Sabtu, 09 Januari 2021

Makmum Masbuq Waktu Tahiyat Akhir, Buat Jamaah Baru?*

*Saat Imam Tahiyyat Akhir, Makmum Masbuq Ikut Bergabung Atau Membuat Jama’ah Baru?*

Sebagian orang ketika terlambat datang ke masjid, mendapati imam sudah dalam posisi akhir shalat, misalnya duduk tahiyyat akhir. Maka timbullah pertanyaan, apakah sebaiknya ia langsung bergabung dalam jama’ah walau hanya sesaat ataukah membuat jama’ah baru?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

🟣 *Pendapat pertama,*

Bahwa yang afdhal adalah menunggu sampai imam selesai salam, lalu berjama’ah dengan orang lain yang juga terlambat shalat (membuat jama’ah baru).

Dalil pendapat ini, antara lain:
Hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺭَﻛْﻌَﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ
“Barang siapa mendapatkan satu raka’at shalat, maka ia telah mendapatkan shalat (berjama’ah) .”
(HR. Al-Bukhari no. 580, Muslim no. 1401, Abu Daud no. 1123, An-Nasai no. 552)

Hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺭَﻛْﻌَﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﺗَﻄْﻠُﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢَ
“Barang siapa mendapatkan satu raka’at shalat Subuh sebelum terbit matahari, maka ia telah mendapatkan shalat Subuh (berjama’ah). ”
(HR. Al-Bukhari no. 579, Muslim no. 1404, Abu Daud no. 412, An-Nasai no. 513, At-Tirmidzi no. 186, lafazh hadits di atas milik Muslim)

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka makmum masbuq yang mendapati imam dalam posisi akhir shalat tidak perlu bergabung dengan jama’ah, karena kurang dari satu raka’at. Hendaknya ia membuat jama’ah baru supaya ia mendapatkan pahala jama’ah (25-27 kali lipat).

🟣 *Pendapat kedua,*

Bahwa yang afdhal adalah langsung masuk dan ikut bersama jama’ah yang ada walau hanya sesaat, seperti duduk tahiyyat akhir.

Dalil pendapat ini, antara lain:
Hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺳَﺠْﺪَﺓً ﻣِﻦْ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﺗَﻄْﻠُﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺩْﺭَﻛَﻬَﺎ
“Barang siapa mendapatkan satu sujud shalat Subuh sebelum terbit matahari, maka ia telah mendapatkan shalat Subuh (berjama’ah) .”
(HR. An-Nasai no. 549, Ahmad no. 10397)

Sekalipun hanya sekedar bagian akhir shalat, jika itu bersama imam maka itu termasuk shalat berjama’ah.
Hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﺃُﻗِﻴﻤَﺖِ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻓَﻼَ ﺗَﺄْﺗُﻮﻫَﺎ ﺗَﺴْﻌَﻮْﻥَ ، ﻭَﺃْﺗُﻮﻫَﺎ ﺗَﻤْﺸُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﺴَّﻜِﻴﻨَﺔُ ، ﻓَﻤَﺎ ﺃَﺩْﺭَﻛْﺘُﻢْ ﻓَﺼَﻠُّﻮﺍ ، ﻭَﻣَﺎ ﻓَﺎﺗَﻜُﻢْ ﻓَﺄَﺗِﻤُّﻮﺍ
“Jika shalat telah didirikan (terdengar iqamat), maka janganlah mendatanginya dengan berlari+ (tergesa-gesa). Dan datangilah shalat itu dengan berjalan tenang. Apa yang kamu dapati dari imam, maka kerjakanlah sepertinya, dan apa yang terlewatkan darimu maka sempurnakanlah .” (HR. Bukhari no. 908 dan Muslim no. 151)
Perkataan Nabi ﻓَﻤَﺎ ﺃَﺩْﺭَﻛْﺘُﻢْ ﻓَﺼَﻠُّﻮﺍ ( apa yang kamu dapati dari imam, maka kerjakanlah sepertinya) menunjukkan adanya perintah bagi orang yang terlambat berjama’ah untuk mengikuti imam, dalam kondisi apapun imamnya.

Hadits dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu :
ﺳَﺄَﻟْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃَﻯُّ ﺍﻟْﻌَﻤَﻞِ ﺃَﺣَﺐُّ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﻗْﺘِﻬَﺎ .
“Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.”. ”
(HR. Bukhari no. 527, Muslim no. 264, An-Nasai no. 609, At-Tirmidzi no. 170, Ahmad no. 3967)
Perkataan Nabi ﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﻗْﺘِﻬَﺎ ( shalat pada waktunya ) lebih utama daripada yang selainnya. Di antara bentuk shalat pada waktunya adalah shalat bersama jama’ah pertama. Karenanya, jama’ah pertama lebih utama daripada jama’ah yang berikutnya.

Hadits dari sahabat Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻭَﺻَﻠَﺎﺓُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻣَﻊَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﺃَﺯْﻛَﻰ ﻣِﻦْ ﺻَﻠَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻭَﺻَﻠَﺎﺓُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻣَﻊَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻠَﻴْﻦِ ﺃَﺯْﻛَﻰ ﻣِﻦْ ﺻَﻠَﺎﺗِﻪِ ﻣَﻊَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻓَﻬُﻮَ ﺃَﺣَﺐُّ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ
“Shalat seseorang bersama satu orang yang lain lebih baik daripada shalatnya sendirian. Dan shalatnya bersama dua orang lebih baik daripada shalat bersama satu orang. Semakin banyak yang shalat bersamanya semakin disukai Allah.”
(HR. An-Nasai no. 842, Ahmad no. 21868, dan lainnya)
Perkataan Nabi ( ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻓَﻬُﻮَ ﺃَﺣَﺐُّ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ) (semakin banyak yang shalat bersamanya semakin disukai Allah) menunjukkan bahwa langsung ikut shalat bersama jama’ah pertama lebih utama daripada membuat jama’ah berikutnya, karena umumnya jama’ah pertama lebih banyak jumlahnya dan itu lebih disukai Allah.

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dianjurkan untuk langsung masuk mengikuti jama’ah pertama walau hanya sesaat dan ia tetap mendapatkan pahala jama’ah.

🟣 *Pendapat Ketiga*

Sebagian ulama mengemukakan pendapat yang menjamak (mengkompromikan) semua dalil. Kaidah yang dipegang oleh para ulama ketika ada beberapa dalil yang shahih namun seakan bertentangan:
ﺍﻟْﺠَﻤْﻊُ ﻣُﻘَﺪَّﻡٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺘَّﺮْﺟِﻴْﺢِ ﻓَﺈِﻋْﻤَﺎﻝُ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻟﻨُّﺼُﻮْﺹِ ﻣُﻘَﺪَّﻡٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺧْﺬِ ﺑِﺒَﻌْﻀِﻬَﺎ ﻭَ ﺗَﺮْﻙِ ﺍﻟْﺒَﻌْﺾِ ﺍﻟْﺂﺧَﺮِ
(Menjamak (kompromi) lebih didahulukan daripada mentarjih, karena beramal dengan semua nash lebih dikedepankan daripada mengamalkan sebagiannya dan meninggalkan sebagian yang lain)

Pendapat ketiga ini memberikan rincian:
➖1. Jika makmum masbuq masuk masjid bersama orang yang juga terlambat dan mau berjama’ah, atau ia tahu ada orang yang akan datang dan shalat bersamanya, maka ia tidak bergabung bersama jama’ah yang ada, namun shalat bersama orang yang datang bersamanya dalam jama’ah berikutnya.
➖2. Jika tidak ada orang yang datang dan shalat bersamanya dan ia yakin bisa mendapati jama’ah di masjid lain, maka sebaiknya ia pindah ke masjid lain.
➖3. Jika tidak ada orang yang datang dan shalat bersamanya meskipun pindah masjid, maka hendaknya langsung masuk dan ikut bersama jama’ah yang ada walau hanya sesaat, karena berjama’ah walau sesaat tetap lebih baik daripada shalat sendirian.
Terdapat kaidah yang berbunyi:
ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻳُﺪْﺭَﻙُ ﻛُﻠُّﻪُ ﻟَﺎ ﻳُﺘْﺮَﻙُ ﻛُﻠُّﻪُ
(Apa yang tidak bisa dikerjakan semua, maka jangan ditinggalkan semua)
➖4. Jika ia akhirnya shalat sendiri, lalu ia mendengar ada orang datang belakangan dan shalat berjama’ah, maka ia boleh memutus shalatnya lalu bergabung dengan jama’ah tersebut, dalam rangka mendapatkan pahala shalat berjama’ah.
Di antara ulama yang mengemukakan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan para ulama di Lajnah Daimah.

📝 *Tambahan Faedah*

Ada beberapa poin lain yang perlu ditambahkan dalam masalah ini:
➖1. Penulis pernah mendengar Syaikh Shalih Fauzan ketika ditanya ini dalam sesi tanya jawab kajian kitab < ﻛﺘﺎﺏ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻣﻦ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻌﻤﺪﺓ > tanggal 5 Muharram 1434 mengatakan, boleh memilih, baik bergabung bersama imam yang berada di posisi duduk tahiyyat akhir, maupun menunggu ia salam lalu mendirikan jama’ah kedua, karena masalah ini luas.
➖2. Di antara para ulama ada yang mengatakan, jika masjid yang dimasuki makmum masbuq memiliki imam rawatib, maka ia shalat sendiri dan dimakruhkan baginya membuat jama’ah kedua. Adapun jika masjid itu tidak ada imam rawatib (seperti masjid di mall atau pasar –pen), maka ia boleh shalat bersama jama’ah kedua (jika ada). Pembahasan masalah ini bisa dibaca dalam referensi lain.

Ditulis oleh ustadz Muflih Safitra bin Muhammad Saad Aly
Balikpapan, 17 Muharram 1436 H | 29 Oktober 2015

Sumber:
https://konsultasisyariah.com/25920-makmum-masbuq-waktu-tahiyat-akhir-buat-jamaah-baru.html

Kiranya berfaedah
.

Jumat, 08 Januari 2021

HAKEKAT AQIDAH PALSU BAHWA MOHAMAD DI CIPTAKAN DARI NUR MOHAMAD

Hadits palsu Nur Muhammad

------

HAKIKAT AQIDAH NUR MUHAMMAD 

Oleh Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra MA. Di web almnhaj.or.id

Di antara keyakinan keliru yang digagas oleh aqthâb (tokoh) Sufi, disebarkan dan dibela oleh mereka, aqidah Nur Muhammad. Mereka pun membakukan ushul (landasan-landasan) untuk membenarkan aqidah ini dalam kitab-kitab yang mereka tulis dan dalam syair-syair mereka susun. 

Hanya, meski cukup terkenal aqidah ini, namun para Ulama mereka belum satu kata dalam mendefinisikannya secara detail dan jelas.

 Masing-masing menyampaikannya sesuai dengan perasaan dan apa yang terbetik pada firasatnya (?!). Mereka mengatakan, “(Yang dimaksud Nur Muhammad) bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diciptakan dari cahaya, dan yang pertama kali diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla adalah cahaya Muhammad; dan bumi seisinya diciptakan karena Rasûlullâh, kalaulah tidak ada beliau, maka bumi tidak akan pernah ada dan diciptakan” Yûsuf Ismâil an-Nabhâni salah satu pembela ideologi ini menjelaskan makna istilah yang aneh ini dengan berkata, “Ketahuilah, bahwasannya tatkala kehendak al-Haq (Allâh) berhubungan dengan penciptaan para makhluk-Nya,

 Allâh Azza wa Jalla telah menampakkan haqiqat Muhammad dari cahaya-cahaya-Nya, kemudian dengan sebabnya tersingkaplah seluruh alam dari atas hingga bawahnya …….kemudian terpancarlah darinya sumber ruh-ruh, sedangkan dia (Muhammad) merupakan jenis (ruh) yang paling tinggi di atas segala jenis dan sebagai induk terbesar bagi seluruh makhluk yang ada.” [1] 

Ini mengandung pengertian bahwasanya Allâh Azza wa Jalla menciptakan Muhammad dari cahaya-Nya dan bahwa Dia Azza wa Jallamenciptakannya sebelum penciptaan Adam, bahkan sebelum menciptakan seluruh alam. Dan bahwa segala sesuatu diciptakan dari cahaya Muhammad. Salah satu dari tokoh mereka juga mengatakan, 

“Kalaulah tidak ada dia (Muhammad), matahari, bulan… bintang, lauh, dan Qolam tidak akan pernah diciptakan”.[2]

 MELURUSKAN AQIDAH NUR MUHAMMAD 

Apa yang mereka sampaikan di atas, adalah anggapan-anggapan yang batil dan pernyataan-pernyataan yang tidak memiliki bukti (dasar) dari al-Qur`ân maupun Hadits Nabi yang shahih. 

Dan tatkala mereka dimintai dalil yang shahih dan jelas serta tidak kontradiktif dengan nash-nash yang ada, mereka malah berhujjah dengan hadits-hadits yang seluruhnya berderajat maudhû (palsu). 

Di antaranya: 
لَوْلَاكَ مَا خُلَقَتِ الْأَفْلاَكُ 

Kalau tidak ada kamu, bintang-bintang tidak diciptakan [3] 

كُنْتُ نَبِياًّ وَلاَ آدَمَ وَلاَ مَاءَ وَلاَ طِيْنَ 

Aku menjadi nabi, sedang Adam, air dan tanah belum ada [4]

إِنَّهُ كَانَ نُوْرًا حَوْلَ الْعَرْشِ فَقَالَ : يَا جِبْرِيْلُ: أَنَا كُنْتُ ذَلِكَ النُّورَ

 Sesunggunya dia (Muhammad) dulu adalah cahaya yang ada di sekeliling Arsy. Kemudian beliau bersabda, “Wahai Jibril, aku dulu adalah cahaya itu” [5] 

Hadits-hadits ini berderajat palsu, sementara sanad (para perawi yang meriwayatkannya) dan matannya (teks haditsnya) pun munkar.

 Sungguh aneh, mereka menggunakan hadits-hadits palsu ini untuk menguatkan aqidah Nur Muhammad, padahal mereka mengatakan tidak bolehnya menggunakan hadits Ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah, walaupun terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim !!! 

Apakah pantas hadits-hadits seperti ini dijadikan hujjah (dasar) dalam agama?! Bagaimana mereka bisa menggunakan hadits-hadits tersebut sebagai hujah padahal bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla ;

 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ 

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku [ad-Dzâriyât/51:56] 

Sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam ayat ini bahwa Dia Azza wa Jalla tidak menciptakan jin dan manusia seluruhnya termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali untuk tujuan ibadah kepada-Nya saja. 

Tujuan mengadopsi kesesatan ini, agar mereka dapat menghilangkan makna tauhid. Bagaimana bisa khurofat ini melekat pada sebagian akal kaum Muslimin, seolah-olah mereka belum pernah membaca ayat di atas. Mungkin saja, karena kebodohan (tentang agama) yang terlalu parah telah bermain pada akal mereka. Tentang keyakinan mereka bahwa Nabi Muhammad berasal dari cahaya, bukan seperti manusia dalam hal penciptaannya, keyakinan tersebut bertentangan dengan nash-nash yang telah ada dalam al-Qur`ân, seperti firman Allâh Azza wa Jalla : 

قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا 

Katakanlah, “Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” [al-Isrâ/16:93] 

Dan juga menyelisihi firman Allâh Azza wa Jalla berikut yang menyatakan adanya nabi dan rasul sebelum beliau: 

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

 Katakanlah, “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [al-Ahqâf/46:9]

 Barangsiapa yang mengingkari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai manusia dan meyakininya berasal dari cahaya yang tidak memiliki bayangan, sungguh orang tersebut telah menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ia menginginkan untuk mengagungkan beliau.

 Syaikh Ibnu Bâz rahimahullah berkata tentang aqidah Nur Muhammad, 

“Sehubungan dengan perkataan sebagian manusia dan khurofi, serta kalangan Sufi bahwa ‘beliau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) diciptakan dari cahaya’ atau ‘yang pertama kali diciptakan adalah cahaya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ini semua kabar (riwayat) yang tidak ada asalnya, seluruhnya kebatilan, merupakan berita palsu yang tidak ada dasarnya (sama sekali) sebagaimana telah disebutkan di muka”. Beliau rahimahullah mengatakan, “(Pernyataan) bahwa dunia diciptakan karena (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kalau tidak ada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dunia tidak akan pernah ada, juga tidak akan diciptakan makhluk (lainnya), ini merupakan kebatilan, tidak ada asalnya, ini perkataan yang rusak. Allâh Azza wa Jalla menciptakan dunia agar Dia k dikenal, diketahui dan diibadahi (oleh makhluk, manusia). Allâh Azza wa Jalla menciptakan dunia dan seluruh makhluk agar dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kekuasaan dan ilmu-Nya, agar ibadahi, tidak ada sekutu bagi-nya, bukan karena (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (Nab) Nuh Alaihissalam, ataupun (Nabi) Isa Alaihissallam maupun karena nabi lainnya. Allâh menciptakan seluruh makhluk agar mereka beribadah kepada-Nya. 

Allâh berfirman: 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ 

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku [ad-Dzâriyât/51:56]

 Di sini, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Dia menciptakan mereka agar beribadah kepada-Nya, bukan karena Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dalam kandungan ayat di atas, diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

 وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

 Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) [al-Hijr/15:99] Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا 

Allâh-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allâh berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allâh Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu [ath-Thalâq/65:12]

 Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا

 Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah [Shâd/38:27]

” Beliau rahimahullah juga mengatakan:

 “Ini semua yang engkau dengar (ada di tengah masyarakat) merupakan kebatilan, tidak ada dasarnya sama sekali (dalam Islam), Allâh Azza wa Jalla tidak menciptakan makhluk, tidak jin, manusia, langit dan bumi dan makhluk lainnya bukan lantaran Muhammad, bukan juga karena rasul yang lain. 

Akan tetapi, menciptakan semua makhluk dan dunia untuk tujuan agar Allâh Azza wa Jalla diibadahi dan menjadi sarana mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya”[6]. Dengan demikian, sudah jelas, penyimpangan aqidah Nur Muhammad yang diyakini oleh sebagian orang (kaum Sufi). Sebuah keyakinan yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad kepada umat Islam. Maka, harus disingkirkan jauh-jauh dari umat Islam. Wallâhu a’lam

 [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 021Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Footnote [1]. Al-Anwâr al-Muhammadiyyah hlm. 9 [2]. Tanbîhul Hudzdzâq hlm. 27, nukilan dari Huqûqin Nabiyyi , DR. Muhammad Khalîfah at-Tamîmi, 2/714 [3]. As-Silsilah adh-Dha’îfah hadits no. 282 [4]. As-Silsilah adh-Dha’îfah hadits no. 303 [5]. As-Silsilah adh-Dha’îfah hadits no. 1/474 [6]. Fatâwa Nûr ‘ala ad-Darb 1/96-100.