Sabtu, 21 Mei 2022

Hubungan Intim Setelah Bercerai

Hubungan Intim Setelah Bercerai_✍

𝗠𝗜𝗗𝗕

⁣𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗮𝗻 :

Ustadz, jika ada suami-istri, keduanya dari keluarga baik-baik. Setelah menikah beberapa tahun, istrinya minta cerai, hingga diurus di pengadilan, akhirnya suaminya menceraikannya. Kurang lebih 2 bulan, mereka bertemu kembali, dan pergi bersama jauh dari keluarga.

Sampai akhirnya terjadi hubungan intim dan hamil. Si istri sangat bingung dengan status anak ini. Apakh itu hubungan yang sah atau zina? Hingga keluarganya memisahkannya, karena belum ada kejelasan. Semua pada bingung. Mohon pencerahannya jika ada kejadian seperti ini, apa yang harus dilakukan?

Trim’s
⁣⁣___________

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯 :
⁣⁣
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Ibnul Qoyim dalam bukunya Miftah Dar As-Sa’adah, 1:129 menyebutkan lebih dari 30 perbandingan keutamaan antara ilmu dan harta. Salah satunya, beliau menyatakan,

العلم يحرس صاحبه وصاحب المال يحرس ماله

Ilmu akan melindungi pemiliknya, sementara pemilik harta, dia sendiri yang melindungi hartanya.

Dan demikianlah realitanya, seorang yang berilmu, dalam setiap gerakan hidupnya akan dipandu dengan aturan yang dia pahami. Dia bisa bergerak sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Dengan demikian, dia bisa menjalankan segala aktivitasnya dengan tenang, tanpa diiringi kegalauan.

Berbeda dengan orang yang tidak berilmu, tidak memiliki banyak pengetahuan tentang aturan Allah, hidupnya akan diliputi kebimbangan. Cemas, jangan-jangan saya melanggar, jangan-jangan ibadah saya batal, jangan-jangan tidak sah. Belum lagi ketika ada masalah, seperti ini apa yang harus saya lakukan? Kemana saya harus mencari jawaban? dst.  Kita tidak bisa membayangkan, betapa resahnya dan bimbangnya keluarga di atas. Mereka akan dibayangi kebingungan, antara zina dan bukan zina.

Karena itulah, Allah tegaskan bahwa orang yang berilmu akan mendapatkan ketenangan,

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan dzikrullah hati ini menjadi tenteram.” 
(📖QS. Ar-Ra’du: 28)

Tentang makna dzikrullah ada 2 keterangan ahli tafsir,👇

▪a. Makna yang umum kita dengar, dzikrullah artinya mengingat Allah dengan memujinya dan mengucapkan lafal-lafal dzikir lainnya.

▪b. Dzikrullah: peringatan dari Allah, Alquran dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, semua aturan Allah. Karena orang yang memahami, akan bisa bersikap dengan tenang, tidak ragu, karena dipandu aturan Allah.

(📚simak Zadul Masir, 2:494).

Setidaknya, keterangan ini bisa memberi motivasi kita untuk menghiasi seluruh hidup kita dengan ilmu agama. Berusaha mendekati dan memahami aturan syariat. Setidaknya dalam rangka menghilangkan kebodohan dalam diri kita. Karena semua manusia dilahirkan dari rahim ibunya, tidak tahu apapun sama sekali.

Insya Allah, kita akan bisa merasakan betapa tenangnya hidup dengan aturan syariat. Beribadah tenang, shalat tenang, bahkan ketika lupa di tengah-tengah shalat pun Anda tenang, karena Anda paham teori sujud sahwi. Beda dengan yang tidak tahu teorinya, ketika lupa dalam shalat, dia akan kebingungan, apa yang harus dia lakukan. Kebanyakan, solusi yang dilakukan adalah membatalkan shalatnya.

Selanjutnya, kita fokuskan pada pembahasan untuk kasus di atas.

Ada beberapa pengantar yang bisa dicatat terkait kasus di atas:👇

➡Pertama, talak, dilihat dari kemungkinan rujuk dan tidaknya, ada 2:👇

▪a. Talak raj’i: talak yang masih memungkinkan untuk rujuk, selama istri masih menjalani masa iddah. Talak yang masih memungkinkan untuk rujuk hanya untuk talak pertama dan kedua. Allah berfirman,

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ

“Talak itu dua kali…” 
(📖QS. Al-Baqarah: 229)

Kata para ahli tafsir, talak itu dua kali, maksudnya adalah talak yang masih memungkinkan untuk rujuk. 
(📚Tafsir Jalalain, hlm. 235).

▪b. Talak ba’in: talak yang tidak ada lagi kesempatan untuk rujuk. Talak ba’in ada 2:👇

· Ba’in sughra: ini terjadi ketika seorang suami mentalak istrinya, pertama atau kedua, dan sampai masa iddah selesai, dia tidak merujuk istrinya.

· Ba’in kubro: talak untuk yang ketiga kalinya.

➡Kedua, selama menjalani masa iddah untuk talak pertama dan kedua, status mereka masih suami istri. Karena itu, suami boleh melihat aurat istri dan sebaliknya, demikian pula, suami tetap wajib memberi nafkah istrinya yang sedang menjalani masa iddah.

Allah berfirman,

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

“Suaminya itu lebih berhak untuk rujuk dengan istrinya selama masa iddah itu, jika mereka menginginkan kebaikan.” 
(📖QS. Al-Baqarah: 228)

Syaikh Mustofa al-Adawi mengatakan, “Allah Ta’ala menyebut suami yang menceraikan istrinya yang sedang menjalani masa iddah dengan “suaminya” (suami bagi istrinya).” (📚Jami’ Ahkam an-Nisa, 511)

➡Ketiga, selama menjalani masa iddah talak pertama dan kedua, bolehkah mereka melakukan hubungan badan?

Sebagian ulama menegaskan, jika seorang suami menceraikan istrinya, talak satu atau talak dua, kemudian dia melakukan hubungan badan, maka itu tidak dianggap zina, artinya statusnya hubungan yang halal, dan hubungan badan yang dia lakukan sekaligus mewakili rujuknya.

Sayyid Sabiq dalam karyanya, Fiqh Sunnah mengatakan:

وتصح المراجعة بالقول. مثل أن يقول: راجعتك، وبالفعل، مثل الجماع، ودواعيه، مثل القبلة، والمباشرة بشهوة.

“Rujuk bisa dilakukan dengan ucapan, seperti, seorang suami mengatakan kepada istrinya: ‘Saya rujuk kepadamu.’ Bisa juga dengan perbuatan, misalnya dengan hubungan badan, atau pengantar hubungan badan, seperti mencium atau mencumbu dengan syahwat.” (📚Fiqh Sunnah, 2:275).

Inilah yang menjadi pendapat madzhab hambali. Dalam Mausu’ah Fiqhiyah dinyatakan:

تَصِحُّ الرَّجْعَةُ عِنْدَهُمْ بِالْوَطْءِ مُطْلَقًا سَوَاءٌ نَوَى الزَّوْجُ الرَّجْعَةَ أَوْ لَمْ يَنْوِهَا وَإِنْ لَمْ يُشْهِدْ عَلَى ذَلِكَ

Rujuk sah menurut mereka (hambali) dengan hubungan badan secara mutlak. Baik suami berniat untuk rujuk atau tidak niat, meskipun tidak ada saksi dalam hal ini 
(📚Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:111).

Alasan madzhab hambali:👇

Sesungguhnya masa iddah merupakan penantian untuk berpisah dengan istri yang ditalak, dimana ketika masa iddah selesai, maka terhalang kebolehan untuk rujuk. Karena itu, jika iddah belum selesai dan suami menggauli istrinya di masa ini, maka istri berarti kembali kepadanya. Status hukum ini sama dengan hukum ila’ (suami bersumpah untuk tidak menggauli istri). Jika seorang suami melakukan ila’ terhadap istrinya, kemudian dia menyetubuhi istrinya maka hilang status hukum ila’. Demikian pula untuk talak yang masih ada kesempatan untuk rujuk, jika suami berhubungan dengan istrinya di masa iddah maka istrinya telah kembali kepadanya 
(📚Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 22:112).

Dengan memahami pengantar di atas, kita bisa mengambil kesimpulan hukum untuk kasus yang ditanyakan. Bahwa jika cerai yang dijatuhkan sang suami baru cerai pertama, atau kedua, dan istri masih menjalani masa iddah (selama 3 kali haid), maka hubungan badan yang terjadi bukan zina, dan anak yang dikandung berhak dinasabkan kepada ayahnya. Dan dengan kejadian ini, mereka dianggap rujuk dan kembali menjadi suami istri.

Sebaliknya, jika cerai yang terjadi adalah cerai ba’in, cerai ketiga atau telah selesai masa iddah maka hubungan yang dilakukan adalah hubungan di luar nikah, dan sang anak statusnya anak hasil zina, yang hanya bisa dinasabkan ke ibunya, karena dia tidak memiliki ayah.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Read more https://konsultasisyariah.com/18476-hukum-hubungan-intim-setelah-bercerai.html

Follow : https://www.facebook.com/MemahamiIslamDenganBenar/
.
.

Kamis, 05 Mei 2022

MAKOM SESUAI MAZHAB EMPAT

Masa Kelam Masjidil Haram

Oleh Prof Al Yasa‘ Abubakar* 

SEKITAR tahun 500 hijriah kaum muslimin di Masjid Haram mulai terpecah ke dalam lima jamaah ketika menunaikan shalat fardhu dan berakhir tahun 1926 di akhir abad ke tiga belas hijriah, ketika Dinasti (Keluarga) Sa‘ud merebut Makkah dari kekuasaan Dinasti Syarif Husein.

Jadi masa kelam tersebut berlangsung sekitar 700 tahun. Keadaan tidaklah sama sepanjang rentang yang disebutkan itu. Buku-buku kisah perjalanan ini menjelaskan bahwa mazhab Syi‘ah sering tidak diberi izin mendirikan jamaah sendiri, dan begitu pula mazhab Hanbali pernah bergabung dengan mazhab Syafi‘iyah.

Namun buku-buku kisah perjalanan ini menyatakan sejak abad ketujuh hijriah (14 Masehi), empat imam telah mempunyai mihrab, pada empat tempat di atas dan yang paling mewah adalah mihrab mazhab Hanafi.

Para raja dan penguasa muslim di berbagai belahan dunia mengirimkan sejumlah uang untuk membuat mihrab dan mempercantik sisi-sisi Masjid Haram yang menjadi bagian mazhabnya. Karena wilayah muslim yang kaya di berbagai belahan dunia diperintah oleh raja-raja bermazhab Hanafi, misalnya saja Turki Usmani dan India Mughal, maka wajar sekiranya mihrab dan sisi Masjid Haram yang digunakan kalangan Hanafi lebih mewah dari mihrab dan bagian masjid lainnya.

Berdasarkan pengelompokan ini, maka jamaah yang masuk ke Masjid Haram pun mungkin sekali sejak dari daerah asalnya sudah diarahkan untuk mencari sisi yang sesuai dengan posisi imamnya untuk memudahkan mereka mengikuti shalat berjamaah. Karena itu tentu dapat dimaklumi sekiranya kaum muslimin dari Indonesia sangat menonjolkan hadis yang mengutamakan ‘Babus Salam’ sebagai pintu masuk pertama (utama) ke Masjid Haram, karena pintu ini berada di belakang mihrab imam bermazhab Syafi`, sehingga dengan demikian mereka tidak akan tersesat ke jamaah bermazhab lain. Sedang saudara kita bermazhab Maliki akan mencari ‘Bab Malik’ untuk masuk pertama karena pintu ini berada di belakang mihrab imam yang bermazhab Maliki. Begitu juga saudara kita bermazhab Hanafi akan mencari ‘Bab Umrah’ dengan alasan yang lebih kurang sama.

Pada tahun 1926 (akhir abad ke 13 Hijriah), ketika Dinasti Sa‘ud dengan dukungan ulama Wahabiah merebut Makkah dari kekuasaan Dinasti Syarif Husein, mereka langsung menggabung seluruh jamaah

shalat di Masjid Haram menjadi satu jamaah dengan satu orang imam. Ulama Wahabi dan Raja Saudi, menghancurkan empat mihrab yang ada, yang mungkin sekali mereka anggap sebagai lambang perpecahan umat Islam, dan lebih dari itu mereka hapus semua jejak yang dapat memberi petunjuk tentang adanya pengelompokan jamaah berdasar mazhab.

Penghapusan jamaah berdasar mazhab oleh penguasa Makkah dan ulama Wahabiah di atas disesalkan oleh sebagian tokoh dan umat Islam. Kuat dugaan mereka kecewa karena keberadaan dan keagungan mazhab tidak terlihat lagi di Masjid Haram. Tidak bermanfaat lagi menunjukkan rasa fanatik kepada mazhab, dan tidak ada gunanya menunjukkan identitas diri sebagai pengikut mazhab tertentu. Boleh jadi kelompok fanatik mazhab ini tidak puas, ketika mereka melihat jamaah yang datang ke Masjid Haram diberi kesempatan luas untuk menyatu dan berbaur. Mungkin sekali para pengikut mazhab yang fanatik ini tidak melupakan ruh dan inti ajaran Islam bahwa kedekatan dan kesamaan antar jamaah yang berasal dari berbagai belahan dunia dan berbagai mazhab sebagai umat Islam adalah lebih banyak dan harus lebih menonjol dibandingkan dengan perbedaan karena mereka menjadi pengikut mazhab yang berbeda-beda.

Sebagian dari kekecewaan ini dilampiaskan dengan mencela dan menjelekkan ulama dan mazhab wahabiah secara tidak benar dan berlebih-lebihan, bahkan ada yang sampai ke tingkat melemparkan fitnah, bahwa wahabiah bukan ahlussunnah wal jamaah. Bahkan ada yang berfatwa bahwa buku-buku karangan ulama wahabiah tidak boleh dibaca; berbahaya karena mengandung banyak kesesatan yang dapat merusak akidah dan ibadah. Sedang sebenarnya, walaupun mengaku tidak bermazhab bahkan menolak pengkotak-kotakan jamaah berdasar mazhab di Masjid Haram, wahabiah termasuk juga sebagai pengikut ahlussunnah wal jamaah. Penulis yakin, semua ulama yang mau membaca dan memahami sejarah secara terbuka, akan sepakat bahwa wahabiah masuk ke dalam salafiah, yaitu pengikut para Sahabat ra, kelompok yang mengikuti pemikiran dan pendapat para ulama sebelum mazhab empat lahir. Sedang sebagian saudara kita yang berafiliasi kepada salah satu mazhab empat tidak ragu bahkan mungkin dengan bangga mengaku juga sebagai pengikut salafiah, dan itu tidaklah salah.

Tetapi pengakuan mereka ini tentu harus dipahami sebagai pengikut salafiah yang bermazhab. Jadi ada salafiah yang tidak menjadi pengikut mazhab empat dan ada salafiah yang menjadi pengikut mazhab empat. Sedang salafiah adalah bagian dari ahlussunnah wal jamaah. Dengan demikian wahabiah termasuk juga ke dalam ahlussunnah wal jamaah, sebagaimana pengikut mazhab empat pun termasuk ke dalam ahlussunnah wal jamaah. Mempersempit isi ahlussunnah wal jamaah sehingga hanya terbatas pada mazhab atau kelompoknya sendiri, dan menyalahkan semua kelompok lain yang berbeda, walaupun menurut jumhur masuk juga ke dalam ahlussunnah wal jamaah adalah kekeliruan fatal dan ketidakbenaran, yang seharusnsya tidak dilakukan oleh ulama yang bertanggung jawab.

Semoga jamaah yang menunaikan shalat fardhu di Masjid Haram dapat menikmati dan mensyukuri adanya kesatuan jamaah dengan komando satu imam sebagai lambang persatuan, dan tidak ada lagi yang berharap agar shalat di Masjid Haram kembali ke masa kelam, masa ketika imamnya ada lima dan jamaahnya pun menjadi terkotak-kotak menjadi lima bahkan lebih. Hendaknya semua kita berdoa agar masa kelam ketika para pengikut mazhab harus mencari kapling yang khusus untuk mazhabnya sendiri dan merasa bersalah atau bahkan merasa tersesat ketika masuk ke kapling jamaah dari mazhab yang berbeda, tidak akan terulang lagi di Masjid Haram yang kita muliakan dan kita rindukan itu. Semoga semua kita mau berdoa agar di tengah masyarakat kita tidak ada lagi orang yang suka menuduh kafir atau sesat kelompok yang kebetulan berbeda dengan dia, sebelum dilakukan penelitian secara objektif dan sungguh-sungguh.

Lebih dari itu, marilah kita berdoa agar toleransi, kelapangan dan kemudahan yang diajarkan Rasulullah dan para ulama termasuk para ulama pendiri mazhab dalam mengamalkan ajaran Islam khususnya dalam beribadat, menjadi tema utama para penceramah dan khatib kita, dan lebih dari itu dapat kita wujudkan di tengah masyarakat kita.

*Penulis adalah Direktur Program Pascasarjana IAIN Ar Raniry, Banda Aceh.

Dikutip dari : serambinews