Selasa, 19 April 2022

SETIAP BERDO’A HARUSKAH MENGANGKAT TANGAN.?

Bismillahirrahmanirrahim. 
๐Ÿ“™ FIQIH BERDO'A ๐Ÿ“™ 

๐Ÿ’ฅSETIAP BERDO’A HARUSKAH MENGANGKAT TANGAN.?

Oleh : Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Belum banyak dipahami sebagian orang. Mereka menganggap bahwa setiap berdoa harus mengangkat tangan, semacam ketika berdoa sesudah shalat. 
Untuk lebih jelas marilah kita melihat beberapa penjelasan berikut. 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanyakan : “Bagaimanakah kaedah (dhobith) mengangkat tangan ketika berdo’a? (Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 51/13, Asy Syabkah Al Islamiyah). 

Beliau rahimahullah menjawab dengan rincian yang amat bagus : Mengangkat tangan ketika berdo’a ada tiga keadaan :  
 
PERTAMA. 
Ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. 
Kondisi ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat tangan ketika berdo’a. 
Contohnya adalah ketika berdo’a meminta diturunkannya hujan. 
Jika seseorang meminta hujan pada khutbah jum’at atau khutbah shalat istisqo’, maka dia hendaknya mengangkat tangan. 
Contoh lainnya adalah mengangkat tangan ketika berdo’a di Bukit Shofa dan Marwah, berdo’a di Arofah, berdo’a ketika melempar Jumroh Al Ula pada hari hari tasyriq dan juga Jumroh Al Wustho.  
Oleh karena itu, ketika menunaikan haji ada enam tempat (yang dianjurkan) untuk mengangkat tangan (ketika berdo’a) yaitu :  
[1] Ketika berada di Shofa
[2] Ketika berada di Marwah,  
[3] Ketika berada di Arofah. 
[4] Ketika berada di Muzdalifah setelah shalat shubuh,  
[5] Di Jumroh Al Ula di hari-hari tasyriq,  
[6] Di Jumroh Al Wustho di hari-hari tasyriq.  
Kondisi semacam ini tidak diragukan lagi dianjurkan untuk mengangkat tangan ketika itu karena adanya petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini.  
 
KEDUA  
Tidak ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. 
Contohnya adalah do’a di dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a istiftah : Allahumma ba’id baini wa baina khothoyaya kama ba’adta bainal masyriqi wal maghribi …; juga membaca do’a duduk di antara dua sujud : Robbighfirli; juga berdo’a ketika tasyahud akhir; namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan pada semua kondisi ini. 
Begitu pula dalam khutbah Jum’at, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya kecuali jika meminta hujan (ketika khutbah tersebut). Barangsiapa mengangkat tangan dalam kondisi kondisi ini dan semacamnya, maka dia telah terjatuh dalam perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bid’ah) dan melakukan semacam ini terlarang.  
 
KETIGA 
Tidak ada dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ataupun tidak. 
Maka hukum asalnya adalah mengangkat tangan karena ini termasuk adab dalam berdo’a. 
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesunguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. 
Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa..”  
(HR. Abu Daud No. 1488 dan At Tirmidzi No. 3556. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih) 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menceritakan seseorang yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan penuh debu, lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya mengatakan : “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” 
Padahal makanannya itu haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dari yang haram. Bagaimana mungkin do’anya bisa dikabulkan?
 (HR. Muslim No. 1015)

Dalam hadits tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mengangkat kedua tangan sebagai sebab terkabulnya do’a. 
Inilah pembagian keadaan dalam mengangkat tangan ketika berdo’a. 
Namun, ketika keadaan kita mengangkat tangan, apakah setelah memanjatkan do’a diperbolehkan mengusap wajah dengan kedua tangan? 
Yang lebih tepat adalah tidak mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sehabis berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if) yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). 
Apabila kita melihat seseorang membasuh wajahnya dengan kedua tangannya setelah selesai berdo’a, maka hendaknya kita jelaskan padanya bahwa yang termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengusap wajah setelah selesai berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if).  
 
HUKUM MENGANGKAT TANGAN UNTUK BERDO'A SETELAH SHALAT FARDHU 
 
Pembahasan berikut adalah mengenai hukum mengangkat tangan untuk berdo’a sesudah shalat fardhu. 
Berdasarkan penjelasan di atas, kita telah mendapat pencerahan bahwa memang mengangkat tangan ketika berdo’a adalah salah satu sebab terkabulnya do’a. 
Namun, apakah ini berlaku dalam setiap kondisi? 
Sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas bahwa hal ini tidak berlaku pada setiap kondisi. 
Ada beberapa contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengangkat tangan ketika berdo’a. Agar lebih jelas, mari kita perhatikan penjelasan Syaikh Ibnu Baz mengenai hukum mengangkat tangan ketika berdo’a sesudah shalat. Beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan :

Tidak disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan (ketika berdo’a) pada kondisi yang kita tidak temukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan pada saat itu. Contohnya adalah berdo’a ketika selesai shalat lima waktu, ketika duduk di antara dua sujud (membaca do’a robbighfirli, pen) dan ketika berdo’a sebelum salam, juga ketika khutbah jum’at atau shalat ‘ied. 
Dalam kondisi seperti ini hendaknya kita tidak mengangkat tangan (ketika berdo’a) karena memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan kita dalam hal ini. 
Namun ketika meminta hujan pada saat khutbah jum’at atau khutbah ‘ied, maka disyariatkan untuk mengangkat tangan sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka ingatlah kaedah yang disampaikan oleh beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) berikut :

“Kondisi yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan, maka tidak boleh bagi kita untuk mengangkat tangan. 
Karena perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam termasuk sunnah, begitu pula apa yang beliau tinggalkan juga termasuk sunnah.”

Bagaimana Jika Tetap Ingin Berdo’a Sesudah Shalat? Ini dibolehkan, namun setelah berdzikir, dengan catatan tidak dengan mengangkat tangan. 
Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/178) mengatakan :

“Begitu pula berdo’a sesudah shalat lima waktu setelah selesai berdzikir, maka tidak terlarang untuk berdo’a ketika itu karena terdapat hadits yang menunjukkan hal ini. 
Namun perlu diperhatikan bahwa tidak perlu mengangkat tangan ketika itu. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian. 
Wajib bagi setiap muslim senantiasa untuk berpedoman pada Al Kitab dan As Sunnah dalam setiap keadaan dan berhati-hati dalam menyelisihi keduanya. 
Wallahu waliyyut taufik.”

Mengangkat Tangan Untuk Berdo’a Sesudah Shalat Sunnah, 
Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan : 
Adapun shalat sunnah, maka aku tidak mengetahui adanya larangan mengangkat tangan ketika berdo’a setelah selesai shalat. Hal ini berdasarkan keumuman dalil. 
Namun lebih baik berdo’a sesudah selesai shalat sunnah tidak dirutinkan. 
Alasannya, karena tidak terdapat dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini. 
Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, maka hal tersebut akan dinukil kepada kita karena kita ketahui bahwa para sahabat –radhiyallahu ‘anhum jami’an- rajin untuk menukil setiap perkataan atau perbuatan beliau baik ketika bepergian atau tidak, atau kondisi lainnya. 
Adapun hadits yang masyhur (sudah tersohor di tengah-tengah umat) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Di dalam shalat, seharusnya engkau merendahkan diri dan khusyu’. 
Lalu hendaknya engkau mengangkat kedua tanganmu (sesudah shalat), lalu katakanlah : Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah), sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab dan ulama lainnya. Wallahu waliyyut taufiq.  
 
Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima. Yang selalu mengharap kan ampunan dan rahmat Rabbnya.  
Barakallahu fiikum.

PULANG LAH NAK, BERBAKTI PADA IBU-MU

Bismillaah

PULANG LAH NAK, BERBAKTI PADA IBU-MU

Semua orang tua pasti ingin dekat dengan anak-anaknya, terutama di masa tua dan masa sepuh mereka. Setiap orang tua, terutama ibu pasti sangat ingin berada bersama anak-anak yang sangat ia cintai. Tidak jarang sang ibu meminta anaknya agar tidak tinggal jauh darinya atau agar tidak tinggal di luar kota, atau sang ibu meminta anaknya agar segera pulang ke kampung masa kecilnya untuk menemani orang tua dan ibunya.

Kasih Sayang Ibu Tidak Lekang Oleh Jarak dan Waktu

Sekiranya sang ibu mengatakan:
“Ibu sih terserah kamu nak, jika di kota A kamu lebih sukses, ibu hanya bisa mendoakan kamu dari kampung masa kecilmu ini”

Ketauhilah, ketika engkau memilih bertahan di kota A, hati ibumu sangat kecewa sekali tetapi ia berusaha menguatkan diri dan tersenyum di depan mu dan tentunya selalu mendoakanmu, buah hati tercinta.

Saudaraku, meskipun kita sukses di kota A atau merasa sangat senang dan nyaman tinggal di kota A, jika engkau ada kesempatan tinggal bersama orang tua khususnya ibumu, maka pulang lah, temani ibumu dan berbaktilah. Mereka lah yang menjadikan engkau suskes dan berhasil dengan izin Allah

Catatan: berbakti pada ibu adalah prioritas utama anak laki-laki, adapun anak perempuan yang sudah menikah, maka ia mengikuti suaminya.

Jangan Sia-Siakan Kesempatan Berbakti Kepada Ibu

Berbaktilah kepada kedua orang tua kita, terutama ibu, karena berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang paling mudah memasukkan seseorang ke surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

๏บ๏ปŸْ๏ปฎَ๏บ๏ปŸِ๏บชُ ๏บƒَ๏ปญْ๏บณَ๏ป‚ُ ๏บƒَ๏บ‘ْ๏ปฎَ๏บ๏บِ ๏บ๏ปŸْ๏บ َ๏ปจَّ๏บ”ِ ๏ป“َ๏บˆِ๏ปฅْ ๏บทِ๏บŒْ๏บ–َ ๏ป“َ๏บ„َ๏บฟِ๏ปŠْ ๏บซَ๏ปŸِ๏ปšَ ๏บ๏ปŸْ๏บ’َ๏บŽ๏บَ ๏บƒَ๏ปญِ ๏บ๏บฃْ๏ป”َ๏ปˆْ๏ปชُ

Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya. (HR. Ahmad, hasan)

Maksud pintu yang paling tengah adalah pintu yang palong mudah dimasuki. Perhatikan jika ada tembok di depan kita, lalu ada pintu di tengah, di samping pinggir kanan dan kiri, tentu secara psikologi kita akan pilih yang tengah karena mudah untuk memasukinya.

Mengapa mudah berbakti pada orang tua, terurama ketika mereka sudah tua? Karena orang yang sudah tua sudak tidak menginginkan “gemerlapnya dunia” lagi.

Ibu Merindukan Kehadiranmu, Nak!

Mereka sudah tidak minta pada anaknya makanan-makanan lezat karena lidah mereka mungkin sudah kaku
Mereka sudah tidak minta pada anaknya jalan-jalan yang jauh karena kaki sudah mulai rapuh
Mereka sudah tidak minta kepada anaknya perhiasan dunia karena mata mulai merabun

Yang mereka inginkan hanyalah engkau menemani mereka, mengajak ngobrol, membawa cucu-cucu mereka untuk bermain dengan mereka. Suatu perkara yang cukup mudah dengan balasan yang surga Allah

Saudaraku, karenanya sangat celaka seseorang yang mendapati kedua orang tuanya sudah tua dan sepuh tetapi tidak masuk surga, karena tidak memanfaatkan amalan yang cukup mudah yaitu berbakti kepada mereka kemudian masuk surga.

Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ุฑَุบِู…َ ุฃَู†ْูُู‡ُ ุซُู…َّ ุฑَุบِู…َ ุฃَู†ْูُู‡ُ ุซُู…َّ ุฑَุบِู…َ ุฃَู†ْูُู‡ُ ». ู‚ِูŠู„َ ู…َู†ْ ูŠَุง ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ ู‚َุงู„َ ู…َู†ْ ุฃَุฏْุฑَูƒَ ูˆَุงู„ِุฏَูŠْู‡ِ ุนِู†ْุฏَ ุงู„ْูƒِุจَุฑِ ุฃَุญَุฏَู‡ُู…َุง ุฃَูˆْ ูƒِู„َูŠْู‡ِู…َุง ุซُู…َّ ู„َู…ْ ูŠَุฏْุฎُู„ِ ุงู„ْุฌَู†َّุฉَ

“Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [HR. Muslim 2551]

Baktimu untuk Ibu adalah Kewajiban

Perintah berbakti kepada orang tua terutama ibu

Allah memerintahkan kepada kita dalam Al-Quran agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah berfirman,

ูˆَูˆَุตَّูŠْู†َุง ุงู„ْุฅِู†ุณَุงู†َ ุจِูˆَุงู„ِุฏَูŠْู‡ِ ุญَู…َู„َุชْู‡ُ ุฃُู…ُّู‡ُ ูˆَู‡ْู†ุงً ุนَู„َู‰ ูˆَู‡ْู†ٍ ูˆَูِุตَุงู„ُู‡ُ ูِูŠ ุนَุงู…َูŠْู†ِ ุฃَู†ِ ุงุดْูƒُุฑْ ู„ِูŠ ูˆَู„ِูˆَุงู„ِุฏَูŠْูƒَ ุฅِู„َูŠَّ ุงู„ْู…َุตِูŠุฑُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bagaimana pengorbanan dan perjuangan ibu untuk anaknya. Beliau menafsirkan,

ูˆู‚ุงู„ ู‡ุงู‡ู†ุง {ูˆูˆุตูŠู†ุง ุงู„ุฅู†ุณุงู† ุจูˆุงู„ุฏูŠู‡ ุญู…ู„ุชู‡ ุฃู…ู‡ ูˆู‡ู†ุง ุนู„ู‰ ูˆู‡ู†} . ู‚ุงู„ ุฌุงู‡ุฏ: ู…ุดู‚ุฉ ูˆู‡ู† ุงู„ูˆู„ุฏ. ูˆู‚ุงู„ ู‚ุชุงุฏุฉ: ุฌู‡ุฏุง ุนู„ู‰ ุฌู‡ุฏ. ูˆู‚ุงู„ ุนุทุงุก ุงู„ุฎุฑุงุณุงู†ูŠ: ุถุนูุง ุนู„ู‰ ุถุนู

“Mujahid berkata bahwa yang dimaksud [“ูˆَู‡ْู†ًุง ุนَู„َู‰ ูˆَู‡ْู†ٍ”] adalah kesulitan ketika mengandung anak. Qatadah berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dengan penuh usaha keras. ‘Atha’ Al Kharasani berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.”[Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim 6/336,]

Demikian juga firman Allah,

ูˆَูˆَุตَّูŠْู†َุง ุงู„ْุฅِู†ุณَุงู†َ ุจِูˆَุงู„ِุฏَูŠْู‡ِ ุฅِุญْุณَุงู†ุงً ุญَู…َู„َุชْู‡ُ ุฃُู…ُّู‡ُ ูƒُุฑْู‡ุงً ูˆَูˆَุถَุนَุชْู‡ُ ูƒُุฑْู‡ุงً ูˆَุญَู…ْู„ُู‡ُ ูˆَูِุตَุงู„ُู‡ُ ุซَู„َุงุซُูˆู†َ ุดَู‡ْุฑุงً ุญَุชَّู‰ ุฅِุฐَุง ุจَู„َุบَ ุฃَุดُุฏَّู‡ُ ูˆَุจَู„َุบَ ุฃَุฑْุจَุนِูŠู†َ ุณَู†َุฉً ู‚َุงู„َ ุฑَุจِّ ุฃَูˆْุฒِุนْู†ِูŠ ุฃَู†ْ ุฃَุดْูƒُุฑَ ู†ِุนْู…َุชَูƒَ ุงู„َّุชِูŠ ุฃَู†ْุนَู…ْุชَ ุนَู„َูŠَّ ูˆَุนَู„َู‰ ูˆَุงู„ِุฏَูŠَّ ูˆَุฃَู†ْ ุฃَุนْู…َู„َ ุตَุงู„ِุญุงً ุชَุฑْุถَุงู‡ُ ูˆَุฃَุตْู„ِุญْ ู„ِูŠ ูِูŠ ุฐُุฑِّูŠَّุชِูŠ ุฅِู†ِّูŠ ุชُุจْุชُ ุฅِู„َูŠْูƒَ ูˆَุฅِู†ِّูŠ ู…ِู†َ ุงู„ْู…ُุณْู„ِู…ِูŠู†َ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Al-Ahqaaf : 15)

Pengorbanan Ibu Tidak Akan Terbalas

Diriwayatkan Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang yaman itu bersenandung,

ุฅِู†ِّูŠ ู„َู‡َุง ุจَุนِูŠْุฑُู‡َุง ุงู„ْู…ُู€ุฐِู„َّู„ُ – ุฅِู†ْ ุฃُุฐْุนِุฑْุชُ ุฑِูƒَุงุจُู‡َุง ู„َู…ْ ุฃُุฐْุนَุฑُ

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.

Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.

Orang itu lalu bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”[Adabul Mufrad no. 11, shahih]

Az-Dzahabi rahimahullah menyusun sebuah tulisan yang sangat menyentuh mengenai jasa dan pengorbanan ibu dan motivasi agar kita berbakti pada ibu. Beliau berkata,

ุญู…ู„ุชูƒ ููŠ ุจุทู†ู‡ุง ุชุณุนุฉ ุฃุดู‡ุฑ ูƒุฃู†ู‡ุง ุชุณุน ุญุฌุฌ ูˆ ูƒุงุจุฏุช ุนู†ุฏ ุงู„ูˆุถุน ู…ุง ูŠุฐูŠุจ ุงู„ู…ู‡ุฌ ูˆ ุฃุฑุถุนุชูƒ ู…ู† ุซุฏูŠู‡ุง ู„ุจู†ุง ูˆ ุฃุทุงุฑุช ู„ุฃุฌู„ูƒ ูˆุณู†ุง ูˆ ุบุณู„ุช ุจูŠู…ูŠู†ู‡ุง ุนู†ูƒ ุงู„ุฃุฐู‰ ูˆ ุขุซุฑุชูƒ ุนู„ู‰ ู†ูุณู‡ุง ุจุงู„ุบุฐุงุก ูˆ ุตูŠุฑุช ุญุฌุฑู‡ุง ู„ูƒ ู…ู‡ุฏุง ูˆ ุฃู†ุงู„ุชูƒ ุฅุญุณุงู†ุง ูˆ ุฑูุฏุง ูุฅู† ุฃุตุงุจูƒ ู…ุฑุถ ุฃูˆ ุดูƒุงูŠุฉ ุฃุธู‡ุฑุช ู…ู† ุงู„ุฃุณู ููˆู‚ ุงู„ู†ู‡ุงูŠุฉ ูˆ ุฃุทุงู„ุช ุงู„ุญุฒู† ูˆ ุงู„ู†ุญูŠุจ ูˆ ุจุฐู„ุช ู…ุงู„ู‡ุง ู„ู„ุทุจูŠุจ ูˆ ู„ูˆ ุฎูŠุฑุช ุจูŠู† ุญูŠุงุชูƒ ูˆ ู…ูˆุชู‡ุง ู„ุทู„ุจุช ุญูŠุงุชูƒ ุจุฃุนู„ู‰ ุตูˆุชู‡ุง ู‡ุฐุง ูˆ ูƒู… ุนุงู…ู„ุชู‡ุง ุจุณูˆุก ุงู„ุฎู„ู‚ ู…ุฑุงุฑุง ูุฏุนุช ู„ูƒ ุจุงู„ุชูˆููŠู‚ ุณุฑุง ูˆ ุฌู‡ุงุฑุง ูู„ู…ุง ุงุญุชุงุฌุช ุนู†ุฏ ุงู„ูƒุจุฑ ุฅู„ูŠูƒ ุฌุนู„ุชู‡ุง ู…ู† ุฃู‡ูˆู† ุงู„ุฃุดูŠุงุก ุนู„ูŠูƒ ูุดุจุนุช ูˆ ู‡ูŠ ุฌุงุฆุนุฉ ูˆ ุฑูˆูŠุช ูˆ ู‡ูŠ ู‚ุงู†ุนุฉ ูˆ ู‚ุฏู…ุช ุนู„ูŠู‡ุง ุฃู‡ู„ูƒ ูˆ ุฃูˆู„ุงุฏูƒ ุจุงู„ุฅุญุณุงู† ูˆ ู‚ุงุจู„ุช ุฃูŠุงุฏูŠู‡ุง ุจุงู„ู†ุณูŠุงู† ูˆ ุตุนุจ ู„ุฏูŠูƒ ุฃู…ุฑู‡ุง ูˆ ู‡ูˆ ูŠุณูŠุฑ ูˆ ุทุงู„ ุนู„ูŠูƒ ุนู…ุฑู‡ุง ูˆ ู‡ูˆ ู‚ุตูŠุฑ ู‡ุฌุฑุชู‡ุง ูˆ ู…ุงู„ู‡ุง ุณูˆุงูƒ ู†ุตูŠุฑ ู‡ุฐุง ูˆ ู…ูˆู„ุงูƒ ู‚ุฏ ู†ู‡ุงูƒ ุนู† ุงู„ุชุฃูู ูˆ ุนุงุชุจูƒ ููŠ ุญู‚ู‡ุง ุจุนุชุงุจ ู„ุทูŠู ุณุชุนุงู‚ุจ ููŠ ุฏู†ูŠุงูƒ ุจุนู‚ูˆู‚ ุงู„ุจู†ูŠู† ูˆ ููŠ ุฃุฎุฑุงูƒ ุจุงู„ุจุนุฏ ู…ู† ุฑุจ ุงู„ุนุงู„ู…ูŠู† ูŠู†ุงุฏูŠูƒ ุจู„ุณุงู† ุงู„ุชูˆุจูŠุฎ ูˆ ุงู„ุชู‡ุฏูŠุฏ ( ุฐู„ูƒ ุจู…ุง ู‚ุฏู…ุช ูŠุฏุงูƒ ูˆ ุฃู† ุงู„ู„ู‡ ู„ูŠุณ ุจุธู„ุงู… ู„ู„ุนุจูŠุฏ )

Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.

Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.

Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.

Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari padadirinya serta makanannya.

Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.

Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu.

Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.

Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.

Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.

Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.

Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.

Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.

Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.

Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.

Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.

Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.

Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.

(Akan dikatakan kepadanya),

ุฐَู„ِูƒَ ุจِู…َุง ู‚َุฏَّู…َุชْ ูŠَุฏَุงูƒَ ูˆَุฃَู†َّ ุงู„ู„َّู‡َ ู„َูŠْุณَ ุจِุธَู„َّุงู…ٍ ู„ِّู„ْุนَุจِูŠุฏِ

“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (Al-Hajj : 10) [Al-Kaba’ir hal. 39, Darun Nadwah]

Semoga Allah Ta’ala Memudahkan Kita untuk Berbakti pada Ibu

Semoga kita termasuk orang yang bisa berbakti kepada orang tua khususnya ibu. Semoga kita termasuk orang yang tidak melupakan jasa-jasa ibu kita. Semoga anak-istri dan pekerjaan kita tidak menyibukkan kita dan melalaikan kita untuk berbakti dan memberikan perhatian kepada ibu kita. Ingatlah di masa kecil kita sangat sering membuat susah orang tua terutama ibu kita, bersabarlah ketika berbakti kepada keduanya

Demikian semoga bermanfaat

@ Antara Langit dan Bumi Allah, Pesawat Garuda Yogyakarta – Jakarta – Banjarmasin

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/44335-pulang-lah-nak-berbakti-pada-ibu-mu.html

Via HijrahApp

Sabtu, 09 April 2022

Hadits Palsu 30 Keutamaan Shalat Tarawih

*Hadits Palsu 30 Keutamaan Shalat Tarawih*

Diantara sunnah-sunnah yang dituntunkan oleh syariat kita pada bulan Ramadhan adalah shalat Tarawih. Hadits-hadits Nabi yang mulia telah banyak yang menerangkan tentang keutamaan shalat tesebut.

Berkaitan dengan hal itu, terdapat sebuah hadits yang masyhur, khususnya di Indonesia, yaitu “30 keutamaan shalat tarawih” atau “keutamaan shalat tarawih per malam”. Apakah hadits itu shahih ? Bolehkah kita menyampaikannya di tengah-tengah kaum muslimin? Berikut ini sedikit bahasan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

*Teks hadits*

ุนู† ุนู„ูŠ ุจู† ุงุจูŠ ุทุงู„ุจ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุนู†ู‡ ุฃู†ู‡ ู‚ุงู„ : ” ุณุฆู„ ุงู„ู†ุจูŠ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุตู„ุงุฉ ูˆุงู„ุณู„ุงู… ุนู† ูุถุงุฆู„ ุงู„ุชุฑุงูˆูŠุญ ูู‰ ุดู‡ุฑ ุฑู…ุถุงู† ูู‚ุงู„
ูŠุฎุฑุฌ ุงู„ู…ุคู…ู† ุฐู†ุจู‡ ูู‰ ุงูˆู„ ู„ูŠู„ุฉ ูƒูŠูˆู… ูˆู„ุฏุชู‡ ุฃู…ู‡
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุซุงู†ูŠุฉ ูŠุบูุฑ ู„ู‡ ูˆู„ู„ุฃุจูˆูŠุฉ ุงู† ูƒุงู†ุง ู…ุคู…ู†ูŠู†
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุซุงู„ุซุฉ ูŠู†ุงุฏู‰ ู…ู„ูƒ ู…ู† ุชุญุช ุงู„ุนุฑุด؛ ุงุณุชุฃู†ู ุงู„ุนู…ู„ ุบูุฑ ุงู„ู„ู‡ ู…ุงุชู‚ุฏู… ู…ู† ุฐู†ุจูƒ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุฑุงุจุนุฉ ู„ู‡ ู…ู† ุงู„ุงุฌุฑ ู…ุซู„ ู‚ุฑุงุกุฉ ุงู„ุชูˆุฑุงู‡ ูˆุงู„ุงู†ุฌูŠู„ ูˆุงู„ุฒุงุจูˆุฑ ูˆุงู„ูุฑู‚ุงู†
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุฎุงู…ุณุฉ ุฃุนุทุงู‡ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ู…ุซู„ ู…ู† ุตู„ู‰ ููŠ ุงู„ู…ุณุฌุฏ ุงู„ุญุฑุงู… ูˆู…ุณุฌุฏ ุงู„ู…ุฏูŠู†ุฉ ูˆุงู„ู…ุณุฌุฏ ุงู„ุงู‚ุตู‰
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุณุงุฏุณุฉ ุงุนุทุงู‡ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุซูˆุงุจ ู…ู† ุทุงู ุจุงู„ุจูŠุช ุงู„ู…ุนู…ูˆุฑ ูˆูŠุณุชุบูุฑ ู„ู‡ ูƒู„ ุญุฌุฑ ูˆู…ุฏุฑ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุณุงุจุนุฉ ููƒุฃู†ู…ุง ุฃุฏุฑูƒ ู…ูˆุณู‰ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุณู„ุงู… ูˆู†ุตุฑู‡ ุนู„ู‰ ูุฑุนูˆู† ูˆู‡ุงู…ุงู†
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุซุงู…ู†ุฉ ุฃุนุทุงู‡ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ู…ุง ุฃุนุทู‰ ุงุจุฑุงู‡ูŠู… ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุณู„ุงู…
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุชุงุณุนุฉ ููƒุฃู†ู…ุง ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุนุจุงุฏุฉ ุงู„ู†ุจู‰ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุตู„ุงุฉ ูˆุงู„ุณู„ุงู…
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุนุงุดุฑุฉ ูŠุฑุฒู‚ุฉ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุฎูŠุฑ ุงู„ุฏู†ูŠุง ูˆุงู„ุขุฎุฑุฉ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุญุงุฏูŠุฉ ุนุดุฑ ูŠุฎุฑุฌ ู…ู† ุงู„ุฏู†ูŠุง ูƒูŠูˆู… ูˆู„ุฏ ู…ู† ุจุทู† ุฃู…ู‡
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุซุงู†ูŠุฉ ุนุดุฑ ุฌุงุก ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ ูˆูˆุฌู‡ู‡ ูƒุงู„ู‚ู…ุฑ ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุจุฏุฑ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุซุงู„ุซุฉ ุนุดุฑ ุฌุงุก ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ ุขู…ู†ุง ู…ู† ูƒู„ ุณูˆุก
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุฑุงุจุนุฉ ุนุดุฑ ุฌุงุกุช ุงู„ู…ู„ุงุฆูƒุฉ ูŠุดู‡ุฏูˆู† ู„ู‡ ุฃู†ู‡ ู‚ุฏ ุตู„ู‰ ุงู„ุชุฑุงูˆูŠุญ ูู„ุง ูŠุญุงุณุจู‡ ุงู„ู„ู‡ ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุฎุงู…ุณุฉ ุนุดุฑ ุชุตู„ู‰ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ู…ู„ุงุฆูƒุฉ ูˆุญู…ู„ุฉ ุงู„ุนุฑุด ูˆุงู„ูƒุฑุณู‰
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุณุงุฏุณุฉ ุนุดุฑ ูƒุชุจ ุงู„ู„ู‡ ู„ู‡ ุจุฑุงุกุฉ ุงู„ู†ุฌุงุฉ ู…ู† ุงู„ู†ุงุฑ ูˆุจุฑุงุกุฉ ุงู„ุฏุฎูˆู„ ูู‰ ุงู„ุฌู†ุฉ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุณุงุจุนุฉ ุนุดุฑ ูŠุนุทู‰ ู…ุซู„ ุซูˆุงุจ ุงู„ุฃู†ุจูŠุงุก
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุซุงู…ู†ุฉ ุนุดุฑ ู†ุงุฏู‰ ุงู„ู…ู„ูƒ ูŠุงุนุจุฏุงู„ู„ู‡ ุฃู† ุฑุถู‰ ุนู†ูƒ ูˆุนู† ูˆุงู„ุฏูŠูƒ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุชุงุณุนุฉ ุนุดุฑ ูŠุฑูุน ุงู„ู„ู‡ ุฏุฑุฌุงุชู‡ ูู‰ ุงู„ูุฑุฏูˆุณ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุนุดุฑูŠู† ูŠุนุทู‰ ุซูˆุงุจ ุงู„ุดู‡ุฏุงุก ูˆุงู„ุตุงู„ุญูŠู†
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุญุงุฏูŠุฉ ูˆุงู„ุนุดุฑูŠู† ุจู†ู‰ ุงู„ู„ู‡ ู„ู‡ ุจูŠุชุง ูู‰ ุงู„ุฌู†ุฉ ู…ู† ุงู„ู†ูˆุฑ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุซุงู†ูŠุฉ ูˆุงู„ุนุดุฑูŠู† ุฌุงุก ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ ุขู…ู†ุง ู…ู† ูƒู„ ุบู… ูˆู‡ู…
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุซุงู„ุซุฉ ูˆุงู„ุนุดุฑูŠู† ุจู†ู‰ ุงู„ู„ู‡ ู„ู‡ ู…ุฏูŠู†ุฉ ูู‰ ุงู„ุฌู†ุฉ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุฑุงุจุนุฉ ูˆุงู„ุนุดุฑูŠู† ูƒุงู† ู„ู‡ ุงุฑุจุนู‡ ูˆุนุดุฑูˆู† ุฏุนูˆุฉ ู…ุณุชุฌุงุจุฉ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุฎุงู…ุณุฉ ูˆุงู„ุนุดุฑูŠู† ูŠุฑูุน ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุนู†ู‡ ุนุฐุงุจ ุงู„ู‚ุจุฑ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุณุงุฏุณุฉ ูˆุงู„ุนุดุฑูŠู† ูŠุฑูุน ุงู„ู„ู‡ ู„ู‡ ุซูˆุงุจู‡ ุฃุฑุจุนูŠู† ุนุงู…ุง
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุณุงุจุนุฉ ูˆุงู„ุนุดุฑูŠู† ุฌุงุฒ ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ ุนู„ู‰ ุงู„ุณุฑุงุท ูƒุงู„ุจุฑู‚ ุงู„ุฎุงุทู
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุซุงู…ู†ุฉ ูˆุงู„ุนุดุฑูŠู† ูŠุฑูุน ุงู„ู„ู‡ ู„ู‡ ุฃู„ู ุฏุฑุฌุฉ ูู‰ ุงู„ุฌู†ุฉ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุชุงุณุนุฉ ูˆุงู„ุนุดุฑูŠู† ุงุนุทุงู‡ ุงู„ู„ู‡ ุซูˆุงุจ ุงู„ู ุญุฌุฉ ู…ู‚ุจูˆู„ุฉ
ูˆูู‰ ุงู„ู„ูŠู„ุฉ ุงู„ุซู„ุงุซูŠู† ูŠู‚ูˆู„ ุงู„ู„ู‡ : ูŠุงุนุจุฏู‰ ูƒู„ ู…ู† ุซู…ุงุฑ ุงู„ุฌู†ุฉ ูˆุงุบุชุณู„ ู…ู† ู…ูŠุงู‡ ุงู„ุณู„ุณุจูŠู„ ูˆุงุดุฑุจ ู…ู† ุงู„ูƒูˆุซุฑุฃู†ุง ุฑุจูƒ ูˆุฃู†ุช ุนุจุฏู‰”

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang keutamaan Shalat Tarawih pada Bulan Ramadhan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

▪Di malam pertama, Orang mukmin keluar dari dosanya , seperti saat dia dilahirkan oleh ibunya.

▪Di malam kedua, ia diampuni, dan juga kedua orang tuanya, jika keduanya mukmin.

▪Di malam ketiga, seorang malaikat berseru di bawah Arsy: ‘Mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang telah lewat.’

▪Di malam keempat, dia memperoleh pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan.

▪Di malam kelima, Allah Ta’ala memberikan pahala seperti pahala orang yang shalat di Masjid al-Haram, masjid Madinah, dan Masjid al-Aqsha.

▪Di malam keenam, Allah Ta’ala memberikan pahala orang yang ber-thawaf di Baitul Makmur dan dimohonkan ampun oleh setiap batu dan cadas.

▪Di malam ketujuh, seolah-olah ia mencapai derajat Nabi Musa ‘alaihissalam dan kemenangannya atas Firaun dan Haman.

▪Di malam kedelapan, Allah Ta’ala memberinya apa yang pernah Dia berikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

▪Di malam kesembilan, seolah-olah ia beribadat kepada Allah Ta’ala sebagaimana ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

▪Di malam kesepuluh, Allah Ta’ala mengaruniai dia kebaikan dunia dan akhirat.

▪Di malam kesebelas, ia keluar dari dunia seperti saat ia dilahirkan dari perut ibunya.

▪Di malam kedua belas, ia datang pada hari kiamat dengan wajah bagaikan bulan di malam purnama.

▪Di malam ketigabelas, ia datang di hari kiamat dalam keadaan aman dari segala keburukan.

▪Di malam keempat belas, para malaikat datang seraya memberi kesaksian untuknya, bahwa ia telah melakukan shalat tarawih, maka Allah tidak menghisabnya pada hari kiamat.

▪Di malam kelima belas, ia didoakan oleh para malaikat dan para pemikul Arsy dan Kursi.

▪Di malam keenam belas, Allah menerapkan baginya kebebasan untuk selamat dari neraka dan kebebasan masuk ke dalam surga.

▪Di malam ketujuh belas, ia diberi pahala seperti pahala para nabi.

▪Di malam kedelapan belas, seorang malaikat berseru, ‘Hai hamba Allah, sesungguhnya Allah ridha kepadamu dan kepada ibu bapakmu.’

▪Di malam kesembilan belas, Allah mengangkat derajatnya dalam surga Firdaus.

▪Di malam kedua puluh, Allah memberi pahala para Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh).

▪Di malam kedua puluh satu, Allah membangun untuknya gedung dari cahaya.

▪Di malam kedua puluh dua, ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari setiap kesedihan dan kesusahan.

▪Di malam kedua puluh tiga, Allah membangun untuknya sebuah kota di dalam surga.

▪Di malam kedua puluh empat, ia memperoleh duapuluh empat doa yang dikabulkan.

▪Di malam kedua puluh lima, Allah Ta’ala menghapuskan darinya azab kubur.

▪Di malam keduapuluh enam, Allah mengangkat pahalanya selama empat puluh tahun.

▪Di malam keduapuluh tujuh, ia dapat melewati shirath pada hari kiamat, bagaikan kilat yang menyambar.

▪Di malam keduapuluh delapan, Allah mengangkat baginya seribu derajat dalam surga.

▪Di malam kedua puluh sembilan, Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.

▪Di malam ketiga puluh, Allah ber firman : ‘Hai hamba-Ku, makanlah buah-buahan surga, mandilah dari air Salsabil dan minumlah dari telaga Kautsar. Akulah Tuhanmu, dan engkau hamba-Ku.’

*Hadits ini disebutkan oleh Syaikh al-Khubawi dalam kitab Durrotun Nashihiin, hal. 16 – 17.*

*Indikasi-indikasi kepalsuan hadits*

Perlu diketahui bahwasanya hadits yang munkar dan palsu membuat hati penuntut ilmu menjadi geli dan mengingkarinya. Rabi’ bin Hutsaim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu memiliki cahaya seperti cayaha di siang hari, sehingga engkau dapat melihatnya. Dan memiliki kegelapan seperti gelapnya malam, sehingga engkau mengingkarinya.” (al-Maudhuu’aat 605, Ibnul Jauzi rahimahullah)

*Berikut ini beberapa indikasi atas palsunya hadits tersebut:*

▪Pahala yang terlalu besar untuk amalan yang sederhana. Banyak keutamaan-keutamaan yang terdapat dalam hadits di atas termasuk dalam kejanggalan jenis ini, misalkan pada lafadz “Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.”

▪Bahkan, yang lebih parah adalah seseorang bisa mendapatkan pahala sebanding dengan pahala para Nabi (keutamaan shalat tarawih malam ke-17). Hal tersebut mustahil terjadi, karena sebanyak apapun amalan ibadah manusia biasa, tentu dia tidak akan mampu menyamai pahala Nabi. Nubuwah merupakan pilihan dari Allah semata. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Hajj [22] : 75) (Lihat al-Manaarul Muniif hal. 55 – 105, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah)

▪Tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad. Hadits tentang 30 keutamaan shalat tarawih di atas, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad. DR. Lutfi Fathullah mengatakan, “Jika seseorang mencari hadits tersebut di kitab-kitab referensi hadits, niscaya tidak akan menemukannya.” Hal tersebut mengindikasikan bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu.

*Pendapat para ulama dan penuntut ilmu*

Lebih jauh lagi, apabila kita memperhatikan perkataan para ulama tentang hadits itu, tentu akan kita dapati mereka menganggapnya hadits palsu.

Al-Lajnah ad-Da’imah pernah ditanya tentang hadits tersebut, kemudian mereka menjawab,

ูƒู„ุง ุงู„ุญุฏูŠุซูŠู† ู„ุง ุฃุตู„ ู„ู‡، ุจู„ ู‡ู…ุง ู…ู† ุงู„ุฃุญุงุฏูŠุซ ุงู„ู…ูƒุฐูˆุจุฉ ุนู„ู‰ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…

“Hadits tersebut adalah hadits yang tidak ada sumbernya (laa ashla lahu). Bahkan, hadits tersebut merupakan kebohongan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta no. 8050, juz 4, hal 476-480. Ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Azin bin Baaz sebagai ketua, Syaikh Abdurrazaq Afifi sebagai wakil, Syaikh Abdullah Ghuddayan sebagai anggota dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota)

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan DR. Lutfi Fathullah, dimana disertasi beliau meneliti kitab Durratun Nashihin. Beliau mengatakan:

Ada sekitar 30 persen hadits palsu dalam kitab Durratun Nashihin. Diantaranya adalah hadits tentang fadhilah atau keutaman shalat tarawih, (yaitu) dari Ali radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallaam ditanya tentang keutamaan shalat tarawih, (lalu beliau bersabda) malam pertama pahalanya sekian, malam kedua sekian, dan sampai malam ketiga puluh.

Hadits tersebut tidak masuk akal. Selain itu, jika seseorang mencari hadits tersebut di kitab-kitab referensi hadits, niscaya tidak akan menemukannya. 

*Sibukkan diri dengan yang Shahih*

Setelah mengetahui lemahnya hadits tersebut, maka hendaklah para penulis dan penceramah meninggalkannya, karena dikhawatirkan akan masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits mutawatir :

ู…ู† ูƒุฐุจ ุนู„ูŠ ู…ุชุนู…ุฏุง ูู„ูŠุชุจูˆุฃ ู…ู‚ุนุฏู‡ ู…ู† ุงู„ู†ุงุฑ

“Barangsiapa yang berdusta atas nama saya dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat di Neraka”

Hendaklah mereka mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama kita mengatakan:

ููŠ ุตุญูŠุญ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุดุบู„ ุนู† ุณู‚ูŠู…ู‡

“Dalam hadits yang shahih terdapat kesibukan dari hadits yang lemah” (al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami’ 1524, al-Khatiib al-Baghdaadi rahimahullah)

*Diantara Keutamaan Shalat Tarawih dari Hadits yang Shahih*

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู…َู†ْ ู‚َุงู…َ ุฑَู…َุถَุงู†َ ุฅِูŠู…َุงู†ًุง ูˆَุงุญْุชِุณَุงุจًุง ุบُูِุฑَ ู„َู‡ُ ู…َุง ุชَู‚َุฏَّู…َ ู…ِู†ْ ุฐَู†ْุจِู‡ِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).

Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39)

Selain itu, beliau beliau juga pernah mengumpulkan keluarga dan para shahabatnya. Lalu beliau bersabda,

ู…َู†ْ ู‚َุงู…َ ู…َุนَ ุงู„ุฅِู…َุงู…ِ ุญَุชَّู‰ ูŠَู†ْุตَุฑِูَ ูƒُุชِุจَ ู„َู‡ُ ู‚ِูŠَุงู…ُ ู„َูŠْู„َุฉً

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh” (HR. An-Nasai dan selainnya, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 447)

Semoga Allah selalu melimpahkan karunai-Nya kepada kita semua, dan menjaga lisan-lisan kita dari perkataan dusta, apalagi berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam.


Penulis: Abu Ka’ab Prasetyo
Artikel Muslim.or.id