Jumat, 09 April 2021

NYADRAN SEBELUM PUASA ROMADHON APAKAH DISUNNAHKAN DALAM ISLAM ?

NYADRAN SEBELUM PUASA ROMADHON APAKAH DISUNNAHKAN DALAM ISLAM  ?

Bismillahirrohmanirrohiim,

Nyadran atau ziarah kubur sebelum puasa Romadhon apakah disunnahkan oleh Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam ?

💜 SEJARAH NYADRAN

💥 Nyadran adalah salah satu prosesi kegiatan tahunan di bulan ruwah (sya’ban), yang dimulai dari bersih-bersih makam leluhur, masak makanan tertentu, seperti apem, bagi-bagi makanan, dan acara selamatan atau disebut kenduri. Nama nyadran sendiri berasal dari kata Sradha – nyradha – nyradhan, kemudian menjadi nyadran.
Nyadran adalah tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tungga Dewi dari kerajaan Majapahit. Saat itu ia ingin berdoa kepada ibunya yang bernama Ratu Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang diperabukan di candi Jabo. Untuk itu disiapkan sesaji yang ditujukan kepada para dewa, lalu tradisi ini dilanjutkan oleh Prabu Hayam Wuruk.
Kemudian tradisi ini dilanjutkan oleh Walisongo menjadi nyadran untuk mendoakan para orang tua di alam baka. Bedanya sesaji tidak lagi diperuntukkan kepada para dewa, tetapi sebagai sarana untuk sedekah kepada fakir miskin.
Umat Islam yang menginginkan kebenaran tentu sepakat bahwa nyadran seratus persen bukanlah ajaran dari Islam. Hanya saja, oleh sebagian orang mengklaim sebagai bagian dari Islam. Mulai dari sejarah yang melatar belakanginya, hingga perjalanannya, bukti nyata bahwa nyadran bukan ajaran Islam. Bahkan sejatinya, nyadran merupakan reminisensi (kenangan) dari ajaran Hindu.
Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban ini dinamakan dengan bulan Ruwah. Para tokoh mengatakan bahwa kata ruwah berasal dari kata ngluru dan arwah. Dalam pandangan falsafah jawa, bulan Ruwah kemudian dipercaya sebagai saat yang tepat untuk ngluru arwah atau mengunjungi arwah leluhur.

💥 Adakah yang salah dari nyadran ?

💥 Kesalahannya yaitu menyelisihi Al Qur’an dan Assunnah.

💥 Untuk itu mari kita merujuk ke Al Qur’an dan Assunnah :

1. LARANGAN MENGKHUSUSKAN WAKTU

■ Mengkaitkan ziarah dengan waktu tertentu. 

💥 Perintah Rosulullah yang menjadi dasar sunnahnya ziarah kubur tidak dikaitkan dengan waktu-waktu tertentu. Pengkaitan sesuatu dengan waktu tertentu, pasti dilandasi dengan adanya keyakinan tertentu pula. Demikianlah nyadaran, dilakukan pada bulan ruwah karena memandang bahwa pada bulan ini adalah saat yang tepat untuk melakukan ziarah. Jika demikian maka tujuan syari’ah untuk mengingat mati dan mendekatkan diri kepada Allah akan hilang. Atau kalaupun ingat mati, tetapi tidak ditindak lanjuti dengan amal sholih yang syar’i.
Fenomena ini terjadi berulangkali setiap tahunnya hingga turun-temurun, padahal Islam tidak mengajarkan waktu-waktu tertentu (khusus) untuk beramal ibadah, kecuali jika ada perintahnya dari Allah dan Rosul-Nya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam :
’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul Mukminin, bagaimanakah Rosulullah shollallahu ’alaihi wa sallam beramal ? Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal ?” ’Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَطِيعُ

”Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Siapa saja di antara kalian pasti mampu melakukan yang beliau shollallahu ’alaihi wa sallam lakukan.”
(HR. Bukhori No. 1987 dan Muslim No. 783)

2. LARANGAN MENGIKUTI BUDAYA ORANG KAFIR

💥 Salah satu fenomena akhir zaman, yang dialami umat Islam, membeo (mengikuti) kepada orang kafir dalam tradisi dan dan ritual mereka.

💥 Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ

“Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan kaum sebelum kalian, sama persis sebagaimana jengkal tangan kanan dengan jengkal tangan kiri, hasta kanan dengan hasta kiri. Sampai andaikan mereka masuk ke liang biawak, kalian akan mengikutinya.” 
(HR. Bukhori No. 3456, Muslim No. 2669 dan yang lainnya)

💥 Meskipun konteks hadits ini berbicara tentang orang yahudi dan nasrani, tapi secara makna mencakup seluruh kebiasaan kaum muslimin yang mengikuti tradisi dan budaya yang menjadi ciri khas orang kafir.
Sementara, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kaidah, meniru ritual orang kafir, apapun bentuknya, berarti telah meniru kebiasaan mereka. Dan tindakan ini telah melanggar peringatan dalam hadits dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” 
(HR. Ahmad 2 : 50 dan Abu Daud No. 4031)

(Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1 : 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid / bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil No. 1269)

💥 Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara lahiriyah ?

💥 Ibnu Taimiyah rohimahullah berkata :

أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ

“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir.” 
(Majmu’ Al Fatawa, 22 : 154)

💥 Di tempat lain dalam Majmu’ Al Fatawa, beliau berkata :

فَإِذَا كَانَ هَذَا فِي التَّشَبُّهِ بِهِمْ وَإِنْ كَانَ مِنْ الْعَادَاتِ فَكَيْفَ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيمَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ ؟!

“Jika dalam perkara adat (kebiasaan) saja kita dilarang tasyabbuh dengan mereka, bagaimana lagi dalam perkara yang lebih dari itu ?”
(Majmu’ Al Fatawa, 25: 332)

3. LARANGAN MENDAHULUI ALLAH DAN ROSUL-NYA

💥 Perkara ibadah itu haknya Allah. Untuk itu kita sebagai hamba-Nya, sebaiknya jangan sampai mendahului Allah dalam melakukan suatu ibadah sebelum diperintahkan oleh-Nya, karena hal tersebut termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dosa.

💥 Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama :

الأصل في العبادات التحريم

“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”

💥 Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri berkata :
“(Dengan kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang tidak dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan diharamkan.”
(Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 90)

💥 Allah Ta’ala berfirman yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rosul-Nya.”
(QS. Al Hujurot 1)

💥 Yaitu janganlah kalian mendahulukan perkataan siapapun dari perkataan Allah dan Rosul-Nya.
Dan perhatikan pula ayat selanjutnya dari surat ini,

Allah Ta’ala berfirman yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus {pahala} amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” 
(QS. Al Hujurot 2)

4. MENJADIKAN KUBURAN SEBAGAI TEMPAT IBADAH

💥 Antara bid’ah kaum-kaum jahiliyah atau orang-orang kafir ialah mengkhususkan ziarah kubur menjelang Romadhon. Duduk membaca Al Qur’an, berdzikir, bertahmid, menanam pokok, menabur bunga, mempercantik kubur, menghias, menutup kepala nisan dengan kain putih atau kuning, bertawassul dengan ahli kubur dan ada membawa makanan untuk bersantap di kuburan.

💥 Imam Asy Syafi’i rohimahullah mengharamkan makan-makan di kuburan dan beliau berfatwa :

ويكره …. نقل الطعام الى القبور

“Dimakruhkan (haram) membawa makanan ke kuburan”. 
(Lihat : الطالبين اعانة (ina’atu Ath Tholibin) Juz. 2 hlm. 146)

💥 Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِى عِيدًا وَصَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِى حَيْثُ كُنْتُمْ

“Janganlah jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied, sampaikanlah sholawat kepadaku karena sholawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada.” 
(HR. Abu Daud no. 2042 dan Ahmad 2 : 367)

💥 Hadits ini shohih dilihat dari berbagai jalan penguat, sebagaimana komentar Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth dalam catatan kaki Kitab Tauhid, hal. 89-90).

💥 Dalam ‘Aunul Ma’bud (6 : 23) disebutkan, “Yang dimaksud ‘ied adalah perkumpulan di suatu tempat yang terus berulang baik tahunan, mingguan, bulanan, atau semisal itu.”

💥 Ibnul Qoyyim dalam Ighotsatul Lahfan (1 : 190) mengatakan :
“Yang dimaksud ‘ied adalah waktu atau tempat yang berulang datangnya. Jika ‘ied bermakna tempat, maksudnya adalah tempat yang terus menerus orang berkumpul di situ untuk melakukan ibadah dan selainnya. Sebagaimana Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, Arofah, dan Masya’ir dijadikan oleh Allah sebagai ‘ied bagi orang-orang beriman. Sebagaimana hari dijadikan orang-orang berkumpul di sini disebut sebagai ‘ied (yaitu Idul Adha). Orang-orang musyrik juga memiliki ‘ied dari sisi waktu dan tempat. Ketika Allah mendatangkan Islam, perayaan yang ada diganti dengan Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr). Sedangkan untuk tempat sebagai ‘ied, digantikan dengan Ka’bah, Mina, Muzdalifah dan Masya’ir.”

💥 Ibnu Taimiyah berkata bahwa :
“Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sholawat dan salam bisa sampai pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat maupun jauh, sehingga tidak perlu menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied. 
(Dinukil dari Fathul Majid hal. 269)

💥 Tidak perlu dijadikan sebagai ‘ied yang dimaksud adalah terlarang mengulang-ulang ziarah kubur ke sana. 

💥 Syaikh Muhammad At Tamimi rohimahullah berkata :

نهيه عن الإكثار من الزيارة

“Hadits tersebut menunjukkan terlarangnya memperbanyak ziarah ke kubur beliau.” 
(Kitab Tauhid, hal. 91)

💥 Di halaman yang sama, Syaikh Muhammad At Tamimi menyampaikan faedah dari hadits yang kita kaji,

نهيه عن زيارة قبره على وجه مخصوص ، ومع أن زيارته من أفضل الأعمال

“Hadits ini juga menerangkan bahwa terlarang berziarah kubur dengan tata cara khusus ke kubur nabi, walaupun ziarah ke kubur beliau adalah amalan yang utama.”

💥 Hadits ini dapat dipahami bahwa tidak boleh menjadikan kubur Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ‘ied, di antara maknanya adalah tidak boleh meyakini bahwa sebaik-baik tempat untuk berkumpul adalah di sisi kubur beliau, atau sebaik-baik tempat untuk beribadah seperti doa atau baca doa di kubur beliau. Begitu pula tidak boleh meyakini adanya waktu tertentu yang lebih utama untuk ziarah kubur seperti saat Maulid Nabi menurut keyakinan sebagian orang.
Jika kubur Nabi saja tidak boleh dijadikan sebagai ‘ied semacam ini, maka lebih-lebih lagi kubur lainnya seperti di kubur wali, kyai, “Gus …” atau habib.

💥 Sebagian orang menganjurkan untuk melaksanakan haul di kubur-kubur wali atau orang sholih untuk mengenang wafatnya mereka, ini sungguh suatu yang tidak berdasar. Jika kubur Nabi saja tidak boleh dijadikan haul, apalagi kubur lainnya. Termasuk dalam perkara yang kita bahas yaitu mengkhususkan ziarah kubur menjelang Romadhon, itu justru menyelisihi hadits yang melarang menjadikan kubur sebagai ‘ied.

💥 Resiko Mengamalkan Ibadah yang tidak ada perintahnya dari Allah dan Rosul-Nya

■ DOSA YANG MENGALIR TERUS-MENERUS

💥 Hati-hatilah saudaraku bila kita melakukan suatu ibadah tanpa adanya dalil atau perintah dari Allah dan Rosul-Nya, kemudian generasi kita mengikutinya, maka dosanya akan menimpa diri kita yang akan mengalir terus-menerus, sebagaimana bunyi hadits berikut ini,

💥 Dari Abu Hurairah rodhiyallahu anhu , bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

"Barangsiapa mengajak {manusia} kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak {manusia} kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun."
(HR. Muslim, no. 2674, Abu Dawud, no. 4611, Tirmidzi, no. 2674, Ibnu Majah, no. 206, Ahmad, II/397, Ad-Darimi, I/130-131, Abu Ya’la, no. 6489, hadits shohih)

■ AMAL IBADAH DITOLAK ALLAH

💥 Allah Ta’ala berfirman :

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى

“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
(QS. Thoha 123)

💥 Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda :

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“. . Hati-hatilah dari perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya perkara yang diada-adakan itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.”
(HR. Muslim No. 867)

💥 Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda :

وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ

“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” 
(HR. An Nasa’i no. 1578)

💥 Maksud bid’ah yang Nabi peringatkan kepada umatnya adalah bid’ah dalam urusan agama bukan bid’ah dalam urusan dunia, sebab hal-hal yang sifatnya duniawi tidak termasuk bid’ah.

💥 Kita perhatikan hadits berikut ini :

من احدث في امرنا هد ما ليس منه فهو رد

“Man ahdasa fii amrinaa hadzaa maa laisa minhu fahua roddun.”

Artinya :
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini {agama / ibadah} yang tidak ada asalnya {tidak Rosululloh lakukan / perintahkan}, maka perkara tersebut tertolak.”
(HR. Bukhori No.20 dan Muslim No. 1718)

💙NYADRAN KINI

Kini nyadran menjadi agenda tradisi yang banyak dilestarikan oleh masyarakat muslim yang masih percaya dan taklid kepada para ulamanya, bapak moyangnya dan sebagainya. Sampai-sampai dibuatkan acara yang begitu meriah seperti perayaan, dari sesaji yang paling sederhana berbiaya kecil hingga sesaji mewah berbiaya puluhan juta. Sesaji (hidangan, kalau tak boleh disebut sesaji) biasa dimakan di makam, masjid, atau bahkan di alun-alun. Dalam penyajian hidangan ada pula yang mengorbankan binatang korban ditujukan kepada mayat yang sudah dimakamkan. Tradisi di tingkat kabupaten biasa disebut Nyadran Agung. Sungguh memprihatinkan dengan cara beragama orang-orang Islam di zaman sekarang, penyimpangan-penyimpangan atau kedustaan yang dilakukan atas nama
agama.

💥 “Beribadah tanpa ada perintahnya dari Allah dan Rosul-Nya (tanpa dalil)  sangatlah beresiko, baik di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, karena nerakalah tempatnya. Moga kita semua selalu dilindungi Allah dari jalan kesesatan, aamiin.....”

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar