Selasa, 29 Desember 2020

HUKUM DOA AKHIR TAHUN DAN DOA AWAL TAHUN ???

DOA AKHIR TAHUN  DAN DOA AWAL TAHUN ???

Ustadz. Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc. حفظه الله تعالى menjawab pernyataan Idrus Ramli tentang adanya doa akhir tahun.


Doa semacam ini murni bukan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada dasarnya.

(Tashih ad-Dua, hlm. 108).

🍃 Keterangan yang sama juga disampaikan Syaikh Khalid Abdul Mun’im Rifa’i,

ينبغي للمسلم اجتناب تخصيص نهاية العام أو بداية العام الجديد بشيء من العبادات؛ فكل خير في اتباع من سلف

Selayaknya bagi setiap muslim untuk tidak mengkhususkan akhir tahun atau awal tahun baru dengan ibadah apapun.
Karena kebaikan itu ada pada mengikuti ulama terdahulu.
Memahami keterangan di atas, satu prinsip yang layak kita pahami bersama, tidak ada doa tahun baru hijriyah.

👉 Sementara doa yang tersebar di masyarakat, yang bunyinya,

اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ….الخ.

Ya Allah, tampakkan bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam…dst.

👉 Doa ini shahih, diriwayatkan Ahmad, Turmudzi dan yang lainnya, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth.

Hanya saja, doa ini bukan doa awal tahun, namun doa awal bulan.
Dianjurkan untuk dibaca setiap awal  bulan qamariyah.
Mengkhususkan doa ini hanya ketika tahun baru hijriyah, termasuk menyalahi fungsi dari doa.

♻ ADAPUN SYUBHAT GUS IDRUS bisa diberi tanggapan atas tulisan Gus Idrus Ramli di atas doa akhir tahun.

Doa merupakan ibadah agung dan berpahala besar serta murni hak Allah dalam membuat ketetapan, pengabulan dan pembalasannya, sehingga ibadah doa harus mengikuti petunjuk nabi.

Doa ada dua macam :

~ Doa mutlak.
~ Doa muqayyad.

👉 Doa mutlak adalah prosesi doa yang tidak terikat oleh tempat, waktu, tata cara tertentu, seremonial khusus, dan bacaan tertentu alias doa bebas.

👉 Doa muqayyad adalah doa yang terikat oleh waktu, tempat, tata cara, seremonial dan bacaan tertentu seperti doa jima, masuk masjid, melihat hilal, doa thawaf antara rukun yamani dan hajar aswad, doa mendengar adzan dll.

Adapun doa akhir tahun hijriyah tidak termasuk doa muqayyad sehingga tertolak sebab kalau doa tersebut baik, sementara Rasulullah tidak mengajarkan dan para shahabat tidak mempraktekkan maka hanya ada beberapa kemungkinan...

~ Mungkin tidak mengetahui kebaikan tersebut.
~ Mungkin beliau tahu tapi menyampaikan kepada kita.
~ Mungkin tahu bahwa itu bagus namun beliau benci pada kebaikan tersebut.
~ Mungkin beliau malas melakukannya.
~ Mungkin adanya penghalang untuk mengamalkan.
Jelas semuanya tidak mungkin !!!

Hanya ada kepastian yang terakhir yaitu Allah dan Rasul-Nya tidak menyariatkannya.

✨ Adapun bantahan terhadap dalih Gus Idrus Ramli tentang doa akhir tahun sebagai berikut :

👉 Gus Idrus berdalil dengan dalil mutlak dan umum tanpa ada dalil khususnya, maka demikian itu menyelisihi kaidah mu'tabar para ulama.

Sebab kaidah yang mu'tabar tersebut adalah :

المطلق يجري على إطلاقه إذا لم يقم دليل التقييد نصا أو دلالة
( درر الحكام في شرح مجلة الأحكام)
Dalil mutlak tetap pada kemutlakannya selama tidak ada dalil yang mentaqyidnya baik itu secara nash (eksplisit) maupun dilâlah (implisit).

Sedangkan Gus Idrus, tidak menyebutkan satupun dalil / nash yang menunjukkan taqyid doa pada akhir tahun atau awal tahun...

👉 Ternyata dalil yang digunakan Gus Idrus adalah QIYAS, padahal pendapat yang rajih di dalam ibadah adalah tidak ada qiyas di dalamnya.

Maka Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah berkata :

كان أحمد وغيره من فقهاء أهل الحديث يقولون: إن الأصل في العبادات التوقيف، فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله، وإلا دخلنا في معنى قوله تعالى: أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Imam Ahmad dan selain beliau dari kalangan fuqoha ahli hadits berpendapat bahwa hukum asal di dalam ibadah adalah 'tauqîf' (berhenti/tdk dilakukan), dan tidak disyariatkan kecuali yang Allâh syariatkan.

Karena apabila tidak, maka kita akan masuk dalam firman Allâh Ta'âlâ :

"Apakah mereka memiliki sekutu² yang mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allâh."

👉 Kemudian, ada satu rukun qiyas yang tidak terpenuhi di dalam ibadah, yaitu 'illat, karena di dalam kaidah dikatakan

من أركان القياس العلة، فما لم تعرف علته لا يقاس عليه

Diantara rukun qiyas adalah adanya illat, apabila tidak diketahui illatnya, maka tidak bisa diqiyaskan...

Kemudian di dalam al-Mausû'ah al-Fiqhiyyah dikatakan :

الأصل في أحكام العبادات عدم التعليل، لأنها قائمة على حكمة عامة

Hukum asal di dalam hukum ibadah adalah tidaknya 'illat, karena ibadah tegak di atas hikmah yang luas (umum)...

Sehingga mengqiyaskan dalil² yang khusus dari Nabi, untuk melegitimasi amalan yang tidak pernah dianjurkan Nabi dan tidak pula diamalkan salaf, adalah bukan saja dikatakan qiyâs ma'al fâriq, namun QIYÂS FÂSID alias qiyas yang rusak.

♻ NASEHAT DAN PENUTUP

لو كان خيرا لسبقونا إليه

Sekiranya perbuatan tersebut baik, niscaya mereka (para salaf) akan mendahului kita

وكل خير في اتباع من سلف وكل شر في ابتداع من خلف

Segala kebaikan adalah di dalam ittiba' para salaf, dan segala keburukan adalah di dalam perbuatan bid'ah kaum kholaf

قف حيث وقف القوم  وقل فيما قالوا وكف عما كفوا عنه ،واسلك سبيل سلفك الصالح فإنه يسعك ما وسعهم

Berhentilah dimana kaum salaf berhenti, katakan apa yang mereka ucapkan, dan tahanlah dari apa yang mereka cegah, serta berjalanlah di atas jalan salafmu yang shalih, karena apa yang memadai bagimu telah memadai bagi mereka

اتبع طرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين

Ikuti jalan² petunjuk dan tidaklah akan mencederaimu sedikitnya orang yang berjalan mengikutinya

وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين

Dan jauhilah olehmu jalan-jalan kesesatan, dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang-orang yang binasa.
_____

Minggu, 13 Desember 2020

SAKARATUL MAUT, DETIK-DETIK YANG MENEGANGKAN LAGI MENYAKITKAN[1]

Baca artikel yaa, biar semangat ibadah

SAKARATUL MAUT, DETIK-DETIK YANG MENEGANGKAN LAGI MENYAKITKAN[1]

 Oleh Dr Muhammad bin Abdul Aziz bin Ahmad Al’Ali 

Kematian akan menghadang setiap manusia. Proses tercabutnya nyawa manusia akan diawali dengan detik-detik menegangkan lagi menyakitkan. Peristiwa ini dikenal sebagai sakaratul maut. Ibnu Abi Ad-Dunya rahimahullah meriwayatkan dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kematian adalah kengerian yang paling dahsyat di dunia dan akhirat bagi orang yang beriman. Kematian lebih menyakitkan dari goresan gergaji, sayatan gunting, panasnya air mendidih di bejana.
Seandainya ada mayat yang dibangkitkan dan menceritakan kepada penduduk dunia tentang sakitnya kematian, niscaya penghuni dunia tidak akan nyaman dengan hidupnya dan tidak nyenyak dalam tidurnya”[2]. 

Di antara dalil yang menegaskan terjadinya proses sakaratul maut yang mengiringi perpisahan jasad dengan ruhnya, firman Allah:

 وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَاكُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ

 “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya”. [Qaaf: 19] 

Maksud sakaratul maut adalah kedahsyatan, tekanan, dan himpitan kekuatan kematian yang mengalahkan manusia dan menguasai akal sehatnya. Makna bil haq (perkara yang benar) adalah perkara akhirat, sehingga manusia sadar, yakin dan mengetahuinya. Ada yang berpendapat al haq adalah hakikat keimanan sehingga maknanya menjadi telah tiba sakaratul maut dengan kematian[3]. Juga ayat: 

كَلآ إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ
 {26} وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ {27} وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ {28} وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ {29} إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ

 “Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan”. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan). Dan kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau”. [Al Qiyamah: 26-30]

 Syaikh Sa’di menjelaskan: “Allah mengingatkan para hamba-Nya dengan keadan orang yang akan tercabut nyawanya, bahwa ketika ruh sampai pada taraqi yaitu tulang-tulang yang meliputi ujung leher (kerongkongan), maka pada saat itulah penderitaan mulai berat, (ia) mencari segala sarana yang dianggap menyebabkan kesembuhan atau kenyamanan. Karena itu Allah berfiman: “Dan dikatakan (kepadanya): 
“Siapakah yang akan menyembuhkan?” artinya siapa yang akan meruqyahnya dari kata ruqyah. Pasalnya, mereka telah kehilangan segala terapi umum yang mereka pikirkan, sehingga mereka bergantung sekali pada terapi ilahi. Namun qadha dan qadar jika datang dan tiba, maka tidak dapat ditolak. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan dengan dunia. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), maksudnya kesengsaraan jadi satu dan berkumpul. 
Urusan menjadi berbahaya, penderitaan semakin sulit, nyawa diharapkan keluar dari badan yang telah ia huni dan masih bersamanya. Maka dihalau menuju Allah Ta’ala untuk dibalasi amalannya, dan mengakui perbuatannya. Peringatan yang Allah sebutkan ini akan dapat mendorong hati-hati untuk bergegas menuju keselamatannya, dan menahannya dari perkara yang menjadi kebinasaannya.
 Tetapi, orang yang menantang, orang yang tidak mendapat manfaat dari ayat-ayat, senantiasa berbuat sesat dan kekufuran dan penentangan”.[4]

 Sedangkan beberapa hadits Nabi yang menguatkan fenomena sakaratul maut: Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita (menjelang ajal menjemput Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) 

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ أَوْ عُلْبَةٌ فِيهَا مَاءٌ فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ فَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ وَيَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُولُ فِي أخرجه البخاري ك الرقاق باب سكرات الموت و في المغازي باب مرض النبي ووفاته. الرَّفِيقِ الْأَعْلَى حَتَّى قُبِضَ وَمَالَتْ “

Bahwa di hadapan Rasulullah ada satu bejana kecil dari kulit yang berisi air. Beliau memasukkan tangan ke dalamnya dan membasuh muka dengannya seraya berkata: “Laa Ilaaha Illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki sakaratul maut”. Dan beliau menegakkan tangannya dan berkata: “Menuju Rafiqil A’la”. Sampai akhirnya nyawa beliau tercabut dan tangannya melemas”[5] Dari Anas Radhiyallahu anhu, berkata:

 عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ يَتَغَشَّاهُ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلَام وَا أخرجه البخاري في المغازي باب مرض النبي ووفاته.اليَوْمِ َرْبَ أَبَاهُ فَقَالَ لَهَا لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ “

Tatkala kondisi Nabi makin memburuk, Fathimah berkata: “Alangkah berat penderitaanmu ayahku”. Beliau menjawab: “Tidak ada penderitaan atas ayahmu setelah hari ini…[al hadits]” [6] Dalam riwayat Tirmidzi dengan, ‘Aisyah menceritakan: 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا أَغْبِطُ أَحَدًا بِهَوْنِ مَوْتٍ بَعْدَ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ شِدَّةِ مَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أخرجه الترمذي ك الجنائز باب ما جاء في التشديد عند الموت وصححه الألباني 

“Aku tidak iri kepada siapapun atas kemudahan kematian(nya), sesudah aku melihat kepedihan kematian pada Rasulullah”.[7]

 Dan penderitaan yang terjadi selama pencabutan nyawa akan dialami setiap makhluk. Dalil penguatnya, keumuman firman Allah: “Setiap jiwa akan merasakan mati”. (Ali ‘Imran: 185)

. Dan sabda Nabi: “Sesungguhnya kematian ada kepedihannya”. Namun tingkat kepedihan setiap orang berbeda-beda. [8] 

KABAR GEMBIRA UNTUK ORANG-ORANG YANG BERIMAN. 

Orang yang beriman, ruhnya akan lepas dengan mudah dan ringan. Malaikat yang mendatangi orang yang beriman untuk mengambil nyawanya dengan kesan yang baik lagi menggembirakan. Dalilnya, hadits Al Bara` bin ‘Azib Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang proses kematian seorang mukmin:

 إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنْ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنْ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِنْ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلَام حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ قَالَ فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَلِكَ الْكَفَنِ وَفِي ذَلِكَ الْحَنُوطِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ 

Baca Juga  Mengakhirkan Penguburan Mayat Karena Menunggu Datangnya Kerabat “Seorang hamba mukmin, jika telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat, maka malaikat akan mendatanginya dari langit, dengan wajah yang putih. 
Rona muka mereka layaknya sinar matahari. Mereka membawa kafan dari syurga, serta hanuth (wewangian) dari syurga. Mereka duduk di sampingnya sejauh mata memandang. Berikutnya, malaikat maut hadir dan duduk di dekat kepalanya sembari berkata: “Wahai jiwa yang baik –dalam riwayat- jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaannya”. 
Ruhnya keluar bagaikan aliran cucuran air dari mulut kantong kulit. Setelah keluar ruhnya, maka setiap malaikat maut mengambilnya. Jika telah diambil, para malaikat lainnya tidak membiarkannya di tangannya (malaikat maut) sejenak saja, untuk mereka ambil dan diletakkan di kafan dan hanuth tadi. Dari jenazah, semerbak aroma misk terwangi yang ada di bumi..”[al hadits].[9] Malaikat memberi kabar gembira kepada insan mukmin dengan ampunan dengan ridla Allah untuknya. Secara tegas dalam kitab-Nya, Allah menyatakan bahwa para malaikat menghampiri orang-orang yang beriman, dengan mengatakan janganlah takut dan sedih serta membawa berita gembira tentang syurga. Allah berfirman:

 إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلآتَخَافُوا وَلاَتَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ {30} نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَدَّعُونَ “

Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Rabb kami adalah Allah kemudian mereka beristiqomah, maka para malaikat turun kepada mereka (sembari berkata):” Janganlah kamu bersedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.
 Sebagai hidangan (bagimu) dari Rabb Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Fushshilat: 30] Ibnu Katsir mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang ikhlas dalam amalannya untuk Allah semata dan mengamalkan ketaatan-Nya berdasarkan syariat Allah niscaya para malaikat akan menghampiri mereka tatkala kematian menyongsong mereka dengan berkata “janganlah kalian takut atas amalan yang kalian persembahkan untuk akhirat dan jangan bersedih atas perkara dunia yang akan kalian tinggalkan, baik itu anak, istri, harta atau agama sebab kami akan mewakili kalian dalam perkara itu. Mereka (para malaikat) memberi kabar gembira berupa sirnanya kejelekan dan turunnya kebaikan”. 
Kemudian Ibnu Katsir menukil perkataan Zaid bin Aslam: “Kabar gembira akan terjadi pada saat kematian, di alam kubur, dan pada hari Kebangkitan”. Dan mengomentarinya dengan: “Tafsiran ini menghimpun seluruh tafsiran, sebuah tafsiran yang bagus sekali dan memang demikian kenyataannya”. Firman-Nya: “Kamilah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat maksudnya para malaikat berkata kepada orang-orang beriman ketika akan tercabut nyawanya, kami adalah kawan-kawan kalian di dunia, dengan meluruskan, memberi kemudahan dan menjaga kalian atas perintah Allah, demikian juga kami bersama kalian di akhirat, dengan menenangkan keterasinganmu di alam kubur, di tiupan sangkakala dan kami akan mengamankan kalian pada hari Kebangkitan,

 Penghimpunan, kami akan membalasi kalian dengan shirathal mustaqim dan mengantarkan kalian menuju kenikmatan syurga”.[10] Dalam ayat lain, Allah mengabarkan kondisi kematian orang mukmin dalam keadaan baik dengan firman-Nya:

 الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ 

“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salamun ‘alaikum (keselamatan sejahtera bagimu)”, masuklah ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. [An Nahl: 32] .

 Syaikh Asy Syinqithi mengatakan: “Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa, yang melaksanakan perintah Rabb mereka dan menjauhi larangan-Nya akan diwafatkan para malaikat yaitu dengan mencabut nyawa-nyawa mereka dalam keadaan thayyibin (baik), yakni bersih dari syirik dan maksiat, (ini) menurut tafsiran yang paling shahih, (juga) memberi kabar gembira berupa syurga dan menyambangi mereka mereka dengan salam…[11]

 MENGAPA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENDERITA SAAT SAKARATUL MAUT?

 Kondisi umum proses pencabutan nyawa seorang mukmin mudah lagi ringan. Namun kadang-kadang derita sakarul maut juga mendera sebagian orang sholeh. Tujuannya untuk menghapus dosa-dosa dan juga mengangkat kedudukannya. Sebagaimana yang dialami Rasulullah. Beliau Shallallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan pedihnya sakaratul maut seperti diungkapkan Bukhari dalam hadits ‘Aisyah di atas. Ibnu Hajar mengatakan

 “Dalam hadits tersebut, kesengsaran (dalam) sakaratul maut bukan petunjuk atas kehinaan martabat (seseorang). Dalam konteks orang yang beriman bisa untuk menambah kebaikannya atau menghapus kesalahan-kesalahannya”[12]

 Menurut Al Qurthubi dahsyatnya kematian dan sakaratul maut yang menimpa para nabi, maka mengandung manfaat : Pertama : Supaya orang-orang mengetahui kadar sakitnya kematian dan ia (sakaratul maut) tidak kasat mata. Kadang ada seseorang melihat orang lain yang akan meninggal. Tidak ada gerakan atau keguncangan. Terlihat ruh keluar dengan mudah. Sehingga ia berfikir, perkara ini (sakaratul maut) ringan. Ia tidak mengetahui apa yang terjadi pada mayat (sebenarnya). Tatkala para nabi, mengabarkan tentang dahsyatnya penderitaan dalam kematian, kendati mereka mulia di sisi Allah, dan kemudahannya untuk sebagian mereka, maka orang akan yakin dengan kepedihan kematian yang akan ia rasakan dan dihadapi mayit secara mutlak, berdasarkan kabar dari para nabi yang jujur kecuali orang yang mati syahid. 

Kedua : Mungkin akan terbetik di benak sebagian orang, mereka adalah para kekasih Allah dan para nabi dan rasul-Nya, mengapa mengalami kesengsaraan yang berat ini?. Padahal Allah mampu meringankannya bagi mereka?. Jawabnya, bahwa orang yang paling berat ujiannya di dunia adalah para nabi kemudian orang yang menyerupai mereka dan orang yang semakin mirip dengan mereka seperti dikatakan Nabi kita. Hadits ini dikeluarkan Bukhari dan lainnya.

 Allah ingin menguji mereka untuk melengkapi keutamaan dan peningkatan derajat mereka di sisi-Nya. Ini bukan sebuah aib bagi mereka juga bukan bentuk siksaan. Allah menginginkan menutup hidup mereka dengan penderitaan ini meski mampu meringankan dan mengurangi (kadar penderitaan) mereka dengan tujuan mengangkat kedudukan mereka dan memperbesar pahala-pahala mereka sebelum meninggal. Tapi bukan berarti Allah mempersulit proses kematian mereka melebihi kepedihan orang-orang yang bermaksiat. Sebab (kepedihan) ini adalah hukuman bagi mereka dan sanksi untuk kejahatan mereka. Maka tidak bisa disamakan”.[13]

 Baca Juga  Memisahkan Pekuburan Muslim Dari Pekuburan Non Muslim

 KABAR BURUK DARI PARA MALAIKAT KEPADA ORANG-ORANG KAFIR.

 Sedangkan orang kafir, maka ruhnya akan keluar dengan susah payah, ia tersiksa dengannya. Nabi menceritakan kondisi sakaratul maut orang kafir atau orang yang jahat dengan sabdanya: “Sesungguhnya hamba yang kafir -dalam riwayat lain- yang jahat jika akan telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat, maka malaikat-malaikat yang kasar akan dari langit dengan wajah yang buruk dengan membawa dari neraka. Mereka duduk sepanjang mata memandang. 
Kemudian malaikat maut hadir dan duduk di atas kepalanya dan berkata: “Wahai jiwa yang keji keluarlah engkau menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya”. Maka ia mencabut (ruhnya) layaknya mencabut saffud (penggerek yang) banyak mata besinya dari bulu wol yang basah. [14] 

Secara ekspilisit, Al Quran telah menjelaskan bahwa para malaikat akan memberi kabar buruk kepada orang kafir dengan siksa. Allah berfirman:

 ” وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ ۖ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ

 “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat mumukul dengan tangannya, (Sambil berkata): “Keluarkan nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatnya”. [Al An’am: 93] 

Maksudnya, para malaikat membentangkan tangan-tangannya untuk memukuli dan menyiksa sampai nyawa mereka keluar dari badan. Karena itu, para malaikat mengatakan: “Keluarkan nyawamu”. Pasalnya, orang kafir yang sudah datang ajalnya, malaikat akan memberi kabar buruk kepadanya yang berbentuk azab, siksa, belenggu, dan rantai, neraka jahim, air mendidih dan kemurkaan Ar Rahman (Allah).
 Maka nyawanya bercerai-berai dalam jasadnya, tidak mau taat dan enggan untuk keluar. Para malaikat memukulimya supaya nyawanya keluar dari tubuhnya. Seketika itu, malaikat mengatakan: “Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatnya”.. 
artinya pada hari ini, kalian akan dihinakan dengan penghinaan yang tidak terukur karena mendustakan Allah dan (lantaran) kecongkakan kalian dalam mengikuti ayat-ayat-Nya dan tunduk kepaada para rasul-Nya.
 Saat detik-detik kematian datang, orang kafir mintai dikembalikan agar bisa masuk Islam. Sedangkan orang yang jahat mohon dikembalikan ke dunia untuk bertaubat, dan beramal sholeh. Namun sudah tentu, permintaan mereka tidak akan terkabulkan. Allah berfirman: 

حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتَ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
 {99} لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلآ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

 “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Rabbi kembalikan aku ke dunia. Agar aku berbuat amal sholeh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan”. [Al Mukminun: 99-100]

 Setiap orang yang teledor di dunia ini, baik dengan kekufuran maupun perbuatan maksiat lainnya akan dilanda gulungan penyesalan, dan akan meminta dikembalikan ke dunia meski sejenak saja, untuk menjadi orang yang insan muslim yang sholeh. Namun kesempatan untuk itu sudah hilang, tidak mungkin disusul lagi. Jadi, persiapan harus dilakukan sejak dini dengan tetap memohon agar kita semua diwafatkan dalam keadaan memegang agama Allah. Wallahu a’lamu bishshawab. Washallallahu ‘ala Muhamaad wa ‘ala alihi ajmain. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VIII/1426H/2005.

 Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _______ Footnote [1]. Diadaptasi oleh M. Ashim dari kitab Ahwalu Al Muhtazhir (Dirasah Naqdiyyah) karya Dr. Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin Ahmad Al ‘Ali, dosen fakultas Ushuluddin di Riyadh. Majalah Jam’iah Islamiyah edisi 124 tahun XXXVI -1424 H. [2]. Al Maut hlm. 69 [3]. Lihat Jami’u Al Bayan Fii Tafsiri Al Quran (26/100-101) dan Fathul Qadir (5/75). [4]. Taisir Al Karimi Ar Rahman Fi Tafsiri Kalami Al Mannan hlm. 833. [5]. HR. Bukhari kitab Riqaq bab sakaratul maut (6510) dan kitab Maghazi bab sakit dan wafatnya Nabi (4446). [6]. HR. Bukhari kitab Maghazi bab sakit dan wafatnya Nabi (4446). [7]. HR. Tirmidzi kitab Janaiz bab penderitaan dalam kematian (979). Lihat Shahih Sunan Tirmidzi (1/502 no: 979). [8]. At Tadzkirah Fi Ahwali Al Mauta Wa umuri Al Akhirah (1/50-51). [9]. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud kitab Sunnah bab pertanyaan di alam kubur dan siksanya (4753). [10]. Tafsiru Al Quranil ‘Azhim (4/100-101). [11]. Adhwaul Bayan (3/266). [12]. Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari (11/363). [13]. At Tadzkirah Fi Ahwali Al Mauta Wa umuri Al Akhirah (1/48-50) dengan diringkas [14]. HR. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud kitab Sunnah bab pertanyaan di alam kubur dan siksanya (4753).
://almanhaj.or.id

Minggu, 06 Desember 2020

Waspadai Ghibah Terselubung


▪️AKHLAQ DAN NASEHAT

" Waspadai Ghibah Terselubung "

Siang dan malam setan tak pernah bosan untuk menggoda manusia. Tak bisa menggunakan cara ini, dia mencari cara lain untuk bisa melumpuhkan benteng ketakwaan seorang hamba. Imajinasi untuk mencari ide-ide baru, guna menjerumuskan manusia ke dalam nista dan dosa, selalu bergerak dan berkembang.

Bahaya ghibah :
Sebagai contoh adalah salah satu jerat setan yang dinamakan ghibah. Ternyata banyak model ghibah yang sering terjadi dan tidak disadari. Padahal sejatinya itu adalah dosa ghibah. Hanya saja dipoles lebih halus dan kreatif, sehingga tidak disadari sebagai ghibah.

Padahal kita tahu, betapa besar bahaya daripada dosa ghibah ini. Disamping menginjak-injak harga diri saudaranya sesama muslim tanpa hak, juga akan menjadi beban berat di hari kiamat kelak (bila orang yang dighibahi tidak memaafkan). Di saat sedikit pahala amat dibutuhkan untuk menambah beratnya timbangan amal kebaikan, tiba-tiba datang orang yang pernah Anda ghibahi, kemudian dia menuntut untuk mengambil pahala kebaikan Anda, sebagai tebusan atas kezaliman yang pernah Anda lakukan kepadanya. Bila amalan kebaikan tidak mencukupi sebagai tebusan, maka amalan buruknya akan dibebankan kepada Anda. –Na’udzu billah min dzaalik-.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan (seperti ghibah. pent) atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449, hadis Abu Hurairah.

Anda bisa bayangkan, betapa ruginya. Anda yang susah payah beramal, namun orang lain yang memetik buahnya. Orang lain yang berbuat dosa, sedang Anda yang merasakan pahitnya. Dan Allah tidak pernah berbuat zalim sedikitpun terhadap hambaNya. Namun ini adalah disebabkan kesalahan manusia itu sendiri. Ini dalil betapa tingginya harkat martabat seorang muslim, dan betapa besar bahaya daripada dosa ghibah.

Apakah hadis ini mengisyaratkan adanya pertentangan dengan ayat,

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS. Fathir: 18)?

Jawabannya adalah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari, tidak ada sedikitpun pertentangan antara hadis tersebut dengan ayat. Karena sejatinya, dia medapatkan hukuman seperti itu karena disebabkan oleh perbuatan dosanya sendiri, bukan karena dosa orang lain yang dibebankan kepadanya begitu saja. Jadi, pahala kebaikan yang dikurangi, dan keburukan orang lain yang dibebankan kepadanya, sejatinya adalah bentuk dari akibat dosa dia sendiri. Dan ini adalah bukti akan keadilan peradilan Allah ta’ala. (Lihat: Fathul Bari jilid 5, hal. 127)

Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengingatkan,

لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

“Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Aku bertanya :”Siapakah mereka wahai Jibril?” Jibril menjawab :”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia ( mengumpat ) dan mereka menginjak-injak kehormatan manusia.” (Hadis Sohih Riwayat Ahmad (3/223), Abu Dawud (4879).

Beberapa model ghibah terselubung adalah:

#Pertama, seorang menggunjing saudaranya untuk memeriahkan obrolan. Dia menyadari kalau ghibah ini tidak diteruskan, orang yang dia ajak bicara akan bosan, obrolan menjadi hambar. Untuk itu, dia jadikan ghibah sebagai pemeriah obrolan. Agar lebih manis dan tahan lama obrolannya. Barangkali dia berkilah untuk memupuk keakraban dan membahagiakan saudaranya (yang sedang dia ajak ngobrol).

#Kedua, mengumpat saudaranya di hadapan orang lain, untuk mengesankan bahwa dirinya adalah orang yang tidak suka ghibah, padahal sejatinya dia sedang menghibahi saudaranya. Sebagai contoh perkataan ini,” Bukan tipe saya suka ngomongin aib orang. Saya nda’ biasa ngomongin orang kecuali yang baiknya saja. Cuma, saya ingin berbicara tentang dia apa adanya… Sebenarnya dia itu orangnya baik. Cuma yaa itu.. dia itu begini dan begini (dia sebutkan kekurangannya).” Padahal sejatinya bermaksud untuk menjatuhkan harga diri saudaranya yang ia umpat. Sungguh ironi, apakah dia kira Allah akan tertipu dengan tipu muslihat yang seperti ini, sebagaimana ia telah berhasil menipu manusia?

Maha suci Allah dari sangkaan ini.

#Ketiga, menyebutkan kekurangan saudaranya, dengan niatan untuk mengangkat martabatnya dan merendahkan kedudukan orang yang dia ghibahi.Seperti perkataan seorang, “Dari kelas satu SMA sampai kelas tiga, rapornya selalu merah. Kalau saya alhamdulillah, walaupun ngga pernah rangking satu, tapi masuk tiga besar terus.” Padahal ada maksud terselubung dari ucapan itu. Yaitu untuk mengangkat martabatnya dan menghinakan kedudukan orang lain. Orang yang seperti ini sudah jatuh tertimpa tangga pula. dia sudah melakukan ghibah, disamping itu dia juga berbuat riya’.

#Keempat, ada lagi yang mengumpat saudaranya karena dorongan hasad. Setiap kali ada orang yang menyebutkan kebaikan saudaranya, diapun berusaha untuk menjatuhkannya dengan menyebutkan kekurangan-kekurannya. Orang seperti ini telah terjurumus ke dalam dua dosa besar sekaligus; dosa ghibah dan dosa hasad.

#Kelima, menyebutkan kekurangan orang lain, untuk dijadikan bahan candaan. Dia sebutkan aib-aib saudaranya, supaya orang-orang tertawa.

Dan lebih parah lagi, bila yang dijadikan bahan candaan adalah kekurangan guru atau ustadznya. -Nas alullah as-salaamah wal ‘aafiyah-.

#Keenam, terkadang ghibah juga muncul dalam bentuk ucapan keheranan, yang terselebung motif menjatuhkan kedudukan orang lain. Semisal ucapan,”saya heran sama dia.. dari tadi dijelaskan oleh ustadznya tapi tidak faham-faham.” atau ucapan lainnya yang semisal.

#Ketujuh, mengumpat dengan ungkapan yang seakan-akan mengesankan rasa kasihan. Orang yang mendengarnya menyangka bahwa dia sedang merasa kasihan dengan orang yang ia maksudkan. Padahal sejatinya dia sedang mengumpat saudaranya. Seperti ucapan,” Saya kasihan sama dia. Sudah miskin, tapi tidak mau ikut gotong royong. Kalau ada pengajian juga nda’ pernah datang.. dst”

#Kedelapan, mengumpat saat sedang mengingkari suatu maksiat. Seperti perkataan seorang ketika melihat anak-anak muda yang sedang main gitar di poskamling, “Kalian ini masih muda. Gunakanlah waktu kalian untuk hal-hal yang bermanfaat dan produktif. Supaya masa depan kalian lebih cerah, dan kalian bisa memetik buah manisnya nanti di masa tua. Jangan seperti anaknya pak lurah itu, kerjaannya hanya main kartu, gitaran, minum-minuman….” atau ucapan yang semisal.

Sejatinya pemaparan poin-poin di atas, merujuk kepada pengertian asal daripada ghibah, yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam sabda beliau,

Saudaraku, demikianlah beberapa praktek ghibah yang sering terjadi dan tidak disadari. Padahal sejatinya ia adalah ghibah yang telah disinggung oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam sabda beliau,

مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kaliana apa itu ghibah?”tanya Rasulullah kepada para sahabatnya. Sahabat menjawab : Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Yaitu engkau menyebutkan (mengumpat) sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Kemudian ada yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Bagaimanakah pendapat engkau bila yang disebutkan itu memang benar ada padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kalau memang ia benar begitu berarti engkau telah mengumpatnya. Tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya” ( HR Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999.

Semoga Allah ‘azza wa jalla menyelamatkan kita dari dosa ini. Dan senantiasa menambahkan taufik dan hidayahNya untuk kita semua.

Wasallallahu ‘ ala nabiyyina Muhammad wa ‘ ala alihi wa shahbihi wasallam.

بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ

ORANG YANG MERASAKAN LEZATNYA SHOLAT MALAM--------------

🍁بســـــــــــــم الله الر حمن الر حيم

ORANG YANG MERASAKAN LEZATNYA SHOLAT MALAM-------------------
---------------------------------

*Abu Sulaiman* rohimahulloh pernah berkata :

أهْلُ اللَّيْلِ فِيْ لَيْلِهِمْ ألَذُّ مِنْ أهْلِ اللَّهْوِ فِيْ لَهْوِهِمْ، وَلَوْ لَا اللَّيْلُ مَا أحْبَبْتُ الْبَقَاءَ فِيْ الدُّنْيَا

_"Orang yang biasa menghidupkan malam harinya dengan sholat, *lebih merasakan kelezatan/kenikmatan di malam hari yang dilaluinya itu*, daripada orang-orang yang bercanda dengan candanya._ 

_Seandainya tidak ada waktu malam, aku tidak suka hidup lebih lama lagi di dunia ini !"_

( *Mukhtashor Minhajul Qoshidin*, hal. 64) 

*Catatan :

1. Ya, diantara sifat-sifat orang yang bertakwa itu adalah : *biasa bangun di akhir malam untuk menunaikan sholat tahajjud, membaca Al-Qur'an, berdoa, berdzikir dan banyak memohon ampun kepada Alloh ta'ala.*

Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya :

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ 

_"Mereka itu sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”_ [QS Adz-Dzaariyaat : 17-18] 

*Ibnu ‘Abbas* rodhiyallohu anhuma menjelaskan :

_"Tak ada satu pun malam yang terlewatkan oleh mereka, melainkan mereka melakukan shalat, walaupun hanya beberapa raka’at saja.”_ ( *Tafsir Ath-Thobari*,13/197) 

*Al-Hasan Al-Bashri* rohimahulloh juga menjelaskan :

_"Setiap malam, mereka itu tidak tidur, kecuali sangat sedikit sekali.”_

Beliau juga berkata :

_"Mereka melakukan shalat malam dengan lamanya dan penuh semangat, hingga tiba waktu memohon ampunan (kepada Alloh) di waktu sahur (yakni di akhir-akhir malam).”_ 

( *Tafsir Ath-Thobari,* 13/200)

2. Alloh subhanahu wa ta’ala juga *memuji dan menyanjung sifat-sifat mereka itu*, sebagaimana dalam firman-Nya :

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

_*“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Robb-nya dengan rasa takut dan harap,* dan mereka menafkah-kan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. *Seorang pun tidak mengetahui apa (yakni balasan) yang disembunyikan untuk mereka*, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”_ [QS As-Sajdah : 16-17]

*Al-Imam Ibnul Qayyim* rohimahulloh menjelaskan ayat tersebut di atas dengan mengatakan :

_"Cobalah renungkan, bagaimana Alloh membalas sholat malam yang mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi (di malam hari yang sepi), dengan *balasan yang Dia sembunyikan bagi mereka,* yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa (yang berupa kenikmatan-kenikmatan di dalam surga, pent.)._

_Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan shalat malam, *dengan kesenangan jiwa di dalam Surga nanti.”*_

(lihat : *Hadil Arwah ilaa Bilaadil Afroh* (hal. 278) karya Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh) 

Demikianlah diantara sifat-sifat seorang Mu'min yang benar-benar bertakwa kepada Alloh. 

Mereka itu adalah orang-orang yang benar-benar *merasakan lezatnya ibadah di malam hari.* 

Dan yang seperti itu tentunya *jumlahnya tidak banyak,* kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Alloh ta'ala untuk mudah dalam melakukannya. 

Semoga saya dan anda wahai saudaraku kaum Mualimin, termasuk dalam golongan mereka..... Aamiin...... 

_Allohu yubaarik fiikum......_

✍ Akhukum fillah, *Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby*

Semoga bermanfaat bagi kita semuanya.