tentu tidak akan Nabi larang” (Tharhu At Tatsrib min Syarhi At Taqrib, 2/34, dinukil dari Fatawa Islam As Sual wal Jawab no. 224255).

Namun pendalilan ini bukanlah pendalilan yang sharih pelarangan menggunakan air musta’mal untuk bersuci lagi. Oleh karena itu Imam An Nawawi mengatakan: “pendalilan ini perlu dikritisi, karena pendapat yang terpilih dan pendapat yang lebih tepat adalah bahwa maksud hadits ini yaitu larangan mandi pada air yang tidak mengalir walaupun jumlah airnya banyak karena khawatir ia akan menjadi kotor, dan jika dilakukan berulang-ulang akan mengubah sifat air tersebut” (Al Majmu 1/154, dinukil dari Fatawa Islam As Sual wal Jawab no. 224255).

Maka pendapat yang lebih tepat, air musta’mal itu suci dan mensucikan. Berdasarkan dalil-dalil berikut ini yang kami ambil dari Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah Syaikh Husain Al ‘Awaisyah:

🔷 Pertama:

عن ابن عباس –رضي الله عنهما– قال: اغتسل بعض أزواج النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – في جفنة ,فجاء النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ليتوضَّأ منها –أو يغتسل– فقالت له: يا رسول الله! إِنِّي كنتُ جُنُباً. فقال رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إِنَّ الماء لا يُجْنِب

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, ia berkata: sebagian istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mandi dalam sebuah bak. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam datang untuk berwudhu -atau mandi- dari air bak tersebut. Maka diantara istri Nabi ada yang berkata: “Wahai Rasulullah, saya tadi mandi junub di situ”. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “sesungguhnya air itu tidak membuat junub” (HR. Tirmidzi no. 65, ia berkata: “hasan shahih”).

Hadits ini adalah dalil tegas bahwa air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci.

🔷 Kedua:

عن الرّبَيِّع بنت مُعَوِّذ –رضي الله عنها– في وصف وضوء رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “أنَّ النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مسحَ برأسه مِن فضْل ماءٍ كان في يده“

Dari Ar Rabi’ binti Mu’awwidz radhiallahu’anha, mengenai sifat wudhu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: “bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membasuh kepalanya dengan kelebihan air yang ada di tangannya” (HR. Abu Daud no. 130, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).

🔷 Ketiga:

عن أبي سعيد الخدري –رضي الله عنه– قال: سمعتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وهو يُقال له: إِنَّه يُستقى لك مِن بئر بُضاعة –وهي بئر يُلقى فيها لحوم الكلاب والمحايض وعُذَر النَّاس– فقال رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “إِنَّ الماء طهور، لا ينجِّسه شيء“

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, ia berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah ditanya mengenai air yang diambilkan dari sumur bidha’ah, yaitu sumur yang biasa dibuang bangkai anjing, kain pembalut dan kotoran. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “air itu mensucikan, tidak menajiskan apapun” (HR. Tirmidzi no. 66, ia berkata: “hasan”, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi).

Dalam hadits ini Nabi menggunakan kata طهور (mensucikan) yang terkait dengan sifat thahuriyyah (keabsahan untuk bersuci). Maka jika bangkai anjing, kain pembalut wanita dan kotoran tidak membuat air kehilangan sifat thahuriyyah-nya, terlebih lagi air yang digunakan untuk basuhan kulit manusia ketika bersuci dari hadats.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “semua yang disebut dengan sebutan ‘air’ maka ia suci dan mensucikan. Baik ia musta’mal (telah digunakan) untuk bersuci yang wajib atau bersuci yang sunnah, atau bersuci yang tidak sunnah (mubah)” (Majmu’ Al Fatawa 19/236, dinukil dari Fatawa As Sual wal Jawab no. 224255).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Jika air dalam jumlah banyak digunakan orang untuk berwudhu, lalu air tersebut tersisa di sana, maka boleh digunakan untuk berwudhu oleh orang yang kedua. Pendapat yang tepat hal tersebut tidak mengapa, tidak membuat air tersebut menjadi najis, dan tidak menghilangkan thahuriyyah-nya (keabsahan untuk mensucikan). Sebagian ulama mengatakan bahwa ia suci namun tidak mensucikan dan tidak bisa mewujudkan kesucian. Pendapat ini tidak berlandaskan dalil. Yang benar, ia dapat mensucikan. Jika seseorang bersuci dengannya dari sebuah bejana, atau bejana besar, lalu airnya terciprat ke bejana yang lain lalu digunakan oleh orang lain untuk berwudhu, maka ini tidak mengapa selama tidak ada najis di sana. Karena orang yang pertama tersebut mencuci wajahnya, lengannya, dan membasuh kepalanya dan telinganya, tentu ini tidak membuat airnya menjadi najis dan menghilangkan thahuriyyah-nya, berdasarkan pendapat yang rajih. Namun meninggalkannya itu lebih baik, dalam rangka meninggalkan yang meragukan dan beralih kepada yang tidak meragukan” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, juz 5 halaman 272, versi web: http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?View=Page&PageID=805&PageNo=1&BookID=5).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di merinci hukum air musta’mal menjadi enam rincian:

Pertama: air musta’mal yang sudah dipakai untuk menghilangkan najis. Jika berubah salah satu sifatnya, maka ia najis. Jika terkena najis namun tidak berubah sifat-sifatnya, maka ia suci dan mensucikan, baik jumlah airnya banyak maupun sedikit.

Kedua: air musta’mal yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadats (yang diwajibkan atau disyaratkan, pent). Maka ia tetap suci dan mensucikan karena tidak adanya dalil yang memalingkan statusnya dari “suci dan mensucikan” yang merupakan status asalnya, kepada status yang lain.

Ketiga: air musta’mal yang sudah digunakan untuk thaharah yang disyariatkan (namun tidak diwajibkan atau disyaratkan, pent.), seperti memperbaharui wudhu. Maka ia juga statusnya tetap suci dan mensucikan karena tidak adanya dalil yang memalingkan statusnya dari “suci dan mensucikan” yang merupakan status asalnya, kepada status yang lain.

Keempat: air musta’mal yang sudah digunakan untuk thaharah yang tidak disyariatkan, yaitu yang hukum asalnya mubah, seperti mandi rutin, cuci tangan sebelum makan, mencuci muka, dll. Maka ia suci dan mensucikan.

Kelima: air musta’mal yang sudah digunakan untuk mandi junubnya wanita. Maka ia suci dan mensucikan berdasarkan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

إِنَّ الماء لا يُجْنِب

“sesungguhnya air itu tidak membuat junub”.

🔴 Adapun pendapat yang melarangnya adalah pendapat yang lemah dan tidak dilandasi dalil.

Keenam: air musta’mal yang sudah digunakan untuk mencuci tangan orang yang bangun tidur (Diringkas dari Irsyad Ulil Bashair li Nailil Fiqhi, 1/18).

🔴🔴 Kesimpulan

Air musta’mal suci dan mensucikan selama tidak berubah warna, bau atau rasanya.

Demikian, semoga bermanfaat, semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk beragama dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Wallahu waliyyu dzalika wa qaadiru ‘alaihi.

_____________
Referensi:

Irsyad Ulil Bashair li Nailil Fiqhi, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di

Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah fi Dhau’il Kitab was Sunnah, karya Syaikh Husain Al Awaisyah

Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, karya sejumlah ulama, terbitan Departemen Agama Kuwait

Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq

Fatawa Islam As Sual wal Jawab, Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid, web https://islamqa.info/ar/224255

Fatawa Nurun ‘alad Darbi, Syakh Abdul Aziz bin Baz
Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad, web http://ar.islamway.net/fatwa/31517/

Penulis: Yulian Purnama

Www.Muslim.or.id

Jumat, 26 Oktober 2018

PERANG TERHADAP NYAMUK

PERANG NYAMUK

#Perlu_dicoba

Kami sudah 8 tahun tidak pernah fogging dan tidak pernah punya masalah dgn nyamuk.  Ini yg kami lakukan, baik di rumah dan di hotel. Di hotel awalnya fogging 3 x seminggu, tapi tidak efektjf dan masalah nyamuk jadi gangguan. Hotel yang luas nya 4 hektar dgn kebun yg luas banyak pohon, juga tidak pernah fogging selama 5 tahun terakhir dan tidak punya masalah nyamuk lagi.

1. Tampung air, boleh air sumur, air hujan atau air pdam di ember/bekas cat/atau apa saja. Taruh di tempat agak gelap/pojok/sekitar pohon di mana nyamuk senang berada

2. 6 hari kemudian, saring air tersebut menggunakan saringan teh, akan banyak jentik nyamuk

3. Buang jentik tersebut ke dataran kering agar mati, atau kasi makan ikan

4. Air bekas saringan tadi, taruh lagi di tempat yang sama

5. 6 hari kemudian, saring lagi, jentik akan lebih banyak dari minggu pertama

6. Sisa saringan di taruh lagi, begitu seterusnya. Puncak jumlah jentik biasanya, minggu ke 3 dan ke 4, setelah itu jentik akan terus berkurang, karena populasi nyamuk semakin berkurang

KUNCI nya,

1.  pakailah air yg sama terus, karena air tersebut sudah mengandung unsur yg mengundang nyamuk untuk bertelur disana.

Jika air sudah semakin sedikit, bisa di tambahkan

2. HARUS 5 atau 6 hari di panen, jika lewat, maka keburu jadi nyamuk.

Begitu yg kami lakukan sehingga tidak perlu fogging yg nota bene kurang bagus juga untuk kesehatan manusia dan binatang peliharaan.

Selamat mencoba dan semoga bermanfaat. Rumah kami bebas nyamuk, *Hotel tempat kami kerja juga hampir bebas nyamuk tanpa harus fogging sekali pun selama 5 tahun terakhir

🍀IKATAN ALUMNI PGKP IPB🍀

*Yuuuuk kita Lakukan secara Serentak dan Masal setiap Warga se RT dan se RW...

Melakukan Hal yang sama....

Agar dilingkungan kita "BEBAS NYAMUK" dan TIDAK PATUNGAN TERUS UNTUK "FOGGING"
-Bahrisaif-

KHUTBAH JUMAT

°°🕌 KHUTBAH JUM'AT 🕌°°

°°💎KEBAIKAN ADALAH AKHLAQ YANG MULIA💎°°

Khutbah Pertama:

إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …

فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Ibadallah,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ: «الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Dari an-Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tentang kebaikan dan dosa (keburukan)?

Lalu beliau bersabda: Kebaikan adalah bagusnya perangai; sedangkan dosa (keburukan) adalah apa yang mengganjal di dadamu dan engkau pun tidak suka diketahui oleh orang lain. [HR. Muslim]

Ibadallah,

Hadits ini termasuk jawami’ul kalim yang menafsirkan dua kata yaitu al-birru dan al-itsmu.

Jawami’ al-kalim adalah ungkapan ringkas, namun penuh dengan mutiara hikmah dan makna di dalamnya.

Mengenai al-birru (kebaikan); Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Masuk dalam cakupan al-birru yaitu semua bentuk ketaatan batin, seperti iman kepada Allah Azza wa Jalla , Malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya; dan masuk juga ketaatan secara lahiriah, seperti mendermakan harta untuk hal yang Allah Azza wa Jalla cintai, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar menghadapi ketentuan takdir Allah Azza wa Jalla seperti sakit dan kemiskinan, dan juga bersabar dalam menjalankan ketaatan, seperti bersabar dalam menghadapi musuh di medan perang.

Jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits an-Nawwas di atas bisa mencakup semua kriteria tersebut. Karena bisa juga yang dimaksudkan dengan akhlak yang bagus adalah berperilaku dengan tatanan dan norma syariat, dan beretika dengan etika yang diajarkan Allah dalam Kitab-Nya. Seperti yang Allah jelaskan kepada Rasul-Nya dalam firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al-Qalam/68:4]

Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

Akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah Al-Quran. [HR. Ahmad]

Maksudnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berperangai dan beretika dengan etika yang diajarkan dalam al-Quran. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam menjalankan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya. Pengamalan al-Quran bagi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam sudah menjadi perangai, layaknya tabiat yang sudah mendarah daging, di mana itu sama sekali tidak pernah terpisah dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam .

Inilah akhlak dan perangai yang paling bagus, paling mulia dan paling elok. Seperti yang diungkapkan dengan perkataan, “Sesungguhnya agama ini semua lininya adalah perangai (akhlak)”.

Ibnu Daqiq al-Id rahimahullah berkata mengenai ucapan: al-birru husnul khuluq: Yang dimaksudkan dengan perangai yang bagus adalah berlaku inshaf (adil dan obyektif) dalam berinteraksi, berlaku lembut dalam bertukar pikiran (berdebat), adil dalam menjalankan hukum, memberi (atau berkorban) dengan suka rela, berbuat baik, serta berbagai bentuk sifat kaum Mukminin yang Allah sifatkan dalam firma-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. [Al-Anfal/ 8: 2]

Juga firman-Nya:

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat (untuk mencari ilmu atau berjihad, ataupun yang berpuasa), yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu [At-Taubah/ 9: 112]

Juga dalam rangkaian firman-Nya, yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” [Al-Mu’minun/ 23: 1]

Juga firman-Nya:

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

Dan para hamba Allah yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. [Al-Furqan/ 25: 63]

Oleh karena itu, barangsiapa yang merasa gamang dengan keadaan dirinya, maka ia bisa mencermati dirinya dan bercermin dengan ayat-ayat tersebut. Bila kriteria-kriteria tersebut semuanya memang ada, maka ini pertanda bagusnya akhlak dan perangai seseorang. Bila semua kriteria tersebut tidak didapatkan pada dirinya, maka ini pertanda buruknya akhlak dan perangainya. Bila hanya sebagian kriteria saja yang ada padanya, ini menunjukkan unsur ketidaksempurnaan dalam keindahan perangainya. Sehingga ia harus menjaga kriteria-kriteria yang sudah ada pada dirinya, sekaligus mengupayakan untuk mewujudkan kriteria-kriteria yang belum ada padanya.

Janganlah kita menyangka bahwa perangai yang bagus hanyalah sekedar berperilaku lembut dan meninggalkan hal-hal keji semata. Jangan kita mengira bahwa kalau orang sudah menerapkannya, itu artinya telah memperbagus akhlaknya. Namun yang harus diperhatikan adalah akhlak yang bagus adalah bila seseorang merealisasikan akhlak dan sifat-sifat kaum Mukminin, menjalankan perilaku dan akhlak mereka, dan bisa menghadapi cobaan dan gangguan yang menyakitkan dengan baik.

Syaikh Ahmad Hijazi dalam Syarah Al-Arba’in berkata, “Al-Birr, satu ungkapan yang dituntut oleh syariat, baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan. Kata ini bermakna berbuat baik, sehingga masuk ke dalamnya tiga unsur utama; yaitu: wajah yang berseri, menahan diri dari gangguan (tidak menyakiti atau mengganggu), dan mau mendermakan yang ia punya dengan kemurahan hati (baik harta, ilmu atau lainnya). Juga agar mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Masuk pula dalam cakupan al-birr, berlaku adil dan obyektif dalam berinteraksi, berlemah lembut dalam berdebat, adil dalam menjalankan hukum, berbuat baik meskipun tidak diketahui orang lain dan berlaku îtsar (mendahulukan orang lain dari dirinya sendiri) tatkala dalam kesulitan, juga berteman dengan cara baik, berlaku lembut, bisa menanggung derita gangguan, melakukan semua kewajiban dan menjauhi segala yang diharamkan.

Al-Itsm (dosa) adalah hal yang meninggalkan bekas (yang tidak nyaman) di dalam dada; yang membuat hati menjadi sempit dan gelisah, sehingga tidak merasa nyaman dengannya. Ditambah lagi bahwa hal tersebut adalah hal yang diingkari orang-orang; di mana mereka tidak suka ketika melihat hal tersebut ada padanya.

Ini seperti yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, “Semua yang kaum Mukminin menilainya sebagai perbuatan baik, maka hal tersebut pun baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan yang dilihat kaum Mukminin sebagai hal yang buruk, maka itupun buruk di sisi Allah Azza wa Jalla.”

Singkat kata, sikap seorang Mukmin bila mendapati nash syariat adalah mentaati Allah dan Rasul-Nya, seperti diperintahkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. [Al-Ahzab/ 33: 36]

Semua harus diterima dengan dada lapang penuh keridhaan. Karena semua yang disyariatkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya wajib untuk diimani, diridhai dan diterima. Sebagaimana yang Allah Azza wa Jalla firmankan:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisa’/ 4: 65]

Syaikh Ahmad Hijazi berkata, “al-Itsm bermakna adz-dzanb (dosa); sedangkan kata haka artinya yang bercokol dan menggoreskan kebimbangan, keresahan dan ketidaksukaan di dalam hati. Di mana hatinya merasa tidak sreg (tidak nyaman) dan tidak suka kalau orang-orang terpandang mengetahuinya sehingga mereka akan mencibirnya (dikarenakan hal tersebut). Hal itu karena jiwa seseorang ketika berkaca pada asal fitrahnya, sebenarnya punya perasaan tentang hal-hal yang baik dan terpuji dan perasaan yang buruk dan tercela akibatnya. Akan tetapi karena dominasi nafsu yang mengalahkan asal fitrahnya, maka ini membuatnya berani untuk melakukan hal yang merugikan dirinya.

أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ

Khutbah Kedua:

اَلحَمْدُ لِلَّهِ وَكَفَى وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ المُصْطَفَى وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ

Ibadallah,

Dengan demikian, hadits ini memberikan faidah-faidah pelajaran sebagai berikut:

Pertama: Hadits ini memotivasi kaum Mukmin untuk berperilaku dan berakhlak baik dan menjelaskan kutamaannya. Bentuk-bentuk kebaikan, semuanya masuk dalam husnul khuluq. Bila seorang hamba bagus dalam ahklaknya, maka Allah pun akan mencintainya, begitu pula manusia. Orang yang dicintai Allah Azza wa Jalla akan menggapai surga dan ridha-Nya. Sedangkan orang yang dicintai manusia, akan berpilaku baik kepadanya dan hidup di tengah mereka dengan bahagia. Tidak ada sesuatu yang lebih memuliakan seseorang daripada perangai yang baik. Dan tidak ada sesuatu yang lebih menghinakannya daripada perangai yang buruk. Abu Nu’aim meriwayatkan dengan sanadnya dari Ikrimah rahimahullah , ia berkata: “Segala sesuatu ada pilarnya, dan pilar Islam adalah akhlak yang baik.” Ibnu Sirin rahimahullah berkata: “Mereka (generasi pendahulunya) memandang bahwa akhlak yang baik menjadi penopang agama.”

Terlebih bagi seorang da’i; bila ia berhias diri dengan akhlak yang baik, maka itu akan memudahkan jalan hidayah bagi manusia; di mana mereka akan lebih mudah menerima dakwahnya.

Kedua: Hadits ini juga menunjukkan dosa mempunyai dua pertanda; pertanda internal dan eksternal. Pertanda internal atau yang bisa dilihat dari dalam diri seseorang, yaitu adanya perasaan galau dan resah serta tidak nyaman dalam diri jika melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan pertanda eksternal adalah adanya perasaan tidak suka kalau orang-orang terpandang melihatnya melakukan perbuatan tersebut. Ia khawatir akan menuai cela karena perbuatannya.

Ketiga: Hadits tersebut juga mengindikasikan bahwa dosa itu memang buruk dan hina dalam pandangan orang yang fitrah dan akalnya lurus. Sebab, diri seseorang punya kecenderungan bahwa ia suka kalau orang-orang melihat kebaikannya; dan tidak suka kalau mereka mengetahui keburukannya.

Keempat: Hadits ini mengisyaratkan bahwa sudah semestinya seseorang meninggalkan hal yang membuatnya ragu, dan berpatokan pada hal yang tidak membuatnya ragu dan bimbang. Ini telah Rasul tegaskan dalam hadits beliau yang diriwayatkan At-Turmudzi dari hadits Al-Hasan bin Ali Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

Tinggalkanlah apa yang membuatmu ragu menuju pada apa yang tidak membuatmu ragu.

Kelima: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah diberikan apa yang disebut jawami’ul kalim; ucapan yang ringkas namun memuat makna agung dan luas.

Keenam: Motivasi untuk berperangai dengan akhlak yang baik. Bila seseorang memperbagus akhlaknya, artinya ia berada dalam kebaikan.

Ketujuh: Seorang Mukmin yang hatinya bersih akan merasa risau terhadap perbuatan dosa, meski belum pasti tahu bahwa itu adalah dosa; semata-mata ia merasa ragu. Tidak demikian halnya dengan hati orang yang durhaka dan pendosa. Maka bila ada yang mengganjal di hati, hendaknya menunggu sampai jelas perkaranya. Kalau tidak, Dia akan terjatuh dalam syubhat, yang barangsiapa yang jatuh dalam syubhat, artinya ia jatuh dalam hal yang haram.

Kedelapan: Mukmin tidak suka bila orang lain mengetahui dosa-dosanya. Berbeda dengan orang yang durhaka.

Kesembilan: Hadits di atas menjelaskan dua tanda dosa
a. Galau dan resahnya hati terhadap suatu hal. Ini tanda dalam dirinya.
b. Adanya perasaan tidak senang kalau ada orang yang melihat dirinya melakukan hal tersebut. Ini pertanda yang dilihat dari luar dirinya.

Kesepuluh: Berinteraksi dengan baik termasuk amalan terbesar yang mendekatkan hamba dengan Rabb-nya.

Kesebelas: Agama menjadi kekuatan batin yang mengawasi diri dari dosa.

Kedua belas: Seseorang haruslah meninggalkan hal yang membuatnya ragu, dan beralih pada hal yang tidak membuatnya ragu dan gamang. Dan Allah menjadikan jiwa seseorang (yang hatinya bersih) bisa mengetahui dan mencegah apa yang tidak boleh ia lakukan

Ketiga belas: Kemungkaran tidak mendapatkan tempat dalam tatanan masyarakat Islami.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. وَأَقِمِ الصَّلاَةَ

Oleh tim KhotbahJumat.com
Artikel www.KhotbahJumat.com

Rabu, 24 Oktober 2018

10 KUNCI KESLAMATAN

Kunci-Kunci Keselamatan
↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔

Bismillah...

Setiap muslim tentu mengharapkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Diantara rahmat Allah yang sangat agung adalah Allah berikan petunjuk kepada kita jalan yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan itu di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

🔑 Pertama : Ilmu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah akan pahamkan ia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

🔑 Kedua : Ibadah

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Allah juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)

🔑 Ketiga : Ikhlas

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)

🔑 Keempat : Ittiba’

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31). Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka hal itu pasti tertolak.” (HR. Muslim)

🔑 Kelima : Iman

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23). Allah juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan membalas bagi mereka pahala untuk mereka yang lebih baik dari apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97)

🔑 Keenam : Tauhid

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas segenap hamba ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

🔑 Ketujuh : Menjauhi Syirik

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (al-Maa-idah : 72). Allah juga berfirman (yang artinya), “Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

🔑 Kedelapan : Amal Salih

Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

🔑 Kesembilan : Dakwah

Allah berfirman (yang artinya), “Dan siapakah orang yang lebih baik ucapannya daripada orang yang mengajak kepada agama Allah dan beramal salih, dan dia mengatakan ‘Sesungguhnya aku ini termasuk kaum muslimin’.” (Fushshilat : 33). Allah juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada agama Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah, dan aku bukan termasuk kaum musyrikin.” (Yusuf : 108)

🔑 Kesembilan : Taubat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat pelaku dosa di siang hari, dan Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat pelaku dosa di malam hari.” (HR. Muslim).

🔑 Kesepuluh : Doa

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian berkata; Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60)

Demikianlah beberapa kunci keselamatan, semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk meraih itu semuanya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

______________________
www.al-mubarok.com

Selasa, 16 Oktober 2018

HUKUM WANITA BERBONCENGAN BUKAN DENGAN MUHRIMNYA

Hukum Muslimah Berboncengan Motor Dengan Lelaki Non Mahram
↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔

Bolehkah seorang wanita berboncengan motor dengan lelaki yang bukan mahramnya? Mari kita bahas dalam artikel singkat ini.

📙 Apakah termasuk khalwat?

Khatwat atau khulwah artinya berdua-duaan antara wanita dan lelaki yang bukan mahram. Khulwah haram hukumnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ

“Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341).

Imam An Nawawi berkata: “adapun jika lelaki ajnabi dan wanita ajnabiyah berduaan tanpa ada orang yang ketiga bersama mereka, hukumnya haram menurut ijma ulama. Demikian juga jika ada bersama mereka orang yang mereka berdua tidak malu kepadanya, semisal anak-anak kecil seumur dua atau tiga tahun, atau semisal mereka, maka adanya mereka sama dengan tidak adanya” (Syarh Shahih Muslim, 9/109).

Namun khulwah yang dilarang dalam hadits ini adalah jika lelaki dan wanita tersebut berduaan dalam suatu tempat yang tertutup atau terhalangi dari pandangan orang-orang. Disebutkan dalam Mu’jam Al Wasith:

الخلوة مكان الانفراد بالنفس أو بغيرها .والخلوة الصحيحة في الفقه : إغلاق الرجل الباب على زوجته وانفراده بها

“Al Khulwah adalah tempat seseorang bersendirian, baik satu orang atau bersama yang lainnya. Sedangkan khulwah dalam istilah fikih artinya: seorang suami menutup pintu untuk berduaan dengan istrinya”(Dinukil dari web Alifta.Net).

Ibnu Muflih dalam kitab Al Furu’ mengatakan:

الخلوة هي التي تكون في البيوت أما الخلوة في الطرقات فلا تعد من ذلك

“Khulwah itu biasanya di dalam bangunan. Adapun berduaan di jalanan maka tidak termasuk khulwah”(Dinukil dari web Alifta.Net).

Maka wanita berboncengan motor dengan lelaki di jalanan tidak termasuk khulwah.

📙 Beberapa hal yang perlu diketahui Sebelum membahas masalah hukum Muslimah berboncengan motor dengan lelaki non mahram, perlu diketahui beberapa dasar pemikiran yang menjadi modal dalam bahasan ini. Yaitu:

↔↔ 1. Fitnah wanita

Wِanita adalah fitnah (cobaan) bagi kaum lelaki. Perhatikan firman-firman Allah Ta’ala berikut ini:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 30-31).

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS. Al Ahzab: 53).

Semua perintah dan anjuran menundukkan pandangan dan menunaikan suatu keperluan dari belakang tabir, menunjukkan bimbingan Allah Ta’ala untuk menjauhkan diri dari fitnah wanita. Syaikh As Sa’di dalam menjelaskan surat An Nur ayat 30 beliau mengatakan: “Allah membimbing kaum Mu’minin dan berfirman kepada orang-orang yang memiliki iman, untuk mencegah apa-apa yang bisa mencacati iman mereka dengan ‘menundukkan pandangan mereka’ dari memandang kepada aurat wanita non mahram dan para amrad yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dengan memandangnya” (Tafsir As Sa’di).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat mewanti-wanti kita terhadap hal ini, beliau bersabda:

ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ

“Tidaklah ada sepeninggalku fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah (cobaan) terhadap wanita” (HR. Al Bukhari 5096, Muslim 2740)

Beliau juga bersabda:

إن الدنيا حلوةٌ خضرةٌ . وإن اللهَ مستخلفُكم فيها . فينظرُ كيف تعملون . فاتقوا الدنيا واتقوا النساءَ . فإن أولَ فتنةِ بني إسرائيلَ كانت في النساءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan Allah telah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Sehingga Allah melihat apa yang kalian perbuatan (disana). Maka berhati-hatilah kalian dari fitnah (cobaan) dunia dan takutlah kalian terhadap fitnah (cobaan) wanita. Karena sesungguhnya fitnah (cobaan) pertama pada Bani Isra’il adalah cobaan wanita” (HR Muslim 2742).

Fitnah di sini maknanya cobaan yang dapat merusak agama seseorang atau menjerumuskan orang dalam dosa. Maka dengan mengetahui bimbingan dan peringatan ini semestinya membuat kita berhati-hati dalam bergaul dengan wanita, mengikuti anjuran dan tidak keluar dari koridor syariat, agar tidak menjadi fitnah yang merusak agama kita.

↔↔ 2. Menyentuh wanita

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya (bukan mahramnya)” (HR. Ar Ruyani dalam Musnad-nya, 2/227,dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1/447).

Hadits ini jelas melarang menyentuh wanita yang bukan mahram secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat.

Imam Nawawi berkata: “Ash-hab kami (para ulama syafi’iyyah) berkata bahwa setiap yang diharamkan untuk dipandang maka haram menyentuhnya. Dan terkadang dibolehkan melihat (wanita ajnabiyah) namun haram menyentuhnya. Karena boleh memandang wanita ajnabiyah dalam berjual beli atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tetap tidak boleh untuk menyentuh mereka dalam keadaan-keadaan tersebut” (Al Majmu’: 4/635).

Dan menyentuh wanita ini terlarang secara mutlak baik dengan adanya pelapis ataupun tidak. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Tidak diperbolehkan kepada wanita tua renta, ataupun wanita muda, ini pendapat yang tepat. Baik dilakukan dengan penghalang, walaupun ia memakai sesuatu di tangannya, maka hendaknya ia tidak bersalaman secara mutlak. Karena bersalaman dengan penghalang itu adalah wasilah kepada bersalaman lain yang tanpa penghalang” (Sumber: web http://binbaz.or.sa).

Beliau juga mengatakan: “tidak ada bedanya bersalaman antara lelaki dan wanita yang bukan mahram baik dengan pelapis maupun tanpa pelapis, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada, dan dalam rangka saddudz dzari’ah (menutup sarana) yang mengantarkan kepada fitnah” (Sumber: web http://binbaz.org.sa).

↔↔ 3. Zina maknawi

Perlu diketahui bahwa ada zina secara maknawi, yang pelakunya memang tidak dijatuhkan hukuman rajam atau cambuk namun tetap diancam dosa karena merupakan pengantar menuju zina hakiki. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه

“sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya” (HR. Al Bukhari 6243).

Ibnu Bathal menjelaskan: “zina mata, yaitu melihat yang tidak berhak dilihat lebih dari pandangan pertama dalam rangka bernikmat-nikmat dan dengan syahwat, demikian juga zina lisan adalah berlezat-lezat dalam perkataan yang tidak halal untuk diucapkan, zina nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan. Semua ini disebut zina karena merupakan hal-hal yang mengantarkan pada zina dengan kemaluan” (Syarh Shahih Al Bukhari, 9/23).

↔↔ 4. Penyakit Al ‘Isyq

Dari semua hal yang di atas yang tidak kalah berbahaya dan bersifat destruktif dari pacaran adalah penyakit al isyq. Makna al isyq dalam Al Qamus Al Muhith:

عُجْبُ المُحِبِّ بمَحْبوبِه، أو إفْراطُ الحُبِّ، ويكونُ في عَفافٍ وفي دَعارةٍ، أو عَمَى الحِسِّ عن إدْراكِ عُيوبِهِ، أو مَرَضٌ وسْواسِيٌّ يَجْلُبُه إلى نَفْسِه بتَسْليطِ فِكْرِهِ على اسْتِحْسانِ بعضِ الصُّوَر

“kekaguman seorang pecinta pada orang yang dicintainya, atau terlalu berlebihan dalam mencinta, terkadang (kekaguman itu) pada kehormatan atau pada kemolekan, atau menjadi buta terhadap aib-aibnya, atau timbulnya kegelisahan yang timbul dalam jiwanya yang memenuhi pikirannya dengan gambaran-gambaran indah (tentang yang dicintainya)”.

Singkat kata, al ‘isqy adalah mabuk asmara; kasmaran; kesengsem (dalam bahasa Jawa). Al Isyq adalah penyakit, bahkan penyakit yang berbahaya. Ibnul Qayyim mengatakan: “ini (al isyq) adalah salah satu penyakit hati, penyakit ini berbeda dengan penyakit pada umumnya dari segi dzat, sebab dan obatnya. Jika penyakit ini sudah menjangkiti dan masuk di hati, sulit mencari obatnya dari para tabib dan sakitnya terasa berat bagi orang yang terjangkiti” (At Thibbun Nabawi, 199). Orang yang terjangkit al ‘isyq juga biasanya senantiasa membayangkan dan mengidam-idamkan pujaannya, padahal ini merupakan zina hati sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa betapa al isyq banyak menjerumuskan pria shalih menjadi pria bejat, wanita shalihah menjadi wanita bobrok. Betapa virus cinta ini membuat orang berani menerjang hal-hal yang diharamkan, berani melakukan hal-hal yang tabu dan malu untuk dilakukan, sampai-sampai ada pepatah “cinta itu buta”, buta hingga aturan agama pun tidak dilihatnya, juga pepatah “karena cinta, kotoran ayam rasanya coklat” sehingga yang buruk, yang memalukan yang membinasakan pun terasa indah bagi orang yang terjangkit al isyq.

Dari al isyq ini akan timbul perbuatan-perbuatan buruk lain yang bahkan bisa lebih parah dari poin-poin yang disebutkan di atas. Bukankah kita ingat kisah Nabi Yusuf yang ketampanannya membuat Zulaikha kasmaran? Ia tidak menahan padangan dan dalam hatinya tumbuh penyakit al isyq. Apa akibatnya? Ia mengajak Yusuf berzina.

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَنْ رَأى بُرْهَانَ رَبِّهِ ‏كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan zina) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukannya pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih” (QS. Yusuf: 24).

Seorang yang kasmaran, akan selalu teringat si ‘dia’. Bahkan ketika beribadah pun ingat si ‘dia’, melakukan kebaikan pun demi si ‘dia’. Allah diduakan. Ibadah bukan karena Allah, dakwah pun tidak ikhlas, ikut taklim karena ada si ‘dia’, sibuk mengurus dakwah karena bertemu si ‘dia’. Tidak jarang gara-gara penyakit al isyq, seseorang datang ke dukun lalu berbuat kesyirikan, tidak jarang pula yang saling membunuh, atau bunuh diri. Wallahul musta’an.

📙 Hukum Muslimah Berboncengan Motor Dengan Lelaki Non Mahram

Jika telah dipahami beberapa bahasan di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa Muslimah berboncengan motor dengan lelaki non-mahram bukan termasuk khalwat namun hukumnya terlarang karena terdapat banyak perkara yang dilarang dalam agama di dalamnya. Diantaranya:

✔✔ Dapat menimbulkan fitnah.

Baik sang lelaki yang terkena fitnah ataupun sang Muslimah yang terfitnah. Jika Allah Ta’ala memerintahkan lelaki dan wanita untuk menundukkan pandangan, lalu meminta sesuatu dari balik tabir, dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mewanti-wanita kita bahwa wanita itu adalah fitnah, maka layakkah jika mereka yang ditujukan hal-hal ini malah berboncengan motor?

✔✔ Sangat rawan terjadi persentuhan.

Walaupun terdapat pelapis berupa kain pakaian, namun persentuhan tetap terlarang sekalipun dengan pelapis.
Dapat menimbulkan zina maknawi.

Berboncengannya wanita dan lelaki sangat rawan terjadi persentuhan tangan yang merupakan zina tangan, persentuhan kaki yang bisa termasuk zina kaki, perbincangan yang menimbulkan godaan dan fitnah yang ini merupakan zina lisan, dan juga muncul perasaan-perasaan tidak sehat diantara keduanya yang ini merupakan zina hati. Yang semua ini bisa mengantarkan kepada zina yang sebenarnya. Wallahul musta’an.

✔✔ Dapat menimbulkan penyakit al isyq.

Diantara bentuk zina hati adalah munculnya penyakit al ‘isyq antara lelaki dan wanita yang berboncengan tersebut. Dan al isyq adalah penyakit, bahkan ia penyakit yang destruktif sebagaimana telah kami jelaskan.

Dewan Fatwa Islamweb ketika ditanya: “apa hukum Muslimah berboncengan motor dengan suami dari saudari perempuannya dengan keadaan terbuka kakinya dan saling menempel pahanya?“. Mereka menjawab:

فإنّ زوج الأخت ليس من المحارم، وإنما هو أجنبي، فإذا لم تكن أخت الزوجة صغيرة دون حد الاشتهاء، فلا يجوز لها الركوب خلف زوج أختها، ولا سيما إذا كانت مماسة له على النحو المذكور، فلا شكّ أنّ ذلك منكر ظاهر وباب فتنة وفساد، وركوب المرأة خلف الأجنبي بهذه الصورة المذكورة من الملاصقة واللمس لا شك أنه غير جائز، جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية: وَأَمَّا إِرْدَافُ الْمَرْأَةِ لِلرَّجُل الأَْجْنَبِيِّ، وَالرَّجُل لِلْمَرْأَةِ الأَْجْنَبِيَّةِ فَهُوَ مَمْنُوعٌ، سَدًّا لِلذَّرَائِعِ، وَاتِّقَاءً لِلشَّهْوَةِ الْمُحَرَّمَةِ.

“Suami dari saudari perempuan (kakak ipar) bukanlah mahram, ia termasuk lelaki ajnabi. Jika Muslimah yang dibonceng ini bukan anak kecil yang belum sampai usia istisyha’ (berakal dan bisa membedakan baik-buruk), maka tidak boleh berboncengan dengan kakak iparnya. Terlebih lagi dengan praktek yang disebutkan oleh penanya tersebut. Tidak ragu lagi bahwa ini adalah kemungkaran yang nyata dan merupakan pintu fitnah dan kerusakan. Wanita berboncengan motor dengan lelaki ajnabi dengan keadaan yang disebutkan yaitu saling menempel dan bersentuhan tidak diragukan lagi keharamannya. Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah disebutkan: ‘Wanita membonceng kendaraan pada lelaki ajnabi, atau lelaki membonceng kendaraan pada wanita ajnabiyah, hukumnya terlarang. Dalam rangka sadd adz dzariah (menutup jalan kemungkaran) dan menjauhkan dari syahwat yang haram‘” (Sumber: web http://islamweb.net).

Oleh karena itu kami nasehatkan kaum Mu’minin dan Mu’minat agar tidak bermudah-mudahan berboncengan antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Karena ini adalah perkara yang dilarang dalam agama. Demikian juga saudaraku yang berprofesi sebagai pengendara ojek atau semisalnya, hendaknya bertaqwa kepada Allah dan tidak membonceng lawan jenis yang bukan mahram. Semoga dengan begitu terhindar dari pelanggaran syariat dan penghasilan yang didapatkan lebih berkah insya Allah.

Wallahu waliyut taufiq wa sadaad.

______________________
http://Www.Situssunnah.Com

Kamis, 11 Oktober 2018

KHUTBAH JUMAAT

°°°🕌 KHUTBAH JUM'AT 🕌°°°

°°°BERDZIKIR MENGINGAT ALLAH MENGUATKAN JIWA DAN RAGA°°°

Khutbah Pertama:

إنَّ الحمدَ لله، نحمدُه ونستعينُه ونستغفِرُه، ونعوذُ بالله مِن شُرور أنفسِنا ومِن سيئات أعمالِنا، مَن يهدِه الله فلا مُضلَّ له، ومَن يُضلِل فلا هادِيَ له، وأشهدُ أن لا إله إلا الله وحدَه لا شريك له، وأشهدُ أنَّ محمدًا عبدُه ورسولُه.

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ﴾ [آل عمران: 102].

﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا﴾ [النساء: 1].

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا﴾ [الأحزاب: 70، 71].

أما بعد:

Sesungguhnya seorang mukmin dalam diam dan geraknya, dalam aktivitas dan istirahatnya, dalam semua keadaannya senantiasa butuh kepada penciptanya. Karena Dialah yang menolongnya. Tempat bersandarnya. Dan tempat harapannya. Seorang hamba yang Rabbani, seorang hamba yang berketuhanan, ia akan tunduk dan luluh untuk Allah Jalla wa ‘Ala.

Oleh karena itu, semakin kuat hubungan seorang hamba dengan Rabbnya, ia akan senantiasa menaati Allah dan ditunjuki ke jalan yang lurus. Allah akan mengilhamkannya untuk beramal. Semakin kuat tekadnya. Semakin bertambah kuat keimanannya. Dan semakin kuat ia berpegang pada agama.

Rasulullah Hud ‘alaihissalam berkata membimbing kaumnya,

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ

Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”. [Quran Hud: 52].

Firman-Nya, “Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu”, kaum Nabi Hud aslinya adalah orang yang terkuat. Karena itu mereka berkata,

مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً

“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” [Quran Fussilat: 15].

Dan Nabi Hud menjanjikan, apabila mereka beriman, Allah akan menambahkan kekuatan mereka.

Dari ayat ini, kita bisa mengambil faidah bahwa istighfar disertai dengan berlepas diri dari dosa merupakan sebab bertumbuhnya rezeki, bertambah wibawa, dan kenikmatan. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Siapa yang berhias dengan sifat ini -yakni istighfar- Allah akan memudahkan rezekinya. Memudahkan urusannya. Menjaga dirinya dan kekuatannya.”

Ketika Fatimah radhiallahu ‘anha meminta pembantu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sampaikan kepada Fatimah dan suaminya, Ali bin Abu Thalib,

ألاَ أدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرٍ مِمَّ سَأَلْتُمَا ؟ إذَا أَخَذْتَمَا مَضَاجَعَكُمَا أوْ أَوَيْتَمَا إلى فِرَاشِكُمَا فَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَاحْمِدَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ كَبِّرَا أرْبَعًا وَ ثَلاَثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

“Maukah kutunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian berdua minta? Jika kalian hendak tidur, maka ucapkanlah tasbih tiga puluh tiga kali, tahmid tiga puluh tiga dan takbir tiga puluh empat kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pelayan.” (HR. al-Bukhari).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi bimbingan kepada putrinya Fatimah radhiallahu ‘anha bahwa berdzikir itu menguatkan badan. Dengan dzikir yang beliau ajarkan, apabila diamalkan akan membuat seseorang kuat. Sehingga Fatimah mampu mengerjakan sesuatu lebih banyak dari apa yang bisa dilakukan pembantu.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kita bisa mengambil pelajaran dari sabda beliau, ‘Maukah kutunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian berdua minta?’ Siapa yang melazimkan berdzikir kepada Allah, Dia akan memberi orang tersebut kekuatan yang lebih besar daripada yang dapat dikerjakan seorang pembantu untuknya. Atau memudahkan urusan untuknya. Allah jadikan pekerjaannya lebih mudah disbanding pengerjaan yang bisa dilakukan seorang pembantu.

Ma’asyiral muslimin,

Para wali Allah sangat yakin bahwa berdzikir merupakan sumber kekuatan mereka. Mereka sadar bahwa ruh mereka lebih butuh asupan dibanding jasad mereka. Bahkan materi-materi yang bermanfaat untuk mereka akan semakin bermanfaat, kalau kualitas ruh mereka semakin baik dan hati mereka semakin bergantung kepada Allah. Juga lisan mereka senantiasa berdzikir mengingat Allah.

Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits dari Jabir bin Samurah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sudah melakukan shalat subuh, beliau duduk di tempat shalatnya hingga matahari mulai naik.”

Abul Abbas al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan dianjurkan saat usai shalat subuh berdzikir dan berdoa hingga terbit matahari. Karena waktu tersebut adalah waktu yang terlarang untuk mengerjakan shalat. Yaitu setelah shalat yang subuh yang disaksikan oleh malaikat. Sementara kesibukan aktivitas harian belum dimulai. Sehingga dzikir dan doa dijadikan untuk mengisi kekosongan hati, menghadirkan pemahaman, diharapkan doa akan terkabul, dan dzikir terdengar.”

Dari al-Walid bin Muslim rahimahullah, ia berkata, “Aku melihat al-Auza’i (seorang ulama tabi’in) berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit. Dan dikabarkan kepada kami bahwa para salaf (sahabat) demikianlah tuntunan mereka. Apabila matahari telah terbit mereka berdiri mereka menyibukkan dengan dzikir lainnya yakni mempelajari agama.”

Ibnul Qayyim rahimahullah meriwayatkan dari gurunya Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Suatu kali aku menemui Ibnu Taimiyah saat shalat subuh. Kemudian ia duduk dan berdzikir mengingat Allah Ta’ala hingga hampir mendekati tengah hari. Kemudian ia menoleh kepadaku dan berkata, ‘Inilah asupan giziku. Seandainya aku tidak memberi asupan pada diriku dengan hal ini, akan hilanglah kekuatanku.”

Kita bisa lihat, siapa yang menyiapkan dirinya memulai hari dengan mengingat Allah, menghadapkan dirinya kepada Allah, merendahkan diri penuh dengan ketundukan, berharap kepada-Nya, bagaimana kualitas hari yang akan ia lewati? Bagaimana keadaan semangatnya? Sementara kita tahu bahwa dzikir itu dapat menguatkan jiwa dan raga.

Bagaimana menurut Anda, apabilah seseorang menggabungkan antara dzikir ucapan dengan gerakan badan? Seperti melakukan shalat malam. Ia telah menggabungkan dua dzikir. Bahkan menggabungkan banyak bentuk dzikir: Alquran, doa, mengagungkan Allah, dll. Semua ini tidak diragukan lagi menambah kekuatan fisik dan jiwa seseorang.

Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersemangat mengerjakan shalat malam. Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa shalat malam hingga kakinya pecah-pecah. Kemudian Aisyah mengatakan, “Mengapa Anda melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni kesalahan Anda yang lalu dan yang akan datang.” Rasulullah menjawab,

أفلا أُحِبُّ أن أكون عبدًا شَكُورًا؟

“Bukankan sepantasanya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (Muttafaqun ‘alaih).

Sesungguhnya ibadah ini memberi asupan gizi untuk ruh. Menguatkan jiwa. Menata keinginan. Karena itu, tidak heran bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi berbagai macam kesulitan dan rintangan di jalan Allah, menghadapi ujian dan gangguan, akan tetapi beliau mampu menghadapi tipu daya musuh tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

﴿وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ (97) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat).” [Quran Al-Hijr: 97-98].

Maksudnya, bertawakallah kepada Allah yang menciptakan Anda. Sesungguhnya Dia yang mencukupkanmu dan menolongmu. Sibukkanlah diri dengan berdzikir kepada Allah, memuji-Nya, bertasbih kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, dan tunaikan shalat. Oleh karena itu, selanjutnya Allah firmankan,

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ

“Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat).” [Quran Al-Hijr: 98].

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila gundah dalam menghadapi sesuatu, beliau mengerjakan shalat. Karena shalat adalah sebesar-besar faktor pendorong yang membuat seseorang teguh dalam Islam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain).” [Quran Al-Ankabut: 45].

Di antara bentuk hiburan Allah kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Dia memberi permisalan kekuatan beribadah kepada beliau dengan seorang hamba yang shalih dan Nabi yang terpilih yakni Daud ‘alaihissalam. Allah Azza wa Jalla berfirman,

﴿اصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاذْكُرْ عَبْدَنَا دَاوُودَ ذَا الْأَيْدِ إِنَّهُ أَوَّابٌ

“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan).” [Quran Shad: 17].

As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Di antara faidah dan hikmah dari kisah Daud adalah Allah Ta’ala memuji dan mencitai kekuatan dalam ketaatan: kuatnya hati dan badan yang berpengaruh pada ketaatan dan memperbanyak melakukannya. Tidak terdapat kelemahan. Dan seorang hamba seharusnya melakukan usaha untuk mewujudkan ini. Tidak bermalas-malasan. Tidak menghilangkan kekuatan. Dan melemahkan jiwanya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencukupkan hanya satu pintu saja dalam menjalin hubungan kepada Allah untuk menguatkan diri. Tapi banyak varian yang lain dalam permasalahan ini. Dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa wishal (bersambung dari siang ke malam),

فقال له رجُلٌ مِن المُسلمين: إنَّك تُواصِلُ يا رسولَ الله، قال: «وأيُّكُم مِثلِي؟ إنِّي أبِيتُ يُطعِمُني ربِّي ويَسقِينِ».

“Seseorang bertanya kepada beliau, ‘Sesungguhnya Anda melakukan puasa wishal, Rasulullah’. Beliau menjawab, ‘Siapa di antara kalian yang sepertiku? Sesungguhnya aku tidur di malam hari sementara Rabku memberiku makan dan minum.”

Yakni Allah menyibukkan diriku merenungi keagungan-Nya, menyejukkan hatiku dengan mencintai-Nya, menghabiskan waktu dengan bermunajat kepada-Nya, dan menerima dari-Nya makanan dan minuman. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Terkadang asupan ini lebih hebat lagi dari asupan yang diterima jasad.”

Ibadallah,

Dzikir merupakan pokok ibadah dan paling mudah dilakukan oleh seorang mukmin. Tidak ada halangan bagi seseorang untuk memperbanyak dzikir. Hal itu sebagai bentuk pengamalan firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” [Quran Al-Ahzab: 41].

Ibnu Athiyah rahimahullah mengatakan, “Allah menjadikan dzikir itu tanpa batasan untuk mempermudah hamba-hamba-Nya. Dan agar membesarkan pahala dalam ibadah ini.”

Ayyuhal muslimun,

Sesungguhnya hati memiliki gizi yang harus dipenuhi agar ia tetap kuat. Dan gizi untuk hari adalah iman kepada Allah Ta’ala dan beramal shaleh. Yang membuat seorang hamba tetap mampu dan memiliki kekuatan di hatinya untuk tetap teguh dalam kebenaran. Sesungguhnya kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Hidupnya hati tidak akan sempurna kecuali dengan melakukan amalan yang Allah ridhai. Terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Perumpamaan orang yang ingat akan Rabbnya dengan orang yang tidak ingat Rabbnya laksana orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. al-Bukhari).

Hati ini saat dia terhubung dengan Allah dan kembali kepada-Nya, ia akan mendapatkan asupan gizi dan kenikmatan yang hal itu tidak bisa dicerna akal pikiran. Ketika seorang hamba lalai dari Rabbnya dan tidak menaati-Nya, hatinya akan mati. Karena itu, seseorang tidak merasakan ketenangan di hatinya, pikirannya tidak nyaman, dan dadanya terasa sempit kalau tidak menaati Allah. Dzikir mengingat Allah merupakan ibadah yang dapat membuat hati menjadi tenang, melahirkan kesabaran dan keteguhan, menghilangkan galau, dan menghapuskan perasaan sempit yang berasal dari sibuk memikirkan dunia.

أقولُ هذا القَول، وأستغفِرُ الله لي ولكم، فاستغفِرُوه إنَّه هو الغفورُ الرحيم.

Khutbah Kedua:

الحمدُ لله مَن أقبلَ عليه تلقَّاه، ومَن اعتصَمَ به نجَّاه، ومَن لاذَ بحِماه وقاه، ومَن فوَّضَ أمرَه إليه هداه، أحمدُه – سبحانه -، وأشهدُ أن لا إله إلا الله وفَّق مَن شاءَ مِن عبادِه لهُداه، وأشهدُ أنَّ مُحمدًا عبدُه ورسولُه ومُصطفاه، أعظمُ النَّاسِ صِلةً بمولاه، صلَّى الله عليه وعلى آلِه وأصحابِه ومَن والاه.

أما بعد .. فيا عباد الله:

Buah terbesar dari keimanan adalah hubungan dengan Allah, merasa membutuhkan-Nya, melaksanakan perintah-Nya, tunduk kepada-Nya, merealisasikan ubudiyah kepada-Nya dalam keadaan senang maupun susah dalam keadaan lapang maupun sempit.

Kuatnya hubungan dengan Allah menjadikan seorang mukmin tunduk kepada Allah, mengamalkan perintah-Nya, dan istiqomah di atas syariat-Nya. Siapa yang demikian, maka balasannya adalah kehidupan yang baik. Dan itulah yang Allah janjikan kepada orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [Quran An-Nahl: 97].

Sesungguhnya terkaitnya seorang hamba dengan Allah dan memiliki hubungan yang baik dengan Rabbnya akan menuntun pelakunya untuk beramal. Membuat ia menghisab dirinya atas perkara yang kecil maupun besar. Ia merasakan bimbingan Penciptanya sebelum ia menilai orang lain.

Orang yang menjalin hubungan dengan Allah akan memudahkannya menerima dan melakukan perbuatan baik, berusaha di jalan kebaikan, bersemangat agar tidak luput dari sesuatu yang bermanfaat. Ia bersedih dan menyesal dari sesuatu yang dapat menambah keimanannya. Menyia-nyiakan waktu semangat dan kuatnya.

Saudara-saudara sekalian,

Siapa yang menjaga anggota badannya dari apa yang Allah haramkan, Allah akan menambah kekuatan demi kekuatannya. Ia akan nikmat dalam beribadah. Inilah cita-cita seorang mukmin. Di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا

“Berilah kenikmatan dan manfaat kepada kami dengan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan kami selama Engkau menghidupkan kami. Jadikanlah semua itu sebagai pewaris dari kami.”

Nikmat dengan pendengaran dan penglihatan yang sehat hingga wafat. Sehingga makna doa tersebut adalah jadikan kami orang-orang yang mendapat kenikmatan dan kemanfaatan dengan pendengaran dan penglihatan serta seluruh kekuatan anggota tubuh kita yang tampak maupun yang tidak. Seluruh anggota badan kita, kita gunakan untuk taata kepada Allah sepanjang hidup kita. Inilah makna doa tersebut.

Siapa yang menjaga batasan Allah saat masih muda dan kuat, Allah akan menjaganya saat tua dan hilang kekuatannya. Allah akan menjaga pendengaran dan penglihatannya. Seluruh anggota badannya. Dan kekuatan badan serta akalnya.

ألا وصلُّوا وسلِّمُوا – رحمكم الله – على النبيِّ المُصطفى، والرسولِ المُجتبَى، كما أمرَكم بذلك ربُّكم – جلَّ وعلا -، فقال تعالى قولًا كريمًا: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ [الأحزاب: 56].

اللهم صلِّ على مُحمدٍ وعلى أزواجِه وذريَّته، كما صلَّيتَ على آل إبراهيم، وبارِك على مُحمدٍ وعلى أزواجِه وذريَّته، كما بارَكتَ على آل إبراهيم، إنَّك حميدٌ مجيد.

اللهم أعِزَّ الإسلام والمسلمين، وأذِلَّ الكفرَ والكافِرين، وانصُر عبادَك المُوحِّدين، ودمِّر أعداءَك أعداءَ الدين، واجعَل هذا البلَدَ آمنًا مُطمئنًّا وسائِرَ بلادِ المُسلمين.

اللهم آمِنَّا في الأوطانِ والدُّور، وأصلِح الأئمةَ ووُلاةَ الأمور، واجعَل ولايتَنا فيمَن خافَك واتَّقاك، واتَّبَع رِضاك يا رب العالمين.

اللهم وفِّق وليَّ أمرِنا لِما تُحبُّه وترضَاه مِن الأقوال والأعمال يا حيُّ يا قيُّوم، وخُذ بناصيتِه للبرِّ والتقوَى.

اللهم كُن لإخوانِنا المُستضعَفين والمُجاهِدين في سبيلِك، والمُرابِطين على الثُّغور، وحُماة الحُدود، اللهم كُن لهم مُعينًا ونصيرًا، ومُؤيِّدًا وظَهيرًا.

ربَّنا اجعَلنا لك شكَّارين، لك ذكَّارين، إليك مُخبِتِين مُنِيبِين أوَّاهِين.

اللهم احفَظنا بالإسلام قائِمين، واحفَظنا بالإسلام قاعِدين، واحفَظنا بالإسلام راقِدين، ولا تُشمِت بنا عدوًّا ولا حاسِدًا.

اللهم اكفِنا شرَّ الأشرار، وكيدَ الفُجَّار، وأذَى المُؤذِين، اللهم إنَّا نجعلُك في نُحورِهم، ونعوذُ بك مِن شُرورهم.

اللهم اجعَلنا هُداةً مُهتَدين على صراطِك المُستقيم.

والحمدُ لله ربِّ العالمين.

Diterjemahkan dari khotbah Jumat Syaikh Faishal Jamil Ghazawi (Imam dan Khotib Masjid al-Haram)
Penerjemah: tim KhotbahJumat.com
Judul Asli: Dzikrullah Ta’ala
Tanggal: 11 Muharam 1440 H

Artikel www.KhotbahJumat.com