Jumat, 30 November 2018

SIRAH NABI ADALAH MUJIZAT

*SIRAH NABI : SIRAH NABI ﷺ ADALAH MUKJIZAT*

📖📖________✒ __

Imām Ibnu Hazm rahimahullāh dalam buku beliau yang berjudul al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal , beliau berkata :

     _“Sesungguhnya sirah (perjalanan hidup) Muhammad ﷺ bagi siapa yang menelaah dan menghayatinya, akan mengharuskannya untuk membenarkan Nabi dan bersaksi bahwa beliau adalah benar-benar utusan Allah. Seandainya tidak ada mukjizat Nabi selain sirah beliau maka itu sudah cukup”_ *(al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal 2/73)*

📌  Di antara sekian banyak mukjizat tersebut menurut Ibnu Hazm rahimahullāh, sirah Nabi itu adalah *mukjizat tersendiri.*
Kita tahu Nabi ﷺ dianugerahi banyak mukjizat;
     *seperti Isrā Mi’rāj, air yang keluar dari tangan beliau, berkah beliau meludahi orang yang sakit kemudian sembuh (sebagaimana ‘Ali bin Abi Thālib yang matanya sakit kemudian diludahi oleh Nabi ﷺ lalu sembuh) dan mukjizat abadi dan terbesar, yaitu Al-Qurān.*

📌  Nabi ﷺ adalah sosok *pemimpin yang hebat.*
Berbicara tentang keberanian maka Nabi ﷺ adalah sosok yang paling pemberani, sampai-sampai ‘Ali bin Abi Thālib berkata:

     _“Kami jika dalam kondisi serangan musuh yang sangat kuat, kaum muslimin telah bertemu dengan musuh, maka kamipun berlindung di belakang Nabi ﷺ, tidak seorangpun dari kami yang lebih dekat kepada musuh dari pada Nabi ﷺ ”_ *(HR Ahmad no 1347 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan juga dishahihkan oleh Ahmad Syakir)*

📌  *Di dalam perang Hunain,* _suatu ketika saat para shāhabat diserang musuh, tiba-tiba Nabi ﷺ langsung menyeruak maju ke depan. Dalam hal keberanian, Nabi ﷺ tidak ada duanya. Belum lagi akhlak dan perangai beliau._

▪  Apabila Anda ingin mencari siapa sosok teladan ayah terbaik di muka bumi ini
*maka* ```Nabi ﷺ adalah ayah terbaik.```

▪  Apabila Anda ingin mencari siapa sosok suami terbaik
*maka* ```lihatlah perikehidupan Nabi sebagai sosok suami terbaik.```

Keadaan beliau ﷺ sungguh sangat menakjubkan. *Dalam segala hal, baik sebagai seorang ayah, suami, kepala negara, mufti, teman dan selainnya, maka Nabi ﷺ adalah pribadi yang menakjubkan, kesemuanya adalah mukjizat.*

Nabi ﷺ pernah bersabda :

_“Aku adalah pemimpin seluruh anak Ādam pada hari kiamat dan aku tidak sombong.”_ *(HR At-Tirmidzi no 3148 dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri dan syahidnya HR Muslim no 2278 dari Abu Hurairah)*

📌  ```Inilah tokoh yang sangat mulia``` *Rasūlullāh Muhammad bin Abdillah ﷺ.*

Maka alangkah benarnya perkataan Ibnu Hazm di atas,

     _“Barangsiapa yang mempelajari sirah Nabi maka dia akan memeluk Islam, karena jika ia mempelajari dengan sebaik-baiknya maka dia pasti yakin bahwa Muhammad adalah Rasūlullāh (utusan Allāh Subhānahu wa Ta’āla).”_

Dan salah satu contoh tentang adab dan etika makan Nabi ﷺ sebagaimana Dalam sebuah hadits disebutkan :

     _“Rasūlullāh ﷺ tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Apabila beliau suka, beliau makan dan apabila beliau tidak suka, beliau tinggalkan.”_ *(HR Muslim no 2064)*

Nabi ﷺ *tidak pernah mencela makanan sama sekali.*
dengan mengatakan:      *_“ini terlalu manis” atau “ini terlalu asin” atau “ini kurang enak” atau “ini terlalu panas” atau “ini terlalu dingin”._*

*>*     Siapakah gerangan diantara kita yang bisa seperti ini? Yaitu tidak pernah mengomentari makanan.
*>*     Bisakah kita diam dan tidak berkomentar tentang makanan dalam waktu sebulan saja?
*>*     Jangankan makanan yang kita beli, MAKANAN YANG GRATIS pun terkadang kita komentari.
*>*     terlebih lagi makanan yang kita beli dan dengan harga mahal.

📌  Sebagaimana dalam hadits ketika Khālid bin al-Walid radhiyallāhu ‘anhu suatu ketika sedang bersama Nabi dan dihidangkan seekor dhabb (kadal padang pasir) yang dimasak dengan kuahnya. Khālid bin Walid makan dengan lahapnya, sampai-sampai disebutkan kuah dari daging dhabb tersebut mengalir di jenggot beliau.

*Hukum dhabb (kadal padang pasir) ini halal.* Namun Nabi ﷺ tidak menggerakkan tangannya sama sekali karena beliau memang tidak suka, sehingga beliau tinggalkan. Hal ini menyebabkan  Khālid bin al-Walid heran, sementara beliau begitu lahap memakannya.  Lantas beliau bertanya:

    *_“Ya Rasūlullāh, apakah dhabb hukumnya haram?”,_*

yaitu seakan-akan beliau bertanya :  *_“Kenapa Anda tidak memakannya?”_*

⛔  Apabila kita dalam posisi sebagai Nabi, mungkin kita akan mengatakan:  *_“Saya ini Nabi, tidak sepatutnya dihidangkan kadal, seharusnya minimal sapi atau kambing atau unta.”_*

Tetapi Nabi ﷺ *tidak demikian.* Ketika beliau dihidangkan kadal dan beliau tidak menyukainya, maka beliau menjawab dengan komentar yang indah dan sedikitpun tidak mencela makanan tersebut.
Beliau mengatakan:

     *_“Tidak, hanya saja makanan ini tidak ada di kampungku. Saya tidak biasa memakannya karena itu tidak saya makan.”_*
*(HR Al-Bukhari no 5391 dan Muslim no 1945)*

*_Siapa saja yang mau memperhatikan hadits-hadits Nabi ﷺ, niscaya dia akan mengetahui bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Nabi dan utusan Allāh._*
   ```Dan contoh yang di jelaskan diatas adalah salah satu contoh yang kecil.```
   ```Tidak pernah seumur hidupnya beliau mencela makanan, mengomentari,``` *_“Ini terlalu manis”, “Ini terlalu asam”, “Ini terlalu asin”, atau “Ini terlalu kering”. Hal ini merupakan perkara yang luar biasa._*

📚 Sumber    : www.Firanda.com
🎙 Pemateri : Abu Abdil Muhsin Firanda
_______________✒

💎Oleh: Mutiara Risalah Islam

Sabtu, 24 November 2018

KARENA RIBA TERKENA AZAB KUBUR

*KENAL RIBA KARENA MENYAKSIKAN AZAB KUBUR*

_(Sebuah Kisah Pengingat buat Bankir dan yang masih bergelut dengan riba)_

Nama saya Indra Firmansyah, mulai merasa penuh keresahan dalam hidup sejak tahun 2015. Saya menghubungi ustadz Abu Fida (sesama orang tua wali murid di TK Sunda Kelapa) melalui sambungan telephon untuk menyatakan pertobatan dan berazzam untuk memperbaiki ibadah yang selama ini dilaksanakan alakadarnya saja.

2015 s.d. Juli 2017 saya menjalankan ibadah dengan baik tetapi kenapa hati ini masih galau. Bingung dan resah makin melanda. Dan datanglah berita duka cita itu, bulan juni atau juli 2017, salah satu sahabat baik saya meninggal dunia.

Seorang Kacab sebuah Bank plat merah dengan logo pita berlatar belakang warna biru itu meninggalkan saya dan kami semua. Sahabat yang baik, yang rajin sholat, selalu tahajjud (pada waktu jalan2 ke pulau disaat yg lain sibuk karaoke, main musik, main kartu, minum bir, beliau bertahan di kamar dan tahajud), bos yang baik, royal dalam berbagi, meninggal dunia di umur 43 tahun.

Saya dan beberapa teman dari kantornya ikut mengantar sampai ke pemakaman di Karet Tengsin depan Citywalk Sudirman. Alhamdulillah, pemakaman berjalan lancar, lau doa penutup pun dilantunkan ustadz.

Selesai berdoa kami semua siap2 beranjak pulang, lalu.... masalah dimulai. Datanglah rombongan jenazah lain menuju lokasi kuburan sahabat kami, lalu serta merta seorang ibu menghampiri dan bertanya, "Kenapa lubang kuburan anak saya dipakai ?".

Subhanallah, ternyata hari itu ada 2 jenazah yang akan dimakamkan, dan jenazah kawan saya telah salah dimakamkan di liang lahat orang lain. Keluarga sahabat saya berusaha bernegosiasi agar jenazah kedua bersedia dimakamkan di liang lahat yang seharusnya milik teman saya. Tetapi keluarga jenazah kedua bersikukuh ingin agar jenazah teman saya digali lagi dan dipindahkan.

Segala upaya dilakukan tetapi pada akhirnya, makam sahabat saya di gali lagi. Saya dan teman2 saya yg lain membatalkan diri untuk pulang dan memilih bertahan untuk ikut membantu proses penggalian ulang dan pemindahan jenazah sahabat saya.

Proses penggalian pun dimulai, dan subhanallah, saat liat lahat baru berhasil digali setengahnya, ujung2 papan baru terlihat sedikit, kami semua saling pandang satu sama lain dan merasakan jantung berdegup kencang, karena kami semua mencium bau khas seperti rambut terbakar, bau sangit seperti ada yang terbakar. Ibu sahabat saya sontak pingsan saat itu juga dan menimbulkan kekacauan dan teriakan dari ibu2 lain.

Penggalian di lanjutkan dan.... Subhanallah... kami semua melihat papan liat lahat yang sudah menghitam, serta jenazah yang sudah berasap dengan  kain kafan yang hangus, dan bau daging terbakar tercium sangat kencang sekali.... kami semua berteriak subhanallah, astaghfirullah, semua lafadz yang kami ingat kami bacakan. Para penggali makam loncat keluar dari liang lahat lalu berlari menjauh.

Ya Allah...
Sahabat kami yang rajin sholat dan royal dalam berbagi, baik hati dan disenangi bawahan, Engkau buka aibnya kepada kami, dosa apa yang ia pikul sampai ia merasakan dibakar di alam kubur padahal belum 1 jam makamnya ditutup.

Keluarga jenazah kedua pun merasa bersalah dan mengikhlaskan sahabat saya tetap dikubur di liang lahat itu, lalu, subhanallah.... para penggali kubur cepat-cepat menurunkan tanah tanpa menyusun lagi papan-papan yang sudah menghitam dan sebagian sudah patah-patah serta rapuh.

Ya Allah....
Engkau azab sahabatku, engkau buka aibnya, dan engkau buat ia dikubur langsung dengan tanah....
Ya Allah dosa apakah ini.....
Allah Maha Pengasih dan Penyayang, ibu sahabat saya dilindungi dari melihat kondisi anaknya dengan cara dipingsankan sebelum penggalian selesai.

Selesai acara penguburan lalu saya dan teman2 bersepakat untuk belajar mengaji dan mencari tahu dosa apa sampe azabnya seperti itu. Satu bulan kami keliling2 mendatangi pengajian, lalu kami semua sepakat berhenti dari profesi kami sebagai karyawan bidang keuangan.

Satu teman saya sekarang menduda karena istrinya menolak dia mengundurkan diri dari pekerjaannya..... tapi Allah buktikan janjinya, setelah berhenti kerja, dia skrg berjualan susu kefir dengan omzet sama seperti gajinya saat dia bekerja sebagai karyawan di lembaga keuangan.

Itulah awal mula saya mengenal riba dan akhirnya di referensikan oleh ustadz abi fida untuk masuk ke grup KTR Jabodetabek di bulan Agustus 2017. Semoga bermanfaat.

Sumber : WAG XBANK

*_Tambahan dari @syariahmovement:_* Cerita ini tidak bermaksud untuk membuka aib sesama muslim, melainkan agar kita bisa mengambil ibroh (pelajaran) untuk diri kita masing-masing.

_____
Follow Us:
Fanspage Fb: @syariahmovement
https://m.facebook.com/syariahmovement/

Instagram: @syariahmovement
https://www.instagram.com/syariahmovement/

WhatsApp Group (Saat ini Khusus Ikhwan/ Pria): 0896 8760 0331

#syariahmovement

Jumat, 23 November 2018

DRAJAT HADITS TENTANG ARWAH MENGUNJUNGI KELUARGA

°°DERAJAT HADITS TENTANG ARWAH MENGUNJUNGI KELUARGA°°

Dikeluarkan oleh Abul Husain Ali bin Ahmad Al Hakkari dalam kitab Hadiyyatul Ahya ilal Amwat wa Maa Yashilu Ilaihim (6) dengan sanad sebagai berikut,

أخبرنا أبو عبد الرحمن محمد بن الحسين بن موسى السلمي كتابةً قال: ثنا أبو القاسم عبد الله بن محمد النيسابوري عن علي بن موسى البصري، عن ابن جريج، عن موسى بن وردان، عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اهدوا لموتاكم)) ، قلنا: وما نهدي يا رسول الله الموتى؟ قال: ((الصدقة والدعاء)) ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن أرواح المؤمنين يأتون كل جمعة إلى سماء الدنيا فيقفون بحذاء دورهم وبيوتهم فينادي كل واحد منهم بصوت حزين: يا أهلي وولدي وأهل بيتي وقراباتي، اعطفوا علينا بشيء، رحمكم الله، واذكرونا ولا تنسونا، وارحموا غربتنا، وقلة حيلتنا، وما نحن فيه، فإنا قد بقينا في سحيق وثيق، وغم طويل، ووهن شديد، فارحمونا رحمكم الله، ولا تبخلوا علينا بدعاء أو صدقة أو تسبيح، لعل الله يرحنا قبل أن تكونوا أمثالنا، فيا حسرتاه وانداماه يا عباد الله، اسمعوا كلامنا، ولا تنسونا، فأنتم تعلمون أن هذه الفضول التي في أيديكم كانت في أيدينا، وكنا لم ننفق في طاعة الله، ومنعناها عن الحق فصار وبالاً علينا ومنفعته لغيرنا، والحساب والعقاب علينا))

Abu Abdirrahman Muhammad bin Al Husain bin Musa As Sulami secara kitabah, ia berkata, Abul Qasim Abdullah bin Muhammad An Naisaburi menuturkan kepadaku, dari Ali bin Musa Al Bashri, dari Ibnu Juraij, dari Musa bin Wirdan, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Kirimlah hadiah untuk orang-orang yang meninggal di antara kalian.” Para sahabat bertanya, “Apa yang kami kirimkan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sedekah dan doa.”Kemudian  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya arwah-arwah kaum mu’minin itu datang setiap hari Jum’at ke langit dunia, lalu mereka berdiri di atas sandal-sandal rumah mereka atau di rumah mereka. Lalu setiap mereka memanggil-manggil dengan suara yang sedih, “wahai keluargaku, wahai anakku, wahai ahli baitku, wahai kerabatku, kasihilah dengan sesuatu, semoga Allah merahmati kalian. Ingatlah kami dan janganlah kalian lupa kepada kami. Kasihilah kesendirian kami dan ketidak-mampuan kami untuk melakukan apa-apa, tidak ada yang bisa kami lakukan lagi. Karena sekarang kami tinggal di alam yang jauh dan mengikat, yang suram dan lama, dan dalam kelemahan yang sangat lemah, maka kasihilah kami semoga Allah merahmati kalian. Dan janganah kalian pelit dalam memberikan doa, sedekah atau tasbih kepada kami. Semoga Allah mengasihi kami sebelum kalian menjadi semisal kami. Jangan sampai menyesal wahai hamba Allah. Dengarlah perkataan kami, jangan lupakan kami. Kalian tahu benar bahwa karunia yang kalian miliki sekarang dulu ada di tangan kami. Kami dahulu tidak menginfakkannya dalam ketaatan kepada Allah, kami tidak membelanjakannya dalam kebenaran. Sehingga semua itu menjadi bencana bagi kami sekarang dan manfaat harta-harta itu malah didapatkan oleh orang lain. Sedangkan adzab dan hukumannya ditimpakan atas kami.”

Riwayat ini disebutkan juga dalam I’anatut Thalibin (2/161) karya Ad-Dimyathi tanpa sanad dengan lafadz,

أن أرواح المؤمنين تأتي في كل ليلة إلى سماء الدنيا وتقف بحذاء بيوتها، وينادي كل واحد منها بصوت حزين ألف مرة. يا أهلي، وأقاربي، وولدي. يا من سكنوا بيوتنا، ولبسوا ثيابنا، واقتسموا أموالنا

“Sesungguhnya arwah-arwah kaum mu’minin itu datang ke langit dunia setiap malam, lalu mereka berdiri di atas sandal-sandal rumah mereka. Lalu mereka memanggil-manggil dengan suara yang sedih sebanyak 1000 kali: ‘wahai keluargaku…’, ‘wahai kerabatku…’, ”wahai anakku…’. ‘Wahai orang-orang yang tinggal di rumah-rumah kami…’, ‘wahai orang-orang yang memakai baju-baju kami…’, ‘wahai orang-orang yang membagi harta-harta kami…’”

Disebutkan juga dalam Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib atau dikenal dengan Hasyiyah Al Bujairimi ‘ala Khathib (2/301) karya Al Bujairimi tanpa sanad. Al Bujairimi menyandarkan riwayat ini kepada Al Jami’ Al Kabir namun –wallahu a’lam– tidak kami temukan riwayat tersebut dalam Al Jami’ Al Kabir karya As Suyuthi. Walhasil, tidak ada sanad lain selain sanad di atas yang kami temukan. Dan dari sini juga kita ketahui bahwa hadits ini tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad,

Jika kita teliti sanad di atas, sangat bermasalah.

Masalah 1:

Ibnu Juraij (Abdul Malik bin Abdil  Aziz Al Qurasyi) tidak meriwayatkan dari Musa bin Wirdan. Ibnu Adi mengatakan:

فإذا روى ابن جريج عن موسى هذا الحديث يكون قد دلسه

“Jika Ibnu Juraij meriwayatkan dari Musa, maka haditsnya ini terkadang merupakan tadlis Ibnu Juraij” (Al Ilal Al Waridah fil Ahadits An Nabawiyyah, 8/318).

Al Albani ketika menjelaskan maudhu’-nya hadits:

من مات مريضاً مات شهيداً

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan sakit, ia mati syahid”

Beliau mengatakan:

خالفهم الحسن بن زياد اللؤلؤي فقال: حدثنا ابن جريج عن موسى بن وردان به، فأسقط من السند إبراهيم بن محمد

“Al Hasan bin Ziyad Al Lu’lui menyelisihi riwayat ini, ia berkata: Ibnu Juraij menuturkan kepada kami, dari Musa bin Wirdan dan seterusnya. Al Hasan menggugurkan Ibrahim bin Muhammad (antara Ibnu Juraij dan Musa bin Wirdan) dalam sanad ini” (Silsilah Ahadits Adh Dha’ifah, 10/191).

Maka jelas bahwa Ibnu Juraij tidak meriwayatkan dari Musa bin Wirdan, sehingga ada inqitha‘ dalam riwayat ini.

Masalah 2:

Ali bin Musa Al Bashri dan Abul Qasim Abdullah bin Muhammad An Naisaburi, keduanya majhul haal. Tidak ditemukan adanya jarh atau ta’dil tentang mereka.

Juga tidak diketahui bahwa Ali bin Musa Al Bashri adalah di antara yang meriwayatkan hadits dari Ibnu Juraij. Pula, tidak diketahui bahwa Muhammad bin Al Husain bin Musa Al Sulmi meriwayatkan dari Abul Qasim Abdullah bin Muhammad An Naisaburi.

Masalah 3:

Muhammad bin Al Husain bin Musa Al Sulmi, seorang syaikh sufi, ia perawi yang lemah. Adz Dzahabi berkata,

شيخ الصوفية وصاحب تاريخهم وطبقاتهم وتفسيرهم. تكلموا فيه وليس بعمدة

“Beliau seorang Syaikh sufi. Ulama tarikh, biografi dan tafsir di kalangan sufi. Para ulama hadits mengkritisi riwayatnya, dan ia tidak bisa dijadikan sandaran” (Lisanul Mizan, 6695).

Hadits ini juga sebagaimana sudah dijelaskan, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad dan dikenal. Seperti kitab-kitab shahih, kitab-kitab sunan, kitab-kitab musnad, kitab-kitab jami’, dan lainnya. Dan ini merupakan indikator kelemahan bahkan kepalsuan hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menjelaskan kelemahan hadits seputar ziarah kubur Nabi beliau berkata,

ليس في الإحاديث التي رويت بلفظ زيارة قبره -صلى الله عليه وسلم- حديث صحيح عند أهل المعرفة، ولم يخرج أرباب الصحيح شيئاً من ذلك، ولا أرباب السنن المعتمدة، كسنن أبي داود والنسائي والترمذي ونحوهم، ولا أهل المساند التي من هذا الجنس؛ كمسند أحمد وغيره، ولا في موطأ مالك، ولا مسند الشافعي ونحو ذلك شيء من ذلك، ولا احتج إمام من أئمة المسلمين -كأبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد وغيرهم- بحديث فيه ذكر زيارة قبره

“Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan mengandung lafadz ‘ziarah kubur Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam‘ tidak ada yang shahih menurut para ulama hadits. Hadits-hadits seperti ini tidak pernah dibawakan oleh pemilik kitab Shahih, tidak juga pemilik kitab Sunan yang menjadi pegangan, seperti Sunan An Nasa-i atau semacamnya, tidak juga kitab Musnad yang menjadi pegangan, seperti Musnad Ahmad atau semacamnya, tidak juga kitab Muwatha Malik, tidak juga kitab Musnad Asy Syafi’i atau semacamnya. Hadits-hadits seperti ini tidak pernah dipakai para Imam Mazhab dalam berhujjah. Yaitu hadits yang didalamnya disebut lafadz ziarah kubur Nabi” (Majmu’ Fatawa, 216/27).

Dengan demikian, kesimpulannya hadits ini adalah hadits yang dhaif jiddan (sangat lemah). Dan tidak boleh meyakini suatu hal yang terkait dengan perkara gaib semisal dengan apa yang ada dalam riwayat ini kecuali dengan dalil yang shahih.

Wallahu ta’ala a’lam.

✒ Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id

https://muslim.or.id/34884-derajat-hadits-tentang-arwah-mengunjungi-keluarga.html

KHUTBAH JUMAT

°°🕌KHUTBAH JUM'AT🕌°°

°°BERITA GEMBIRA DENGAN KELAHIRAN NABI°°

Khutbah Pertama

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

Amma ba’du …
Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang memerintahkan kita untuk terus bertakwa kepada-Nya.

Pada hari Jumat penuh berkah ini, kita diperintahkan bershalawat kepada Nabi akhir zaman, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ada hadits yang menunjukkan keutamaan bershalawat kepada beliau. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى عَلَىَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Muslim, no. 408)

Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …

Pada khutbah Jumat kali ini, kami akan menyebutkan cerita sekilas tentang kelahiran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  punya silsilah keturunan yang terhormat dan itu sangat berpengaruh pada dakwah beliau.

Abu Sufyan pernah menyebutkan perihal garis keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan Raja Heraklius, “Muhammad memiliki silsilah garis keturunan yang sangat mulia di antara kami.” (HR. Bukhari, 1:5, kitab Bad’u Al-Wahyi, no. 6)

Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam punya garis keturunan yang mulia yang secara lengkap nama beliau adalah:

Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muthallib bin Hasyim bin ‘Abdul Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.

Silsilah dari ‘Adnan sampai Nabi Ibrahim ‘alaihis salam terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama.

Kalau kita perhatikan garis keturunan dari kakek-kakek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan nampak garis keturunan beliau itu begitu terhormat.

Qushai, ia memiliki kedudukan tinggi dalam diri orang Quraisy, dan dikenal sebagai tokoh yang jujur.
• ‘Abdul Manaf, putera yang paling menonjol dari putera-putera Qushai yang terkenal biasa mengatur pembagian air minum dari sumur Zam-zam.
• Hasyim, terkenal dermawan karena biasa menyiapkan roti untuk jama’ah haji.
• ‘Abdul Muthallib, ia menggali kembali sumur Zam-zam dan dialah yang bernadzar jika ia dikaruniai sepuluh anak laki-laki, maka dia akan menyembelih salah satu di antaranya.
Penjelasan di atas menunjukkan bagaimanakah mulianya nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari garis keturunannya.

Ma’asyirol muslimin rahimani wa rahimakumullah …

Kapan Nabi Kita Lahir?

Para ulama sepakat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir pada hari Senin.

Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam   pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ

“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim, no. 1162)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir di kota Mekkah. Adapun tempat kelahirannya di Mekkah, ada yang mengatakan di sebuah rumah yang ada di Syi’ib Bani Hasyim. Ada yang mengatakan di sebuah rumah dekat Shafa. Selain itu, orang yang bertindak sebagai bidannya adalah ibunda ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu wa ‘anha.

Pendapat yang benar adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam   dilahirkan di bulan Rabi’ul Awwal. Adapun tanggal lahirnya, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan tanggal 2, tanggal 8, tanggal 9, tanggal 10, tanggal 12, tanggal 17, atau tanggal 22 Rabi’ul Awwal.

Adapun tahun kelahiran beliau adalah di tahun Gajah, yaitu tahun 571 Miladiyah.

Dua faedah penting berkenaan dengan kelahiran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada kaitannya dengan ibadah tertentu dan tidak disyariatkan melakukan ibadah tertentu di dalamnya, baik peringatan kelahiran atau yang lainnya. Seandainya dianjurkan memeringati perayaan tertentu, tentu akan ditentukan tanggal pasti kelahiran beliau sebagaimana kalau mau memasuki Ramadhan atau keluar dari Ramadhan, penentuannya dilihat dengan penglihatan hilal awal bulan.
2. Hari Senin merupakan hari istimewa dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Istimewanya, hari Senin dianjurkan untuk berpuasa. Pada hari Senin, beliau dilahirkan, diangkat menjadi Nabi dan hari meninggal dunia.
Beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam

Perhatikan hadits berikut ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan aku dengan Nabi sebelumku ialah seperti seorang lelaki yang membangun sebuah bangunan kemudian ia memperindah dan mempercantik bangunan tersebut kecuali satu tempat batu bata di salah satu sudutnya. Orang-orang ketika itu mengitarinya, mereka kagum dan berkata, “Amboi, jika batu bata ini diletakkan, akulah batu bata itu dan aku adalah penutup para nabi.” (HR. Bukhari, no. 3535 dan Muslim, no. 2286)

Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan hadits di atas itu menunjukkan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari nabi lainnya dan Nabi Muhammad sendiri adalah nabi yang terakhir dan beliaulah yang menjadi penyempurna syari’at. (Fath Al-Bari, 6:559)

Mari kita jadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan kita semua untuk diikuti setiap tuntunnya.

Demikian khutbah pertama ini.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا َوَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ

Khutbah Kedua

أَحْمَدُ رَبِّي وَأَشْكُرُهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

اَمَّا بَعْدُ : فَيَااَ يُّهَاالنَّاسُ !! اِتَّقُوااللهَ تَعَالىَ. وَذَرُوالْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَوَمَابَطَنْ. وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ. فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاًعَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ

اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُلُوبِنَا، وَأَزْوَاجِنَا، وَذُرِّيَّاتِنَا، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ، وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعَمِكَ مُثْنِينَ بِهَا عَلَيْكَ، قَابِلِينَ لَهَا، وَأَتِمِمْهَا عَلَيْنَا

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Khutbah Jumat @ Pesantren Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Jumat Kliwon, 8 Rabi’ul Awwal 1440 H

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

https://rumaysho.com/19011-khutbah-jumat-berita-gembira-dengan-maulid-nabi-kelahiran-nabi.html

Kamis, 15 November 2018

PERBEDAAN JIN , SETAN DAN IBLIS

PERBEDAAN JIN , SETAN dan IBLIS

1. Jin

Jin adalah salah satu jenis makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki sifat fisik tertentu, berbeda dengan jenis manusia atau malaikat.

Jin diciptakan dari bahan dasar api, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan,

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ (14) وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ(15)

“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (QS. Ar-Rahman: 14 – 15)

Jin memiliki kesamaan dengan manusia dalam dua hal:

a. Jin memiliki akal dan nafsu, sebagaimana manusia juga memiliki akal dan nafsu.

b. Jin mendapatkan beban perintah dan larangan syariat, sebagaimana mausia juga mendapatkan beban perintah dan larangan syariat.

Oleh karena itu, ada jin yang muslim dan ada jin yang kafir. Ada jin yang baik dan ada jin yang jahat. Ada jin yang pintar masalah agama dan ada jin yang bodoh. Bahkan ada jin Ahlussunnah dan ada jin pengikut kelompok sesat, dst.

Sedangkan perbedaan jin dengan mansuia yang paling mendasar adalah dari asal penciptaan dan kemampuan bisa kelihatan dan tidak.

Makhluk ini dinamakan jin, karena memiliki sifat ijtinan (Arab: اجتنان), yang artinya tersembunyi dan tidak kelihatan. Manusia tidak bisa melihat jin dan jin bisa melihat manusia. Allah berfirman,

إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ

“Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu di suatu keadaan yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27)

2. Setan

Untuk memahami setan, satu prinsip yang harus Anda pegang: Jin itu makhluk dan setan itu sifat. Karena setan itu sifat, maka dia melekat pada makhluk dan bukan berdiri sendiri.

Setan adalah sifat untuk menyebut setiap makhluk yang jahat, membangkang, tidak taat, suka membelot, suka maksiat, suka melawan aturan, atau semacamnya.

Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar mengatakan,

الشيطان في لغة العرب يطلق على كل عاد متمرد

“Setan dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut setiap makhluk yang menentang dan membangkang.” (Alamul Jinni was Syayathin, Hal. 16).

Dinamakan setan, dari kata; syutun (Arab: شطون) yang artinya jauh. Karena setan dijauhkan dari rahmat Allah. (Al-Mu’jam Al-Wasith, kata: الشيطان)

Kembali pada keterangan sebelumnya, karena setan itu sifat maka kata ini bisa melekat pada diri manusia dan jin. Sebagaimana penjelasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ada setan dari golongan jin dan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, setelah menjelaskan sifat-sifat setan,

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

“(setan yang membisikkan itu) dari golongan jin dan mausia.” (QS. An-Nas: 6).

3. Iblis

Siapakah iblis? Iblis adalah nama salah satu jin yang menjadi gembongnya para pembangkang. Dalil bahwa iblis dari golongan jin adalah firman Allah,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

“Ingatlah ketika Kami berkata kepada para maialakt, ‘Sujudlah kallian kepada Adam!’ maka mereka semua-pun sujud kecuali Iblis. Dia dari golongan jin dan membangkang dari perintah Allah.” (QS. Al-Kahfi: 50)

Iblis juga memiliki keturunan, sebagaimana umumnya jin lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ

“Iblis itu dari golongan jin, dan dia membangkang terhadap perintah Rab-nya. Akankah kalian menjadikan dia dan keturunannya sebagai kekasih selain Aku, padahal mereka adalah musuh bagi kalian…” (QS. Al-Kahfi: 50)

Allahu a’lam
.
Copas st Akhy Galih Rusandi

Rabu, 14 November 2018

11 KESALAHAN DALAM BERWUDHU

Berwudhulah dengan benar
Ada 11 Kesalahan Dalam Berwudhu,,, Silahkan Baca sampai selesai

Sebagaimana ibadah yang lain, wudhu pun wajib untuk mengikuti tuntunan dari Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mengerjakannya. Karena Al Qur’an dan hadits adalah sumber landasan hukum dalam Islam, serta acuan dalam mengerjakan ibadah. Maka tidak boleh kita melakukan ibadah hanya dengan dasar pendapat seseorang, opini seseorang atau logika semata. Lebih lagi jika tidak memiliki dasar sama sekali alias asal-asalan.

Oleh karena itu, pembahasan kali ini akan memaparkan secara ringkas beberapa amalan dan keyakinan yang salah seputar wudhu, karena amalan dan keyakinan tersebut tidak dilandasi oleh Al Qur’an dan hadits yang shahih. Beberapa amalan dan keyakinan tersebut adalah:

1. Melafalkan niat wudhu

Sebagian orang melafalkan niat wudhu semisal dengan mengucapkan: “nawaitul wudhu’a liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala” (saya berniat wudhu untuk mengangkat hadats kecil karena Allah Ta’ala) atau semacamnya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah mencontohkan melafalkan niat sebelum wudhu, dan niat itu adalah amalan hati. Mengeraskan bacaan niat tidaklah wajib dan tidak pula sunnah dengan kesepakatan seluruh ulama. Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi mengatakan, “Tidak ada seorang imam pun, baik itu Asy Syafi’i atau selain beliau, yang mensyaratkan pelafalan niat. Niat itu tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan mereka (para imam)” (Al Ittiba’ hal. 62, dinukil dari Al Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin, hal. 91).

Sekali lagi niat itu amalan hati dan itu mudah, tidak perlu dipersulit. Dengan adanya itikad dan kemauan dalam hati untuk melakukan wudhu untuk melakukan shalat atau yang lainnya, maka itu sudah niat yang sah.

2. Tidak mengucapkan basmalah

Para ulama berbeda pendapat apakah basmalah atau mengucapkan “bismillah” hukumnya wajib ataukah sunnah. ٍSebagian ulama mewajibkan dengan dalil hadits: “tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil). Namun jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah karena beberapa hal:

a. Membaca basmalah tidak disebutkan bersamaan dengan hal-hal wajib lainnya dalam surat Al Maidah ayat 6

b. Keumuman hadits-hadits yang menjelaskan mengenai cara wudhu Nabi, tidak menyebutkan mengucapkan basmalah (lihat Asy Syarhul Mumthi’, 1/159).

c. Makna “tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala” adalah penafian kesempurnaan wudhu (lihat Asy Syarhul Mumthi’, 1/158 – 159).

Namun demikian, baik beranggapan hukumnya sunnah ataupun wajib, meninggalkannya dengan sengaja adalah sebuah kesalahan.

3. Melafalkan doa untuk setiap gerakan

Sebagian orang menganggap ada doa khusus yang dibaca pada setiap gerakan wudhu. Yang benar, doa-doa tersebut tidak pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan hanya berasal dari hadits-hadits yang palsu. Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad (1/195) mengatakan: “semua hadits tentang dzikir-dzikir yang dibaca pada setiap gerakan wudhu adalah kedustaan yang dibuat-buat, tidak pernah dikatakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedikit pun dan tidak pernah beliau ajarkan kepada umatnya”.

4. Memisahkan cidukan air untuk berkumur dan istinsyaq-istintsar

Jika dalam berwudhu anda berkumur-kumur tiga kali, kemudian setelah itu baru beristinsyaq (memasukan air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan cidukan air yang berbeda, maka ini tidak sesuai dengan praktek Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang beliau contohkan adalah berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar itu dengan satu cidukan kemudian ulang sebanyak 3x. Sehingga untuk berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar hanya melakukan 3 cidukan. Dari Abdullah bin Zaid radhiallahu’anhu beliau menceritakan cara wudhu Nabi, “Rasulullah menciduk air dengan kedua telapak tangannya dari bejana kemudian mencuci keduanya, kemudian mencuci (yaitu berkumur-kumur dan beristinsyaq) dari satu cidukan telapak tangan, beliau melakukannya 3x …” (HR. Bukhari 191).

5. Tidak mencuci lengan hingga siku

Padahal Allah Ta’ala berfirman mengenai rukun wudhu (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan basuhlah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6).

6. Tidak membasuh seluruh kepada

Membasuh sebagian kepala semisal hanya membasuh bagian depannya saja, adalah sebuah kesalahan. Padahal dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas disebutkan “.. dan basuhlah kepalamu..”. “kepala” di sini maknanya tentu seluruh kepala, bukan sebagiannya saja. Diperkuat lagi oleh hadits lain dari Abdullah bin Zaid radhiallahu’anhu mengenai tata cara membasuh kepala dalam wudhu, “… kemudian Rasulullah membasuh kepalanya dengan kedua tangannya. Beliau menggerakan kedua tangannya ke belakang dan ke depan. Di mulai dari bagian depan kepalanya hingga ke tengkuknya, lalu beliau gerakkan kembali ke tempat ia mulai…” (HR. Bukhari 185, Muslim 235).

7. Membasuh leher setelah membasuh kepala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “tidak shahih hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membasuh leher dalam wudhu, bahkan tidak diriwayatkan dalam hadits shahih satu pun. Bahkan hadits-hadits shahih mengenai tata cara wudhu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyebutkan mengenai membasuh leher” (Majmu’ Fatawa 21/127-128, dinukil dari Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah, 1/142).

8. Mengulang mencuci kaki, sehingga lebih dari sekali

Sebagian orang mencuci kaki kanan, lalu kaki kiri, lalu kembali ke kanan lagi, sampai 3 x. Hal ini tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Syaikh Husain Al ‘Awaisyah dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah (1/143) mengatakan: “(Yang sesuai sunnah adalah) mencuci kedua kaki tanpa berulang, berdasarkan hadits Yazid bin Abi Malik yang di dalamnya disebutkan, “Rasulullah berwudhu tiga kali – tiga kali, sedangkan beliau ketika mencuci kakinya tanpa berulang (cukup sekali)” (HR. Abu Daud 116, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud). Maka yang tepat adalah mencuci kaki kanan sekali, lalu kaki kiri sekali.

9. Kurang sempurna mencuci kaki, dan juga anggota wudhu yang lain

Terkadang karena kurang serius dalam berwudhu atau karena terburu-buru, seseorang tidak sempurna dalam mencuci kedua kakinya. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melihat sebagian sahabat yang ketika berwudhu tidak menyempurnakan mencuci kakinya, beliau memperingatkan mereka dengan keras dengan bersabda: “celaka tumit-tumit (yang tidak tersentuh air wudhu) di neraka” (HR. Bukhari 60, 165, Muslim 240). Tidak hanya kaki, pada anggota wudhu yang lain juga wajib isbagh (serius dan sempurna) dalam membasuh dan mencuci sehingga air mengenai anggota wudhu dengan sempurna.

10. Membiarkan ada penghalang di kulit

Dalam wudhu, ulama 4 madzhab mensyaratkan tidak adanya benda yang dapat menghalangi air mengenai kulit (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 43/330). Membiarkan adanya benda yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit adalah sebuah kesalahan dan bisa menyebabkan wudhunya tidak sah. Dikecualikan jika volumenya sangat kecil dan sedikit seperti kotoran yang ada di kuku, maka ini tidak mengapa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Jika kulit terhalang air oleh sesuatu yang yasiir (sedikit) seperti kotoran di kuku atau semisalnya, thaharah tetap sah” (Fatawa Al Kubra, 5/303). Juga jika benda tersebut tidak memiliki volume atau sulit dihilangkan, maka tidak mengapa. Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta‘ menyatakan: “jiak benda yang menghalangi tersebut tidak bervolume, maka tidak mengapa. Henna dan semacamnya, atau minyak yang dioleskan atau semacamnya, ini tidak mengapa. Adapun jika ia memiliki volume, dalam artian ia tebal dan bisa dihilangkan, maka wajib dihilangkan. Seperti cat kuku, ia memiliki volume, maka wajib dihilangkan. Adapun sekedar polesan tipis, maka itu tidak menghalangi air” (Fatwa Nuurun ‘alad Darbi, no. 161, juz 5 hal. 246).

11. Boros dalam menggunakan air

Berlebih-lebih dan boros adalah hal yang tercela dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan” (QS. Al A’raf: 31). Demikian juga dalam berwudhu, tidak boleh berlebih-lebihan dalam menggunakan air. Air adalah nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri, dan salah satu cara mensyukuri nikmat air adalah dengan tidak menyia-nyiakannya. Dan banyak diantara saudara kita di tempat yang lain yang tidak bisa menikmat air yang melimpah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri mencontohkan hal ini. Beliau biasa berwudhu hanya dengan 1 mud saja. Anas bin Malik radhiallahu’anhu menyatakan, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya berwudhu dengan 1 mud air dan mandi dengan 1 sha’ sampai 5 mud air” (HR. Bukhari 201, Muslim 326). Sedangkan konversi 1 mud para ulama berbeda pendapat antara 0,6 sampai 1 liter. Sungguh hemat sekali bukan? Boleh saja berwudhu dengan air keran dan lebih dari 1 mud selama tidak berlebih-lebihan dan tetap berusaha untuk menghemat.

Wallahu ta’ala a’lam.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/28568-11-kesalahan-dalam-berwudhu.html

Sabtu, 10 November 2018

KUBURAN TIDAK BOLEH DI KIJING

# MENGAPA KIJING KUBURAN DILARANG DALAM ISLAM ?

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan larangan mengkijing kuburan. Diantaranya,

Pertama, keterangan Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu,

عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

Abul Hayyaj al Asadi mencriakan bahwa Ali bin Abi Tholib berpesan kepadanya, “Saya mengutusmu dengan membawa misi yang pernah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampaikan kepadaku, yaitu jangan engkau biarkan patung (gambar) melainkan engkau musnahkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah melainkan engkau ratakan.” (HR. Muslim no. 969).

Kedua, keterangan dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memberi semen pada kubur, duduk di atas kubur dan membuat bangunan di atas kubur.” (HR. Muslim no. 970).

Keterangan:

Termasuk  bentuk ‘membuat bangunan di atas kuburan’ adalah mengkijing kuburan atau membuat cungkup di atas kuburan.

Keterangan Imam as-Syafii & Ulama Syafiiyah

Dalam kitab al-Umm, Imam as-Syafii mengatakan,

وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ وَلَيْسَ الْمَوْتُ مَوْضِعَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ولم أَرَ قُبُورَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ مُجَصَّصَةً

Saya menyukai agar kuburan tidak diberi bangunan di atasnya dan tidak pula disemen (di-aci). Karena semacam ini sama dengan menghias kuburan dan berbangga dengan kuburan. Sementara kematian sama sekali tidak layak untuk itu. Dan saya juga melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar, kuburan mereka tidak disemen. (al-Umm, 1/277)

Imam as-Syafii rahimahullah juga menceritakan sikap para penguasa ketika itu,

وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك

Saya melihat para penguasa menghancurkan kijing dan cungkup yang ada di kuburan di Mekah, dan saya tidak mengetahui adanya satupun ulama yang mengingkari perbuatan mereka. (al-Umm, 1/277)

Imam Nawawi – ulama Syafiiyah – mengatakan,

أَنَّ السُّنَّةَ أَنَّ الْقَبْرَ لَا يُرْفَعُ عَلَى الْأَرْضِ رَفْعًا كَثِيرًا وَلَا يُسَنَّمُ بَلْ يُرْفَعُ نَحْوَ شِبْرٍ وَيُسَطَّحُ وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ

“Yang sesuai ajaran Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kubur itu tidak ditinggikan dari atas tanah, yang dibolehkan hanyalah meninggikan satu jengkal dan hampir dilihat rata dengan tanah. Inilah pendapat dalam madzbab Syafi’i dan yang sepahaman dengannya.” (Syarh Shahih Muslim, 7/35).

Imam Nawawi di tempat lain juga menegaskan,

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ كَرَاهَةُ تَجْصِيصِ القبر والبناء عيه وَتَحْرِيمُ الْقُعُودُ وَالْمُرَادُ بِالْقُعُودِ الْجُلُوسُ عَلَيْه

“Terlarang memberikan semen pada kubur, dilarang mendirikan bangunan di atasnya dan haram duduk di atas kubur.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 37).

Keterangan al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan al-Ghayah wa at-Taqrib, beliau menyatakan,

ويسطح القبر ولا يبني عليه ولا يجصص

“Kubur itu diratakan, tidak boleh dibangun kijing atau cungkup di atasnya dan tidak boleh kubur tersebut disemen (di-aci).” (Mukhtashor Abi Syuja’, hlm. 83).

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/23793-mengapa-kijing-dilarang.html

Kamis, 08 November 2018

LANDASAN MAULID NABI YG SESAT

Riwayat-Riwayat Dusta tentang Maulid Nabi
↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔↔

Inilah diantara riwayat-riwayat yang dianggap hadits oleh sebagian para penggemar dan pembela MAULID NABI untuk membesarkan atau mengagungkan sekaligus membenarkan ritual Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berikut ini kita nukilkan apa adanya :

❌ 1. Abu Bakar ash-Shiddiq ❌

Telah berkata Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq :

“Barangsiapa yang menafkahkan satu dirham bagi menggalakkan bacaan MAULID NABI saw., maka ia akan menjadi temanku di dalam syurga.”

(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

❌ 2. Umar bin Khattab al-Furqan ❌

Telah berkata Sayyidina ‘Umar :

“Siapa yang membesarkan (memuliakan) majlis MAULID NABI saw. maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam.”

(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

❌ 3. Utsman bin ‘Affan Dzun-Nuraini ❌

Telah berkata Sayyidina Utsman :

“Siapa yang menafkahkan satu dirham untuk majlis membaca MAULID NABI saw. maka seolah-olah ia menyaksikan peperangan Badar dan Hunain”

(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

❌ 4. Ali bin Abi Tholib Karomallahu wajhah ❌

Telah berkata ‘Ali :

“Siapa yang membesarkan majlis MAULID NABI saw. dan karenanya diadakan majlis membaca maulid, maka dia tidak akan keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan akan masuk ke dalam syurga tanpa hisab”. *

(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

❌ 5. Syekh Hasan al-Bashri ❌

Telah berkata Hasan Al-Bashri :

“Aku suka seandainya aku mempunyai emas setinggi gunung Uhud, maka aku akan membelanjakannya untuk membaca MAULID NABI saw.*

(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

❌ 6. Syekh Junaid al-Baghdady ❌

Telah berkata Junaid Al-Baghdadi semoga Allah mensucikan rahasianya :

“Siapa yang menghadiri majlis MAULID NABI saw. dan membesarkan kedudukannya, maka sesungguhnya ia telah mencapai kekuatan iman”.*

(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

❌ 7. Syekh Ma’ruf al-Karkhy ❌

Telah berkata Ma’ruf Al-Karkhi :

“Siapa yang menyediakan makanan untuk majlis membaca MAULID NABI saw. mengumpulkan saudaranya, menyalakan lampu, memakai pakaian yang baru, memasang bau yang wangi dan memakai wangi-wangian karena membesarkan kelahiran Nabi saw, niscaya Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat bersama kumpulan yang pertama di kalangan nabi-nabi dan dia berada di syurga yang teratas (Illiyyin)”

(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

❌ 8. Fakhruddin ar-Rozi ❌

Telah berkata seorang yang unggul pada zamannya, Imam Fakhruddin Al-Razi :

“Tidaklah seseorang yang membaca MAULID NABI saw* ke atas garam atau gandum atau makanan yang lain, melainkan akan zahir keberkatan padanya, dan setiap sesuatu yang sampai kepadanya (dimasuki) dari makanan tersebut, maka makanan tersebut akan bergoncang dan tidak akan tetap sehingga Allah mengampunkan orang yang memakannya”.

“Sekirannya dibacakan MAULID NABI saw. ke atas air, maka orang yang meminum seteguk dari air tersebut akan masuk ke dalam hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar daripadanya seribu sifat dengki, penyakit dan tidak mati hati tersebut pada hari dimatikan hati-hati”.

“Siapa yang membaca MAULID NABI saw. pada suatu dirham yang ditempa dengan perak atau emas dan dicampurkan dirham tersebut dengan yang lainnya, maka akan jatuh ke atas dirham tersebut keberkatan, pemiliknya tidak akan fakir dan tidak akan kosong tangannya dengan keberkatan Nabi saw.”*

(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

❌ 9. Imam as-Syafii ❌

Telah berkata Imam Asy-Syafi’i :

“Siapa yang menghimpunkan saudaranya (sesama Islam) untuk mengadakan majlis MAULID NABI saw., menyediakan makanan dan tempat serta melakukan kebaikan, dan dia menjadi sebab dibaca maulid Nabi saw. itu, maka dia akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat bersama ahli siddiqin (orang-orang yang benar), syuhada’ dan solihin serta berada di dalam syurga-syurga Na’im.”

(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

❌ 10. As-Sary as-Saqothy ❌

Telah berkata As-Sariyy As-Saqothi :

“Siapa yang pergi ke suatu tempat yang dibacakan di dalamnya MAULID NABI saw. maka sesungguhnya ia telah pergi ke satu taman dari taman-taman syurga, karena tidaklah ia menuju ke tempat-tempat tersebut melainkan lantaran kerana cintanya kepada Nabi saw.

Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda : “Sesiapa yang mecintaiku, maka ia akan bersamaku di dalam syurga.”

(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)

❌ 11. Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami ❌

“Siapa yang hendak membesarkan maulid Nabi saw. maka cukuplah disebutkan sekedar ini saja akan kelebihannya.

Bagi siapa yang tidak ada di hatinya hasrat untuk membesarkan MAULID NABI saw. sekiranya dipenuhi dunia ini dengan pujian ke atasnya, tetap juga hatinya tidak akan tergerak untuk mencintai Nabi saw.

Semoga Allah menjadikan kami dan kalian di kalangan orang yang membesarkan dan memuliakannya dan mengetahui kadar kedudukan Baginda saw.

serta menjadi orang yang teristimewa di kalangan orang-orang yang teristimewa di dalam mencintai dan mengikutinya. Aamiin, wahai Tuhan sekalian alam.

Semoga Allah melimpahkan rahmat atas penghulu kami Nabi Muhammad saw. keluarganya dan sahabat-sahabatnya sekalian hingga Hari Kemudian.”

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

🔴 KOMENTAR ATAS RIWAYAT-RIWAYAT DIATAS :

Perkataan serupa dinisbatkan juga kepada sahabat Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana dalam kitab Madarij ash-Shu’udh hal.15 karya Syaikh Nawawi Banten.[1] Bahkan juga dinisbatkan kepada Hasan al-Bashri, Ma’ruf al-Karkhi, al-Junaid dan lainnya sebagaimana dalam Hasyiyah I’anah Tholibin: 3/571-572 karya Abu Bakr Syatho

Hadits2 tersebut TIDAK ADA ASALNYA. Sejak awal kali mendengar ucapan yang dianggap hadits ini, bagaimana mungkin hadist ini shohih ????, sedangkan maulid tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya ?!!

Jadi, Hadits-hadits ini tidak ada asalnya,.. itu semua bukan hadits..

Ketika hadits ini ditanyakan kepada Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman hafizhahullah.[2]

Jawaban Syaikh :

“Ini merupakan kedustaan kepada Rasulullah yang hanya dibuat-buat oleh para ahlul bid’ah.”

Kepada saudara-saudara kami yang berhujjah dengan hadits ini, kami katakan :

“Dengan tidak mengurangi penghormatan kami, datangkan kepada kami sanad hadits ini agar kami mengetahuinya !!”

Singkat kata, hadits tersebut di atas adalah dusta, tidak berekor dan berkepala (yakni : tanpa sanad).

Aneh dan lucunya, setelah itu ada seseorang yang melariskan hadits tersebut dengan berkata :

“Walaupun hadits ini lemah, tetapi bisa dipakai dalam Fadhoilul A’mal.”

Hanya kepada Allah azza wa jalla kita mengadu dari kejahilan manusia di akhir zaman !![3].

Adapun dari segi matan hadits, bagaimana hadits ini shohih padahal perayaan maulid nabi tidaklah dikenal pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Bahkan hal tersebut juga tidak dikenal di kalangan imam-imam mazhab : Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Imam Ahmad Rahimahumullah sekalipun karena memang perayaan ini adalah perkara baru dalam agama.

Adapun orang yang pertama kali mengadakannya adalah Mu’iz Lidinillah dari Bani Ubaid al-Qoddakh yang menamai diri mereka dengan “Fathimiyyun”. Mereka memasuki kota Mesir tahun 362 H.

Berakar dari sinilah kemudian mulai tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk perayaan maulid secara umum dan maulid nabi secara khusus.

Wallahu a’lam.
________

FooteNote :

[1] Lihat Hadits-Hadits Bermasalah, Prof.Ali Musthofa Ya’qub hal.102
[2] Beliau adalah salah seorang murid Imam ahli hadits besar, al-Albani, yang sudah beberapa kali pernah berkunjung ke Indonesia dalam rangka dakwah. Pertanyaan ini di tanyakan kepada beliau pada hari Rabu 6 Muharrom 1423 H, sebelum shalat Dhuhur di masjid al-Irsyad, Surabaya.
[3] Pekara ini juga didapati dalam kitab Tahdzirul Muslimin Minal Ahadits al-Maudhu’ah ‘ala Sayyidil Mursalin hal.87 oleh Muhammad al-Basyir al-Azhari, beliau mengatakan : “Di antara hadits-hadits yang banyak berbau dusta adalah kisah-kisah tentang maulid nabi.”

________________________________________________
[Disadur dari Tulisan Ust. Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah]

Copas dari aslibumiayu.net

POSISI IMAM DAN MAMUM

MEMAHAMI POSISI IMAM DAN MA’MUM DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi

Shalat berjamaah merupakan salah satu syiar Islam. Ia dapat menjadi media pemersatu hati kaum Muslimin. Berkumpulnya kaum Muslimin di rumah Allah untuk menunaikan ibadah dipimpin oleh seorang imam, yang tentunya membutuhkan aturan secara lengkap dan jelas. Semua itu diperlukan, karena sebagai kebutuhan, sehingga kaum Muslimin mengetahui aturan yang jelas saat berinteraksi dalam beribadah di tempat yang satu. Begitu juga saat melakukan shalat berjamaah, hendaklah setiap kaum Muslimin mengetahui tentang hal itu, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap syariat.

SIAPA YANG LEBIH BERHAK MENJADI IMAM?
Jika di suatu masjid terdapat imam rawatibnya, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau pengurus masjid. Kalau tidak ada, maka yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memiliki hafalan al Qur’an dan lebih memahami hukum Islam. Apabila di kalangan para jamaah setara, maka didahulukan yang lebih pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila juga setara, maka didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah. Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya.[1]

Ini semua berdasarkan pada beberapa hadits di bawah ini:

1). Hadits Abu Sa’id al Khudri :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila mereka tiga orang, maka hendaklah seorang dari mereka menjadi imam shalat mereka, dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling baik bacaan al Qur`annya” [HR Muslim 672]

2). Hadits Abu Mas’ud al Anshari, ia menyatakan :

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami: “Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling hafal al Qur`an dan paling baik bacaannya. Apabila dalam bacaan mereka sama, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling dahulu hijrahnya. Apabila mereka sama dalam hijrah, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling tua. Janganlah kalian menjadi imam atas seseorang pada keluarga dan kekuasaannya, dan jangan juga menduduki permadani di rumahnya, kecuali ia mengizinkanmu atau dengan izinnya” [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Man Ahaqqu bil Imamah, no. 1709]

Namun demikian, hal ini tidak termasuk syarat sahnya shalat berjamaah, karena seseorang diperbolehkan menjadi imam bagi orang yang lebih berhak menjadi imam darinya, sebagaimana kisah Nabi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di belakang Abu Bakar sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata :

لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأُذِّنَ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى فَوَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنْ الْوَجَعِ فَأَرَادَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَكَانَكَ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit di akhir hayatnya, lalu datanglah waktu shalat dan Bilal telah beradzan, maka beliau berkata: “Perintahkan Abu Bakar agar mengimami shalat,” lalu ada yang berkata kepada beliau : “Sungguh Abu Bakr seorang yang lembut hati. Apabila menggantikan kedudukanmu, ia tidak dapat mengimami orang banyak”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi lagi (perintahnya) dan merekapun mengulangi (pernyataan tersebut), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya yang ketiga dan berkata: “Kalian ini seperti wanita-wanita dalam kisah Yusuf[2]. Perintahkan Abu Bakar agar mengimami orang shalat,” lalu Abu Bakar berangkat dan mengimami shalat. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakitnya agak ringan, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan bersandar pada dua orang, seakan-akan aku melihat kakinya gontai (tidak mantap dalam melangkah) karena rasa sakit. Lalu Abu Bakar ingin mundur, maka beliau memberikan isyarat untuk tetap di tempatnya, kemudian mendatanginya dan duduk di sebelah Abu Bakar” [HR al Bukhari, kitab al Adzan, hadits 2641]

Hadits ini, secara jelas menunjukkan bolehnya seseorang mengimami orang yang lebih berhak menjadi imam darinya. Wallahu a’lam.

SIAPAKAH YANG SAH MENJADI IMAM
Semua orang yang sah shalatnya, ia dapat menjadi imam atau sah menjadi imam dalam shalat. Namun ada orang-orang yang dianggap oleh sebagian orang tidak pantas menjadi imam, padahal mereka sah menjadi imam, di antaranya:

1). Orang buta.
Orang buta memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang melihat. Dia dapat dijadikan imam dalam shalat. Hal ini didasarkan pada hadits Mahmud bin ar Rabi’ :

أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى

“Sesungguhnya ‘Itbaan bin Malik, dahulu mengimami shalat kaumnya” [Muttafaqun ‘alaihi]

Dan pernyataan Aisyah :

اسْتُخْلِفَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ عَلَى الْمَدِيْنَةِ يُصَلِّيْ بِالنَّاسِ

“Ibnu Umi Maktum dijadikan pengganti (Rasulullah) di Madinah mengimami shalat penduduknya” [HR Ibnu Hibban dan Abu Ya’la. Dikatakan penulis kitab Shahih Fiqhus Sunnah, bahwa hadits ini shahih li ghairihi]

2). Hamba sahaya atau yang telah dimerdekakan.
Keabsahannya didasarkan kepada pernyataan Ibnu Umar yang berbunyi:

لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الْعُصْبَةَ مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا

“Ketika kaum Muhajirun yang awal-awal datang ke al ‘Ushbah, suatu tempat di Quba’; sebelum kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjadi imam shalat mereka adalah Saalim maula Abu Hudzaifah, dan dialah yang terbanyak hafalan al Qur`annya” [HR al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab al Adzan, Bab Imamatul al ‘Abdi wal Maula, no. 651]

3). Anak kecil yang mumayyiz.
Hal ini didasarkan pada pernyataan Amru bin Salamah yang berbunyi:

فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي وَ قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي لِمَا كُنْتُ أَتَلَقَّى مِنْ الرُّكْبَانِ فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ

“Ketika terjadi penaklukan penduduk kota Makkah, maka setiap kaum bersegera masuk Islam dan bapak dan kaumku segera masuk Islam. Ketika dating, ia berkata: “Demi Allah, aku membawa kepada kalian dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah kebenaran,” lalu ia berkata,”Lakukanlah shalat ini, pada waktu ini, dan shalat itu pada waktu itu. Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan, dan yang mengimami shalat kalian adalah yang paling banyak hafalan al Qur’annya.” Lalu mereka melihat, dan tidak mendapati seorangpun yang lebih banyak hafalannya dariku, karena aku sering menemui orang yang datang. Maka mereka menunjukku sebagai imam shalat, padahal usiaku baru enam atau tujuh tahun” [HR al Bukhari]

4). Orang fasiq yang tidak keluar dari Islam.
Hal ini didasarkan pada dalil naqli dan aqli. Diantaranya:

a. Keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ

“Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling hafal al Qur`an” [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Man Ahaqqu bil Imamah, no. 1709].

Hal ini mencakup fasiq, dan yang lainnya.

b. Kekhususan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada pemimpin zhalim, yang shalat diluar waktunya:

صَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ مَعَهُمْ نَافِلَةً

“Shalatlah kalian pada waktunya, dan jadikanlah shalat kalian bersama mereka sebagai nafilah (sunnah)”. [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid, Bab Karahiyat Ta’khir ash Shalat, no. 1033]

c. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Mereka mengimami kalian shalat; apabila mereka benar, maka kalian mendapatkan pahalanya; dan apabila mereka salah, kalian tetap mendapatkan pahalanya, dan dosanya ditanggung oleh mereka”. [HR al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab al Adzan, Bab Idza lam Yutim al Imam wa Atamma Man Khalfaha, no. 653]

d. Amalan para sahabat pada zaman al Hajaj bin Yusuf ats Tsaqafi, di antaranya Ibnu ‘Umar yang shalat di belakang al Hajjaj, sedangkan al Hajjaj adalah seorang fasiq.

e. Sedangkan dalil aqli, dikatakan, semua yang shalatnya sah, maka sah juga menjadi imam. Tidak ada dalil yang membedakan antara keabsahan shalat dengan keabsahan imam. Selama ia masih shalat bagaimana kita tidak shalat dibelakangnya, karena apabila ia bermaksiat, maka maksiatnya kembali kepadanya sendiri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Orang fasiq dan mubtadi’, shalatnya sah. Apabila ma’mum shalat di belakangnya, maka shalatnya tidak batal. Namun dimakruhkan oleh orang yang memakruhkan shalat di belakangnya, karena amar makruf nahi mungkar wajib. Oleh karena itu, orang yang menampakkan bid’ah atau kefajiran, ia tidak boleh menjadi imam rawatib bagi kaum Muslimin, karena ia pantas diberi pelajaran hingga bertaubat. Apabila memungkinkan, (boleh) memboikotnya hingga ia bertaubat, maka hal itu baik. Apabila sebagian orang tertentu tidak shalat di belakangnya dan shalat di belakang orang lain memiliki pengaruh hingga ia bertaubat, atau dipecat, atau orang-orang berhenti melakukan dosa sepertinya, maka yang seperti ini baik, apabila meninggalkan shalat di belakangnya memiliki maslahat dan tidak kehilangan jamaah dan Jum’at. Adapun bila tidak shalat di belakangnya menyebabkan ma’mum kehilangan Jum’at dan jamaah, maka disini tidak meninggalkan shalat di belakang mereka, kecuali mubtadi’ yang menyelisihi para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[3]. Demikianlah yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ketika menyatakan, bahwa pendapat yang rajih adalah sah shalat di belakang orang fasiq. Sehingga, apabila seorang shalat di belakang imam yang mencukur jenggot atau merokok atau memakan riba atau pezina atau pencuri, maka shalatnya tetap sah.[4]

5). Orang yang belum diketahui apakah fasiq ataukah tidak.
Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Seseorang diperbolehkan melakukan shalat lima waktu dan Jum’at serta yang lainnya, di belakang orang yang belum diketahui kebid’ahan dan kefasikannya, menurut kesepakatan imam fiqih yang empat dan selain mereka dari imam-imam kaum Muslimin. Bukan menjadi syarat bagi seorang ma’mum harus mengetahui i’tikad (keyakinan) imamnya, dan tidak pula mengujian, hingga menanyakan ‘apa yang engkau yakini?’.”[5]

Dengan demikian, apabila sah shalat di belakang orang fasiq, maka shalat di belakang orang yang belum jelas kefasikannya lebih pantas untuk disahkan.

6). Wanita menjadi imam untuk kaum wanita.
Hal ini dilakukan sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ‘Aisyah dan Ummu Salamah, dan tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya.

BAGAIMANA POSISI IMAM DAN MA’MUM?
Agar dapat melaksanakan shalat berjamaah sesuai dengan syariat Islam, seorang imam maupun ma’mum, tidak lepas dari keadaan berikut ini :

1). Ma’mum sendirian bersama imam (dalam hal ini, imam dengan satu orang ma’mum).
Bila seseorang berma’mum sendirian, maka posisinya berdiri di samping kanan sejajar dengan imam. Dasarnya adalah, kisah Ibnu Abbas dalam shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi :

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقُمْتُ فَصَنَعْتُ مِثْلَ مَا صَنَعَ ثُمَّ ذَهَبْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رَأْسِي وَأَخَذَ بِأُذُنِي الْيُمْنَى يَفْتِلُهَا فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ

“Ibnu ‘Abbas berkata: “Lalu aku bangun dan berbuat seperti yang beliau perbuat. Kemudian aku pergi dan tegak di sampingnya, lalu beliau menempatkan tangan kanannya di kepalaku dan mengambilnya, dan menarik telinga kananku, lalu shalat dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian witir”. [Muttafaqun ‘alaihi]

2). Imam bersama dua orang ma’mum.
Apabila imam mendapatkan ma’mum hanya dua orang, maka hendaklah kedua ma’mum tersebut berdiri di belakang imam membentuk satu barisan. Hal ini didasarkan pada hadits Jabir yang panjang, yang sebagiannya berbunyi:

ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

“Kemudian aku datang sampai berdiri di sebelah kiri Rasulullah, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga membuatku berdiri di sebalah kanannya. Kemudian datang Jabbaar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga membuat kami berdiri di belakang beliau” [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab az Zuhud wal Raqaiq Wa …, no. 5328].

3). Imam bersama lebih dari dua orang ma’mum.
Apabila terdapat lebih dari dua orang ma’mum bersama imam, maka ma’mum berdiri di belakang imam dalam satu barisan, demikian menurut kesepakatan ulama.[6]

4). Ma’mum mendapatkan shaf (barisan) shalat sudah penuh, sehingga ia tidak dapat masuk ke shaf.
Dalam keadaan demikian, maka ma’mum jangan shalat sendirian di belakang shaf (barisan), akan tetapi berusaha maju ke depan hingga berdiri di samping imam, sebagaimana dilakukan Rasulullah -ketika beliau sakit- bersama Abu Bakar yang ditunjuk menggantikan mengimami shalat. Disebutkan dalam sebuah riwayat yang berbunyi:

فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِذَاءَ أَبِي بَكْرٍ إِلَى جَنْبِهِ فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ

“Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk sejajar Abu Bakar di sampingnya. Waktu itu, Abu Bakar shalat ikut shalat Rasulullah, dan orang-orang shalat mengikuti shalat Abu Bakar” [Muttafaqun ‘alaihi]

Lajnah ad Daimah lil Buhuts al Islamiyah al Ifta’ (Komite tetap untuk penelitian Islam dan fatwa Saudi Arabia), ketika menjawab pertanyaan seputar masalah ini menyatakan, apabila seseorang masuk masjid dan mendapatkan shalat telah ditegakkan, dan shaf telah penuh, maka hendaklah ia berusaha masuk dalam barisan. Apabila tidak bisa, maka ia masuk berdiri bersama imam dan berada di sebelah kanannya. Apabila ini juga tidak bisa, maka hendaknya menunggu sampai datang orang yang menemaninya di shaf (baru). Jika tidak ada seorang yang menemaninya, maka ia shalat sendirian setelah selesai shalat berjamaah.[7]

Penjelasan ini menunjukkan, ma’mum yang dalam keadaan demikian, ia tidak menarik salah seorang ma’mum lainnyanya sebagaimana banyak terjadi di kalangan kaum Muslimin dewasa ini.

Untuk itu Komite tetap untuk penelitian Islam dan fatwa Saudi Arabia berfatwa tentang hal ini: Seorang yang masuk masjid tidak mendapatkan celah dalam barisan (shof) dan tidak bisa baris disebelah kanan imam dan shalat hampir selesai, maka menunggu orang lain yang masuk untuk membuat shof (barisan) dengannya. Apabila tidak mendapatkannya maka hendaknya shalat dengan jamaah lain. Jika juga tidak ada, maka shalat sendirian setelah imam salam, dan ia tidak berdosa, dengan dalil firman Allah :

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [at Taghabun/64:16]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apabila aku perintahkan kalian berbuat sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian”.

Hal ini karena shalat adalah ibadah, dan ibadah itu harus tauqifiyah. Padahal hadits larangan shalat sendirian di belakang shaf (barisan) shahih dan bersifat umum.

Hadits yang berbunyi:

أَلاَ دَخَلْتَ مَعَهُمْ أَوْ ادْتَرَرْتَ رَجُلاً

(Kenapa kamu tidak masuk berbaris dengan mereka atau menarik seorang?) ini adalah hadits dhaif (lemah). Demikian juga, apabila orang itu menerima ajakan orang yang manariknya, maka shaf menjadi tidak penuh (ada celahnya), padahal kita diperintahkan untuk menyempurnakan dan menutup celah shaf dalam shalat.[8]

5). Wanita berma’mum dengan seorang imam laki-laki.
Seorang wanita bila berma’mum kepada seorang laki-laki, maka ia berdiri di belakang shaf laki-laki, walaupun ia sendirian. Demikian juga bila shalat sendirian bersama imam laki-laki, maka ia berdiri di belakangnya, dan tidak di sebelah kanannya. Semua ini berdasarkan hadits-hadits di bawah ini:

a. Hadits Anas yang berbunyi:

صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

“Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami” [Muttafaqub ‘alaihi]

b. Hadits Anas yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ أَوْ خَالَتِهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami Anas bin Malik dan ibunya atau bibinya, Anas berkata,”Lalu Rasulullah menjadikan aku berdiri di sebelah kanannya dan wanita di belakang kami.” [HR Muslim]

6). Wanita shalat dengan imam wanita.
Apabila seorang wanita shalat berjamaah mengimami sesamanya, maka ia berdiri di tengahnya dan tidak maju ke depan. Dicontohkan ‘Aisyah dan Ummu Salamah, dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :

أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ

“Sesungguhnya ‘Aisyah mengimami mereka dan berdiri diantara mereka dalam satu shalat wajib” [HR Abdurrazaq, Al daraquthni dan Al Baihaqi dan dihukumi penulis Shohih Fiqih Sunnah hadits shohih Lighoriihi]

Juga Abu Hurairah mengatakan bahwa :

أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا

“Sungguh Ummu Salamah mengimami mereka shalat dan berada di tengah-tengah”. [HR Abdurrazaq, ad Daraquthni dan al Baihaqi, dan hadits ini dihukumi oleh penulis Shahih Fiqih Sunnah sebagai hadits shahih lighairiihi]

7). Shaf (barisan) anak kecil.
Anak kecil yang telah mumayyiz, ia tidak berbeda dengan orang yang sudah baligh, yaitu berdiri di belakang imam. Dengan dalil hadits Anas yang berbunyi:

صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

“Aku shalat bersama seorang anak yatim dirumah kami dibelakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ibuku Ummu Sulain dibelakang kami”. [Muttafaqub ‘alaihi].

Lajnah ad Daimah lil Buhuts al Islamiyah al Ifta’, Saudi Arabia mengatakan: “Yang sesuai Sunnah untuk anak-anak, apabila ia telah mencapai usia tujuh tahun dan lebih, untuk berdiri di belakang imam sebagaimana orang-orang yang telah baligh. Apabila yang ada hanya satu, maka ia berdiri di samping kanan imam, karena sudah jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shalat di rumah Abu Thalhah, dan menjadikan Anas dan seorang anak yatim di belakangnya, sedangkan Ummu Sulaim di belakang keduanya. Juga telah ada dalam riwayat lainnya, bahwa beliau mengimami shalat Anas, dan menjadikannya di sebelah kanannya”.[9]

Sedangkan Syaikh al Albani mengatakan: “Adapun menjadikan anak-anak di belakang mereka (barisan dewasa), maka dalam permasalahan ini, aku belum mendapatkan kecuali hadits ini[10], dan hadits ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah. Sehingga aku memandang bolehnya anak-anak berdiri bersama orang dewasa, apabila barisannya belum penuh; dan shalatnya anak yatim bersama Anas di belakang Rasulullah menjadi hujjah dalam permasalahan ini”.

Dengan demikian menjadi jelas kesamaan posisi anak-anak dan orang dewasa dalam shalat berjamaah bersama imam.

Demikianlah beberapa permasalahan seputar imam dan posisi imam dan ma’mum, mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi kita.
Billahit taufiq

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Shahih Fiqh Sunnah, 1/523. .
[2]. Maksudnya diserupakan dengan para wanita dalam kisah Nabi Yusuf, yaitu mereka menyembunyikan hakekat yang ada di hatinnya, dan menampakkan sesuatu yang lain dari kenyataan yang sesungguhnya.
[3]. Majmu’ Fatawa, 23/354.
[4]. Syarhul Mumti’, 4/308.
[5]. Majmu’ Fatawa, 23/351.
[6]. Shahih Fiqh Sunnah, 1/529.
[7]. Fatawa Lajnah Daimah, no. 2601, Jilid 8/6, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadhayaan dan Abdullah bin Qu’ud.
[8]. Fatawa lajnah Daimah, no. 8498, Jilid 8/9-10, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Qu’ud.
[9]. Fatawa Lajnah Daimah, no. 1954, Jilid 8/20, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadhayaan dan Abdullah bin Qu’ud.
[10]. Hadits ini berbunyi (artinya): Rasulullah menjadikan orang dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang mereka, serta wanita di belakang anak-anak

Read more