Kamis, 29 Maret 2018

KHUTBAH JUMAT

*🕌KHUTBAH JUM'AT🕌*

Bahagia dengan Membahagiakan Orang Lain

Khutbah Pertama:

إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …

فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Kaum muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah

Khatib mewasiatkan kepada diri khatib pribadi dan jamaah sekalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita, kekasih kita, penyejuk hati kita, Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada keluarganya, para sahabat serta pengikutnya hingga hari kiamat.

Kaum muslimin yang semoga rahmat Allah meliputi saya dan Anda sekalian.

Sebagian orang telah memiliki harta yang banyak, telah diberi kemewahan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah dimudahkan rezekinya, namun  mereka tidak merasakan kebahagiaan. Sebenarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menunjukkan banyak cara dan kiat untuk menggapai kebahagiaan. Dan telah terbukti bahwa kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan harta, kebahagiaan bukan diukur dengan kemewahan, kebahagiaan bukan diukur dengan ketenaran, ada perkara-perkara lain yang bisa menjadikan seseorang berbahagia.

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah.

Pada kesempatan kali ini kita berbicara tentang orang-orang yang Allah berikan rezeki kepada mereka, terutama yang memiliki kelebihan. Bagaimana caranya agar mereka bisa meraih kebahagiaan? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْناً، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا وَ لَأَنْ أَمْشِيْ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا المَسْجِدِ ، ( يَعْنِي مَسْجِدُ النَبَوِي ) شَهْرًا

“…Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan pekerjaan yang paling dicintai Allah adalah menggembirakan seorang muslim, atau menjauhkan kesusahan darinya, atau membayarkan hutangnya, atau menghilangkan laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’ktikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan…” (HR. Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 13646).

Allahu Akbar! Luar biasa, amalan yang tidak kita sangka besarnya, bahkan lebih besar daripada berdiam diri di masjid selama satu bulan untuk beribadah (i’tikaf) di Masjid Nabawi. Beliau katakan amalan menemani seorang muslim untuk ia tunaikan kebutuhannya, itu adalah amalan yang besar dan amalan yang agung. Mengapa demikian? Karena menolong orang lain, menghilangkan rasa laparnya, mengatasi kesulitannya adalah amalan yang sangat dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan amalan tersebut akan memberikan rasa kebahagian kepada para pelakunya.

Ada seorang sahabat yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat ini mengeluhkan kekerasan dan kekakuan di dalam hatinya, ia tidak merasakan kebahagiaan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ ، فَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ ، وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ

“Jika engkau ingin agar hatimu menjadi lunak, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad no. 7576 dan 9018)

Kaum muslimin yang dirahamati Allah

Mungkin di antara kita ada yang bertanya, apa hubungannya kebahagiaan dengan memberi makan orang yang miskin? Apa hubungannya kebahagiaan dengan mengusap kepala anak yatim? Apa hubungan hal ini dengan kelembutan hati dan kebahagiaan?

Ingatlah wahai kaum muslimin, di dalam agama kita ada sebuah prinsip yang agung الجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ العَمَلِ “Balasan itu sesuai dengan amalan.” Jika seorang hamba berusaha menyenangkan hati orang lain, memikirkan kesulitan yang dihadapi orang lain, makan Allah juga akan menyenagkan hatinya. Oleh karenanya kita dapati sebagian orang, berletih-letih, berpayah-payah, pergi ke tempat yang jauh untuk membantu kaum muslimin, membawakan bantuan, mengumpulkan dana untuk diberikan kepada kaum muslimin, dia tidak pernah merasakan keletihan, padahal itu pekerjaan yang sangat berat, mungkin ia tidak mendapatkan dunia (upah) sepeser pun, akan tetapi mengapa ia bisa begitu betah melakukan itu semua? Karena ada kebahagiaan yang ia dapatkan. Allah yang memasukkan kebahagiaan dalam dirinya.

Oleh karenanya manusia yang paling berbahagia di muka bumi ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Karena beliau adalah orang yang paling memikirkan bagaimana caranya membahagiakan orang lain. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah)

Rasulullah merasa berat hatinya penderitaan para sahabatnya, penderitaan kaum muslimin secara umum, beliau menginginkan keimanan dan keselamatan bagi para sahabatnya dan umat beliau seluruhnya.

Ummul mukminin, Kahdijah radhiallahu ‘anha juga pernah memuji sifat suaminya ini, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa takut bahwa dirinya terancam saat menerima wahyu pertama,

كَلَّا أَبْشِرْ فَوَاللَّهِ لَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا وَاللَّهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

“Janganlah begitu, bergembiralah! Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu, selama-lamanya. Demi Allah! Sesungguhnya, kamu telah menyambung tali persaudaraan, berbicara jujur, memikul beban orang lain, suka membantu orang yang tidak punya, menjamu tamu, dan sentiasa mendukung kebenaran.” (HR. Al-Bukhari no. 4572 dan Muslim no. 231)

Inilah sifat dasar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan sebelum beliau menerima wahyu. Khadijah menyebutkan beberapa sifat suaminya, yang kesemuanya menunjukkan bahwa beliau selalu berusaha membuat orang lain berbahagia; menyambung silaturahmi, jujur, memikul beban orang lain, membantu orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan mendukung kebenaran.

Dalam hadis yang lainnya dikisahkan, ada seorang budak wanita yang masih kecil menarik tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menunaikan suatu keperluannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan budak tersebut membawanya ke tempat yang ia inginkan. Mengapa ini semua beliau lakukan? Karena beliau sangat ingin memasukkan kebahagiaan di hati orang lain.

Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling ingin membahagiakan orang lain, maka beliau adalah orang yang paling berbahagia.

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَقُولُ قَوْ لِي هَذَا وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua:

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ تَسْلِمًا. أما بعد:

Kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala

Setelah kita mendengarkan beberapa hadis tentang keutamaan membahagiakan orang lain, membahagiakan orang lain adalah amalan yang paling dicintai Allah, dan kita juga mendengarkan contoh praktek langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagi kita adalah mengamalkannya. Mencari kebahagiaan dengan membahagiakan orang lain.

Jika Anda memiliki kelebihan rezeki, sumbangkanlah sebagian harta yang Anda miliki kepada orang-orang miskin, sumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Masukkan kebahagiaan di hati mereka, maka pasti Allah akan memasukkan kebahagiaan di hati Anda sekalian. Yakinlah akan hal ini, الجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ العَمَلِ “Balasan itu sesuai dengan amalan.” Tidak perlu sampai orang lain meminta, ketika ada keluarga, saudara, tentangga kita merasa sulit, maka kita bantu mereka dengan harta, tenaga, dan pikiran kita.

Yang merasa sulit membahagiakan saudaranya dengan harta, maka ia bisa bahagiakan saudaranya dengan bantuan tenaga atau pemikiran. Sehingga saudara kita mendapatkan ide dan solusi dari masalah yang ia hadapi.

Bagaimana mungkin Allah akan membiarkan orang-orang yang sibuk berpikir agar orang lain berbahagia, merasakan kesedihan, kegalauan di dalam hatinya, tidak mungkin! Yakinlah bahwasanya Allah akan membahagiakan orang yang ingin membahagiakan orang lain, dan lakukanlah amalan yang mulia ini dengan keikhlasan mengharap pahala dan ridha dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita orang-orang yang senantiasa membantu saudara-saudara kita, memasukkan kebahagiaan di hati-hati mereka, sehingga Allah memberikan kebahagiaan kepada kita di dunia maupun di akhirat kelak, Allahumma amin.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخَوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُواْ رَبَّنَا إِنَّكّ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ. اَللَّهُمَّ افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نًافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانِ إِلَى يِوْمِ الدِّيْنِ وَآَخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.

Dinukil dari ceramah pendek Ustadz Firanda Andirja, M.A. dengan tambahan dari tim KhotbahJumat.com
Artikel KhotbahJumat.com

Read more https://khotbahjumat.com/2319-bahagia-dengan-membahagiakan-orang-lain.html

Sabtu, 24 Maret 2018

11. KESALAHAN DALAM BERWUDHU

🔖 11 KESALAHAN DALAM BERWUDHU

Sebagaimana ibadah yang lain, wudhu pun wajib untuk mengikuti tuntunan dari Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mengerjakannya. Karena Al Qur’an dan hadits adalah sumber landasan hukum dalam Islam, serta acuan dalam mengerjakan ibadah. Maka tidak boleh kita melakukan ibadah hanya dengan dasar pendapat seseorang, opini seseorang atau logika semata. Lebih lagi jika tidak memiliki dasar sama sekali alias asal-asalan.

Oleh karena itu, pembahasan kali ini akan memaparkan secara ringkas beberapa amalan dan keyakinan yang salah seputar wudhu, karena amalan dan keyakinan tersebut tidak dilandasi oleh Al Qur’an dan hadits yang shahih. Beberapa amalan dan keyakinan tersebut adalah:

1. Melafalkan niat wudhu

Sebagian orang melafalkan niat wudhu semisal dengan mengucapkan: “nawaitul wudhu’a liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala” (saya berniat wudhu untuk mengangkat hadats kecil karena Allah Ta’ala) atau semacamnya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah mencontohkan melafalkan niat sebelum wudhu, dan niat itu adalah amalan hati. Mengeraskan bacaan niat tidaklah wajib dan tidak pula sunnah dengan kesepakatan seluruh ulama. Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi mengatakan, “Tidak ada seorang imam pun, baik itu Asy Syafi’i atau selain beliau, yang mensyaratkan pelafalan niat. Niat itu tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan mereka (para imam)” (Al Ittiba’ hal. 62, dinukil dari Al Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin, hal. 91).

Sekali lagi niat itu amalan hati dan itu mudah, tidak perlu dipersulit. Dengan adanya itikad dan kemauan dalam hati untuk melakukan wudhu untuk melakukan shalat atau yang lainnya, maka itu sudah niat yang sah.

2. Tidak mengucapkan basmalah

Para ulama berbeda pendapat apakah basmalah atau mengucapkan “bismillah” hukumnya wajib ataukah sunnah. ٍSebagian ulama mewajibkan dengan dalil hadits: “tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil). Namun jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah karena beberapa hal:

a. Membaca basmalah tidak disebutkan bersamaan dengan hal-hal wajib lainnya dalam surat Al Maidah ayat 6

b. Keumuman hadits-hadits yang menjelaskan mengenai cara wudhu Nabi, tidak menyebutkan mengucapkan basmalah (lihat Asy Syarhul Mumthi’, 1/159).

c. Makna “tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala” adalah penafian kesempurnaan wudhu (lihat Asy Syarhul Mumthi’, 1/158 – 159).

Namun demikian, baik beranggapan hukumnya sunnah ataupun wajib, meninggalkannya dengan sengaja adalah sebuah kesalahan.

3. Melafalkan doa untuk setiap gerakan

Sebagian orang menganggap ada doa khusus yang dibaca pada setiap gerakan wudhu. Yang benar, doa-doa tersebut tidak pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan hanya berasal dari hadits-hadits yang palsu. Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad (1/195) mengatakan: “semua hadits tentang dzikir-dzikir yang dibaca pada setiap gerakan wudhu adalah kedustaan yang dibuat-buat, tidak pernah dikatakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedikit pun dan tidak pernah beliau ajarkan kepada umatnya”.

4. Memisahkan cidukan air untuk berkumur dan istinsyaq-istintsar

Jika dalam berwudhu anda berkumur-kumur tiga kali, kemudian setelah itu baru beristinsyaq (memasukan air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan cidukan air yang berbeda, maka ini tidak sesuai dengan praktek Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang beliau contohkan adalah berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar itu dengan satu cidukan kemudian ulang sebanyak 3x. Sehingga untuk berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar hanya melakukan 3 cidukan. Dari Abdullah bin Zaid radhiallahu’anhu beliau menceritakan cara wudhu Nabi, “Rasulullah menciduk air dengan kedua telapak tangannya dari bejana kemudian mencuci keduanya, kemudian mencuci (yaitu berkumur-kumur dan beristinsyaq) dari satu cidukan telapak tangan, beliau melakukannya 3x …” (HR. Bukhari 191).

5. Tidak mencuci lengan hingga siku

Padahal Allah Ta’ala berfirman mengenai rukun wudhu (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan basuhlah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6).

6. Tidak membasuh seluruh kepada

Membasuh sebagian kepala semisal hanya membasuh bagian depannya saja, adalah sebuah kesalahan. Padahal dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas disebutkan “.. dan basuhlah kepalamu..”. “kepala” di sini maknanya tentu seluruh kepala, bukan sebagiannya saja. Diperkuat lagi oleh hadits lain dari Abdullah bin Zaid radhiallahu’anhu mengenai tata cara membasuh kepala dalam wudhu, “… kemudian Rasulullah membasuh kepalanya dengan kedua tangannya. Beliau menggerakan kedua tangannya ke belakang dan ke depan. Di mulai dari bagian depan kepalanya hingga ke tengkuknya, lalu beliau gerakkan kembali ke tempat ia mulai…” (HR. Bukhari 185, Muslim 235).

7. Membasuh leher setelah membasuh kepala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “tidak shahih hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membasuh leher dalam wudhu, bahkan tidak diriwayatkan dalam hadits shahih satu pun. Bahkan hadits-hadits shahih mengenai tata cara wudhu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyebutkan mengenai membasuh leher” (Majmu’ Fatawa 21/127-128, dinukil dari Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah, 1/142).

8. Mengulang mencuci kaki, sehingga lebih dari sekali

Sebagian orang mencuci kaki kanan, lalu kaki kiri, lalu kembali ke kanan lagi, sampai 3 x. Hal ini tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Syaikh Husain Al ‘Awaisyah dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah (1/143) mengatakan: “(Yang sesuai sunnah adalah) mencuci kedua kaki tanpa berulang, berdasarkan hadits Yazid bin Abi Malik yang di dalamnya disebutkan, “Rasulullah berwudhu tiga kali – tiga kali, sedangkan beliau ketika mencuci kakinya tanpa berulang (cukup sekali)” (HR. Abu Daud 116, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud). Maka yang tepat adalah mencuci kaki kanan sekali, lalu kaki kiri sekali.

9. Kurang sempurna mencuci kaki, dan juga anggota wudhu yang lain

Terkadang karena kurang serius dalam berwudhu atau karena terburu-buru, seseorang tidak sempurna dalam mencuci kedua kakinya. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melihat sebagian sahabat yang ketika berwudhu tidak menyempurnakan mencuci kakinya, beliau memperingatkan mereka dengan keras dengan bersabda: “celaka tumit-tumit (yang tidak tersentuh air wudhu) di neraka” (HR. Bukhari 60, 165, Muslim 240). Tidak hanya kaki, pada anggota wudhu yang lain juga wajib isbagh (serius dan sempurna) dalam membasuh dan mencuci sehingga air mengenai anggota wudhu dengan sempurna.

10. Membiarkan ada penghalang di kulit

Dalam wudhu, ulama 4 madzhab mensyaratkan tidak adanya benda yang dapat menghalangi air mengenai kulit (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 43/330). Membiarkan adanya benda yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit adalah sebuah kesalahan dan bisa menyebabkan wudhunya tidak sah. Dikecualikan jika volumenya sangat kecil dan sedikit seperti kotoran yang ada di kuku, maka ini tidak mengapa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Jika kulit terhalang air oleh sesuatu yang yasiir (sedikit) seperti kotoran di kuku atau semisalnya, thaharah tetap sah” (Fatawa Al Kubra, 5/303). Juga jika benda tersebut tidak memiliki volume atau sulit dihilangkan, maka tidak mengapa. Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta‘ menyatakan: “jiak benda yang menghalangi tersebut tidak bervolume, maka tidak mengapa. Henna dan semacamnya, atau minyak yang dioleskan atau semacamnya, ini tidak mengapa. Adapun jika ia memiliki volume, dalam artian ia tebal dan bisa dihilangkan, maka wajib dihilangkan. Seperti cat kuku, ia memiliki volume, maka wajib dihilangkan. Adapun sekedar polesan tipis, maka itu tidak menghalangi air” (Fatwa Nuurun ‘alad Darbi, no. 161, juz 5 hal. 246).

11. Boros dalam menggunakan air

Berlebih-lebih dan boros adalah hal yang tercela dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan” (QS. Al A’raf: 31). Demikian juga dalam berwudhu, tidak boleh berlebih-lebihan dalam menggunakan air. Air adalah nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri, dan salah satu cara mensyukuri nikmat air adalah dengan tidak menyia-nyiakannya. Dan banyak diantara saudara kita di tempat yang lain yang tidak bisa menikmat air yang melimpah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri mencontohkan hal ini. Beliau biasa berwudhu hanya dengan 1 mud saja. Anas bin Malik radhiallahu’anhu menyatakan, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya berwudhu dengan 1 mud air dan mandi dengan 1 sha’ sampai 5 mud air” (HR. Bukhari 201, Muslim 326). Sedangkan konversi 1 mud para ulama berbeda pendapat antara 0,6 sampai 1 liter. Sungguh hemat sekali bukan? Boleh saja berwudhu dengan air keran dan lebih dari 1 mud selama tidak berlebih-lebihan dan tetap berusaha untuk menghemat.

Wallahu ta’ala a’lam.

Sumber: Muslim.or.id

Semoga manfaat

Kamis, 08 Maret 2018

DALIL TENTANG SHIRAT

DALIL-DALIL TENTANG KEBERADAAN SHIRAT

Landasan keyakinan tentang adanya shirâth pada hari Kiamat berdasarkan kepada ijma’ para ulama Ahlus Sunnah yang bersumberkan kepada dalil-dalil yang akurat dari al-Qur`ân dan Sunnah. Berikut ini kita sebutkan beberapa dalil yang menerangkan tentang adanya shirâth.
Di antara ulama berhujjah dengan firman Allâh Azza wa Jalla berikut :
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan akan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan [Maryam/19:71]

Diriwayatkan dari kalangan para Sahabat, di antaranya; Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu dan Ka’ab bin Ahbâr bahwa yang dimaksud dengan mendatangi neraka dalam ayat tersebut adalah melewati shirâth.[3]

Sementara itu, banyak sekali riwayat dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ini, di antaranya:

Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجَسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْجَسْرُ قَالَ مَدْحَضَةٌ مَزِلَّةٌ عَلَيْهِ خَطَاطِيفُ وَكَلَالِيبُ وَحَسَكَةٌ مُفَلْطَحَةٌ لَهَا شَوْكَةٌ عُقَيْفَاءُ تَكُونُ بِنَجْدٍ يُقَالُ لَهَا السَّعْدَانُ

Kemudian didatangkan jembatan lalu dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam. Kami (para Sahabat) bertanya: “Wahai Rasûlullâh, bagaimana (bentuk) jembatan itu?”. Jawab beliau, “Llicin (lagi) mengelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Najd, dikenal dengan pohon Sa’dân …” [Muttafaqun ‘alaih]

BENTUK DAN KONDISI SHIRATH.
Dalam hadits yang sudah disebutkan di atas terdapat beberapa ciri atau sifat dan bentuk shirâth, yaitu: “licin (lagi) mengelincirkan, di atasnya ada besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Nejd, dikenal dengan pohon Sa’dân …”.

Dan disebutkan lagi dalam hadits bahwa shirâth tersebut memiliki cangkok-cangkok besar, yang mencankok siapa yang melewatinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

وَيُضْرَبُ جِسْرُ جَهَنَّمَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يُجِيزُ وَدُعَاءُ الرُّسُلِ يَوْمَئِذٍ اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ وَبِهِ كَلَالِيبُ مِثْلُ شَوْكِ السَّعْدَانِ أَمَا رَأَيْتُمْ شَوْكَ السَّعْدَانِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهَا مِثْلُ شَوْكِ السَّعْدَانِ غَيْرَ أَنَّهَا لَا يَعْلَمُ قَدْرَ عِظَمِهَا إِلَّا اللَّهُ فَتَخْطَفُ النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ رواه البخاري

Dan dibentangkanlah jembatan Jahannam. Akulah orang pertama yang melewatinya. Doa para rasul pada saat itu: “Ya Allâh, selamatkanlah, selamatkanlah”. Pada shirâth itu, terdapat pencangkok-pencangkok seperti duri pohon Sa’dân. Pernahkah kalian melihatnya?” Para Sahabat menjawab, “Pernah, wahai Rasûlullâh. Maka ia seperti duri pohon Sa’dân, tiada yang mengetahui ukuran besarnya kecuali Allâh. Maka ia mencangkok manusia sesuai dengan amalan mereka”. [HR. al-Bukhâri]

Di samping itu, para Ulama menyebutkan pula bahwa shirâth tersebut lebih halus daripada rambut, lebih tajam dari pada pedang, dan lebih panas daripada bara api, licin dan mengelincirkan. Hal ini berdasarkan pada beberapa riwayat, baik yang disandarkan langsung kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun kepada para Sahabat tetapi dihukumi marfû’. Sebab, para Sahabat tidak mungkin mengatakannya dengan dasar ijtihad pribadi mereka tentang suatu perkara yang ghaib, melainkan hal tersebut telah mereka dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Sa’id Radhiyallahu anhu berkata: “Sampai kepadaku kabar bahwa shirâth itu lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang” [4] .

Setelah kita amati dalil-dalil tersebut di atas dapat kita ikhtisarkan di sini sifat dan bentuk shirâth tersebut sebagaimana berikut:

1. Shirâth tersebut amat licin, sehingga sangat mengkhawatirkan siapa saja yang lewat dimana ia mungkin saja terpeleset dan terperosok jatuh.

2. Shirâth tersebut menggelincirkan. Para Ulama telah menerangkan maksud dari ‘menggelincirkan’ yaitu ia bergerak ke kanan dan ke kiri, sehingga membuat orang yang melewatinya takut akan tergelincir dan tersungkur jatuh.

3. Shirâth tersebut memiliki besi pengait yang besar, penuh dengan duri, ujungnya bengkok. Ini menunjukkan siapa yang terkena besi pengait ini tidak akan lepas dari cengkeramannya.

4. Terpeleset atau tidak, tergelincir atau tidak, dan tersambar oleh pengait besi atau tidak, semua itu ditentukan oleh amal ibadah dan keimanan masing-masing orang.

5. Shirâth tersebut terbentang membujur di atas neraka Jahannam. Barang siapa terpeleset dan tergelincir atau terkena sambaran besi pengait, maka ia akan terjatuh ke dalam neraka Jahannam.

6. Shirâth tersebut sangat halus, sehingga sulit untuk meletakkan kaki di atasnya.

7. Shirâth tersebut juga tajam yang dapat membelah telapak kaki orang yang melewatinya. Karena sesuatu yang begitu halus, namun tidak bisa putus, maka akan menjadi tajam.

8. Sekalipun shirâth tersebut halus dan tajam, manusia tetap dapat melewatinya. Karena Allâh Azza wa Jalla Maha Kuasa untuk menjadikan manusia mampu berjalan di atas apapun.

9. Kesulitan untuk melihat shirâth karena kehalusannya, atau terluka karena ketajamannya, semua itu bergantung kepada kualitas keimanan setiap orang yang melewatinya.

BAGAIMANA KEADAAN MANUSIA KETIKA MELEWATI SHIRATH?
Setelah kita melihat sikilas tentang sifat-sifat shirâth yang tedapat dalam hadits-hadits shahih. Berikutnya kita lihat pula bagaimana keadaan manusia ketika melewati shiraath tersebut.

1. Riwayat Pertama:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْل الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( وَتُرْسَلُ الْأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ فَتَقُومَانِ جَنَبَتَيْ الصِّرَاطِ يَمِينًا وَشِمَالًا فَيَمُرُّ أَوَّلُكُمْ كَالْبَرْقِ))، قَالَ : قُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَيُّ شَيْءٍ كَمَرِّ الْبَرْقِ ؟ قَالَ: ((أَلَمْ تَرَوْا إِلَى الْبَرْقِ كَيْفَ يَمُرُّ وَيَرْجِعُ فِي طَرْفَةِ عَيْنٍ ؟ ثُمَّ كَمَرِّ الرِّيحِ ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ وَشَدِّ الرِّجَالِ تَجْرِي بِهِمْ أَعْمَالُهُمْ وَنَبِيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصِّرَاطِ يَقُولُ رَبِّ سَلِّمْ سَلِّمْ حَتَّى تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعِبَادِ حَتَّى يَجِيءَ الرَّجُلُ فَلَا يَسْتَطِيعُ السَّيْرَ إِلَّا زَحْفًا قَالَ وَفِي حَافَتَيْ الصِّرَاطِ كَلَالِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بِأَخْذِ مَنْ أُمِرَتْ بِهِ فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ وَمَكْدُوسٌ فِي النَّارِ )) رواه مسلم.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Lalu diutuslah amanah dan rohim (tali persaudaraan) keduanya berdiri di samping kair-kanan shiraath tersebut. Orang yang pertama lewat seperti kilat”. Aku bertanya: “Dengan bapak dan ibuku (aku korbankan) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat?” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Tidakkah kalian pernah melihat kilat bagaimana ia lewat dalam sekejap mata? Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung dan seperti kuda yang berlari kencang. Mereka berjalan sesuai dengan amalan mereka. Nabi kalian waktu itu berdiri di atas shirâth sambil berkata: “Ya Allâh selamatkanlah! selamatkanlah! Sampai para hamba yang lemah amalannya, sehingga datang seseorang lalu ia tidak bisa melewati kecuali dengan merangkak”. Beliau menuturkan (lagi): “Di kedua belah pinggir shirâth terdapat besi pengait yang bergatungan untuk menyambar siapa saja yang diperintahkan untuk disambar. Maka ada yang terpeleset namun selamat dan ada pula yang terjungkir ke dalam neraka”. [HR. Muslim]

2. Riwayat Kedua:

الْمُؤْمِنُ عَلَيْهَا كَالطَّرْفِ وَكَالْبَرْقِ وَكَالرِّيحِ وَكَأَجَاوِيدِ الْخَيْلِ وَالرِّكَابِ فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ وَنَاجٍ مَخْدُوشٌ وَمَكْدُوسٌ فِي نَارِ جَهَنَّمَ حَتَّى يَمُرَّ آخِرُهُمْ يُسْحَبُ سَحْبًا ( متفق عليه)

Orang Mukmin (berada) di atasnya (shirâth), ada yang secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda yang amat kencang berlari, dan ada yang secepat pengendara. Maka ada yang selamat setelah tertatih-tatih dan ada pula yang dilemparkan ke dalam neraka. Mereka yang paling terakhir merangkak secara pelan-pelan”. [Muttafaqun ‘alaih]

3. Riwayat Ketiga:

فَمِنْهُمْ مَنْ يُُوْبَقُ بِعَمَلِهِ وَمِنْهُمْ يُُخَرْدَلُ ثُمَّ يَنْجُو( متفق عليه)

Di antara mereka ada yang binasa disebabkan amalannya, dan di antara mereka ada yang tergelincir namun kemudian ia selamat [Muttafaqun ‘alaih]

4. Riwayat Keempat:

وَيُضْرَبُ الصِّرَأطُ بَيْنَ ظَهْرَي جَهَنَّمَ فَأَكُونُ أنَا وَأُمَّتِيْ أَوَّلَ مَنْ يُجِيزُ وَلاَ يَـَتكَلََّمُ يَوْمَئِذٍ إِلاَّ الرُسُلُ وَدَعْوَى الرُّسُلِ يَوْمَئِذٍ اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ فَمِنْهُمْ الْمُؤُمِنُ بَقِيَ بِعَمَلِهِ وَمِنْهُمْ الْمُجَازَى حَتىَّ يُنَجَّى (رواه مسلم)

Dan dibentangkanlah shirâth di atas permukaan neraka Jahannam. Maka aku dan umatku menjadi orang yang pertama kali melewatinya. Dan tiada yang berbicara pada saat itu kecuali para rasul. Dan doa para rasul pada saat itu: “Ya Allâh, selamatkanlah, selamatkanlah……di antara mereka ada yang tertinggal dengan sebab amalannya dan di antara mereka ada yang dibalasi sampai ia selamat”. [HR. Muslim]

Melalui riwayat-riwayat yang kita sebutkan di atas dapat kita simpulkan di sini bagaimana kondisi manusia saat menlintasi shirâth :

1. Ketika manusia melewati shirâth, amanah dan ar-rahm (hubungan silaturrahim) menyaksikan mereka. Ini menunjukkan betapa pentingnya menunaikan amanah dan menjalin hubungan silaturrahim. Barangsiapa melalaikan keduanya, maka ia akan merasa gemetar ketika disaksikan oleh amanah dan ar-rahm saat melewati shirâth.

2. Kecepatan manusia saat melewati shirâth yang begitu halus dan tajam tersebut sesuai dengan tingkat kecepatan mereka dalam menyambut dan melaksanakan perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla di dunia ini.

3. Di antara manusia ada yang melewati shirâth secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat burung terbang, dan ada pula yang secepat kuda yang berlari kencang.

4. Di antara manusia ada yang melewatinya dengan merangkak secara pelan-pelan, ada yang berjalan dengan menggeser pantatnya sedikit demi sedikit, ada pula yang bergelantungan hampir-hampir jatuh ke dalam neraka dan ada pula yang dilemparkan ke dalamnya.

5. Besi-besi pengait baik yang bergantungan dengan shirâth maupun yang berasal dari dalam neraka akan menyambar sesuai dengan keimanan dan ibadah masing-masing manusia.

6. Yang pertama sekali melewati shirâth adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya.

7. Setiap rasul menyasikkan umatnya ketika melewati shirâth dan mendoakan umat mereka masing-masing agar selamat dari api neraka.

8. Ketika melewati shirat setiap mukmin agar diberi cahaya sesuai dengan amalnya masing-masing. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu dalam menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :

9.
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ

Pada hari itu, engkau melihat orang-orang mukmin cahaya mereka menerangi dari hadapan da kanan mereka [al-Hadîd/57:12]

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Mereka melewati shirâth sesuai dengan tingkat amalan mereka. Di antara mereka ada cahayanya sepert gunung, ada cahayanya yang seperti pohon, ada cahayanya setinggi orang berdiri, yang paling sedikit cahayanya sebatas menerangi ampu kakinya, sesekali nyala sesekali padam” [5] .

Selasa, 06 Maret 2018

SHOLAT YANG MEDAHULUI ATAU TERTINGGAL BAGEKAN KEPALA KELEDAI

ORANG YANG SHALAT TETAPI BERKEPALA KELEDAI

Oleh : Abu Fadhel Majalengka

Tidak sedikit dari kaum muslimin yang menjadi makmum pada saat shalat berjamaah tidak paham kalau dia seorang makmum yang harus mengikuti imam. Kadang dia mendahului, bersamaan atau tertinggal dalam mengikuti imam.

Dalam tulisan kali ini penulis mencoba untuk memaparkan satu persatu keadaan makmun tersebut.

Pertama, Mendahului Imam

Ada makmum yang takbiratul ihram sebelum imam takbiratul ihram. Ada pula yang ruku, i'tidal, sujud, duduk diantara sujud bahkan salam sebelum imam melakukan hal tersebut.

Perkara ini menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang keras perbuatan seperti itu.

Berkata Anas Bin Malik radhiyallahu anhu, pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat. Ketika telah selesai shalat, beliau menghadap kami dengan wajahnya, lalu berkata:

أيها الناس إني إمامكم فلا تسبقوني بالركوع ولا بالسجود ولا بالقيام ولا بالانصراف فإني أراكم أمامي ومن خلفي

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku dalah hal rukuk, sujud, berdiri, atau salam, sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari depanku dan dari belakangku”. (HR. Muslim, 1/320).

Makmum yang mendahului imam adalah makmum yang ubun-ubunnya dikendalikan dan digenggam setan.

Berkata Abu Hurairah radhiyallahu anhu :

الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَخْفِضُهُ قَبْلَ الْإِمَامِ فَإِنَّمَا نَاصِيَتُهُ بِيَدِ شَيْطَانٍ

“Orang yang mengangkat dan menurunkan kepalanya sebelum imam, maka ubun-ubunnya berada di genggaman setan.” (HR. Malik no.194, Muslim no.647&648, Ahmad no.7344, Ibnu Majah no.951, Nasa’I no.819, Tirmidzi no.531).

Bahkan kalau terus menerus demikian keadaannya yang senantiasa mendahului imam, maka lambat atau cepat akan dirubah kepalanya menjadi kepala keledai.

Kalau dia sengaja melakukannya, bukan karena lupa atau ada udzur, maka batal shalatnya dan tidak sah shalatnya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam  bersabda :

أما يخشى أحدكم أو ألا يخشى أحدكم إذا رفع رأسه قبل الإمام أن يجعل الله رأسه رأس حمار أو يجعل صورته صورة حمار

“Tidakkah salah seorang diantara kalian takut, jika mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan menjadikan kepalanya seperti kepala keledai atau bentuk tubuhnya seperti tubuh keledai (HR. Bukhari Muslim).

Berkata Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullah:

وظاهر الحديث يقتضي تحريم الرفع قبل الإمام؛ لكونه توعد عليه بالمسخ وهو أشد العقوبات، وبذلك جزم النووي في شرح المهذب، ومع القول بالتحريم فالجمهور على أن فاعله يأثم وتجزئ صلاته. وعن ابن عمر تبطل. وبه قال أحمد في رواية وأهل الظاهر بناء على أن النهي يقتضي الفساد، وفي المغني عن أحمد أنه قال في رسالته ليس لمن سبق الإمام صلاة لهذا الحديث، قال ولو كانت له صلاة لرجي له الثواب ولم يخش عليه العقاب. انتهى

Dan yang tampak dalam hadits ini menunjukkan diharamkannya mengangkat kepala sebelum imam, karena ia diancam dengan perubahan bentuk, di mana dia merupakan siksaan yang paling pedih.” Meskipun ada pendapat yang mengharamkan, namun jumhur ulama menyatakan, bahwa makmum yang mendahului imam tetap berdosa akan tetapi shalatnya tetap sah.

Ada riwayat lain yakni dari Ibnu Umar bahwa shalatnya batal, Ahmad dan Ahlu Zhohir sependapat dengan Ibnu Umar, yakni berdasarkan pada kaidah, bahwa larangan tersebut menunjukkan batalnya sesuatu.

Dalam Al-Mughni disebutkan, dari Imam Ahmad, bahwa dalam risalahnya dia berkata, “Tidak sah sholatnya orang yang mendahului imam berdasarkan hadits ini”. Dia juga mengatakan, “Seandainya sholatnya sah, niscaya akan diharapkan pahala baginya dan tidak dikhawatirkan akan mendapat siksa”.” (Fathul Baari, 2/182-183).

Kedua, Bersamaan Dengan Imam

Bersamaan imam dalam setiap gerakan, baik ketika rukuk, i'tidal, sujud, bangkit dari sujud sampai salam, maka ini suatu kesalahan, sesuatu yang dibenci (makruh) dan menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا ، فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا ، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

“Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikutinya. Kalau dia shalat berdiri, maka shalatlah kamu semua dalam kondisi berdiri. Kalau rukuk, maka rukuklah kamu semua. Kalau dia bangun (dari rukuk) maka bangunlah kalian semua. Kalau dia mengatakan samiallahu liman hamidah, maka katakan,”Rabbana wa lakal hamdu’ kalau dia shalat dalam kondisi berdiri, shalatlah kamu semua dalam kondisi berdiri. Kalau dia shalat dalam kondisi duduk, maka shalatlah kalian dalam kondisi duduk. (HR. Muslim).

Berkata Imam Nawawi rahimahullah :

فِيهِ وُجُوب مُتَابَعَة الْمَأْمُوم لِإِمَامِهِ فِي التَّكْبِير وَالْقِيَام وَالْقُعُود وَالرُّكُوع وَالسُّجُود ، وَأَنَّهُ يَفْعَلهَا بَعْد الْمَأْمُوم فَيُكَبِّر تَكْبِيرَة الْإِحْرَام بَعْد فَرَاغ الْإِمَام مِنْهَا ، فَإِنْ شَرَعَ فِيهَا قَبْل فَرَاغ الْإِمَام مِنْهَا لَمْ تَنْعَقِد صَلَاته ، وَيَرْكَع بَعْد شُرُوع الْإِمَام فِي الرُّكُوع وَقَبْل رَفْعه مِنْهُ ، فَإِنْ قَارَنَهُ أَوْ سَبَقَهُ فَقَدْ أَسَاءَ ، وَكَذَا السُّجُود ، وَيُسَلِّم بَعْد فَرَاغ الْإِمَام مِنْ السَّلَام ، فَإِنْ سَلَّمَ قَبْله بَطَلَتْ صَلَاته إِلَّا أَنْ يَنْوِي الْمُفَارَقَة فَفِيهِ خِلَاف مَشْهُور ، وَإِنْ سَلَّمَ مَعَهُ لَا قَبْله وَلَا بَعْده فَقَدْ أَسَاءَ. انتهى .

Dalam hadits tersebut ada kewajiban makmum mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk, rukuk dan sujud. Dan bahwa hal itu dilakukan setelah imam, sehingga ketika imam selesai takbirotul ihram, dia bertakbir. Kalau dia memulai sebelum imam selesai, maka shalatnya tidak dihitung. Lalu rukuk setelah imam rukuk dan sebelum bangun darinya. Kalau bersamaan atau mendahuluinya, maka dia telah melakukan kesalahan. Begitu juga dalam sujud. Dan salam setelah imam selesai salam. Kalau dia salam sebelum imam, maka shalatanya batal. Kecuali kalau berniat keluar, maka di dalamnya ada perbedaan pendapat yang terkenal. Kalau salam bersamaan dengannya, tidak sebelum dan tidak setelahnya, maka dia telah melakukan kesalahan.” (Syarah Shahih Muslim).

Berkata Para Ulama Lajnah Daimah (MUI nya Saudi Arabia) :

يجب على المأموم أن يتابع إمامه في الركوع والسجود والقيام وفي الرفع منهما ، فلا يركع ولا يسجد ولا يرفع منهما إلا بعد إمامه ، لأمره صلى الله عليه وسلم بذلك ونهيه عن سبق الإمام أو مصاحبته في شيء من ذلك " انتهى من "فتاوى اللجنة الدائمة" (7 /315)

Makmum diwajibkan mengikuti imam dalam rukuk, sujud, berdiri, dan mengangkat dari (rukuk dan sujud). Maka tidak boleh rukuk, sujud, mengangkat dari keduanya kecuali setelah imamnya. Berdasarkan perintah Nabi sallallahu alaihi wa salalm akan hal itu dan larangan mendahului imam atau bersamaan dengannya dalam hal itu. (Fatawa Lajnah Daimah, 7/315).

Berkata Imam Nawawi rahimahullah :

قال البيضاوي وغيره الائتمام الاقتداء والاتباع أي جعل الإمام إماما ليقتدي به ويتبع، ومن شأن التابع أن لا يسبق متبوعه ولا يساويه ولا يتقدم عليه في موقفه بل يراقب أحواله ويأتي على أثره بنحو فعله. انتهى.

Baidhowi dan yang lainnya berkata: “kata al i'timal adalah menuruti atau mengikuti. Yakni seseorang yang diangkat menjadi imam wajib untuk dituruti dan diikuti. Di antara cara mengikuti imam adalah dengan tidak mendahuluinya, atau menyamai gerakannya atau lebih maju posisinya daripada imam. Akan tetapi menjaga posisinya dan melakukan gerakan berdasarkan gerakan imam. (Syrah Shahih Muslim).

Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah :

قال ابن قدامة في المغني: والمستحب أن يكون شروع المأموم في أفعال الصلاة من الرفع والوضع بعد فراغ الإمام منه ويكره فعله معه في قول أكثر أهل العلم. انتهى.

“Dianjurkan bagi seorang makmum untuk memperhatikan gerakan dalam melakukan shalat, baik ketika hendak naik atau turun. Seorang makmum harus melakukannya setelah imam sudah pada posisinya. Serta merupakan hal yang makruh jika seorang makmum melakukan gerakan bersamaan dengan gerakan imam, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama.” (Kitab Al Mughni).

Ketiga Tertinggal Imam

Jika makmum tertinggal satu rukun dari imamnya tanpa udzur, maka batallah shalatnya. Misalkan imam bangkit dari ruku, si makmum baru rukuk. Imam bangkit dari sujud, si makmum baru sujud. Imam rukuk, si makmum baru bangkit dari sujud. Namun jika ada udzur, maka sah shalatnya. Misalkan larena suara imam tidak terdengar disebabkan jamaah yang banyak dan membludak serta sound sistemnya kurang bagus. Ngantuk atau lupa.

Berkata  Manshur Al Bahutiy Al Hanbaliy rahimahullah :

“Dan jika makmum tertinggal satu rukun dari imamnya tanpa udzur, maka hukumnya sebagaimana telah tersebut di muka dia tertinggal satu ruku’ tanpa udzur, batallah sholatnya. Tapi jika tidak demikian, yaitu dia tertinggal satu rukun karena udzur berupa mengantuk atau lupa atau berdesak-desakannya jamaah (sehingga dia susah untuk ruku’ dan sebagainya sehingga tertinggal), jika dia mengerjakan rukun yang tertinggal tadi dan dia menyusul sang imam, rekaatnya tadi sudah sah. Dan itu memang harus dia kerjakan, jika memungkinkan baginya untuk mengejar sang imam tanpa melakukan perkara yang terlarang (tanpa meninggalkan satu rukunpun).” (“Syarh Muntahal Irodat”/1/hal. 266).

Berkata Al Khothib Muhammad bin Ahmad Asy Syarbiniy Asy Syafi’iy rahimahullah :

“Adapun jika dia tertinggal kurang dari satu rukun, seperti: sang imam ruku’ duluan sebelum makmum, lalu sang makmum menyusulnya sebelum imam mengangkat kepalanya dari ruku’, atau sang makmum tertinggal satu rukun karena suatu udzur, maka  shalatnya tidaklah batal, Ini pasti.” (“Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj”/1/hal. 506).

Keempat, Mengikuti Imam

Keadaan yang keempat ini merupakan keadaan yang sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.  Makmum mengikuti imam tanpa mendahului, tanpa bersamaan atau tertinggal dari imam.

Seorang makmum tidak bertakbir sampai imam melakukan takbir, tidak juga rukuk sampai imam terlebih dahulu rukuk, tidak sujud sampai imam sujud, dan tidak pula mengangkat kepalanya dari sujud sampai imam terlebih dahulu mengangkat kepalanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اِنَّمَا جُعِلَ اْلاِمَامُ لـِيُـؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخـْـتَـلـِفُوْا عَلَـيْهِ، فَاِذَا كَـبَّـرَ فَكَـبِّـرُوْا، وَ اِذَا رَكَعَ فَارْكَـعُوْا، وَ اِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لـِمَنْ حَمِدَهُ فَـقُـوْلُـوْا اَللّـهُمَّ رَبـَّنَا لَكَ اْلحَمْدُ، وَ اِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوْا، وَ اِذَا صَلَّى قَـاعِدًا فَصَلُّـوْا قُـعُـوْدًا اَجْمَعُوْنَ. متفق عليه

"Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diturut, maka janganlah kalian menyelisihinya. Apabila imam bertakbir maka bertakbirlah, apabila imam ruku' maka ruku'lah, apabila imam membaca "sami'aloohu liman hamidah" ucapkanlah "Alloohumma robbanaa lakal hamdu", apabila imam sujud maka sujudlah, dan apabila imam shalat dengan duduk maka shalatlah kalian semua dengan duduk".  (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

انَّمَا اْلاِمَامُ لـِيُـؤْتَمَّ بِهِ. فَاِذَا كَـبَّـرَ فَكَـبّـِرُوْا وَلاَ تُكُـبِّـرُوْا حَتَّى يُكَـبِّـرَ، وَ اِذَا رَكَـعَ فَـارْكَـعُوْا وَلاَ تَـرْكَـعُوْا حَتَّى يَـرْكَـعَ، وَ اِذَا سَجَدَ فَـاسْجُدُوْا وَلاَ تَـسْجُدُوْا حَتَّى يَـسْجُدَ. احمد و ابو داود

"Sesungguhnya imam itu untuk diturut. Apabila imam bertakbir maka bertakbirlah, dan janganlah kalian bertakbir sehingga imam bertakbir, apabila imam ruku' maka ruku'lah dan jangan kalian ruku' sehingga imam ruku', apabila imam sujud, maka sujudlah dan jangan kalian bersujud sehingga imam bersujud". (HR. Ahmad Dan Abu Dawud).

Berkata Bara` bin ‘Azib radhiyallahu anhu :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لَمْ يَحْنِ أَحَدٌ مِنَّا ظَهْرَهُ حَتَّى يَقَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاجِدًا ثُمَّ نَقَعُ سُجُودًا بَعْدَهُ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila mengucapkan “sami’allahu liman hamidah”, tidak ada seorangpun dari kami yang mengangkat punggungnya, sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, kemudian barulah kami sujud setelahnya.”[HR Bukhari).

Dari Al Bara’ bin Azib Radiyallahu anhu berkata :

كنا نصلي خلف النبي صلى الله عليه مسلم فإذا قال "سمع الله لمن حمده" لم يحن أحد منا ظهره حتى يضع النبي صلى الله عليه و سلم جبهته على الأرض

“Kami dulu sholat dibelakang Nabi sallalahu alaihi wasallam, apabila beliau mengucapkan “samiallahu liman hamidah” maka tidak seorangpun diantara kami yang membungkuk (untuk sujud) sampai Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam meletakkan dahinya di tanah (sujud). (HR. Bukhari dan Muslim).

Mudah-mudahan kita termasuk keadaan yang keempat, yang sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
...............................................

INVESTASI AKHIRAT 

PEMBEBASAN TANAH UNTUK PENDIDIKAN DAN DAKWAH YAYASAN AL-MUYASSAR BONE

Bank BRI a/n : Yayasan  Al-Muyassar Bone - No Rek  7745-01-006629-53-8

Konfirmasi pengiriman melalui WA atau SMS ke No 0812 4506 1401 / 0852 4707 7349

Senin, 05 Maret 2018

MACAM-MACAM IDDAH

Diantara Macam-macam wanita yang menjalani ’iddah

1. Wanita hamil: ’iddahnya dari kematian atau thalaq atau fasakh (dilepas) adalah sampai melahirkan janin yang telah jelas padanya bentuk manusia, sedangkan masa  minimal hamil adalah enam bulan dari sejak pernikahannya, dan umumnya sembilan bulan. 

Allah Ta’ala berfirman: 

وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan- perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan  kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.(QS. Ath-Thaalaq [65]: 4) 

2. Wanita yang ditinggal wafat suaminya: bila dia hamil maka ’iddahnya sampai melahirkan, namun bila tidak sedang hamil maka ’iddahnya empat bulan sepuluh  hari, dan di dalam masa waktu ini akan jelas hamil atau tidaknya. 

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.  Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.(QS. Al-Baqarah [2]: 234)

3. Wanita yang furqah (berpisah) dengan suaminya yang hidup dengan sebab thalaq tanpa sedang hamil sedang ia adalah wanita yang masih biasa haidl, maka ’iddahnya tiga quru’’ yang sempurna. Adapun bila furqah dengan suaminya itu dengan sebab khulu’ (suami melepaskan istrinya dengan tebusan yang diberikan kepada  suami) atau fasakh (Dilepas) maka ia menjalani ’iddah dengan satu kali haidl.

Allah Ta'ala Berfirman:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

”Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS. [2] Al-Baqarah: 228)

4. Wanita yang furqah (berpisah) dengan suaminya yang hidup sedang ia tidak haidl karena masih anak kecil atau karena sudah putus haidl (monopause) maka ’iddahnya tiga bulan. 

Allah ta’ala berfirman:

وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا .

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan- perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan- perempuan yang tidak haid. dan perempuan- perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan  baginya kemudahan dalam urusannya”.(QS. Ath-Thaalaq [65]: 4)

5. Wanita yang berhenti haidlnya dan ia tidak mengetahui apa penyebab berhentinya maka ’iddahnya satu tahun, yaitu sembilan bulan untuk hamil dan tiga bulan untuk ’iddah. 

6. Istri mafqud, yaitu suami yang terputus kabarnya di mana tidak diketahui apa dia masih hidup atau sudah mati, maka istrinya menunggu kedatangannya atau kejelasan urusannya dalam masa waktu yang ditentukan hakim untuk kehati-hatian pada urusannya, kemudian bila masa waktu itu sudah berlalu dan dia tidak kunjung datang pula maka si hakim menvonis kematiannya, kemudian istrinya menjalani  ’iddah empat bulan sepuluh hari sebagai ’iddah wafat dari sejak waktu putusan (vonis) itu, dan ia boleh menikah setelah habis masa ’iddahnya bila ada mau.

• ’Iddah budak yang dithalaq yang masih biasa haidl dua quru’ (haidl), sedang yang monopause dan yang masih kecil adalah dua bulan, serta yang hamil adalah dengan melahirkan. 

• Bila seorang pria memiliki budak wanita yang bisa digauli maka ia tidak halal menggaulinya sampai menyuruhnya istibra, bila hamil maka dengan melahirkan, dan yang biasa haidl maka dengan satu kali haidl, sedang yang monopause dan yang masih kecil maka dengan berlalu waktu satu bulan. 

• Wanita yang digauli dengan syubhat atau zina atau nikah yang rusak atau wanita yang lepas dengan khulu’ adalah menjalani ’iddah dengan satu kali haidl untuk mengetahui kekosongan rahimnya. 
Dan bila meninggal suami wanita yang dithalaq raji’iy di dalam masa ’iddah thalaq maka ’iddah (thalaqnya) gugur dan mulai dengan ’iddah wafat dari sejak ia meninggal.

Wallahua'lam

✍ Edit : Fathurrohman (SH)
__________________
Maroji : Kitab Mukhtashorul Fiqhil islam, Syaikh Muhammad Bin Ibrahim bin Abdillah At Tuwaijiriy