Rabu, 12 Oktober 2022

RITUAL² KESYIRIKAN* BERKEDOK *KEARIFAN LOKAL* DI *INDONESIA*

AMS
📖📚⚠️🚧⛈️🌊🌪️🌋
⛔#️⃣ *RITUAL² KESYIRIKAN* BERKEDOK *KEARIFAN LOKAL* DI *INDONESIA*

*1️⃣. Gunung Wijil* (tanam kepala kerbau).
*2️⃣. Rebo Wekasan,* Banyuwangi (sesaji kepala sapi).
*3️⃣. Sapar-Saparan,* Banyuwangi (sesaji kepala sapi).
*4️⃣. Ziarah 1 Syuro,* Parangkusumo, Yogyakarta (sesaji kepala sapi).
*5️⃣. Larung sesaji 1 Syuro,* Wonogiri (sesaji kepala sapi).
*6️⃣. Peramaian Tawang,* Kendal (sesaji kepala sapi).
*7️⃣. Nyadran Rowosari,* Kendal (sesaji kepala sapi).
*8️⃣. Sedekah Laut,* Tuban (sesaji kepala sapi).
*9️⃣. Petik Laut,* Situbondo (sesaji kepala sapi).
*1️⃣0️⃣. Korowelang,* Malang (sesaji kepala sapi).
*1️⃣1️⃣. HUT Kota Kediri* (sesaji kepala sapi).
*1️⃣2️⃣. Grebeg Syuro,* Lumajang (sesaji kepala sapi).
*1️⃣3️⃣. Larung sesaji,* Blitar (sesaji kepala sapi).
*1️⃣4️⃣. Sedekah rawa,* Ambarawa (sesaji kepala sapi).
*1️⃣5️⃣. Larung sesaji bumi,* Probolinggo (sesaji kepala sapi).
*1️⃣6️⃣. Hajat Laut,* Pangandaran (sesaji kepala sapi).
*1️⃣7️⃣. Ruwatan,* Tegal (sesaji kepala sapi).
*1️⃣8️⃣. Lomban,* Jepara (sesaji kepala sapi).
*1️⃣9️⃣. Sedekah laut,* Juwana Pati (sesaji kepala sapi).
*2️⃣0️⃣. Petik Laut,* Pasuruan (sesaji kepala sapi).
*2️⃣1️⃣. Sedekah gunung Merapi,* Lencoh Boyolali (sesaji kepala sapi).
*2️⃣2️⃣. Balia,* Palu (sesaji ayam *dan* kambing).
*2️⃣3️⃣. Maudu' Lompoa,* Takalar Sulawesi Selatan (sesaji ayam, julung²).
*2️⃣4️⃣. Sesaji Labuhan,* Yogyakarta.
*2️⃣5️⃣. Sedekah Laut* : Cilacap, Demak, Bantul, Tegal, Pekalongan, Semarang.
*2️⃣6️⃣. Nadran* : Subang, Indramayu, Cirebon, Karawang.
*2️⃣7️⃣. Larung sesaji* : Tuban, Jember.
*2️⃣8️⃣. Petik Laut* : Sumenep, Pamekasan.
*2️⃣9️⃣. Ruwat Laut* : Subang, Pandeglang.
*3️⃣0️⃣. Larung perahu,* Gresik.
*3️⃣1️⃣. Larung sesaji,* Jember.
*3️⃣2️⃣. Labuh saji,* Sukabumi.
*3️⃣3️⃣. Kenduri Laut,* Tapanuli Tengah Sumatera.
*3️⃣4️⃣. Pesta Laut,* Kuala Samboja Kalimantan Timur.
*3️⃣5️⃣. Simah Laut,* Sampit Kalimantan Tengah.
*3️⃣6️⃣. Memberi makan Laut,* Tanah Bumbu Kalimantan Selatan.
*3️⃣7️⃣. Maccera Tasi,* Kotabaru Kalimantan Selatan.
*3️⃣8️⃣. Malarung sikka,* Sulawesi.
*3️⃣9️⃣. Methil,* Surakarta (sesaji hasil bumi).
*4️⃣0️⃣. Sedekah Bumi* (dgn sesaji hasil bumi) : Jepara, Indramayu, Tegal, Solok Sumatera Barat, Losari, Sukabumi, Bogor, Majalengka, Juwana Pati, Surabaya, Banyumas, Grobogan, Cilacap, Ciluwak, Blora, Lamongan, Gresik, Kediri, Sidoarjo, Probolinggo).

🚨🔢🔍 *Jelas sekali* jika *banyak umat muslim* di Indonesia *belum memahami betul* mengenai *esensi ajaran Islam* yg *paling pokok,* yaitu :
☝️ *Tauhid.*

🔠 Dari pihak *masyarakat* menganggap *sesaji* adalah :
➖ *bentuk rasa syukur* kpd *Tuhan,*
➖ *sajian penolak bala* untuk :
😈👻👀 *para lelembut, mbaurekso, penunggu, arwah leluhur, penguasa laut, gunung,* atau *apapun itu.*
🔥 *Padahal* hal semacam itu dlm Islam disebut *Syirik Akbar,* yg bisa *menjadikan para pelakunya :*
➖ menjadi *kafir, murtad,* keluar dari agama Islam.

🗃️ Dari *pihak Pemerintah Daerah* memandang *tradisi², ritual² tsb* sbg :
➖ *lahan pengembangan daerah,* dan
➖ *sumber pendapatan lain* dari *sektor pariwisata,* dgn
✖️ *mengesampingkan* dampak *negatif,* yaitu :
‼️ *merusak* prinsip² *agama.*
❎ *Jika suatu daerah* menjadikan *acara tahunan* dgn *"berhasil"* dan *memancing banyak pengunjung,* hal ini *akan :*
❌ *menarik daerah² lain* untuk *melakukan hal yg sama.*

*Wal iyadzubillah ...*
*_Nas alullaha assalamah wal 'afiah._*

❄️ *Alloh* Subhanahu wa Ta’ala *berfirman :*

إِنَّ *اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ*

🔳 “Sesungguhnya *Alloh :*
➖ *tdk akan* mengampuni *dosa Syirik kpd-Nya,* dan
➖ *Dia akan mengampuni* dosa *selain dari Syirik* itu bagi *siapa* saja *yg dikehendaki-Nya.”* 
📖 *(QS. An-Nisa’ [4] : ayat 48 dan 116).*

إِنَّهُ *مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ*

🟪 “Sesungguhnya *barangsiapa yg mempersekutukan Alloh* maka *sesungguhnya :*
➖ *Alloh* telah *mengharamkan Surga* baginya dan 
➖ *tempat kembalinya* adalah *Neraka,* dan 
➖ *tiada seorang penolongpun* bagi *orang² zholim* tsb.” 
📖 *(QS. Al-Ma’idah [5] : ayat 72).*

وَلَقَدْ *أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ*

🟨 “Dan sungguh *telah diwahyukan kpdmu (Muhammad)* dan kpd *para Nabi sebelum* engkau :
▪️ ‘Jika *kamu berbuat Syirik* maka :
➖ *pastilah seluruh amalmu* akan *lenyap terhapus* dan 
➖ kamu *benar² akan termasuk* orang² *yg merugi.”* 
📖 *(QS. Az-Zumar [39] : ayat 65).*

وَإِذْ *قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ*

🟩 “Sesungguhnya *Syirik itu* adalah :
➖ *kezholiman* yg *sangat besar.”* 
📖 *(QS. Luqman [31] : ayat 13).*

وَقَدِمْنَا *إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً*

🟦 “Dan *Kami* hadapkan *semua amal* yg *mrk kerjakan* lalu :   
➖ *Kami jadikan amal²* itu (bagaikan) *debu² yg beterbangan.”* 
📖 *(QS. Al-Furqon [25] : ayat 23).*

فَمَن *كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً*

🟥 “Maka *barangsiapa* yg *mengharapkan perjumpaan* dgn *Robb-nya :*
➖ hendaklah dia *beramal sholih* dan
➖ *tdk mempersekutukan apapun* dgn *Alloh* dlm beribadah kpd Robb-nya itu.” 
📖 *(QS. Al-Kahfi [18] : ayat 110).*

وَلَئِن *سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ*

🟧 “Dan sesungguhnya *jika kamu tanyakan* kpd *mrk :* 
✳️ *Siapakah* yg *menurunkan air* dari *langit* lalu *menghidupkan dgn air itu bumi* sesudah *matinya?”* 
*️⃣ *Tentu mrk* akan *menjawab :*
*“Alloh”,* 
✴️ *Katakanlah :*
*“Segala puji bagi Alloh,”* tetapi *kebanyakan* mrk *tdk memahaminya.”* 
📖 *(QS. Al-‘Ankabut [29] : ayat 63).*

أَيُشْرِكُونَ *مَا لاَ يَخْلُقُ شَيْئاً وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلاَ يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْراً وَلاَ أَنفُسَهُمْ يَنصُرُونَ*

🟫 *“Apakah mrk* itu *mau mempersekutukan (dgn Alloh)* sesuatu yg :
➖ *tdk bisa menciptakan apa²* dan
➖ *mrk sendiri pun* sebenarnya *diciptakan,* 
➖ mrk *juga tdk sanggup* memberikan *sedikitpun pertolongan* dan 
➖ *tdk bisa* pula *menolong diri* mrk *sendiri.”* 
📖 *(QS. Al-A’rof [7] : ayat 191-192).*

وَمَن *يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً*

⬜ “Dan barang siapa yg *bertawakkal kpd Alloh* (berTauhid *dan* tdk menyandarkan hatinya kpd *selain Alloh)* maka :
➖ *Alloh* akan *mencukupinya.*
➖ Sesungguhnya *Alloh* akan *menyelesaikan urusannya,* dan 
*Alloh* telah *menentukan takdir* dan *ketentuan waktu* bagi segala sesuatu.” 
📖 *(QS. Ath-Tholaq [65] : ayat 3).*

فَلْيَحْذَرِ *الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ*

⬛ *“Maka* hendaklah merasa *takut :*
▪️ orang² yg *menyelisihi urusan Rosul* kalau² *mrk* itu :
➖ akan *tertimpa fitnah (bala/bencana)* atau
➖ *siksa* yg *sangat pedih.”* 
📖 *(QS. An-Nur [24] : ayat 63).*
*_______________*

Kamis, 08 September 2022

MELURUSKAN AKIDAH YANG BATIL DALAM TRADISI BARZANJI DAN PERINGATAN MAULID NABI

Bismillah..
MELURUSKAN AKIDAH YANG BATIL DALAM TRADISI BARZANJI DAN PERINGATAN MAULID NABI

➖➖ gabung SALAFIYYIN
https://www.facebook.com/groups/331321262519998/?ref=share_group_link
Kitab Al Barzanji yang selalu dibaca dalam Bahasa Arab oleh orang yang tidak mengerti Bahasa Arab membuat kita tidak tahu isi kandungan kitab tersebut, sehingga alasan seseorang yang membaca untuk mengetahui sejarah hidup Nabi dan mengetahui sifat-sifat Nabi hanyalah dusta, karena darimana ditahu sejarah dan sifat-sifat Nabi kalau yang dibaca tidak dipahami isinya.

Begitupun peringatan maulid Nabi yang dihiasi dengan makanan dan uang, membuat kita tidak sanggup melihat kebenaran dan yang nampak hanyalah enaknya makan bersama dan amplop penceramah, tanpa peduli dalil-dalil yang dilanggar, karena ini termasuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir yang telah lebih dulu melakukan perayaan Natal. Karena sudah terlanjur cinta pada tradisi ini maka dicari-carikanlah dalil pembenaran bahkan dengan hadis yang palsu. 

 Dalam tradisi barzanji dan mauludan terdapat beberapa akidah yang perlu diluruskan,  karena akidah yang batil dan bisa menyeret kepada kesyirikan. Akidah-akidah tersebut, antara lain: 

1. Mensifati Nabi Muhammad sebagai "Cahaya di atas cahaya", cahaya yang berpindah-pindah dari nabi ke nabi, mulai dari Nabi Adam dan ke Nabi Muhammad.Akidah ini diajarkan dalam Kitab Al Barzanji.

 Akidah seperti ini bertentangan dengan ajaran Allah dalam Al Quran. Yang memiliki sifat "Cahaya di atas cahaya" hanyalah Allah. Allah memberi petunjuk kepada Cahaya-Nya bagi yang Dia kehendaki (QS. An Nur:35). 

Jadi menyifati Nabi Muhammad dengan sifat Allah tersebut itu menyeret kepada syirik, karena mengagung- agungkan Nabi Muhammad seperti halnya umat Nasrani yang ghuluw terhadap Nabi Isa. Allah dan Rasul melarang kita bersifat ghuluw (berlebihan) terhadap Nabi Muhammad. 

2. Meyakini bahwa Nabi Muhammad menghadiri acara perayaan ulang tahunnya.  Akidah ini batil/hoax karena Nabi Muhammad telah lama wafat, sedangkan roh manusia yang telah wafat telah terkunci di alam kubur sehingga tidak bisa kemana-mana sampai datangnya kiamat (simak QS. Al Mu'minuun:100) dan perjalanan roh manusia setelah meninggalkan tubuhnya (HR. Ahmad).

 Kalaupun ada yang mengaku melihat didatangi sosok yang mengaku Nabi Muhammad maka itu hanyalah tipu daya setan untuk menyesatkan manusia. Nabi tidak pernah hadir di hadapan para sahabat atau istri-istri yang mencintai dan dicintainya,atau tidak pernah hadir di hadapan para perawih hadisnya atau pada keempat imam mazhab yang amat berjasa dalam menegakkan sunnahnya. 

3. Peringatan maulid Nabi untuk mengundang kecintaan dan safaat Nabi, Nabi cinta sebagaimana  kecintaan pelaku dan Nabi gembira sebagaimana kegembiraan pelaku. Nabi telah memerintahkan umatnya untuk menjauhi segala perkara baru yang diada-adakan (bid'ah). Jadi tidaklah mungkin akan mencintai amalan atau pelaku amalan yang dibuat-buat oleh Abu Ubaid pada ke-4 Hijriyah. 

Tidaklah mungkin Nabi akan bergembira melihat umatnya bergembira melakukan peringatan maulid yang menyerupai kaum Nasrani, karena Nabi telah menyatakan "Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka termasuklah ia bagian dari kaum itu" (HR. Abu Dawud). Yang dicintai Nabi adalah amalan- amalan sunnah.

Andaikan Nabi bisa bangkit dari kuburnya dan melihat amalan umatnya, tentu akan bergembira melihat umatnya memenuhi masjid  untuk shalat berjamaah bukan untuk perayaan ulang tahunnya. Nabi tidak tahu bahwa umatnya sekarang telah mengikuti kaum Nasrani untuk memperingati hari ulang tahun Nabi yang tidak pernah diajarkan dan tidak pula dilakukan oleh para sahabatnya. 

4. Acara barzanji dan maulid Nabi dapat mendatangkan berkah bagi pelaku. Salah satu berkah dari suatu amalan adalah pahala dan meningkatnya keimanan dan ketakwaan. Peringatan maulid tidak mengandung berkah karena bukan amalan yang disyariatkan, kalau ada shalawat namun itu shalawat yang dibuat-buat dan Nabi telah menyatakan "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada atasnya syariat kami maka tertolak" (HR. Muslim), dan buktinya justru yang suka melakukan peringatan maulid yang malas shalat berjamaah di masjid. Melakukan peringatan maulid dengan keyakinan akan mendapatkan berkah seperti rezki lancar, terhindar dari bahaya maka itu sudah masuk perangkap syirik. 

5. Pembacaan doa dengan perantara orang- orang yang telah mati, seperti Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi. Berdoa dengan bertawassul pada orang mati ditemukan dalam Kitab Al Barzanji. 

Membaca doa dengan bertawassul kepada orang yang telah mati tidak disyariatkan, dan justru akan menyeret pada syirik karena meyakini adanya pengaruh orang mati tersebut terhadap keputusan Allah untuk mengabulkan doa, padahal Allah satu dalam keputusannya,berarti meyakini adanya kekuatan yang dimiliki orang mati tersebut untuk mendatangkan suatu kebaikan. Yang dibolehkan sebagai perantara doa adalah orang saleh yang masih hidup atau yang sedang musafir, bertawassul dengan amal ibadah, bertawassul dengan nama-nama Allah yang agung (QS. Al A'raaf:180).

6. Nabi Muhammad menikmati makanan yang dipersembahkan kepadanya. Mempercayai orang mati akan menikmati makanan persembahan orang hidup adalah akidah jahiliyah. Nabi Muhammad dengan hidup nyaman di alam kubur dengan segala kenikmatan dan tidak ada lagi hubungan dengan orang-orang hidup di dunia kecuali dengan memperbanyak shalawat kepadanya. Makanan Rasul di alam kubur jauh lebih nikmat daripada makanan orang dunia. Yang akan menikmati makanan persembahan itu hanyalah jin-jin setan.

 Persembahan makanan/sesajen kepada sesuatu yang gaib untuk mendapatkan berkah adalah salah satu bentuk syirik yang wajib kita jauhi karena syirik bisa menghapus pahala ibadah (QS. Az Zumar:65).

 Bila ada di antara saudara yang memilki akidah-akidah di atas maka marilah kita belajar tauhid dan memperbaiki kalimat sahadat kita, agar bebas dari akidah-akidah batil. Semoga Allah melindungi kita dari akidah-akidah batil.

Bila postingan ini ada yang dianggap keliru maka silahkan ditanggapi secara dewasa dan ilmiah, yaitu dengan dalil...

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
🛑🛑📩 Mau dapat ilmu ❓
Silahkan gabung *GRUP MANHAJ SALAF*
klik link dibawah ini:
👇👇👇👇👇👇👇
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3308025979449163&id=100007253799836

Sabtu, 21 Mei 2022

Hubungan Intim Setelah Bercerai

Hubungan Intim Setelah Bercerai_✍

𝗠𝗜𝗗𝗕

⁣𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗮𝗻 :

Ustadz, jika ada suami-istri, keduanya dari keluarga baik-baik. Setelah menikah beberapa tahun, istrinya minta cerai, hingga diurus di pengadilan, akhirnya suaminya menceraikannya. Kurang lebih 2 bulan, mereka bertemu kembali, dan pergi bersama jauh dari keluarga.

Sampai akhirnya terjadi hubungan intim dan hamil. Si istri sangat bingung dengan status anak ini. Apakh itu hubungan yang sah atau zina? Hingga keluarganya memisahkannya, karena belum ada kejelasan. Semua pada bingung. Mohon pencerahannya jika ada kejadian seperti ini, apa yang harus dilakukan?

Trim’s
⁣⁣___________

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯 :
⁣⁣
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Ibnul Qoyim dalam bukunya Miftah Dar As-Sa’adah, 1:129 menyebutkan lebih dari 30 perbandingan keutamaan antara ilmu dan harta. Salah satunya, beliau menyatakan,

العلم يحرس صاحبه وصاحب المال يحرس ماله

Ilmu akan melindungi pemiliknya, sementara pemilik harta, dia sendiri yang melindungi hartanya.

Dan demikianlah realitanya, seorang yang berilmu, dalam setiap gerakan hidupnya akan dipandu dengan aturan yang dia pahami. Dia bisa bergerak sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Dengan demikian, dia bisa menjalankan segala aktivitasnya dengan tenang, tanpa diiringi kegalauan.

Berbeda dengan orang yang tidak berilmu, tidak memiliki banyak pengetahuan tentang aturan Allah, hidupnya akan diliputi kebimbangan. Cemas, jangan-jangan saya melanggar, jangan-jangan ibadah saya batal, jangan-jangan tidak sah. Belum lagi ketika ada masalah, seperti ini apa yang harus saya lakukan? Kemana saya harus mencari jawaban? dst.  Kita tidak bisa membayangkan, betapa resahnya dan bimbangnya keluarga di atas. Mereka akan dibayangi kebingungan, antara zina dan bukan zina.

Karena itulah, Allah tegaskan bahwa orang yang berilmu akan mendapatkan ketenangan,

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan dzikrullah hati ini menjadi tenteram.” 
(📖QS. Ar-Ra’du: 28)

Tentang makna dzikrullah ada 2 keterangan ahli tafsir,👇

▪a. Makna yang umum kita dengar, dzikrullah artinya mengingat Allah dengan memujinya dan mengucapkan lafal-lafal dzikir lainnya.

▪b. Dzikrullah: peringatan dari Allah, Alquran dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, semua aturan Allah. Karena orang yang memahami, akan bisa bersikap dengan tenang, tidak ragu, karena dipandu aturan Allah.

(📚simak Zadul Masir, 2:494).

Setidaknya, keterangan ini bisa memberi motivasi kita untuk menghiasi seluruh hidup kita dengan ilmu agama. Berusaha mendekati dan memahami aturan syariat. Setidaknya dalam rangka menghilangkan kebodohan dalam diri kita. Karena semua manusia dilahirkan dari rahim ibunya, tidak tahu apapun sama sekali.

Insya Allah, kita akan bisa merasakan betapa tenangnya hidup dengan aturan syariat. Beribadah tenang, shalat tenang, bahkan ketika lupa di tengah-tengah shalat pun Anda tenang, karena Anda paham teori sujud sahwi. Beda dengan yang tidak tahu teorinya, ketika lupa dalam shalat, dia akan kebingungan, apa yang harus dia lakukan. Kebanyakan, solusi yang dilakukan adalah membatalkan shalatnya.

Selanjutnya, kita fokuskan pada pembahasan untuk kasus di atas.

Ada beberapa pengantar yang bisa dicatat terkait kasus di atas:👇

➡Pertama, talak, dilihat dari kemungkinan rujuk dan tidaknya, ada 2:👇

▪a. Talak raj’i: talak yang masih memungkinkan untuk rujuk, selama istri masih menjalani masa iddah. Talak yang masih memungkinkan untuk rujuk hanya untuk talak pertama dan kedua. Allah berfirman,

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ

“Talak itu dua kali…” 
(📖QS. Al-Baqarah: 229)

Kata para ahli tafsir, talak itu dua kali, maksudnya adalah talak yang masih memungkinkan untuk rujuk. 
(📚Tafsir Jalalain, hlm. 235).

▪b. Talak ba’in: talak yang tidak ada lagi kesempatan untuk rujuk. Talak ba’in ada 2:👇

· Ba’in sughra: ini terjadi ketika seorang suami mentalak istrinya, pertama atau kedua, dan sampai masa iddah selesai, dia tidak merujuk istrinya.

· Ba’in kubro: talak untuk yang ketiga kalinya.

➡Kedua, selama menjalani masa iddah untuk talak pertama dan kedua, status mereka masih suami istri. Karena itu, suami boleh melihat aurat istri dan sebaliknya, demikian pula, suami tetap wajib memberi nafkah istrinya yang sedang menjalani masa iddah.

Allah berfirman,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

“Suaminya itu lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya selama masa iddah itu, jika mereka menginginkan kebaikan.” 
(📖QS. Al-Baqarah: 228)

Syaikh Mustofa al-Adawi mengatakan, “Allah Ta’ala menyebut suami yang menceraikan istrinya yang sedang menjalani masa iddah dengan “suaminya” (suami bagi istrinya).” (📚Jami’ Ahkam an-Nisa, 511)

➡Ketiga, selama menjalani masa iddah talak pertama dan kedua, bolehkah mereka melakukan hubungan badan?

Sebagian ulama menegaskan, jika seorang suami menceraikan istrinya, talak satu atau talak dua, kemudian dia melakukan hubungan badan, maka itu tidak dianggap zina, artinya statusnya hubungan yang halal, dan hubungan badan yang dia lakukan sekaligus mewakili rujuknya.

Sayyid Sabiq dalam karyanya, Fiqh Sunnah mengatakan:

وتصح المراجعة بالقول. مثل أن يقول: راجعتك، وبالفعل، مثل الجماع، ودواعيه، مثل القبلة، والمباشرة بشهوة.

“Rujuk bisa dilakukan dengan ucapan, seperti, seorang suami mengatakan kepada istrinya: ‘Saya rujuk kepadamu.’ Bisa juga dengan perbuatan, misalnya dengan hubungan badan, atau pengantar hubungan badan, seperti mencium atau mencumbu dengan syahwat.” (📚Fiqh Sunnah, 2:275).

Inilah yang menjadi pendapat madzhab hambali. Dalam Mausu’ah Fiqhiyah dinyatakan:

تَصِحُّ الرَّجْعَةُ عِنْدَهُمْ بِالْوَطْءِ مُطْلَقًا سَوَاءٌ نَوَى الزَّوْجُ الرَّجْعَةَ أَوْ لَمْ يَنْوِهَا وَإِنْ لَمْ يُشْهِدْ عَلَى ذَلِكَ

Rujuk sah menurut mereka (hambali) dengan hubungan badan secara mutlak. Baik suami berniat untuk rujuk atau tidak niat, meskipun tidak ada saksi dalam hal ini 
(📚Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:111).

Alasan madzhab hambali:👇

Sesungguhnya masa iddah merupakan penantian untuk berpisah dengan istri yang ditalak, dimana ketika masa iddah selesai, maka terhalang kebolehan untuk rujuk. Karena itu, jika iddah belum selesai dan suami menggauli istrinya di masa ini, maka istri berarti kembali kepadanya. Status hukum ini sama dengan hukum ila’ (suami bersumpah untuk tidak menggauli istri). Jika seorang suami melakukan ila’ terhadap istrinya, kemudian dia menyetubuhi istrinya maka hilang status hukum ila’. Demikian pula untuk talak yang masih ada kesempatan untuk rujuk, jika suami berhubungan dengan istrinya di masa iddah maka istrinya telah kembali kepadanya 
(📚Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:112).

Dengan memahami pengantar di atas, kita bisa mengambil kesimpulan hukum untuk kasus yang ditanyakan. Bahwa jika cerai yang dijatuhkan sang suami baru cerai pertama, atau kedua, dan istri masih menjalani masa iddah (selama 3 kali haid), maka hubungan badan yang terjadi bukan zina, dan anak yang dikandung berhak dinasabkan kepada ayahnya. Dan dengan kejadian ini, mereka dianggap rujuk dan kembali menjadi suami istri.

Sebaliknya, jika cerai yang terjadi adalah cerai ba’in, cerai ketiga atau telah selesai masa iddah maka hubungan yang dilakukan adalah hubungan di luar nikah, dan sang anak statusnya anak hasil zina, yang hanya bisa dinasabkan ke ibunya, karena dia tidak memiliki ayah.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Read more https://konsultasisyariah.com/18476-hukum-hubungan-intim-setelah-bercerai.html

Follow : https://www.facebook.com/MemahamiIslamDenganBenar/
.
.

Kamis, 05 Mei 2022

MAKOM SESUAI MAZHAB EMPAT

Masa Kelam Masjidil Haram

Oleh Prof Al Yasa‘ Abubakar* 

SEKITAR tahun 500 hijriah kaum muslimin di Masjid Haram mulai terpecah ke dalam lima jamaah ketika menunaikan shalat fardhu dan berakhir tahun 1926 di akhir abad ke tiga belas hijriah, ketika Dinasti (Keluarga) Sa‘ud merebut Makkah dari kekuasaan Dinasti Syarif Husein.

Jadi masa kelam tersebut berlangsung sekitar 700 tahun. Keadaan tidaklah sama sepanjang rentang yang disebutkan itu. Buku-buku kisah perjalanan ini menjelaskan bahwa mazhab Syi‘ah sering tidak diberi izin mendirikan jamaah sendiri, dan begitu pula mazhab Hanbali pernah bergabung dengan mazhab Syafi‘iyah.

Namun buku-buku kisah perjalanan ini menyatakan sejak abad ketujuh hijriah (14 Masehi), empat imam telah mempunyai mihrab, pada empat tempat di atas dan yang paling mewah adalah mihrab mazhab Hanafi.

Para raja dan penguasa muslim di berbagai belahan dunia mengirimkan sejumlah uang untuk membuat mihrab dan mempercantik sisi-sisi Masjid Haram yang menjadi bagian mazhabnya. Karena wilayah muslim yang kaya di berbagai belahan dunia diperintah oleh raja-raja bermazhab Hanafi, misalnya saja Turki Usmani dan India Mughal, maka wajar sekiranya mihrab dan sisi Masjid Haram yang digunakan kalangan Hanafi lebih mewah dari mihrab dan bagian masjid lainnya.

Berdasarkan pengelompokan ini, maka jamaah yang masuk ke Masjid Haram pun mungkin sekali sejak dari daerah asalnya sudah diarahkan untuk mencari sisi yang sesuai dengan posisi imamnya untuk memudahkan mereka mengikuti shalat berjamaah. Karena itu tentu dapat dimaklumi sekiranya kaum muslimin dari Indonesia sangat menonjolkan hadis yang mengutamakan ‘Babus Salam’ sebagai pintu masuk pertama (utama) ke Masjid Haram, karena pintu ini berada di belakang mihrab imam bermazhab Syafi`, sehingga dengan demikian mereka tidak akan tersesat ke jamaah bermazhab lain. Sedang saudara kita bermazhab Maliki akan mencari ‘Bab Malik’ untuk masuk pertama karena pintu ini berada di belakang mihrab imam yang bermazhab Maliki. Begitu juga saudara kita bermazhab Hanafi akan mencari ‘Bab Umrah’ dengan alasan yang lebih kurang sama.

Pada tahun 1926 (akhir abad ke 13 Hijriah), ketika Dinasti Sa‘ud dengan dukungan ulama Wahabiah merebut Makkah dari kekuasaan Dinasti Syarif Husein, mereka langsung menggabung seluruh jamaah

shalat di Masjid Haram menjadi satu jamaah dengan satu orang imam. Ulama Wahabi dan Raja Saudi, menghancurkan empat mihrab yang ada, yang mungkin sekali mereka anggap sebagai lambang perpecahan umat Islam, dan lebih dari itu mereka hapus semua jejak yang dapat memberi petunjuk tentang adanya pengelompokan jamaah berdasar mazhab.

Penghapusan jamaah berdasar mazhab oleh penguasa Makkah dan ulama Wahabiah di atas disesalkan oleh sebagian tokoh dan umat Islam. Kuat dugaan mereka kecewa karena keberadaan dan keagungan mazhab tidak terlihat lagi di Masjid Haram. Tidak bermanfaat lagi menunjukkan rasa fanatik kepada mazhab, dan tidak ada gunanya menunjukkan identitas diri sebagai pengikut mazhab tertentu. Boleh jadi kelompok fanatik mazhab ini tidak puas, ketika mereka melihat jamaah yang datang ke Masjid Haram diberi kesempatan luas untuk menyatu dan berbaur. Mungkin sekali para pengikut mazhab yang fanatik ini tidak melupakan ruh dan inti ajaran Islam bahwa kedekatan dan kesamaan antar jamaah yang berasal dari berbagai belahan dunia dan berbagai mazhab sebagai umat Islam adalah lebih banyak dan harus lebih menonjol dibandingkan dengan perbedaan karena mereka menjadi pengikut mazhab yang berbeda-beda.

Sebagian dari kekecewaan ini dilampiaskan dengan mencela dan menjelekkan ulama dan mazhab wahabiah secara tidak benar dan berlebih-lebihan, bahkan ada yang sampai ke tingkat melemparkan fitnah, bahwa wahabiah bukan ahlussunnah wal jamaah. Bahkan ada yang berfatwa bahwa buku-buku karangan ulama wahabiah tidak boleh dibaca; berbahaya karena mengandung banyak kesesatan yang dapat merusak akidah dan ibadah. Sedang sebenarnya, walaupun mengaku tidak bermazhab bahkan menolak pengkotak-kotakan jamaah berdasar mazhab di Masjid Haram, wahabiah termasuk juga sebagai pengikut ahlussunnah wal jamaah. Penulis yakin, semua ulama yang mau membaca dan memahami sejarah secara terbuka, akan sepakat bahwa wahabiah masuk ke dalam salafiah, yaitu pengikut para Sahabat ra, kelompok yang mengikuti pemikiran dan pendapat para ulama sebelum mazhab empat lahir. Sedang sebagian saudara kita yang berafiliasi kepada salah satu mazhab empat tidak ragu bahkan mungkin dengan bangga mengaku juga sebagai pengikut salafiah, dan itu tidaklah salah.

Tetapi pengakuan mereka ini tentu harus dipahami sebagai pengikut salafiah yang bermazhab. Jadi ada salafiah yang tidak menjadi pengikut mazhab empat dan ada salafiah yang menjadi pengikut mazhab empat. Sedang salafiah adalah bagian dari ahlussunnah wal jamaah. Dengan demikian wahabiah termasuk juga ke dalam ahlussunnah wal jamaah, sebagaimana pengikut mazhab empat pun termasuk ke dalam ahlussunnah wal jamaah. Mempersempit isi ahlussunnah wal jamaah sehingga hanya terbatas pada mazhab atau kelompoknya sendiri, dan menyalahkan semua kelompok lain yang berbeda, walaupun menurut jumhur masuk juga ke dalam ahlussunnah wal jamaah adalah kekeliruan fatal dan ketidakbenaran, yang seharusnsya tidak dilakukan oleh ulama yang bertanggung jawab.

Semoga jamaah yang menunaikan shalat fardhu di Masjid Haram dapat menikmati dan mensyukuri adanya kesatuan jamaah dengan komando satu imam sebagai lambang persatuan, dan tidak ada lagi yang berharap agar shalat di Masjid Haram kembali ke masa kelam, masa ketika imamnya ada lima dan jamaahnya pun menjadi terkotak-kotak menjadi lima bahkan lebih. Hendaknya semua kita berdoa agar masa kelam ketika para pengikut mazhab harus mencari kapling yang khusus untuk mazhabnya sendiri dan merasa bersalah atau bahkan merasa tersesat ketika masuk ke kapling jamaah dari mazhab yang berbeda, tidak akan terulang lagi di Masjid Haram yang kita muliakan dan kita rindukan itu. Semoga semua kita mau berdoa agar di tengah masyarakat kita tidak ada lagi orang yang suka menuduh kafir atau sesat kelompok yang kebetulan berbeda dengan dia, sebelum dilakukan penelitian secara objektif dan sungguh-sungguh.

Lebih dari itu, marilah kita berdoa agar toleransi, kelapangan dan kemudahan yang diajarkan Rasulullah dan para ulama termasuk para ulama pendiri mazhab dalam mengamalkan ajaran Islam khususnya dalam beribadat, menjadi tema utama para penceramah dan khatib kita, dan lebih dari itu dapat kita wujudkan di tengah masyarakat kita.

*Penulis adalah Direktur Program Pascasarjana IAIN Ar Raniry, Banda Aceh.

Dikutip dari : serambinews

Selasa, 19 April 2022

SETIAP BERDO’A HARUSKAH MENGANGKAT TANGAN.?

Bismillahirrahmanirrahim. 
📙 FIQIH BERDO'A 📙 

💥SETIAP BERDO’A HARUSKAH MENGANGKAT TANGAN.?

Oleh : Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Belum banyak dipahami sebagian orang. Mereka menganggap bahwa setiap berdoa harus mengangkat tangan, semacam ketika berdoa sesudah shalat. 
Untuk lebih jelas marilah kita melihat beberapa penjelasan berikut. 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanyakan : “Bagaimanakah kaedah (dhobith) mengangkat tangan ketika berdo’a? (Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 51/13, Asy Syabkah Al Islamiyah). 

Beliau rahimahullah menjawab dengan rincian yang amat bagus : Mengangkat tangan ketika berdo’a ada tiga keadaan :  
 
PERTAMA. 
Ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. 
Kondisi ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat tangan ketika berdo’a. 
Contohnya adalah ketika berdo’a meminta diturunkannya hujan. 
Jika seseorang meminta hujan pada khutbah jum’at atau khutbah shalat istisqo’, maka dia hendaknya mengangkat tangan. 
Contoh lainnya adalah mengangkat tangan ketika berdo’a di Bukit Shofa dan Marwah, berdo’a di Arofah, berdo’a ketika melempar Jumroh Al Ula pada hari hari tasyriq dan juga Jumroh Al Wustho.  
Oleh karena itu, ketika menunaikan haji ada enam tempat (yang dianjurkan) untuk mengangkat tangan (ketika berdo’a) yaitu :  
[1] Ketika berada di Shofa
[2] Ketika berada di Marwah,  
[3] Ketika berada di Arofah. 
[4] Ketika berada di Muzdalifah setelah shalat shubuh,  
[5] Di Jumroh Al Ula di hari-hari tasyriq,  
[6] Di Jumroh Al Wustho di hari-hari tasyriq.  
Kondisi semacam ini tidak diragukan lagi dianjurkan untuk mengangkat tangan ketika itu karena adanya petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini.  
 
KEDUA  
Tidak ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. 
Contohnya adalah do’a di dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a istiftah : Allahumma ba’id baini wa baina khothoyaya kama ba’adta bainal masyriqi wal maghribi …; juga membaca do’a duduk di antara dua sujud : Robbighfirli; juga berdo’a ketika tasyahud akhir; namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan pada semua kondisi ini. 
Begitu pula dalam khutbah Jum’at, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya kecuali jika meminta hujan (ketika khutbah tersebut). Barangsiapa mengangkat tangan dalam kondisi kondisi ini dan semacamnya, maka dia telah terjatuh dalam perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bid’ah) dan melakukan semacam ini terlarang.  
 
KETIGA 
Tidak ada dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ataupun tidak. 
Maka hukum asalnya adalah mengangkat tangan karena ini termasuk adab dalam berdo’a. 
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesunguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. 
Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa..”  
(HR. Abu Daud No. 1488 dan At Tirmidzi No. 3556. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih) 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menceritakan seseorang yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan penuh debu, lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya mengatakan : “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” 
Padahal makanannya itu haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dari yang haram. Bagaimana mungkin do’anya bisa dikabulkan?
 (HR. Muslim No. 1015)

Dalam hadits tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mengangkat kedua tangan sebagai sebab terkabulnya do’a. 
Inilah pembagian keadaan dalam mengangkat tangan ketika berdo’a. 
Namun, ketika keadaan kita mengangkat tangan, apakah setelah memanjatkan do’a diperbolehkan mengusap wajah dengan kedua tangan? 
Yang lebih tepat adalah tidak mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sehabis berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if) yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). 
Apabila kita melihat seseorang membasuh wajahnya dengan kedua tangannya setelah selesai berdo’a, maka hendaknya kita jelaskan padanya bahwa yang termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengusap wajah setelah selesai berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if).  
 
HUKUM MENGANGKAT TANGAN UNTUK BERDO'A SETELAH SHALAT FARDHU 
 
Pembahasan berikut adalah mengenai hukum mengangkat tangan untuk berdo’a sesudah shalat fardhu. 
Berdasarkan penjelasan di atas, kita telah mendapat pencerahan bahwa memang mengangkat tangan ketika berdo’a adalah salah satu sebab terkabulnya do’a. 
Namun, apakah ini berlaku dalam setiap kondisi? 
Sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas bahwa hal ini tidak berlaku pada setiap kondisi. 
Ada beberapa contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengangkat tangan ketika berdo’a. Agar lebih jelas, mari kita perhatikan penjelasan Syaikh Ibnu Baz mengenai hukum mengangkat tangan ketika berdo’a sesudah shalat. Beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan :

Tidak disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan (ketika berdo’a) pada kondisi yang kita tidak temukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan pada saat itu. Contohnya adalah berdo’a ketika selesai shalat lima waktu, ketika duduk di antara dua sujud (membaca do’a robbighfirli, pen) dan ketika berdo’a sebelum salam, juga ketika khutbah jum’at atau shalat ‘ied. 
Dalam kondisi seperti ini hendaknya kita tidak mengangkat tangan (ketika berdo’a) karena memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan kita dalam hal ini. 
Namun ketika meminta hujan pada saat khutbah jum’at atau khutbah ‘ied, maka disyariatkan untuk mengangkat tangan sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka ingatlah kaedah yang disampaikan oleh beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) berikut :

“Kondisi yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan, maka tidak boleh bagi kita untuk mengangkat tangan. 
Karena perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam termasuk sunnah, begitu pula apa yang beliau tinggalkan juga termasuk sunnah.”

Bagaimana Jika Tetap Ingin Berdo’a Sesudah Shalat? Ini dibolehkan, namun setelah berdzikir, dengan catatan tidak dengan mengangkat tangan. 
Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/178) mengatakan :

“Begitu pula berdo’a sesudah shalat lima waktu setelah selesai berdzikir, maka tidak terlarang untuk berdo’a ketika itu karena terdapat hadits yang menunjukkan hal ini. 
Namun perlu diperhatikan bahwa tidak perlu mengangkat tangan ketika itu. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian. 
Wajib bagi setiap muslim senantiasa untuk berpedoman pada Al Kitab dan As Sunnah dalam setiap keadaan dan berhati-hati dalam menyelisihi keduanya. 
Wallahu waliyyut taufik.”

Mengangkat Tangan Untuk Berdo’a Sesudah Shalat Sunnah, 
Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan : 
Adapun shalat sunnah, maka aku tidak mengetahui adanya larangan mengangkat tangan ketika berdo’a setelah selesai shalat. Hal ini berdasarkan keumuman dalil. 
Namun lebih baik berdo’a sesudah selesai shalat sunnah tidak dirutinkan. 
Alasannya, karena tidak terdapat dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini. 
Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, maka hal tersebut akan dinukil kepada kita karena kita ketahui bahwa para sahabat –radhiyallahu ‘anhum jami’an- rajin untuk menukil setiap perkataan atau perbuatan beliau baik ketika bepergian atau tidak, atau kondisi lainnya. 
Adapun hadits yang masyhur (sudah tersohor di tengah-tengah umat) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Di dalam shalat, seharusnya engkau merendahkan diri dan khusyu’. 
Lalu hendaknya engkau mengangkat kedua tanganmu (sesudah shalat), lalu katakanlah : Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah), sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab dan ulama lainnya. Wallahu waliyyut taufiq.  
 
Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima. Yang selalu mengharap kan ampunan dan rahmat Rabbnya.  
Barakallahu fiikum.

PULANG LAH NAK, BERBAKTI PADA IBU-MU

Bismillaah

PULANG LAH NAK, BERBAKTI PADA IBU-MU

Semua orang tua pasti ingin dekat dengan anak-anaknya, terutama di masa tua dan masa sepuh mereka. Setiap orang tua, terutama ibu pasti sangat ingin berada bersama anak-anak yang sangat ia cintai. Tidak jarang sang ibu meminta anaknya agar tidak tinggal jauh darinya atau agar tidak tinggal di luar kota, atau sang ibu meminta anaknya agar segera pulang ke kampung masa kecilnya untuk menemani orang tua dan ibunya.

Kasih Sayang Ibu Tidak Lekang Oleh Jarak dan Waktu

Sekiranya sang ibu mengatakan:
“Ibu sih terserah kamu nak, jika di kota A kamu lebih sukses, ibu hanya bisa mendoakan kamu dari kampung masa kecilmu ini”

Ketauhilah, ketika engkau memilih bertahan di kota A, hati ibumu sangat kecewa sekali tetapi ia berusaha menguatkan diri dan tersenyum di depan mu dan tentunya selalu mendoakanmu, buah hati tercinta.

Saudaraku, meskipun kita sukses di kota A atau merasa sangat senang dan nyaman tinggal di kota A, jika engkau ada kesempatan tinggal bersama orang tua khususnya ibumu, maka pulang lah, temani ibumu dan berbaktilah. Mereka lah yang menjadikan engkau suskes dan berhasil dengan izin Allah

Catatan: berbakti pada ibu adalah prioritas utama anak laki-laki, adapun anak perempuan yang sudah menikah, maka ia mengikuti suaminya.

Jangan Sia-Siakan Kesempatan Berbakti Kepada Ibu

Berbaktilah kepada kedua orang tua kita, terutama ibu, karena berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang paling mudah memasukkan seseorang ke surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪُ ﺃَﻭْﺳَﻂُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺄَﺿِﻊْ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﺒَﺎﺏَ ﺃَﻭِ ﺍﺣْﻔَﻈْﻪُ

Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya. (HR. Ahmad, hasan)

Maksud pintu yang paling tengah adalah pintu yang palong mudah dimasuki. Perhatikan jika ada tembok di depan kita, lalu ada pintu di tengah, di samping pinggir kanan dan kiri, tentu secara psikologi kita akan pilih yang tengah karena mudah untuk memasukinya.

Mengapa mudah berbakti pada orang tua, terurama ketika mereka sudah tua? Karena orang yang sudah tua sudak tidak menginginkan “gemerlapnya dunia” lagi.

Ibu Merindukan Kehadiranmu, Nak!

Mereka sudah tidak minta pada anaknya makanan-makanan lezat karena lidah mereka mungkin sudah kaku
Mereka sudah tidak minta pada anaknya jalan-jalan yang jauh karena kaki sudah mulai rapuh
Mereka sudah tidak minta kepada anaknya perhiasan dunia karena mata mulai merabun

Yang mereka inginkan hanyalah engkau menemani mereka, mengajak ngobrol, membawa cucu-cucu mereka untuk bermain dengan mereka. Suatu perkara yang cukup mudah dengan balasan yang surga Allah

Saudaraku, karenanya sangat celaka seseorang yang mendapati kedua orang tuanya sudah tua dan sepuh tetapi tidak masuk surga, karena tidak memanfaatkan amalan yang cukup mudah yaitu berbakti kepada mereka kemudian masuk surga.

Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [HR. Muslim 2551]

Baktimu untuk Ibu adalah Kewajiban

Perintah berbakti kepada orang tua terutama ibu

Allah memerintahkan kepada kita dalam Al-Quran agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bagaimana pengorbanan dan perjuangan ibu untuk anaknya. Beliau menafsirkan,

وقال هاهنا {ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن} . قال جاهد: مشقة وهن الولد. وقال قتادة: جهدا على جهد. وقال عطاء الخراساني: ضعفا على ضعف

“Mujahid berkata bahwa yang dimaksud [“وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ”] adalah kesulitan ketika mengandung anak. Qatadah berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dengan penuh usaha keras. ‘Atha’ Al Kharasani berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.”[Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim 6/336,]

Demikian juga firman Allah,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Al-Ahqaaf : 15)

Pengorbanan Ibu Tidak Akan Terbalas

Diriwayatkan Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang yaman itu bersenandung,

إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.

Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.

Orang itu lalu bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”[Adabul Mufrad no. 11, shahih]

Az-Dzahabi rahimahullah menyusun sebuah tulisan yang sangat menyentuh mengenai jasa dan pengorbanan ibu dan motivasi agar kita berbakti pada ibu. Beliau berkata,

حملتك في بطنها تسعة أشهر كأنها تسع حجج و كابدت عند الوضع ما يذيب المهج و أرضعتك من ثديها لبنا و أطارت لأجلك وسنا و غسلت بيمينها عنك الأذى و آثرتك على نفسها بالغذاء و صيرت حجرها لك مهدا و أنالتك إحسانا و رفدا فإن أصابك مرض أو شكاية أظهرت من الأسف فوق النهاية و أطالت الحزن و النحيب و بذلت مالها للطبيب و لو خيرت بين حياتك و موتها لطلبت حياتك بأعلى صوتها هذا و كم عاملتها بسوء الخلق مرارا فدعت لك بالتوفيق سرا و جهارا فلما احتاجت عند الكبر إليك جعلتها من أهون الأشياء عليك فشبعت و هي جائعة و رويت و هي قانعة و قدمت عليها أهلك و أولادك بالإحسان و قابلت أياديها بالنسيان و صعب لديك أمرها و هو يسير و طال عليك عمرها و هو قصير هجرتها و مالها سواك نصير هذا و مولاك قد نهاك عن التأفف و عاتبك في حقها بعتاب لطيف ستعاقب في دنياك بعقوق البنين و في أخراك بالبعد من رب العالمين يناديك بلسان التوبيخ و التهديد ( ذلك بما قدمت يداك و أن الله ليس بظلام للعبيد )

Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.

Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.

Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.

Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari padadirinya serta makanannya.

Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.

Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu.

Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.

Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.

Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.

Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.

Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.

Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.

Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.

Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.

Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.

Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.

Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.

(Akan dikatakan kepadanya),

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (Al-Hajj : 10) [Al-Kaba’ir hal. 39, Darun Nadwah]

Semoga Allah Ta’ala Memudahkan Kita untuk Berbakti pada Ibu

Semoga kita termasuk orang yang bisa berbakti kepada orang tua khususnya ibu. Semoga kita termasuk orang yang tidak melupakan jasa-jasa ibu kita. Semoga anak-istri dan pekerjaan kita tidak menyibukkan kita dan melalaikan kita untuk berbakti dan memberikan perhatian kepada ibu kita. Ingatlah di masa kecil kita sangat sering membuat susah orang tua terutama ibu kita, bersabarlah ketika berbakti kepada keduanya

Demikian semoga bermanfaat

@ Antara Langit dan Bumi Allah, Pesawat Garuda Yogyakarta – Jakarta – Banjarmasin

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/44335-pulang-lah-nak-berbakti-pada-ibu-mu.html

Via HijrahApp

Sabtu, 09 April 2022

Hadits Palsu 30 Keutamaan Shalat Tarawih

*Hadits Palsu 30 Keutamaan Shalat Tarawih*

Diantara sunnah-sunnah yang dituntunkan oleh syariat kita pada bulan Ramadhan adalah shalat Tarawih. Hadits-hadits Nabi yang mulia telah banyak yang menerangkan tentang keutamaan shalat tesebut.

Berkaitan dengan hal itu, terdapat sebuah hadits yang masyhur, khususnya di Indonesia, yaitu “30 keutamaan shalat tarawih” atau “keutamaan shalat tarawih per malam”. Apakah hadits itu shahih ? Bolehkah kita menyampaikannya di tengah-tengah kaum muslimin? Berikut ini sedikit bahasan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

*Teks hadits*

عن علي بن ابي طالب رضي الله تعالى عنه أنه قال : ” سئل النبي عليه الصلاة والسلام عن فضائل التراويح فى شهر رمضان فقال
يخرج المؤمن ذنبه فى اول ليلة كيوم ولدته أمه
وفى الليلة الثانية يغفر له وللأبوية ان كانا مؤمنين
وفى الليلة الثالثة ينادى ملك من تحت العرش؛ استأنف العمل غفر الله ماتقدم من ذنبك
وفى الليلة الرابعة له من الاجر مثل قراءة التوراه والانجيل والزابور والفرقان
وفى الليلة الخامسة أعطاه الله تعالى مثل من صلى في المسجد الحرام ومسجد المدينة والمسجد الاقصى
وفى الليلة السادسة اعطاه الله تعالى ثواب من طاف بالبيت المعمور ويستغفر له كل حجر ومدر
وفى الليلة السابعة فكأنما أدرك موسى عليه السلام ونصره على فرعون وهامان
وفى الليلة الثامنة أعطاه الله تعالى ما أعطى ابراهيم عليه السلام
وفى الليلة التاسعة فكأنما عبد الله تعالى عبادة النبى عليه الصلاة والسلام
وفى الليلة العاشرة يرزقة الله تعالى خير الدنيا والآخرة
وفى الليلة الحادية عشر يخرج من الدنيا كيوم ولد من بطن أمه
وفى الليلة الثانية عشر جاء يوم القيامة ووجهه كالقمر ليلة البدر
وفى الليلة الثالثة عشر جاء يوم القيامة آمنا من كل سوء
وفى الليلة الرابعة عشر جاءت الملائكة يشهدون له أنه قد صلى التراويح فلا يحاسبه الله يوم القيامة
وفى الليلة الخامسة عشر تصلى عليه الملائكة وحملة العرش والكرسى
وفى الليلة السادسة عشر كتب الله له براءة النجاة من النار وبراءة الدخول فى الجنة
وفى الليلة السابعة عشر يعطى مثل ثواب الأنبياء
وفى الليلة الثامنة عشر نادى الملك ياعبدالله أن رضى عنك وعن والديك
وفى الليلة التاسعة عشر يرفع الله درجاته فى الفردوس
وفى الليلة العشرين يعطى ثواب الشهداء والصالحين
وفى الليلة الحادية والعشرين بنى الله له بيتا فى الجنة من النور
وفى الليلة الثانية والعشرين جاء يوم القيامة آمنا من كل غم وهم
وفى الليلة الثالثة والعشرين بنى الله له مدينة فى الجنة
وفى الليلة الرابعة والعشرين كان له اربعه وعشرون دعوة مستجابة
وفى الليلة الخامسة والعشرين يرفع الله تعالى عنه عذاب القبر
وفى الليلة السادسة والعشرين يرفع الله له ثوابه أربعين عاما
وفى الليلة السابعة والعشرين جاز يوم القيامة على السراط كالبرق الخاطف
وفى الليلة الثامنة والعشرين يرفع الله له ألف درجة فى الجنة
وفى الليلة التاسعة والعشرين اعطاه الله ثواب الف حجة مقبولة
وفى الليلة الثلاثين يقول الله : ياعبدى كل من ثمار الجنة واغتسل من مياه السلسبيل واشرب من الكوثرأنا ربك وأنت عبدى”

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang keutamaan Shalat Tarawih pada Bulan Ramadhan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

▪Di malam pertama, Orang mukmin keluar dari dosanya , seperti saat dia dilahirkan oleh ibunya.

▪Di malam kedua, ia diampuni, dan juga kedua orang tuanya, jika keduanya mukmin.

▪Di malam ketiga, seorang malaikat berseru di bawah Arsy: ‘Mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang telah lewat.’

▪Di malam keempat, dia memperoleh pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan.

▪Di malam kelima, Allah Ta’ala memberikan pahala seperti pahala orang yang shalat di Masjid al-Haram, masjid Madinah, dan Masjid al-Aqsha.

▪Di malam keenam, Allah Ta’ala memberikan pahala orang yang ber-thawaf di Baitul Makmur dan dimohonkan ampun oleh setiap batu dan cadas.

▪Di malam ketujuh, seolah-olah ia mencapai derajat Nabi Musa ‘alaihissalam dan kemenangannya atas Firaun dan Haman.

▪Di malam kedelapan, Allah Ta’ala memberinya apa yang pernah Dia berikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

▪Di malam kesembilan, seolah-olah ia beribadat kepada Allah Ta’ala sebagaimana ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

▪Di malam kesepuluh, Allah Ta’ala mengaruniai dia kebaikan dunia dan akhirat.

▪Di malam kesebelas, ia keluar dari dunia seperti saat ia dilahirkan dari perut ibunya.

▪Di malam kedua belas, ia datang pada hari kiamat dengan wajah bagaikan bulan di malam purnama.

▪Di malam ketigabelas, ia datang di hari kiamat dalam keadaan aman dari segala keburukan.

▪Di malam keempat belas, para malaikat datang seraya memberi kesaksian untuknya, bahwa ia telah melakukan shalat tarawih, maka Allah tidak menghisabnya pada hari kiamat.

▪Di malam kelima belas, ia didoakan oleh para malaikat dan para pemikul Arsy dan Kursi.

▪Di malam keenam belas, Allah menerapkan baginya kebebasan untuk selamat dari neraka dan kebebasan masuk ke dalam surga.

▪Di malam ketujuh belas, ia diberi pahala seperti pahala para nabi.

▪Di malam kedelapan belas, seorang malaikat berseru, ‘Hai hamba Allah, sesungguhnya Allah ridha kepadamu dan kepada ibu bapakmu.’

▪Di malam kesembilan belas, Allah mengangkat derajatnya dalam surga Firdaus.

▪Di malam kedua puluh, Allah memberi pahala para Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh).

▪Di malam kedua puluh satu, Allah membangun untuknya gedung dari cahaya.

▪Di malam kedua puluh dua, ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari setiap kesedihan dan kesusahan.

▪Di malam kedua puluh tiga, Allah membangun untuknya sebuah kota di dalam surga.

▪Di malam kedua puluh empat, ia memperoleh duapuluh empat doa yang dikabulkan.

▪Di malam kedua puluh lima, Allah Ta’ala menghapuskan darinya azab kubur.

▪Di malam keduapuluh enam, Allah mengangkat pahalanya selama empat puluh tahun.

▪Di malam keduapuluh tujuh, ia dapat melewati shirath pada hari kiamat, bagaikan kilat yang menyambar.

▪Di malam keduapuluh delapan, Allah mengangkat baginya seribu derajat dalam surga.

▪Di malam kedua puluh sembilan, Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.

▪Di malam ketiga puluh, Allah ber firman : ‘Hai hamba-Ku, makanlah buah-buahan surga, mandilah dari air Salsabil dan minumlah dari telaga Kautsar. Akulah Tuhanmu, dan engkau hamba-Ku.’

*Hadits ini disebutkan oleh Syaikh al-Khubawi dalam kitab Durrotun Nashihiin, hal. 16 – 17.*

*Indikasi-indikasi kepalsuan hadits*

Perlu diketahui bahwasanya hadits yang munkar dan palsu membuat hati penuntut ilmu menjadi geli dan mengingkarinya. Rabi’ bin Hutsaim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu memiliki cahaya seperti cayaha di siang hari, sehingga engkau dapat melihatnya. Dan memiliki kegelapan seperti gelapnya malam, sehingga engkau mengingkarinya.” (al-Maudhuu’aat 605, Ibnul Jauzi rahimahullah)

*Berikut ini beberapa indikasi atas palsunya hadits tersebut:*

▪Pahala yang terlalu besar untuk amalan yang sederhana. Banyak keutamaan-keutamaan yang terdapat dalam hadits di atas termasuk dalam kejanggalan jenis ini, misalkan pada lafadz “Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.”

▪Bahkan, yang lebih parah adalah seseorang bisa mendapatkan pahala sebanding dengan pahala para Nabi (keutamaan shalat tarawih malam ke-17). Hal tersebut mustahil terjadi, karena sebanyak apapun amalan ibadah manusia biasa, tentu dia tidak akan mampu menyamai pahala Nabi. Nubuwah merupakan pilihan dari Allah semata. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Hajj [22] : 75) (Lihat al-Manaarul Muniif hal. 55 – 105, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah)

▪Tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad. Hadits tentang 30 keutamaan shalat tarawih di atas, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad. DR. Lutfi Fathullah mengatakan, “Jika seseorang mencari hadits tersebut di kitab-kitab referensi hadits, niscaya tidak akan menemukannya.” Hal tersebut mengindikasikan bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu.

*Pendapat para ulama dan penuntut ilmu*

Lebih jauh lagi, apabila kita memperhatikan perkataan para ulama tentang hadits itu, tentu akan kita dapati mereka menganggapnya hadits palsu.

Al-Lajnah ad-Da’imah pernah ditanya tentang hadits tersebut, kemudian mereka menjawab,

كلا الحديثين لا أصل له، بل هما من الأحاديث المكذوبة على رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Hadits tersebut adalah hadits yang tidak ada sumbernya (laa ashla lahu). Bahkan, hadits tersebut merupakan kebohongan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta no. 8050, juz 4, hal 476-480. Ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Azin bin Baaz sebagai ketua, Syaikh Abdurrazaq Afifi sebagai wakil, Syaikh Abdullah Ghuddayan sebagai anggota dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota)

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan DR. Lutfi Fathullah, dimana disertasi beliau meneliti kitab Durratun Nashihin. Beliau mengatakan:

Ada sekitar 30 persen hadits palsu dalam kitab Durratun Nashihin. Diantaranya adalah hadits tentang fadhilah atau keutaman shalat tarawih, (yaitu) dari Ali radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallaam ditanya tentang keutamaan shalat tarawih, (lalu beliau bersabda) malam pertama pahalanya sekian, malam kedua sekian, dan sampai malam ketiga puluh.

Hadits tersebut tidak masuk akal. Selain itu, jika seseorang mencari hadits tersebut di kitab-kitab referensi hadits, niscaya tidak akan menemukannya. 

*Sibukkan diri dengan yang Shahih*

Setelah mengetahui lemahnya hadits tersebut, maka hendaklah para penulis dan penceramah meninggalkannya, karena dikhawatirkan akan masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits mutawatir :

من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berdusta atas nama saya dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat di Neraka”

Hendaklah mereka mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama kita mengatakan:

في صحيح الحديث شغل عن سقيمه

“Dalam hadits yang shahih terdapat kesibukan dari hadits yang lemah” (al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami’ 1524, al-Khatiib al-Baghdaadi rahimahullah)

*Diantara Keutamaan Shalat Tarawih dari Hadits yang Shahih*

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).

Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39)

Selain itu, beliau beliau juga pernah mengumpulkan keluarga dan para shahabatnya. Lalu beliau bersabda,

مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh” (HR. An-Nasai dan selainnya, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 447)

Semoga Allah selalu melimpahkan karunai-Nya kepada kita semua, dan menjaga lisan-lisan kita dari perkataan dusta, apalagi berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam.


Penulis: Abu Ka’ab Prasetyo
Artikel Muslim.or.id

Rabu, 02 Februari 2022

PENTING, BIAR KAMU NGGA BINGUNG TENTANG PUASA SUNNAH DIBULAN ROJAB, PAHAMI CATATAN INI YA...*

⚠️ *PENTING, BIAR KAMU NGGA BINGUNG TENTANG PUASA SUNNAH DIBULAN ROJAB, PAHAMI CATATAN INI YA...*

*📌 TENTANG PUASA SUNNAH DI BULAN ROJAB, MAKA HUKUMNYA TERBAGI MENJADI 3*

*HARAM*
➡ Jika berpuasa sunnah selama sebulan penuh atau sebagian bulan rojab karena meyakini adanya dalil khusus keutamaan puasa Rojab  (hukumnya HARAM, TERMASUK BERMAKSIAT kepada Allaah dan Rasul-Nya, ini termasuk perkara yang diada-adakan).

*MAKRUH*
➡ Jika mengkhususkan berpuasa sunnah sebulan penuh atau sebagian hari dibulan rojab saja, tanpa dibarengi berpuasa sunnah di 3 bulan harom lainnya, dia berpuasa sunnah berdasarkan hadits umum tentang keutamaan berpuasa dan memperbanyak amal sholih di 4 bulan harom, bukan karena hadits khusus yang menjelaskan keutamaan puasa Rojab. 

➡ Jika berpuasa sunnah dibulan rojab sebulan penuh, karena terdapat riwayat yang shohih dari Abu Bakar dan Umar bin Khattab رضی اللہ عنھم yang melarang keras puasa Rojab sebulan penuh. 

*SUNNAH*
➡ Jika seseorang berpuasa sunnah disebagian hari bulan Rojab saja, berdasarkan keumuman dalil keutamaan berpuasa dan memperbanyak amal sholih dibulan harom, bukan karena adanya dalil khusus keutamaan puasa Rojab, dia tidak berpuasa sunnah sebulan penuh agar tidak menyamakan puasa di bulan Rojab dengan puasa dibulan Romadhon, dan berdasarkan riwayat yang shohih dari Abu Bakar dan Umar bin Khattab رضی اللہ عنھم yang melarang keras puasa Rojab sebulan penuh. 

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

*🪶 Rangkuman Intisari oleh Muhammad dari penjelasan Ustadzuna Sofyan Bin Cholid Idham Ruray, Lc. حفظه الله تعالى*

*Dikoreksi oleh Al-Ustadz Gunawan, Lc. حفظه الله تعالى*

📒📑📒📑📒📑📒📑📒📑📒📑📒📑

Selasa, 01 Februari 2022

RAJAB PUN TIBA*TIDAK ADA AMALAN KECUALI DI SAREATKAN

🌙〰 🌃 🌖 *DAN RAJAB PUN TIBA*
Sahabat fillah....
Tak terasa kita telah memasuki bulan Rajab, satu diantara bulan-bulan yang diharamkan Allah azza wa jalla. Dinamakan bulan haram kerana Allah azza wa jalla mengharamkan peperangan dan kedzaliman di dalamnya. Ini tidak berarti bahwa boleh melakukan kedzaliman diluar bulan tersebut. Akan tetapi larangan berbuat dzalim di bulan-bulan haram lebih ditekankan lagi

Walaupun bulan ini secara khusus dimuliakan Allah azza wa jalla, tidak serta merta bisa dijadikan alasan untuk mengkhususkan amalan-amalan tertentu di dalamnya. Karena amal ibadah sifatnya tauqifiyah, hukum asalnya haram untuk dilakukan sampai ada dalil yang menunjukkan landasan ibadah tersebut.

Syariat kita juga telah menetapkan bahwa tidak boleh mengkhususkan ibadah tertentu pada waktu tertentu tanpa adanya dalil yang sohih baik dari Al Qur'an maupun As Sunnah. Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda: " Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak" (HR. Muslim)

Berikut ini kami paparkan secara ringkas beberapa amalan yang populer di bulan Rajab

1. Sholat Raghaib

Ibadah sholat ini tidak dikenal dikalangan salafusshalih, ia baru muncul pada abad ke 5 hijriah. Tidak ada hadits sohih yang bisa dijadikan hujjah atas disyariatkannya amalan ini. Adapun riwayat yang mengatakan: " Bulan Rajab adalah bulan Allah, Sya'ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku, dan tidaklah seseorang melakukan puasa pada kamis pertama bulan Rajab, kemudian melakukan sholat antara magrib dan isya (malam jumat), dan membaca surat al fatihah sekali, inna anzalnahu fii lailatil qadr" tiga kali, Qul huwallahu ahad 12 kali dan melakuan salam pada setiap dua rakaatnya, bila telah selesai melaksanakan shalat dia bershalawat kepadaku 70 kali kemudian berdoa meminta apa saja niscaya akan dikabulkan untuknya dst..." Riwayat ini adalah riwayat palsu.

Imam At Tharthusi menyebutkan: " Hadits ini pertama kali dibuat di Baitul maqdis pada tahun 448 H, saat itu ada seorang laki-laki nablus yang bernama Ibnu Abi Al Hamraa' datang ke Baitul Maqdis. Orang ini sangat bagus bacaannya, dialah yang pertama kali melakukan sholat ragahib dimasjid Al-Aqsha, setelah itu ritual ini menyebar dan tak seorangpun dari pakar hadits yang menyatakan kesohihan riwayat yang berkenaan dangan sholat ini.

Di dalam Asna Al-Mathaalib (1/206) Al-Allamah Zakaria Al-Anshori As Syafi'i -rahimahullah- menyatakan bahwa "diantara bid'ah yang tercela adalah sholat raghaib yang jumlahnya 12 rakaat dilaksanakan antara maghrib dan isya pada malam jum'at pertama bulan Rajab. Begitu juga dengan shalat malam nishfu sya'ban sebanyak 100 rakaat? dan jangan terbedaya dengan orang yang menyebutkan (adanya) kedua amalan tersebut"

Syaikhul Islam Ahmad Ibnu Abdil Halim Al-Harrany saat ditanya tentang shalat raghaib apakah disunnahkan atau tidak.? Beliau menjawab : " Shalat ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidak juga oleh para sahabat, tabiin, maupun imam-imam kaum muslimin. Rasulullah tidak pernah menganjurkannya, tidak juga salaf dan para imam. Mereka juga tidak menyebutkan bahwa malam ini memiliki keutamaan khusus. Adapun hadits-hadist yang diriwayatkan dari nabi shallallahu alaihi wasallam seputar hal itu semuanya dusta dan palsu berdasarkan kesepakatan para ahli yang kompeten dibidangnya (muhaddits).

Imam Nawawi -rahimahullah- berkata: " “Shalat yang dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Quut al Qulub dan Ihya Ulumuddin, tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab; 2/379.)

Ad Dzahabi mengatakan: "Hadits sholat Raghaaib batil tanpa keraguan sedikitpun."

Kesimpulannya tidak ada nash yang valid berkaitan dengan keutamaan beribadah dibulan rajab baik itu puasa maupun amalan-amalan lainnya. Kesimpulan Ini merupakan kesepakatan para ulama hadits diantaranya Al Hafidz Ibnul Qayyim, Al Hafidz Al Khattabi, Al Hafidz Ibnu Rajab dan Al Hafidz Ibnu Hajar -Rahimahumullah-

2. Shalat pada Pertengahan Bulan Rajab dan Malam Isra' dan Mi' raj.

Kedua amalan diatas tidak disyariatkan karena dalil yang dijadikan dasar untuk kedua amalan tersebut tidak valid

3. Puasa Rajab.

Amalan ini juga tidak disyariatkan, adapun riwayat yang mengatakan bahwa, "Di dalam surga ada sungai yang bernama Rajab, airnya lebih putih dari salju, lebih manis dari madu, barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan rajab maka dia akan minum dari sungai itu''. Ibnul Jauzy mengatakan hadits ini tidak shahih, sementara Adz Dzahaby menyebut hadits ini batil. Namun bila seseorang melakukan puasa senin kamis atau ayyam al bidh yang lebih dikenal dengan puasa putih tanpa bermaksud mengkhususkannya dengan bulan rajab maka hal itu tidak mengapa.

4. Umroh di bulan Rajab

Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa umroh di bulan Rajab disunnahkan. Mereka berhujjah dengan peristiwa umroh Rasullah shallah shalllallahu alaihi wasallam yang dilakukan bertepatan dengan bulan Rajab. Pendapat ini tentunya keliru. Sebab Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- tidak mengkhususkan bulan tersebut dengan umroh, hanya saja umroh beliau -shallahu alaihi wasallam- bertepatan dengan bulan Rajab. Namun bila seseorang melakukan umroh di bulan Rajab tanpa mengaitkannya dengan kekhususan bulan Rajab, maka hal tersebut tidak mengapa.

5. Merayakan Malam Isra' Dan Mi'raj.

Untuk ritual yang terakhir ini tidak ditemukan hadits yang palsu sekalipun apalagi shahih sebagai landasannya. Bila memang baik tentunya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat telah melakukannya. Lagipula terjadi silang pendapat dikalangan ulama mengenai kapan pastinya peristiwa besar itu terjadi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ''Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan bahwa peristiwa Isro’ Mi’roj terjadi pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menyeputkan waktunya dengan pasti.''(Zaadul Ma’ad; 1/54)
Ibnul Haaj mengatakan, ''Di antara praktik yang tidak memiliki tuntunan yang dilakukan pada bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.'' (AL Madkhol; 1/294)



Jadi....

"ikutilah dan jangan berbuat bid'ah, karena kalian telah dicukupi"
(Ibnu Mas'ud -radhiallahu anhu-)

Semoga bermanfaat




🌐 Sumber *Artikel* : Http://abulfayruz.blogspot.com/2014/05/dan-rajab-pun-tiba.html



☕ Silahkan disebarkan, mudah2an anda mendapatkan bagian dari pahalanya ☕
Barakallah fikum.   



Madinah 1 Rajab 1435 H
✒Ditulis oleh Ust. Aan Chandra Thalib El Gharantaly حفظه الله تعالى.                              



▪┈┈◈❂◉❖ ❁ ❖◉❂◈┈┈▪

Senin, 31 Januari 2022

Terlalu Was-Was Dalam Niat Shalat*

*Terlalu Was-Was Dalam Niat Shalat*

*Dr. Musyaffa Addariny, Lc., M.A.*

https://muslim.or.id/21536-terlalu-was-was-dalam-niat-shalat.html

Di Masjid Nabawi, kami beberapa kali melihat jama’ah dari Indonesia, mengulang-ulang takbiratul ihram beberapa kali. Sebuah pemandangan yang belum pernah kami dapatkan dari jama’ah negara lain, walaupun sama-sama bermadzhab Syafi’i.

Rasa iba selalu hinggap di hati, bila melihat pemandangan tersebut. Karena saya yakin hal itu didasari ketidak-tahuannya terhadap pendapat madzhab Syafi’i yang mu’tamad.

Oleh karena itu, mari kita simak perkataan Imam An Nawawi -rahimahullah– dalam masalah ini:

واختار إمام الحرمين والغزالي في البسيط وغيره انه لا يجب التدقيق المذكور في تحقيق مقارنة النية وأنه تكفي المقارنة العرفية العامية بحيث يعد مستحضرا لصلاته غير غافل عنها اقتداء بالأولين في تسامحهم في ذلك وهذا الذي اختاراه هو المختار والله أعلم

“Imamul Haramain (Al-Juwaini), Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Basith, dan (ulama madzhab Syafi’i) yg lainnya memilih pendapat, bahwa: tidaklah diwajibkan untuk terlalu detail dalam hal membarengkan niat dengan takbir seperti yang disebutkan (yakni: bahwa niat harus benar-benar berbarengan dg takbiratul ihram dari awal takbir, hingga akhir takbir).

Tetapi niat sudah cukup dengan ‘muqaranah urfiyyah aammiyah‘ (yakni kebersamaan yg biasa dan dimampui oleh orang awam), yang penting ia sudah dianggap menghadirkan kesadarannya akan sholatnya dan tidak dianggap lalai dari sholatnya, (dalil dalam hal ini adalah) karena mengikuti generasi awal umat Islam dalam sikap mereka yg toleran dalam masalah ini.

Dan pendapat yg dipilih oleh dua orang ini, adalah pendapat yang terpilih (dalam madzhab syafi’i), wallahu a’lam“. (Al-Majmu’, karya Imam Nawawi 3/277-3278)

Bahkan sebagian pengikut madzhab Syafi’i mengatakan bahwa: bahwa niat harus mendahului amal ibadah, agar tidak ada sebagian ibadah yg kosong dari niat. Imam Nawawi –rahimahullah– mengatakan:

قول أبي منصور ابن مهران شيخ أبي بكر الأودني يجب أن يقدم النية على أول التكبير بشئ يسبر لئلا يتأخر أولها عن أول التكبير

“Pendapatnya Abu Manshur Ibnu Mahran gurunya Abu Bakar Al-Audni: Bahwa niat wajib mendahului awal takbiratul ihram dengan waktu yang sedikit, agar awal niatnya tidak terlambat dari awal takbirnya”. (Al-Majmu’, karya Imam Nawawi 3/277)

Bahkan Imamul Haramain (Al-Juwaini) –rahimahullah– mengatakan:

فأما التزام حقيقة مصادفة الوقت الذي يذكره الفقيه، فممّا لا تحويه القدرة البشرية

“Adapun mengharuskan barengnya niat dengan waktu takbir sebagaimana disebutkan oleh ahli fikih, maka itu termasuk sesuatu yang tidak dimampui oleh manusia” (Nihayatul Mathlab, karya Al-Juwaini, 2/117)

Semoga bermanfaat…

*Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini Lc., MA.*

*Artikel Muslim.Or.Id*

*Sumber:* https://muslim.or.id/21536-terlalu-was-was-dalam-niat-shalat.html

Sabtu, 29 Januari 2022

Saya takut berbuat bid'ah 🔴 karena dosa saya banyak

*🚫 Saya takut berbuat bid'ah 🔴 karena dosa saya banyak 🔥*

https://www.facebook.com/101974271176720/posts/677706693603472/

Bismillah

Kalau menyampaikan larangan berbuat bid'ah sering dituduh pengkapling surga dan semacamnya, sebenarnya bagus sih dituduh yang bagus-bagus, padahal saya sendiri belum yakin penghuni surga karena dosa saya terasa sangat banyak.

Saya pernah di tanya seorang teman kenapa enggak pernah ikut tahlil kematian, maulid nabi dan semacamnya, lalu saya jawab, "Dosa saya terasa banyak, enggak kebayang besok ditanya soal dosa terlibat perkara riba, dosa maksiat mata, dosa maksiat lidah, maksiat tangan, maksiat kaki dan seterusnya, dan masih harus ditambah dosa berbuat bid'ah, apalagi sampai diusir dari telaga Nabi Muhammad Shallahu alaihi Wa Sallam, apa enggak repot? Dengan meninggalkan amalan2 bid'ah paling tidak sudah lepas satu perkara hisab kelak."
Teman saya mendengar jawaban saya jadi paham kenapa tidak pernah ikut kegiatan2 itu, alhamdulillah.

-------

*Mereka yang Terhalang Minum dari Telaga Al-Kautsar ‼️*

Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal Msc. 

Dari Abu Wail, dari ‘Abdullah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari, no. 7049)

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari, no. 7051)

Siapakah mereka?
Sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi rahimahullah, para ulama berselisih pendapat dalam menafsirkan mereka yang tertolak dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendapat pertama: Yang dimaksud adalah orang munafik dan orang yang murtad. Boleh jadi ia dikumpulkan dalam keadaan nampak cahaya bekas wudhu pada muka, kaki dan tangannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka dengan bekas yang mereka miliki. Lantas dibantah, mereka itu sebenarnya telah mengganti agama sesudahmu. Artinya, mereka tidak mati dalam keadaan Islam yang mereka tampakkan.

Pendapat kedua: Yang dimaksud adalah orang yang masuk Islam di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas murtad sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka walau tidak memiliki bekas tanda wudhu. Walau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu keislaman mereka ketika beliau hidup. Lantas dibantah, mereka itu adalah orang yang murtad setelahmu.

Pendapat ketiga: Yang dimaksud, mereka adalah ahli maksiat dan pelaku dosa besar yang mati masih dalam keadaan bertauhid. Begitu pula termasuk di sini adalah pelaku bid’ah yang kebid’ahan yang dilakukan tidak mengeluarkan dari Islam. Menurut pendapat ketiga ini, apa yang disebutkan dalam hadits bahwa mereka terusir cuma sekedar hukuman saja, mereka tidak sampai masuk neraka. Bisa jadi Allah merahmati mereka, lantas memasukkan mereka dalam surga tanpa siksa. Bisa jadi pula mereka memiliki tanda bekas wudhu pada wajah, kaki dan tangan. Bisa jadi mereka juga hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah itu, akan tetapi beliau mengenal mereka dengan tanda yang mereka miliki.

Imam Al-Hafizh Abu ‘Amr bin ‘Abdul Barr mengatakan, “Setiap orang yang membuat perkara baru dalam agama, merekalah yang dijauhkan dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), dan pelaku bid’ah lainnya. Begitu pula orang yang berbuat zalim dan terlaknat lantaran melakukan dosa besar. Semua yang disebutkan tadi dikhawatirkan terancam akan dijauhkan dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 122)

Sumber https://rumaysho.com/13161-mereka-yang-terhalang-minum-dari-telaga-al-kautsar.html 

11 Kesalahan Dalam Berwudhu

*11 Kesalahan Dalam Berwudhu*

*Yulian Purnama, S.Kom.*

https://muslim.or.id/28568-11-kesalahan-dalam-berwudhu.html

Sebagaimana ibadah yang lain, wudhu pun wajib untuk mengikuti tuntunan dari Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mengerjakannya. Karena Al Qur’an dan hadits adalah sumber landasan hukum dalam Islam, serta acuan dalam mengerjakan ibadah. Maka tidak boleh kita melakukan ibadah hanya dengan dasar pendapat seseorang, opini seseorang atau logika semata. Lebih lagi jika tidak memiliki dasar sama sekali alias asal-asalan.

Oleh karena itu, pembahasan kali ini akan memaparkan secara ringkas beberapa amalan dan keyakinan yang salah seputar wudhu, karena amalan dan keyakinan tersebut tidak dilandasi oleh Al Qur’an dan hadits yang shahih. 

*Beberapa amalan dan keyakinan tersebut adalah:*

*1. Melafalkan niat wudhu*

Sebagian orang melafalkan niat wudhu semisal dengan mengucapkan: “nawaitul wudhu’a liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala” (saya berniat wudhu untuk mengangkat hadats kecil karena Allah Ta’ala) atau semacamnya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah mencontohkan melafalkan niat sebelum wudhu, dan niat itu adalah amalan hati.

Mengeraskan bacaan niat tidaklah wajib dan tidak pula sunnah dengan kesepakatan seluruh ulama. Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi mengatakan, “Tidak ada seorang imam pun, baik itu Asy Syafi’i atau selain beliau, yang mensyaratkan pelafalan niat. Niat itu tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan mereka (para imam)” (Al Ittiba’ hal. 62, dinukil dari Al Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin, hal. 91).

Sekali lagi niat itu amalan hati dan itu mudah, tidak perlu dipersulit. Dengan adanya itikad dan kemauan dalam hati untuk melakukan wudhu untuk melakukan shalat atau yang lainnya, maka itu sudah niat yang sah.

*2. Tidak mengucapkan basmalah*

Para ulama berbeda pendapat apakah basmalah atau mengucapkan “bismillah” hukumnya wajib ataukah sunnah. ٍSebagian ulama mewajibkan dengan dalil hadits: “tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil). 

*Namun jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah karena beberapa hal:*

*a.* Membaca basmalah tidak disebutkan bersamaan dengan hal-hal wajib lainnya dalam surat Al Maidah ayat 6

*b.* Keumuman hadits-hadits yang menjelaskan mengenai cara wudhu Nabi, tidak menyebutkan mengucapkan basmalah (lihat Asy Syarhul Mumthi’, 1/159).

*c.* Makna “tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala” adalah penafian kesempurnaan wudhu (lihat Asy Syarhul Mumthi’, 1/158 – 159).

Namun demikian, baik beranggapan hukumnya sunnah ataupun wajib, meninggalkannya dengan sengaja adalah sebuah kesalahan.

*3. Melafalkan doa untuk setiap gerakan*

Sebagian orang menganggap ada doa khusus yang dibaca pada setiap gerakan wudhu. Yang benar, doa-doa tersebut tidak pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan hanya berasal dari hadits-hadits yang palsu. Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad (1/195) mengatakan: “semua hadits tentang dzikir-dzikir yang dibaca pada setiap gerakan wudhu adalah kedustaan yang dibuat-buat, tidak pernah dikatakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedikit pun dan tidak pernah beliau ajarkan kepada umatnya”.

*4. Memisahkan cidukan air untuk berkumur dan istinsyaq-istintsar*

Jika dalam berwudhu anda berkumur-kumur tiga kali, kemudian setelah itu baru beristinsyaq (memasukan air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan cidukan air yang berbeda, maka ini tidak sesuai dengan praktek Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang beliau contohkan adalah berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar itu dengan satu cidukan kemudian ulang sebanyak 3x. Sehingga untuk berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar hanya melakukan 3 cidukan. 

Dari Abdullah bin Zaid radhiallahu’anhu beliau menceritakan cara wudhu Nabi, “Rasulullah menciduk air dengan kedua telapak tangannya dari bejana kemudian mencuci keduanya, kemudian mencuci (yaitu berkumur-kumur dan beristinsyaq) dari satu cidukan telapak tangan, beliau melakukannya 3x …” (HR. Bukhari 191).

*5. Tidak mencuci lengan hingga siku*

Padahal Allah Ta’ala berfirman mengenai rukun wudhu (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan basuhlah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6).

*6. Tidak membasuh seluruh kepada*

Membasuh sebagian kepala semisal hanya membasuh bagian depannya saja, adalah sebuah kesalahan. Padahal dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas disebutkan “.. dan basuhlah kepalamu..”. “kepala” di sini maknanya tentu seluruh kepala, bukan sebagiannya saja. Diperkuat lagi oleh hadits lain dari Abdullah bin Zaid radhiallahu’anhu mengenai tata cara membasuh kepala dalam wudhu, “… kemudian Rasulullah membasuh kepalanya dengan kedua tangannya. Beliau menggerakan kedua tangannya ke belakang dan ke depan. Di mulai dari bagian depan kepalanya hingga ke tengkuknya, lalu beliau gerakkan kembali ke tempat ia mulai…” (HR. Bukhari 185, Muslim 235).

*7. Membasuh leher setelah membasuh kepala*

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “tidak shahih hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membasuh leher dalam wudhu, bahkan tidak diriwayatkan dalam hadits shahih satu pun. Bahkan hadits-hadits shahih mengenai tata cara wudhu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyebutkan mengenai membasuh leher” (Majmu’ Fatawa 21/127-128, dinukil dari Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah, 1/142).

*8. Mengulang mencuci kaki, sehingga lebih dari sekali*

Sebagian orang mencuci kaki kanan, lalu kaki kiri, lalu kembali ke kanan lagi, sampai 3 x. Hal ini tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Syaikh Husain Al ‘Awaisyah dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah (1/143) mengatakan: “(Yang sesuai sunnah adalah) mencuci kedua kaki tanpa berulang, berdasarkan hadits Yazid bin Abi Malik yang di dalamnya disebutkan, “Rasulullah berwudhu tiga kali – tiga kali, sedangkan beliau ketika mencuci kakinya tanpa berulang (cukup sekali)” (HR. Abu Daud 116, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud). Maka yang tepat adalah mencuci kaki kanan sekali, lalu kaki kiri sekali.

*9. Kurang sempurna mencuci kaki, dan juga anggota wudhu yang lain*

Terkadang karena kurang serius dalam berwudhu atau karena terburu-buru, seseorang tidak sempurna dalam mencuci kedua kakinya. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melihat sebagian sahabat yang ketika berwudhu tidak menyempurnakan mencuci kakinya, beliau memperingatkan mereka dengan keras dengan bersabda: “celaka tumit-tumit (yang tidak tersentuh air wudhu) di neraka” (HR. Bukhari 60, 165, Muslim 240). Tidak hanya kaki, pada anggota wudhu yang lain juga wajib isbagh (serius dan sempurna) dalam membasuh dan mencuci sehingga air mengenai anggota wudhu dengan sempurna.

*10. Membiarkan ada penghalang di kulit*

Dalam wudhu, ulama 4 madzhab mensyaratkan tidak adanya benda yang dapat menghalangi air mengenai kulit (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 43/330). Membiarkan adanya benda yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit adalah sebuah kesalahan dan bisa menyebabkan wudhunya tidak sah. Dikecualikan jika volumenya sangat kecil dan sedikit seperti kotoran yang ada di kuku, maka ini tidak mengapa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Jika kulit terhalang air oleh sesuatu yang yasiir (sedikit) seperti kotoran di kuku atau semisalnya, thaharah tetap sah” (Fatawa Al Kubra, 5/303). 

Juga jika benda tersebut tidak memiliki volume atau sulit dihilangkan, maka tidak mengapa. Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta‘ menyatakan: “jiak benda yang menghalangi tersebut tidak bervolume, maka tidak mengapa. Henna dan semacamnya, atau minyak yang dioleskan atau semacamnya, ini tidak mengapa. Adapun jika ia memiliki volume, dalam artian ia tebal dan bisa dihilangkan, maka wajib dihilangkan. Seperti cat kuku, ia memiliki volume, maka wajib dihilangkan. Adapun sekedar polesan tipis, maka itu tidak menghalangi air” (Fatwa Nuurun ‘alad Darbi, no. 161, juz 5 hal. 246).

*11. Boros dalam menggunakan air*

Berlebih-lebih dan boros adalah hal yang tercela dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan” (QS. Al A’raf: 31). 

Demikian juga dalam berwudhu, tidak boleh berlebih-lebihan dalam menggunakan air. Air adalah nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri, dan salah satu cara mensyukuri nikmat air adalah dengan tidak menyia-nyiakannya. Dan banyak diantara saudara kita di tempat yang lain yang tidak bisa menikmat air yang melimpah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri mencontohkan hal ini. Beliau biasa berwudhu hanya dengan 1 mud saja. Anas bin Malik radhiallahu’anhu menyatakan, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya berwudhu dengan 1 mud air dan mandi dengan 1 sha’ sampai 5 mud air” (HR. Bukhari 201, Muslim 326). 

Sedangkan konversi 1 mud para ulama berbeda pendapat antara 0,6 sampai 1 liter. Sungguh hemat sekali bukan? Boleh saja berwudhu dengan air keran dan lebih dari 1 mud selama tidak berlebih-lebihan dan tetap berusaha untuk menghemat.

Wallahu ta’ala a’lam.

*Referensi :*

Asy Syarhul Mumthi ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Al Qaulul Mubin fii Akhta’il Mushallin, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi

Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Muyassarah, Syaikh Husain Al ‘Awaisyah

Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Departemen Agama Kuwait

Fatawa Nuurun ‘alad Darbi

*Penyusun: Yulian Purnama*

*Artikel Muslim.or.id*

*Sumber :* https://muslim.or.id/28568-11-kesalahan-dalam-berwudhu.html

Jumat, 28 Januari 2022

Meluruskan Tata Cara Wudhu Sesuai Petunjuk Nabi*

*Meluruskan Tata Cara Wudhu Sesuai Petunjuk Nabi*

*Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.*

https://rumaysho.com/952-meluruskan-tata-cara-wudhu-sesuai-petunjuk-nabi.html

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah kita mempelajari berbagai macam najis, selanjutnya kita akan mengenal bagaimanakah tata cara wudhu yang benar yang sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dengan pembahasan ini pula dapat meluruskan kesalahan-kesalahan yang selama ini ada. Hanya Allah yang beri taufik.

*Shalat Tidak Sah Tanpa Berwudhu*

Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidak ada shalat kecuali dengan thoharoh. Tidak ada sedekah dari hasil pengkhianatan.”[1]

An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “Hadits ini adalah nash[2] mengenai wajibnya thoharoh untuk shalat. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa thoharoh merupakan syarat sah shalat.” [3]

Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Shalat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima -ketika masih berhadats- sampai dia berwudhu.“[4]

*Tata Cara Wudhu*

*Mengenai tata cara berwudhu diterangkan dalam hadits berikut:*

حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ – رضى الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلاَةِ.

Humran pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk (tidak memikirkan urusan dunia dan yang tidak punya kaitan dengan shalat[5]), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. Ibnu Syihab berkata, “Ulama kita mengatakan bahwa wudhu seperti ini adalah contoh wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seorang hamba untuk shalat”.[6]

*Dari hadits ini dan hadits lainnya, kita dapat meringkas tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut.*

*1.* Berniat –dalam hati- untuk menghilangkan hadats.

*2.* Membaca basmalah: ‘bismillah’.

*3.* Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali.

*4.* Mengambil air dengan tangan kanan, lalu dimasukkan dalam mulut (berkumur-kumur atau madmadho) dan dimasukkan dalam hidung (istinsyaq) sekaligus –melalui satu cidukan-. Kemudian air tersebut dikeluarkan (istintsar) dengan tangan kiri. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.

*5.* Membasuh seluruh wajah sebanyak tiga kali dan menyela-nyela jenggot.

*6.* Membasuh tangan –kanan kemudian kiri- hingga siku dan sambil menyela-nyela jari-jemari.

*7.* Membasuh kepala 1 kali dan termasuk di dalamnya telinga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk bagian dari kepala” (HR Ibnu Majah, disahihkan oleh Al Albani). Tatacara membasuh kepala ini adalah sebagai berikut, kedua telapak tangan dibasahi dengan air. Kemudian kepala bagian depan dibasahi lalu menarik tangan hingga kepala bagian belakang, kemudian menarik tangan kembali hingga kepala bagian depan. Setelah itu langsung dilanjutkan dengan memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga, sedangkan ibu jari menggosok telinga bagian luar.

*8.* Membasuh kaki 3 kali hingga ke mata kaki dengan mendahulukan kaki kanan sambil membersihkan sela-sela jemari kaki.

*Berikut catatan penting yang perlu diperhatikan dalam tata cara wudhu di atas.*

*Niat Cukup dalam Hati*

Yang dimaksud niat adalah al qosd (keinginan) dan al irodah (kehendak).[7] Sedangkan yang namanya keinginan dan kehendak pastilah dalam hati, sehingga niat pun letaknya dalam hati.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– mengatakan, “Letak niat adalah di hati bukan di lisan. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin dalam segala macam ibadah termasuk shalat, thoharoh, zakat, haji, puasa, memerdekakan budak, jihad dan lainnya.”[8]

Ibnul Qayim –rahimahullah– mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –di awal wudhu– tidak pernah mengucapkan “nawaitu rof’al hadatsi (aku berniat untuk menghilangkan hadats …)”. Beliau pun tidak menganjurkannya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat pun yang mengajarkannya. Tidak pula terdapat satu riwayat –baik dengan sanad yang shahih maupun dho’if (lemah)- yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan bacaan tadi.”[9]

*Berkumur-kumur dan Memasukkan Air dalam Hidung Dilakukan Sekaligus Melalui Satu Cidukan Tangan*

Ibnul  Qayyim menyebutkan,

“Ketika berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (istinsyaq), terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan satu cidukan tangan, terkadang dengan dua kali cidukan dan terkadang pula dengan tiga kali cidukan. Namun beliau menyambungkan (tidak memisah) antara kumur-kumur dan istinsyaq. Beliau menggunakan separuh cidukan tangan untuk mulut dan separuhnya lagi untuk hidung. Ketika suatu saat beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan satu cidukan maka kemungkinan cuma dilakukan seperti ini yaitu kumur-kumur dan istinsyaq disambung (bukan dipisah).

Adapun ketika beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan dua atau tiga cidukan, maka di sini baru kemungkinan berkumur-kumur dan beristinsyaq bisa dipisah. Akan tetapi, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan adalah memisahkan antara berkumur-kumur dan istinsyaq. Sebagaimana disebutkan dalam shahihain[10] dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tamadh-madho (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui air satu telapak tangan dan seperti ini dilakukan tiga kali. Dalam lafazh yang lain disebutkan bahwa  tamadh-madho (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui tiga kali cidukan. Inilah riwayat yang lebih shahih dalam masalah kumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung).

Tidak ada satu hadits shahih pun yang menyatakan bahwa kumur-kumur dan istinsyaq dipisah. Kecuali ada riwayat dari Tholhah bin Mushorrif dari ayahnya dari kakeknya yang mengatakan bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara kumur-kumur dan istinsyaq[11]. Dan riwayat tersebut hanyalah berasal dari Tholhah dari ayahnya, dari kakeknya. Padahal kakekanya tidak dikenal sebagai seorang sahabat.”[12]

*Membasuh Kepala Cukup Sekali*

Ibnul Qayyim menjelaskan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membasuh kepalanya seluruh dan terkadang beliau membasuh ke depan kemudian ke belakang. Sehingga dari sini sebagian orang mengatakan bahwa membasuh kepala itu dua kali. Akan tetapi yang tepat adalah membasuh kepala cukup sekali (tanpa diulang). Untuk anggota wudhu lain biasa diulang. Namun untuk kepala, cukup dibasuh sekali. Inilah pendapat yang lebih tegas dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berbeda dengan cara ini.

Adapun hadits yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap tiga kali tiga kali. Seperti pula perkataan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh kepala dua kali. Terkadang pula haditsnya tegas, namun tidak shahih. Seperti hadits Ibnu Al Bailamani dari ayahnya dari ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap tangannya tiga kali dan membasuh kepala juga tiga kali. Namun perlu diketahui bahwa Ibnu Al Bailamani dan ayahnya adalah periwayat yang lemah.”[13]

*Kepala Sekaligus Diusap dengan Telinga*

Telinga hendaknya diusap berbarengan setelah kepala karena telinga adalah bagian dari kepala. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

“Dua telinga adalah bagian dari kepala.” [14] Hadits ini adalah hadits yang lemah jika marfu’ (dianggap ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Akan tetapi hadits di atas dikatakan oleh beberapa ulama salaf di antaranya adalah Ibnu ‘Umar.[15]

Ash Shon’ani menjelaskan,

”Walaupun sanad hadits ini dikritik, akan tetapi ada berbagai riwayat yang menguatkan satu sama lain. Sebagai penguat hadits tersebut adalah hadits yang mengatakan bahwa membasuh dua telinga adalah sekaligus dengan kepala sebanyak sekali. Hadits yang menyebutkan seperti ini amatlah banyak, ada dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ar Robi’ dan ‘Utsman. Semua hadits tersebut bersepakat bahwa membasuh kedua telinga sekaligus bersama kepala dengan melalui satu cidukan air, sebagaimana hal ini adalah makna zhohir (tekstual) dari kata marroh (yang artinya: sekali). Jika untuk membasuh kedua telinga digunakan air yang baru, tentu tidak dikatakan, “Membasuh kepala dan telinga sekali saja”. Jika ada yang memaksudkan bahwa beliau tidaklah mengulangi membasuh kepala dan telinga, akan tetapi yang dimaksudkan adalah mengambil air yang baru, maka ini pemahaman yang jelas keliru.

Adapun riwayat yang menyatakan bahwa air yang digunakan untuk membasuh kedua telinga berbeda dengan kepala, itu bisa dipahami kalau air yang ada di tangan ketika membasuh kepala sudah kering, sehingga untuk membasuh telinga digunakan air yang baru.”[16]

*Seluruh Kepala Dibasuh, Bukan Hanya Ubun-Ubun Saja*

Allah Ta’ala berfirman,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

“Dan basuhlah kepala kalian.” (QS. Al Maidah: 6)

Fungsi huruf baa’ dalam ayat di atas adalah lil ilsoq artinya melekatkan dan bukan li tab’idh (menyebutkan sebagian). Maknanya sama dengan membasuh wajah ketika tayamum, sebagaimana dalam ayat,

فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ

“Dan basuhlah wajah kalian.” (QS. Al Maidah: 6). Dua dalil di atas masih berada dalam konteks ayat yang sama. Mengusap wajah pada tayamum bukan hanya sebagian (namun seluruhnya) sehingga yang dimaksudkan dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh kepala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,

“Apabila ayat yang membicarakan tentang tayamum tidak mengatakan bahwa mash (membasuh) wajah hanya sebagian padahal tayamum adalah pengganti wudhu dan tayamum jarang-jarang dilakukan, bagaimana bisa ayat wudhu yang menjelaskan mash (membasuh) kepala cuma dikatakan sebagian saja yang dibasuh padahal wudhu sendiri adalah hukum asal dalam berthoharoh dan sering berulang-ulang dilakukan?! Tentu yang mengiyakan hal ini tidak dikatakan oleh orang yang berakal.”[17]

Begitu pula terdapat dalam hadits lain dijelaskan bahwa membasuh kepala adalah seluruhnya dan bukan sebagian. Dalilnya,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْرَجْنَا لَهُ مَاءً فِى تَوْرٍ مِنْ صُفْرٍ فَتَوَضَّأَ ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِهِ وَأَدْبَرَ ، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ

Dari ‘Abdullah bin Zaid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lalu kami mengeluarkan untuknya air dalam bejana dari kuningan, kemudian akhirnya beliau berwudhu. Beliau mengusap wajahnya tiga kali, mengusap tangannya dua kali dan membasuh kepalanya, dia menarik ke depan kemudian ditarik ke belakang, kemudian terakhir beliau mengusap kedua kakinya.[18]

Dalam riwayat lain dikatakan,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ كُلَّهُ

“Beliau membasuh seluruh kepalanya.”[19]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Tidak ada satu pun sahabat yang menceritakan tata cara wudhu Nabi yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mencukupkan dengan membasuh sebagian kepala saja.”[20] Namun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh ubun-ubun, beliau juga sekaligus membasuh imamahnya.[21]

Sedangkan untuk wanita muslimah tata cara membasuh kepala tidak dibedakan dengan pria. Akan tetapi, boleh bagi wanita untuk membasuh khimarnya saja. Akan tetapi, jika ia membasuh bagian depan kepalanya disertai dengan khimarnya, maka itu lebih bagus agar terlepas dari perselisihan para ulama. Wallahu a’lam.[22]

Semoga bermanfaat.

*Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal*

*Artikel https://rumaysho.com*

[1] HR. Muslim no. 224.

[2] Nash adalah dalil tegas yang tidak mengandung kemungkinan makna kecuali itu saja.

[3] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/102, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut

[4] HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225.

[5] Lihat maksud hadits “laa yuhadditsu bihi nafsuhu” Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 3/108 dan Syarh Sunan Abi Daud, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr, 1/371, Asy Syamilah

[6] HR. Bukhari dan Muslim.

[7] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 22/242, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.

[8] Al Fatawa Al Kubro, Ibnu Taimiyah, 2/87, Darul Ma’rifah Beirut, cetakan pertama, 1386.

[9] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/196, Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth dan ‘Abudl Qodir Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-17, tahun 1415 H

[10] Bukhari dan Muslim, sebagaimana dikatakan oleh pentahqiq Zaadul Ma’ad.

[11] Dikeluarkan oleh Abu Daud. Namun terdapat seorang periwayat yang dho’if dan Mushorrif –ayah Tholhah- itu majhul. Lihat catatan kaki Zaadul Ma’ad, hal. 192.

[12] Zaadul Ma’ad, 1/192-193.

[13] Zaadul Ma’ad, 1/193.

[14] HR. Abu Daud no. 134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 443, dan Ahmad (5/264).

[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/118, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[16] Subulus Salam, Ash Shon’ani, 1/136-137, Mawqi’ Al Islam.

[17] Majmu’ Al Fatawa, 21/123

[18] HR. Bukhari no. 197.

[19] HR. Ibnu Khuzaimah (1/81). Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

[20] Majmu’ Al Fatawa, 21/122.

[21] Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/118, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[22] Idem

*Sumber :* https://rumaysho.com/952-meluruskan-tata-cara-wudhu-sesuai-petunjuk-nabi.html