Rabu, 24 Februari 2021

MENASIHATI ISTERI Dengan Cara YANG BAIK, HAK ISTERI YANG HARUS DIPENUHI SUAMI ✨


Mengajarkan Ilmu Agama Di antara hak seorang isteri yang harus dipenuhi suaminya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran dalam perkara agama. Dengan memahami dan mengamalkan agamanya, seseorang akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

🌺 ALLAH ‘Azza wa Jalla berfirman.

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ 
 “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada ALLAH terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahrim : 6] 

🔹Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud menasihati mereka agar taat, bertaqwa kepada ALLAH ‘Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. 

Para Shahabat dan mufassirin menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut: 

1. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.” 

2. Qatadah rahimahullaah berkata, “Suruh keluarga kalian untuk taat kepada ALLAH! Cegah mereka dari berbuat maksiyat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah ALLAH dan bantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiyat, maka cegah dan laranglah mereka!” 

3. Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullaah berkata: “Ajarkan keluarga kalian untuk taat kepada ALLAH ‘Azza wa Jalla yang (hal itu) dapat menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.” 

4. Imam asy-Syaukani mengutip perkataan Ibnu Jarir: “Wajib atas kita untuk mengajarkan anak-anak kita Dienul Islam (agama Islam), serta mengajarkan kebaikan dan adab-adab Islam.”

🔹Untuk itulah, kewajiban seorang suami untuk membekali dirinya dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i) dengan menghadiri majelis-majelis ilmu yang mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih -generasi yang terbaik, yang mendapat jaminan dari ALLAH -, sehingga dengan bekal tersebut dia mampu mengajarkannya kepada isteri dan keluarganya. Jika ia tidak sanggup untuk mengajarkannya, hendaklah seorang suami mengajak isteri dan anaknya untuk bersama-sama hadir di dalam majelis ilmu yang mengajarkan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mendengarkan apa yang disampaikan, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan hadirnya suami-isteri di majelis ilmu akan menjadikan mereka sekeluarga dapat memahami Islam dengan benar, beribadah dengan ikhlas mengharapkan wajah ALLAH ‘Azza wa Jalla semata serta senantiasa meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. In syaa ALLAH, hal ini akan memberikan manfaat dan berkah yang sangat banyak karena suami maupun isteri saling memahami hak dan kewajibannya sebagai hamba ALLAH.
Dalam kehidupan yang serba materialistis seperti sekarang ini, banyak suami yang melalaikan diri dan keluarganya. Berdalih mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dia mengabaikan kewajiban yang lainnya. Seolah-olah dia merasa bahwa kewajibannya cukup hanya dengan memberikan nafkah berupa harta, kemudian nafkah batinnya, sedangkan pendidikan agama yang merupakan hal paling pokok justru tidak pernah dipedulikan. Seringkali sang suami jarang berkumpul dengan keluarganya untuk menunaikan ibadah bersama-sama. Sang suami pergi ke kantor pada pagi hari ba’da Shubuh dan kembali ke rumahnya larut malam. Pola hidup seperti ini adalah pola hidup yang tidak baik. Tidak pernah atau jarang sekali ia membaca Al-Qur’an, kurang sekali memperhatikan isteri dan anaknya shalat, dan tidak memperhatikan pendidikan agama mereka sehari-hari. Bahkan pendidikan anaknya dia percayakan sepenuhnya kepada pendidikan di sekolah, dan bangga dengan sekolah-sekolah yang memungut biaya sangat mahal karena alasan harga diri. Ia merasa bahwa tugasnya sebagai orang tua telah ia tunaikan seluruhnya. Lantas bagaimana kita dapat mewujudkan anak yang shalih, sedangkan kita tahu bahwa salah satu kewajiban yang mulia seorang kepala rumah tangga adalah mendidik keluarganya. 🔹Sementara tidak bisa kita pungkiri juga bahwa pengaruh negatif dari lingkungan yang cukup kuat berupa media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, tabloid, televisi, radio, VCD, serta peralatan hiburan lainnya sangat mudah mencemari pikiran dan perilaku sang anak. Bahkan media ini bisa menjadi orang tua ketiga, maka kita harus mewaspadai media-media yang ada dan alat-alat permainan yang sangat berpengaruh buruk terhadap perilaku anak-anak kita. 
🔹Oleh karena itu, kewajiban seorang suami harus memperhatikan pendidikan isteri dan anaknya, baik tentang TAUHID, SHALAT, bacaan Al-Qur’annya, pakaiannya, pergaulannya, serta bentuk-bentuk ibadah dan AKHLAK yang lainnya. Karena Islam telah mengajarkan semua sisi kehidupan, kewajiban kita untuk mempelajari dan mengamalkannya sesuai Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. 
🔹Begitu pula kewajiban seorang isteri adalah membantu suaminya mendidik anak-anak di rumah dengan baik. Seorang isteri diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak, serta menjauhkan diri dan keluarga dari hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Islam. 
🔹Menasehati Isteri Dengan Cara Yang Baik Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan agar berbuat baik kepada kaum wanita, berlaku lemah lembut dan sabar atas segala kekurangannya, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok. 

🌹Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
 مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.

“Barangsiapa yang beriman kepada ALLAH dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat-lah kepada wanita dengan kebaikan.”

Mengizinkannya Keluar Untuk Kebutuhan Yang Mendesak Di antara hak isteri adalah suami mengizinkannya keluar untuk suatu kebutuhan yang mendesak, seperti pergi ke warung, pasar dan lainnya untuk membeli kebutuhan rumah tangga. 

🌹Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
 قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ. 

 “Sesungguhnya ALLAH telah mengizinkan kalian (para wanita) keluar (rumah) untuk keperluan (hajat) kalian.”

Tetapi, keluarnya mereka harus dengan beberapa syarat, yaitu: 
1. Memakai hijab syar’i yang dapat menutupi seluruh tubuh. 
2. Tidak ikhtilath (berbaur) dengan kaum laki-laki. 
3. Tidak memakai wangi-wangian (parfum). Seorang suami pun dibolehkan untuk mengizinkan isterinya untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid apabila ketiga syarat di atas terpenuhi.

🌹Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
 إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا. 
 
“Apabila isteri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, janganlah ia menghalanginya.”

Dalam hadits yang lain, 
🌹Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ.
 
“Janganlah kalian melarang para wanita hamba ALLAH mendatangi masjid-masjid ALLAH .” 

Semoga bermanfaat
Barrakallah fiikum....

Sabtu, 20 Februari 2021

ADA GAK SICH BERDOA USAI SHOLAT (FARDHU) WAJIB ?

Bismillahirrohmanirrohiim,

Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan berdoa sambil mengangkat tangan selesai sholat wajib (fardhu), baik berdoa sendiri maupun berjama’ah, akan tetapi beliau memerintahkan untuk berdzikir saja. Rosululah tidak pernah memimpin doa selesai sholat wajib secara bersama-sama. Dan tidak ada satu dalil pun yang menyatakan hal ini.

Adapun di dalam Al Qur’an maupun Assunnah hanya dianjurkan untuk berdzikir saja. Mari simak beberapa dalil berikut ini, 

💖 Allah Ta’ala berfirman :

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

"Bila kamu telah menyelesaikan sholatmu, ingatlah {berdzikirlah} kepada Allah waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring. Apabila kamu telah aman, maka kerjakanlah sholat itu seperti biasanya. Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya terhadap orang-orang yang beriman.”
(QS. An Nisa 103)

Hadits riwayat Muslim, 

وَعَنْ كَعْبٍ بْنِ عُجْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ :(( مُعَقِّباتٌ لاَ يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ – أَوْ فَاعِلُهُنَّ – دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ: ثَلاثٌ وَثَلاثونَ تَسْبِيحَةً. وَثَلاثٌ وثَلاَثونَ تَحْمِيدَةً ، وَأرْبَعٌ وَثَلاَثونَ تَكْبِيرَةً )) . رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada beberapa kalimat pengikut yang tidak akan merugikan orang yang mengucapkannya atau melakukannya usai setiap sholat wajib {yaitu}, tiga puluh tiga kali tasbih, tiga puluh tiga kali tahmid, dan tiga puluh tiga kali takbir.” 
(HR. Muslim No. 597)

💙 Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ

"Jika kalian bertekad mengerjakan suatu perkara, maka kerjakanlah sholat selain sholat wajib {fardhu} lalu bacalah doa…..”
(HR. Bukhori No. 7390)

💚 BERDOA SETELAH TASYAHHUD SEBELUM SALAM DARI SHOLAT

Dari Abu Umamah rodhiyallahu anhuma bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya :

أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ ؟ قَالَ جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ

"Doa apakah yang paling didengar {dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla} ? Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Doa di tengah malam {akhir malam} dan di ujung {akhir} sholat-sholat {lima waktu} yang wajib."
(HR. At Tirmidzi, no. 9936 dan An Nasa'i , 6/32. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Imam At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)

💝 WAKTU-WAKTU MUSTAJAB UNTUK BERDOA

Allah memberikan masing-masing waktu dengan keutamaan dan kemuliaan yang berbeda-beda, diantaranya ada waktu-waktu tertentu yang sangat baik untuk berdoa, akan tetapi kebanyakan orang menyia-nyiakan kesempatan baik tersebut. Mereka mengira bahwa seluruh waktu memiliki nilai yang sama dan tidak berbeda. Bagi setiap muslim seharusnya memanfaatkan waktu-waktu yang utama dan mulia untuk berdoa agar mendapatkan kesuksesan, keberuntungan, kemenangan dan keselamatan. Adapun waktu-waktu mustajabah tersebut antara lain :

(1). BERDOA PADA HARI JUM'AT

Hadits dari Abu Said Al Khudri dan Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيهَا خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَهِيَ بَعْدَ الْعَصْرِ

"Di hari Jumat terdapat suatu waktu, dimana jika ada seorang hamba muslim yang memanjatkan doa kepada Allah bertepatan dengan waktu tersebut, Allah akan memberi apa yang dia minta. Waktu itu adalah seteah asar." 
(HR. Ahmad 7631 dan dinilai shohih Syuaib Al Arnauth)

(2). BERDOA PADA SEPERTIGA MALAM

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Kemudian Allah berfirman : "Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan doanya, siapa yang meminta-Ku akan Aku beri dia, dan siapa yang minta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni dia.” 
(HR. Bukhori No. 1145, Muslim No. 758, Abu Daud No. 1315, dan yang lainnya)

(3). BERDOA PADA WAKTU SAHUR

Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang berdoa disepertiga malam yang terakhir. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya :

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون

“Ketika waktu sahur {akhir-akhir malam}, mereka berdoa memohon ampunan.” 
(QS. Adz Dzariyat 18)

(4). BERDOA KETIKA BERBUKA PUASA

Rosulullah shollallahu ’alaihi wa sallam bersabda :

 :
ثلاث لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل و المظلوم

”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzholimi.” 
(HR. Tirmidzi No. 2528, Ibnu Majah No.1752, Ibnu Hibban No. 2405, dishohihkan Al Albani di Shohih At Tirmidzi)

(5). BERDOA ANTARA ADZAN DAN IQOMAH

Waktu jeda antara adzan dan iqomah adalah juga merupakan waktu yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rosulullah shollallahu ’alaihi wa sallam :

الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة

“Doa di antara adzan dan iqomah tidak tertolak.” 
(HR. Tirmidzi No. 212, ia berkata : “Hasan Shohih”)

(6). BERDOA KETIKA TURUN HUJAN

Hujan adalah nikmat Allah Ta’ala. Oleh karena itu tidak boleh mencelanya. Sebagian orang merasa jengkel dengan turunnya hujan, padahal yang menurunkan hujan tidak lain adalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, daripada tenggelam dalam rasa jengkel lebih baik memanfaatkan waktu hujan untuk berdoa memohon apa yang diinginkan kepada Allah Ta’ala :

ثنتان ما تردان : الدعاء عند النداء ، و تحت المطر

“Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun.” 
(HR. Hakim No. 2534, dishohihkan Al Albani di Shohih Al Jami’, 3078)

(7). BERDOA KETIKA MALAM LAILATUL QODAR

Malam lailatul qodar adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Malam ini lebih utama dari 1000 bulan.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam Lailatul Qodr lebih baik dari 1000 bulan.” 
(QS. Al Qodr 3)

Pada malam ini dianjurkan memperbanyak ibadah termasuk memperbanyak doa. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ummul Mu’minin Aisyah rodhiyallahu ’anha :

قلت يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني

“Aku bertanya kepada Rosulullah : "Wahai Rosulullah, menurutmu apa yang sebaiknya aku ucapkan jika aku menemukan malam Lailatul Qodar ?
Lalu beliau bersabda : Berdoalah :

اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan menyukai sifat pemaaf, maka ampunilah aku."
(HR. Tirmidzi, 3513, Ibnu Majah, 3119, At Tirmidzi berkata : “Hasan Shohih”)

💛 HADITS DHO’IF

Adapun hadits yang masyhur (sudah tersohor di tengah-tengah umat) bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
“Di dalam sholat, seharusnya engkau merendahkan diri dan khusyu’. Lalu hendaknya engkau mengangkat kedua tanganmu (sesudah sholat), lalu katakanlah : “Wahai Robbku ! Wahai Robbku !” 
(Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah), sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab dan ulama lainnya)

Semoga bermanfaat

Minggu, 07 Februari 2021

TAWASUL SYAR'I VS TAWASUL SYIRIK

Oleh Ustadz Dr. Andika Minaoki di web Muslim.or.id

Tawasul artinya mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk rasul-Nya, dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan diridhoi-Nya. Atau dengan kata lain seseorang melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya. Namun, sebagian kaum muslimin salah dalam memahami tawasul. Mereka bertawasul dengan orang-orang shalih dan wali yang sudah mati. Inilah yang mereka anggap sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah. Padahal hal tersebut dapat menjerumuskan mereka ke lembah kesyirikan.

Tawasul yang Diperbolehkan

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu diketahui bahwa tawasul dibagi menjadi dua yaitu tawasul syar’i dan tawasul bid’i. Tawasul syar’i adalah tawasul yang ditetapkan oleh syariat, yakni yang memiliki dalil dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi. Maksudnya mengambil wasilah (perantara) untuk terkabulnya doa, yakni seseorang yang berdoa  mengambil sebab-sebab yang dapat menjadikan terkabulnya doa. Sedangkan tawasul bid’i adalah tawasul yang tidak terdapat dalil yang membolehkannya, bahkan di antaranya merupakan perbuatan kesyirikan.  Jenis tawasul syar’i yaitu:

Pertama: Bertawasul dengan zat Allah yang Maha Suci, dengan nama-nama-Nya yang baik, dengan sifat-sifat-Nya, atau dengan perbuatan-Nya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (QS. Al A’raf:180). Dalilnya juga adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau, “… Aku memohon dengan setiap nama-Mu, yang Engkau memberi nama diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau sembunyikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu…” (H.R Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, Silsilah Ash Shahihah no. 199).

Kedua: Bertawasul dengan amal shalih. Bertawasul dengan amal sholih juga diperbolehkan. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“. (QS. Al Baqarah:127). Adapun dalil dari hadits yakni dalam kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Mereka bertawasul dengan amal shalih yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa karena sebab tawasul dalam doa yang mereka lakukan. Ini menunjukkan diperbolehkannya sesorang bertawasul dengan amal sholih.

Ketiga: Bertawasul dengan doa orang lain. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala ketika mengkisahkan anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam (yang artinya), “Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)“.(QS. Yusuf:97). Sedangkan dalil dari hadits adalah doa Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ‘Ukasyah bin Mihson radhiyallhu ‘anhu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar menjadikan ‘Ukasyah termasuk  tujuh puluh ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab.

Para Sahabat Bertawasul dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam

Semasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, di antara para sahabat ada yang bertawasul dengan beliau. Seorang arab badui pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat beliau sedang berkhotbah dan ia meminta didoakan oleh beliau. Demikian pula yang dilakukan sahabat ‘Ukasyah bin Mihson adalah contoh bertawasul lewat perantaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang perlu diingat, yang dilakukan oleh para sahabat tersebut adalah saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Adapun setelah wafatnya beliau, maka hal ini tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, ketika di masa khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu terjadi kekeringan, mereka tidak meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berdoa kepada Allah untuk meminta hujan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tiada. Namun ‘Umar meminta kepada ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami maka Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami” (H.R Bukhori). Akhirnya, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan hujan kepada mereka melalui perantaraan do’a Abbas.

Bertawasul dengan Doa, Bukan Dengan Zat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun yang dimaksud tawasul dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bertawasul dengan doa dan syafaat Nabi”.  Beliau melanjutkan lagi, “ Adapun tawasul dengan doa dan syafaat sebagaimana yang dilakukan ‘Umar adalah bertawasul dengan doa, bukan bertawasul dengan zat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya itu merupakan tawasul dengan zat beliau, maka tentu bertawasul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada dengan ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu. Ketika mereka berpaling dari bertawasul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka bertawasul dengan ‘Abbas, maka dari sini kita ketahui bahwa bertawasul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berlaku ketika beliau masih hidup dan terlarang setelah wafatnya beliau.” Maka nyatalah kebatilan perbuatan sebagian kaum muslimin yang bertawasul dengan zat dan kedudukan orang-orang shalih yang telah meninggal.

Tawasul Terlarang

Tawasul yang terlarang adalah tawasul yang dilakukan oleh kaum musyrikin, sebagaimana Allah sebutkan dalam Al Quran (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.” (QS. Az Zumar:3). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” (QS. Yunus:18). Kedua ayat di atas menggambarkan kondisi kaum musyrikin di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Mereka menyembah selain Allah sebagai perantara, mendekatkan mereka kepada Allah dan memberi syafaat bagi mereka. Mereka tidak semata-mata meminta kepada sesembahan mereka, namun sesembahan mereka hanyalah sebagai perantara dan pemberi syafaat. Kondisi ini sama persis dengan yang dilakukan kaum musyrikin zaman kita. Mereka menganggap wali yang sudah meninggal dapat menjadi perantara dan pemberi syafaat bagi mereka.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/5397-tawasul-syar%E2%80%99i-vs-tawasul-syirik.html