Minggu, 12 Juli 2020

SIFAT DUDUK DALAM SHOLAT DUA RAKA'AT

بسم الله الرحمن الرحیم

SIFAT DUDUK DALAM SHALAT DUA RAKA’AT 

Oleh 

Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat 

Telah berselisih para ulama dalam masalah sifat duduk di dalam shalat yang dua raka’at seperti shalat shubuh, shalat jum’at, dan shalat-shalat sunat yang dua rakaat, apakah sifat duduknya iftirasy seperti duduk di antara dua sujud, atau tawarruk? 

Sebagian ulama berpendapat bahwa : 

Setiap shalat yang dua raka’at atau dengan kata lain setiap shalat yang hanya ada satu tasyahhudnya saja, seperti shalat shubuh, shalat jum’at, dan shalat-shalat sunat yang dua raka’at, sifat duduknya adalah iftirasy seperti duduk di antara dua sujud. 

Dalil meraka ialah kemutlakan hadits-hadits atau riwayat yang menjelaskan bahwa hukum asal sifat duduk di dalam shalat adalah iftirasy. Kecuali shalat-shalat yang ada dua tasyahhud-nya seperti shalat zhuhur, ashar, maghrib, isyaa’, dan shalat-shalat sunat yang empat raka’at, maka duduk akhirnya tawarruk. 

Ringkasnya, kalau shalat itu dua raka’at maka kembali kepada hukum asal sifat duduk di dalam shalat yaitu iftirasy. Dan kalau shalat itu mempunyai dua tasyahhud, maka sifat duduk tasyahhud awal adalah iftirasy, sedangkan tasyahhud akhir sifat duduknya tawarruk. Inilah yang menjadi madzhabnya Imam Ahmad bin Hambal dan mereka yang sepaham dengan beliau. 

Adapun madzhab Imam Abu Hanifah, karena sangat berpegang dengan hukum asal sifat duduk di dalam shalat adalah iftirasy, maka madzhab beliau tidak membedakan antara shalat yang dua raka’at dengan shalat yang mempunyai dua tasyahhud atau antara tasyahhud awal dan akhir sama saja, yaitu kembali kepada hukum asal sifat duduk di dalam shalat yaitu iftirasy, tidak ada tawarruk. Madzhab Imam Abu Hanifah ini lemah, kalau tidak mau dikatakan sangat lemah, karena jelas sekali bertentangan dengan sejumlah hadits yang menjelaskan adanya sifat duduk tawarruk. 

Kita kembali ke madzhab Imam Ahmad, dari keputusan madzhab beliau kita mengetahui, tidak ada satupun dalil -setahu saya- yang sampai kepada kita yang menjelaskan secara khusus bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau shalat yang dua raka’at seperti shalat shubuh dan lain-lain sifat duduknya adalah iftirasy. Atau sebagian Shahabat pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka’at duduknya iftirasy. Sebab, kalau ada riwayat yang seperti ini, sah dan tegas, maka tidak ada lagi perselisihan, tetapi wajib bagi kita taslim dan mengamalkannya sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Oleh karena tidak ada dalil khusus seperti yang saya terangkan di atas, maka tahulah kita bahwa masalah ini adalah masalah cara mengeluarkan hukum atau istimbath yang sering membawa perselisihan yang berkepanjangan di antara para ulama’. 

DALIL MADZHAB IFTIRASY DAN BANTAHANNYA 603”

Artinya : Dari Qasim bin Muhammad, dari Abdullah bin Abdullah bin umar, dari bapaknya (yaitu Abdullah bin Umar), bahwasannya dia pernah berkata, 

“Sesungguhnya sebagian dari sunnah shalat

[1] ialah engkau hamparkan kaki kirimu dan engkau tegakkan (kaki) kananmu.”[2] Shahih. Telah dikeluarkan oleh Nasaa’i (Juz 2 hal. 235) 

Berkata Aisyah menjelaskan tentang sifat shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam-diantaranya: 604.” Artinya : …dan beliau mengucapkan setiap dua raka’at at tahiyyat, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (yakni beliau duduk iftirasy)…” Shahih. Diriwayatkan oleh Muslim (Juz 2 hal. 54) dan lain-lain. 

Berkata Waa’il bin Hujr menjelaskan tentang sifat shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya: 605”Artinya : . …kemudian beliau duduk menghamparkan kaki kirinya (yakni duduk iftirasy), dan beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya, beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya kemudian beliau menggenggam dua jarinya di antara jari-jari tangan (kanan)nya (yakni jari manis dan jari kelingkingnya), kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakannya beliau berdo’a dengannya” (Lihatlah kembali kelengkapan lafadz dan takhrij hadits ini di Al Masaa-il jilid 2 masalah ke 29 nomor hadits 237). 

Tiga buah hadits di atas dan yang semakna dengannya telah dijadikan dalil oleh dua madzhab besar: 

Pertama : Imam Abu Hanifah dan madzhabnya mengatakan, bahwa sifat duduk tasyahhud atau tahiyyat awal dan akhir sama saja tidak berbeda yaitu iftirasy (melipat atau menghamparkan kaki kiri dan duduk di atasnya dengan menegakkan kaki kanan). Bantahan. Sebagaimana telah saya katakan di muka, bahwa madzhab ini lemah, kalau tidak mau dikatakan sangat lemah. Karena telah terbantah dan tertolak oleh sejumlah hadits shahih yang sampai kepada kita tentang sifat duduk tawarruk, sebagaimana akan datang sebagiannya insyaa Allahu Ta’ala. 

Adapun pembelaan Imam Ath-Thahawiy terhadap madzhabnya, yaitu madzhab Hanafi, di kitab beliau Syarah Ma’aanil Aatsar dengan melemahkan dalil tawarruk, telah dibantah habis-habisan oleh Imam Ibnu Hazm di kitabnya Al Muhalla walaupun tanpa menyebut namanya, tetapi dapat dipastikan bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Hazm adalah Thahawiy sebagaimana telah dijelaskan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir di dalam memberikan ta’liq atas kitab Al Muhalla. Saya sendiri melihat bahwa hujjah atau alasan Thahawiy dalam masalah ini lemah dari beberapa jalan: 

Telah datang sejumlah hadits shahih tentang sifat duduk tawarruk. Sampai-sampai madzhab Malik mengatakan, bahwa sifat duduk tasyahhud awal dan akhir adalah tawarruk. Bahwa hadits Abu Humaid As Saa’idiy yang dengan tegas menjelaskan sifat duduk tawarruk di raka’at akhir shahih dan telah diriwayatkan dari beberapa jalan.[3] Maka tidak ada alasan bagi Thahawiy dan madzhabnya untuk menolak dengan cara melemahkan lafazh tawarruk yang ada di hadits Abu Humaid kecuali karena ta’ashshub madzhabiyyah. 

Hadits Abu Humaid adalah hadits yang besar dan kuat dalil dan hujjahnya dalam membantah beberapa madzhab dalam masalah ini. Madzhab Abu Hanifah, dibantah oleh hadits Abu Humaid dengan adanya tawarruk. Madzhab Malik, dibantah oleh hadits Abu Humaid dengan adanya iftirasy. Madzhab Ahmad yang mengatakan bahwa setiap shalat yang dua raka’at atau yang ada satu tasyahhudnya sifat duduknya adalah iftirasy, dibantah oleh hadits Abu Humaid dengan adanya lafazh yang muqayyad dari lafazh yang mutlak di atas yaitu tawarruk di raka’at akhir. Maka orang yang paling berbahagia dalam mengamalkan hadits Abu Humaid secara utuh adalah Imam Asy Syafi’iy bersama Imam Ibnu Hazm. 

Kedua: Imam Ahmad dan madzhabnya mengatakan, yang diantaranya diwakili oleh Imam Ibnu Qudamah di kitabnya Al Mughni, bahwa hukum asal sifat duduk adalah iftirasy. Tidak akan keluar dari hukum asal ini kecuali dengan dalil seperti shalat yang mempunyai dua tasyahhud. Berdalil dengan hadits Abu Humaid, maka tasyahhud awal iftirasy sedangkan tasyahhud akhir tawarruk. Atau dengan kata lain, tidak ada tawarruk kecuali di dalam shalat yang ada dua tasyahhud-nya seperti shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isyaa’ dan lain-lain. Adapun shalat yang dua raka’at atau yang hanya ada satu tasyahhudnya maka kembali kepada hukum asal dan tetap di dalam keumumannya yaitu iftirasy, sebagaimana ditunjuki oleh tiga buah hadits di atas. 

Bantahan Tiga buah hadits di atas bersifat mutlak atau umum atau katakanlah sebagai hukum asal. Dan tidak keluar dari hukum asalnya atau kemutlakannya kecuali kalau ada dalil yang memalingkannya. Dalilnya menurut Ibnu Qudamah dan Ibnu Qayyim ialah shalat yang mempunyai dua tasyahhud, tasyahhud awal iftirasy sedangkan tasyahhud akhir tawarruk. Kalau shalat tersebut hanya mempunyai satu tasyahhud saja, maka dia kembali kepada hukum asal dan kemutlakannya yaitu iftirasy seperti shalat Shubuh dan lain-lain. 

Dijawab : Kurang tepat, yang lebih tepat apabila ada dalil yang bersifat mutlak, kemudian datang dalil yang bersifat muqayyad, maka dalil yang mutlak tersebut wajib dibawa kepada dalil yang muqayyad. Hadits Abu Humaid bersifat muqayyad atau katakanlah dalil umum yang dikhususkan bahwa setiap duduk akhir sifatnya tawarruk, sama saja, baik shalat yang mempunyai satu tasyahhud atau dua tasyahhud. Sedangkan hadits-hadits di atas yang bersifat mutlak wajib ditempatkan pada tempatnya yang benar yaitu tasyahhud awal kalau shalat itu mempunyai dua tasyahhud. Karena kemutlakannya telah dibawa kepada muqayyad-nya hadits Abu Humaid yaitu setiap duduk akhir sifatnya tawarruk. Oleh karena itu Imam Nasaa’i telah memberikan bab untuk hadits Abdullah bin Umar di atas (hadits pertama) dengan judul bab : BAGAIMANA CARA DUDUK TASYAHUD AWAL 
Hadits Ibnu Umar di atas diriwayatkan juga oleh Imam Malik dikitabnya Al-Muwaththa’[4] dari jalan yang sama tetapi dalam menjelaskan sifat duduk tawarruk berbeda dengan riwayat Nasaa-i. 

Oleh karena itu dapat kita jama’ (kumpulkan) antara dua riwayat dari jalan yang sama dari Ibnu Umar sebagaimana telah dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fat-hul Baari’ dalam mensyarahkan hadits (no. 827 & 828) yaitu: Riwayat Nasa-i menjelaskan sifat duduk tasyahhud awal, sedangkan riwayat Malik menjelaskan sifat duduk tasyahhud akhir. Hal ini mempertegas kepada kita bahwa Ibnu Umar menjelaskan kedua sifat duduk tasyahhud, awal dan akhir. Bahkan hadits Ibnu Umar ini justru membatalkan madzhab Abu Hanifah dan Malik, karena keduanya hanya mengambil sebagian dari hadits tidak semuanya. 

Imam Abu Hanifah hanya berpegang dengan sifat duduk iftirasy (riwayat Nasaa’i), dan tidak berpegang dengan sifat duduk tawarruk (riwayat Malik). Sebaliknya, Imam Malik hanya berpegang dengan sifat duduk tawarruk, dan tidak berpegang dengan sifat duduk iftirasy. Padahal, Ibnu Umar menjelaskan kedua sifat duduk di atas, iftirasy dan tawarruk. Maka wajib bagi kita berpegang dengan kedua sifat duduk di atas, tidak boleh kita ambil sebagiannya saja dengan meninggalkan sebagian yang lain. 

Sekarang, mari kita lihat lafazh hadits Ibnu Umar dari riwayat Imam Malik bin Anas: 606.”Artinya : Dari Malik, dari Yahya bin Sa’id (ia berkata) : 

Sesungguhnya Qasim bin Muhammad telah memperlihatkan kepada mereka (sifat) duduk tasyahhud (yaitu): Beliau menegakkan kaki kanannya dan melipat kaki kirinya, kemudian beliau duduk dengan meletakkan pangkal pahanya (pantatnya) di tanah (duduk tawarruk), dan beliau tidak duduk di atas kaki (kiri) nya (duduk iftirasy). Kemudian beliau berkata: Abdullah bin Abdullah bin Umar telah memperlihatkan kepadaku (sifat duduk tawarruk) ini, dan dia telah menceritakan kepadaku bahwa bapaknya (yaitu Abdullah bin Umar) telah mengerjakan seperti itu”. 

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa : Sifat duduk di akhir setiap shalat adalah tawarruk, baik shalat yang dua raka’at seperti shalat Shubuh, shalat jum’at dan shalat-shalat sunat yang dua raka’at atau shalat-shalat yang ada dua tasyahhudnya seperti shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isyaa’ dan shalat-shalat sunat yang empat raka’at, sama saja tidak ada perbedaan, sifat duduknya adalah tawarruk. Dalil mereka ialah membawa kemutlakan dalil iftirasy kepada dalil yang muqayyad. 

Dalil iftirasy bersifat mutlak atau umum, sedangkan dalil tawarruk setiap duduk akhir bersifat muqayyad. Maka sesuai dengan kaidah ushul, bahwa dalil yang mutlak harus dibawa kepada dalil yang muqayyad. Oleh karena itu mereka mengatakan, bahwa setiap duduk akhir adalah tawarruk sebagaimana telah ditunjuki oleh dalil yang bersifat muqayyad. Inilah yang menjadi madzhabnya Imam Syafi’iy dan mereka yang sepaham denga beliau. Adapun madzhabnya Imam Malik bin Anas telah menetapkan, bahwa sifat duduk tasyahhud awal dan akhir adalah tawarruk, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Madzhab ini berdalil dengan hadits-hadits tawarruk, yang dalam sebagian haditsnya tidak dijelaskan perbedaan sifat duduk tasyahhud awal dan akhir. Oleh karena itu mereka mengatakan, bahwa sifat duduk tasyahhud awal dan akhir adalah tawarruk. Madzhab Imam Malik ini sama lemahnya dengan madzhab Imam Abu Hanifah, karena jelas sekali bertentangan dengan sejumlah hadits yang menjelaskan adanya perbedaan antara sifat duduk tasyahhud awal dan akhir khususnya hadits Abu Humaid As Saa’idiy di bawah ini: DALIL MADZHAB TAWARUK DAN BANTAHANNYA 607. ”Artinya : 

Dari Muhammad bin Amr bin ‘Atha’,sesungguhnya ia pernah duduk bersama sepuluh orang Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami menyebut shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkata Abu Humaid As Saa’idiy, “Aku lebih hafal dari kamu tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pernah melihat beliau apabila bertakbir, beliau jadikan kedua tangannya berhadapan dengan kedua pundaknya. Dan apabila beliau ruku’, beliaumeletakkan kedua tangannya di kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya. Maka apabila beliau mengangkat kepalanya (dari ruku’), beliau berdiri lurus (i‘tidal) sehingga kembali setiap tulang belakang ke tempatnya. Kemudian apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua tangannya dengan tidak menghamparkan dan tidak menggenggam keduanya, dan beliau (ketika sujud) menghadapkan ujung-ujung jari kedua kakinya ke arah kiblat. Kemudian apabila beliau duduk pada dua raka’at, beliau duduk di atas (hamparan) kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya (sifat duduk iftirasy). Dan apabila beliau duduk pada raka’at akhir, beliau majukan kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk di tempatnya (ditanah, yakni sifat duduk tawarruk).” Shahih. Telah dikeluarkan oleh Bukhari (no. 828) dan lain-lain. Lihatlah kelengkapan takhrij-nya di Al Masaa-il jilid 2 no. 234 &235. 

Hadits yang mulia ini merupakan hujjah yang kuat bagi As-Syafi’iy dan yang sepaham dengannya bahwa setiap duduk akhir adalah tawarruk, baik shalat yang mempunyai dua tasyahhud atau satu tasyahhud. Bantahan Mereka yang berpendapat bahwa tawarruk hanya untuk shalat yang mempunyai dua tasyahhud, membantah hujjah di atas seperti Ibnu Qayyim di kitabnya Zaadul Ma’aad, tetapi beliau tidak sanggup berbuat banyak kecuali mengatakan seperti yang lainnya: Bahwa hadits Abu Humaid di atas khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahhud seperti shalat yang empat raka’at atau tiga raka’at karena susunan haditsnya memang menunjukkan seperti itu. Maka susunan ini zhahirnya mengkhususkan bahwa duduk tawarruk hanya ada pada tasyahhud yang kedua. 

Dijawab ; Bantahan di atas lemah, karena yang dipersoalkan adalah shalatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan masalah empat raka’atnya. Mari lihat dan perhatikan urutan hadits Abu Humaid di atas: Pertama Berkata Muhammad bin Amr bin ‘Atha’: Kami menyebut-nyebut shalatnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Bukankah ini menunjukkan bahwa para Shahabat sebanyak sepuluh orang bersama Muhammad bin Amr bin ‘Atha’ sedang membahas sifat shalat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam? Kedua Berkata Abu Humaid As Saa’idiy: Aku lebih tahu dari kalian tentang shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Bukankah ini menunjukkan Abu Humaid As Saa’idiy mengatakan secara umum kepada Shahabat-shahabatnya bahwa dia paling tahu tentang sifat shalatnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam kemudian dia menjelaskan tanpa mengkhususkan shalat yang 2, 3, atau 4 raka’at? Ketiga Di antara sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam yang dijelaskan oleh Abu Humaid As Saa’idiy ialah: Sifat mengangkat kedua tangan , sifat ruku’, sifat i‘tidal, dan sifat sujud. Apakah semua sifat shalat tersebut khusus untuk shalat yang empat raka’at? Kemudian hadits Abdullah bin Mas’ud di bawah ini memperkuat hadits Abu Humaid As-Saa’idiy: 608. “Artinya : Dari Ibnu Mas’ud (ia berkata): Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tawarruk di akhir shalatnya” Hasan. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (no: 701, 702, & 708) dan Ahmad (1/459 no: 4382). Lafazh hadits dari salah satu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan ringkas (no: 701). 

KESIMPULAN 

1. Dari empat madzhab di atas dalam masalah sifat duduk tasyahhud, maka madzhab Syafi’iy dan Ahmad yang lebih kuat dari madzhab Abu Hanifah dan Malik. Kedua imam besar di atas telah menetapkan bahwa sifat duduk tasyahhud ada yang iftirasy dan ada yang tawarruk. Kemudian keduanya berselisih dalam menempatkan sifat duduk tawarruk. Syafiiy mengatakan bahwa setiap akhir shalat shalat sifat duduknya adalah tawarruk. Ahmad mengatakan bahwa tawarruk khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahhud. 

2. Yang lebih kuat dalam masalah tawarruk -sepanjang penelitian saya yang cukup dalam dan lama- adalah Syafi’iy yaitu setiap duduk akhir tawarruk. 

Maraaji. 
1). Al Umm oleh Imam Syafi’iy juz 1 hal. 139 cet. Daarul Fikr. 
2). Al Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm juz 3 hal. 268-271 masalah 372 dan juz 4 hal.125-128 masalah 455di tahqiq oleh Ahmad Syakir. 
3). Sunnanul Kubra oleh Imam Al Baihaqiy juz 2 hal. 127-130 cet. Daarul Ma’rifah. 
4). Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab oleh Imam An Nawawi juz 3 hal. 411-413 cet. Daarul Fikr thn 1417 H/1996 M. 
5). Raudhatuth Thaalibin oleh Imam An Nawawi juz 1 hal. 261-262 cet. Maktabul Islamiy. 
6). Nailul Authar oleh Imam Syaukani juz 2 hal. 306-311 cet. Daarul Fikr thn 1400 H/1980 M. 
7). Syarah Ma’aanil Aatsar oleh Imam Ath Thahawi juz 1 hal. 257-261 bab sifatul julus fish shalah kaifa huwa? 
8). Syarah Fat-hul Qadir oleh Imam Ibnul Humaam Al Hanafiy juz 1 hal 312 dan 316. 
9). Al Kaafiy oleh Imam Ibnu Abdil Bar juz 1 hal. 204 cet. Maktabah Ar Riyadh Al-Haditsah. 
10). Al Istidzkar oleh Imam Ibnu Abdil Bar. 
11). At Tamhid oleh Imam Ibnu Abdil Bar. 
12). Bidaayatul Mujtahid oleh Imam Ibnu Rusyd juz 1 hal. 98 cet. Daarul Fikr. 
13). Al Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah juz 2 hal. 227 di tahqiq oleh Abdul Muhsin At-Turkiy. 
14). Zaadu Ma’aad oleh Imam Ibnu Qayyim juz 1 hal. 245-246 cet. Muassasah Ar Risaalah di tahqiq oleh Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth. 
15). Fat-hul Baari’ Syarah Bukhari oleh Imam Ibnu Hajar. 
16). Syarah Muslim oleh Imam Nawawi. 
17). Tuhfatul Ahwadziy Syarah Tirmidziy oleh Imam Mubaarakfuri juz 2 hal. 177-180 cet. Daarul Fikr. Dan lain-lain. 

[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-masalah agama) jilid ke tiga, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam- Jakarta Cetakan I – Th 1423H/2002M] 
_______ 
Footnote 
[1]. Sunnah shalat maksudnya ialah salah satu sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu iftirasy. Bukanlah yang dimaksud hukumnya sunat seperti istilah yang biasa terpakai di dalam menentukan hukum 
[2]. Yang dimaksud ialah duduk iftirasy, yaitu menghamparkan kaki kiri dan duduk di atasnya dengan menegakkan kaki kanan. 
[3]. Sebagaimana yang akan saya turunkan haditsnya secara lengkap setelah ini, insya Allahu Ta’ala. 
[4]. Tanwirul Hawalik syarah Muwaththa’ Malik (juz 1 hal 113) oleh Imam Suyuthi. 

Home /Fiqih : Shalat/Sifat Duduk Dalam Shalat...

Referensi: https://almanhaj.or.id

Jumat, 10 Juli 2020

SHALAWAT NARIYAH

بسم الله الرحمن الرحیم

SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN 

Oleh 
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA 

KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT 

Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang dijanjikan pahala berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Banyak nash (dalil) dari al-Qur’ân maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak amalan mulia ini. Di antaranya : Firman Allâh Azza wa Jalla :

 إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allâh dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya 

[al-Ahzâb/33: 56] 

Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya[1] , 

“Allâh Azza wa Jalla memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan Rasûlullâh di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allâh Azza wa Jalla memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . 

Lalu Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا 

Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh kali 

[HR. Muslim 1/288-289 no. 384] 

Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubârakfûri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari shalawat Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya adalah Allâh merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya. Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . 

Karena itulah, tidak mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis buku khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya, Fadhlush Shalât ‘alâ an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam Ismâ’il bin Ishâq al-Qâdhi (199-282 H), Jalâ’ul Afhâm fî Fadhlish Shalât wa as-Salâm ‘alâ Muhammadin Khairil Anâm karya Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H) dan lain-lain.[2] 

IKHLAS DAN MENELADANI RASUL SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DALAM BERSHALAWAT 

Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur’ân dan Sunnah serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allâh Azza wa Jalla kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas karena Allâh dan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Fakhruddîn ar-Râzy (544-606 H) menyimpulkan dua syarat sah ibadah tersebut dari firman Allâh Azza wa Jalla :

 وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا

Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. [al-Isrâ’/17:19] 

Kata beliau rahimahullah, “Syarat pertama, mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. Jika niat ini tidak ada maka dia tidak akan memetik manfaat dari amalannya … Sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. 

[HR. Bukhari, 1/9 no. 1 – al-Fath] 

Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal Allâh serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allâh dan meraih ketaatan pada-Nya. 

Syarat kedua, ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya” maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan amalan-amalan yang batil!”[3]. 

Imam Ibn Katsîr (700-774 H) mempertegas, “Agar amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allâh semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak diterima. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ 

Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak 

[HR. Muslim 3/1343 no. 1718 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma] 

Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allâh; amalannya pun juga akan tertolak.”[4] 

Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allâh Azza wa Jalla harus pula terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Ikhlas dalam bershalawat berarti: 

1. Hanya mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan pahala dari-Nya. 

2. Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighâtsah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allâh kepada selain-Nya dan yang semisal. 

Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk manusia, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, jika teks shalawat itu bersumber dari sosok yang ma’shûm , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ini di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi kesyirikan dan kekufuran. 

Meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat, maksdunya: 

1. Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau dan tidak melampaui batas sehingga memasuki ranah ghuluw (sikap berlebihan) dan lafaz syirik. 

2. Bershalawat untuk beliau pada momen-momen yang beliau syariatkan.[5] 

3. Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allâh Azza wa Jalla dalam QS. al-Ahzâb/33:56 dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas. 

Setelah pemaparan mukadimah yang berisi beberapa kaidah penting, saatnya kita memasuki inti pembahasan. 

SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN 

Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, shalawat Munjiyât, shalawat Thibbul Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan kita- shalawat Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid Ma’rûf.[6] Selain itu, mereka juga sangat ‘kreatif’ dalam membuat aturan-aturan baca berbagai jenis shalawat tersebut, dari sisi jumlah bacaan, waktu pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya. Seakan-akan itu semua ada landasannya dari syariat. 

Shalawat Nâriyyah merupakan salah satu shalawat yang paling masyhur di antara shalawat-shalawat bentukan manusia. Orang-orang berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun tidak memahami kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua ini yang lebih dominan. 

Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya karena diperintah tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur dengan “fadhilah” tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat tersebut, juga kandungan makna yang terkandung di dalamnya. Sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat ini, yang juga terkadang dinamakan dengan Shalawat Tafrîjiyah Qurthubiyah, ada baiknya dibawakan dahulu teks lengkapnya : [7] 

اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامّاً عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ، وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ، وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ، وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujan pun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau 

SIAPAKAH PENCIPTA SHALAWAT NARIYAH? 

Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang bernama as-Sanusy.[8] 

Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko, tarekat as-Sanusiyyah. 

BENARKAH PENGARANGNYA ADALAH SHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM? 

Di sebuah situs internet tertulis: “Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syeikh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allâh, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allâh memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. 

Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut Sholawat Nariyah. Suatu malam, Syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allâh. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti Syekh Nariyah. Namun Nabi mengatakan tidak bisa karena Syekh Nariyah sudah minta terlebih dahulu. Mengapa sahabat itu ditolak Nabi? Dan justru Syekh Nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allâh sudah menjamin nabi-nabiNya sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat”.[9] 

Kesimpulan, pengarang Shalawat Nariyah konon seorang bernama Syekh Nariyah, dan dia termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijamin masuk surga oleh beliau. Sebagai seorang Muslim mestinya tidak begitu saja menerima apa yang disampaikan padanya, tanpa klarifikasi dan penelitian, apalagi jika berkenaan dengan permasalahan agama. Sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu dicermati dari cerita di atas : 

1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nâriyah ? 

2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat’ tersebut? Dan adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya? 

Adapun berkenaan dengan poin pertama, perlu diketahui bahwa biografi para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian ekstra dari para Ulama Islam. Begitu banyak kitab yang mereka tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada referensi yang ditulis untuk memaparkan biografi para shahabat beserta para Ulama sesudah mereka hingga zaman penulis, adapula referensi yang ditulis khusus untuk menceritakan biografi para sahabat saja. 

Diantara contoh model pertama: Hilyatul Auliyâ’ karya al-Hâfizh Abu Nu’aim al-Asfahâni (336-430 H) dan Tahdzîbul Kamâl karya al-Hâfizh Abul Hajjâj al-Mizzi (654-742 H). 

Adapun contoh model kedua, seperti: al-Istî’âb fî Ma’rifatil Ash-hâb karya al-Hâfizh Ibn ‘Abdil Bar (368-463 H) dan al-Ishâbatu fî Tamyîzish Shahâbah karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalâni (773-852 H). 

Setelah meneliti berbagai kitab di atas dan juga referensi biografi lainnya, yang biasa diistilahkan para Ulama dengan kutubut tarâjim wa ath-thabaqât, ternyata tidak dijumpai seorang pun di antara Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Nâriyah. Bahkan sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun Ulama klasik yang memiliki nama tersebut. Lalu, dari manakah orang tersebut berasal?? 

Sebenarnya, orang yang sedikit terbiasa membaca kitab Ulama, hanya dengan melihat nama tersebut beserta ‘gelar’ syaikh di depannya, akan langsung ragu bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi. Karena penyematan ‘gelar’ syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami- bukanlah kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka pakai, sehingga terasa begitu janggal di telinga. 

Kesimpulannya: berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nariyah. Jadi penisbatan shalawat tersebut terhadap Sahabat sangat perlu untuk dipertanyakan dan amat diragukan keabsahannya. 

Adapun poin kedua, amat disayangkan penulis makalah di internet tersebut tidak menyebutkan sanad (mata rantai periwayatan) kisah yang ia bawakan, atau minimal mengisyaratkan rujukannya dalam menukil kisah tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu dari dua hal di atas niscaya kita akan berusaha melacak keabsahan kisah tersebut, dengan meneliti para perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya. Atau barangkali kisah di atas merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ? Jika, ya, maka kisah tersebut tidak ada nilainya; karena kisah fiksi, alias kisah yang tidak pernah terjadi ! 

Amat disayangkan, dalam hal yang berkaitan dengan agama, tidak sedikit kaum Muslimin sering menelan mentah-mentah suatu kisah yang ia temukan di sembarang buku dan internet, atau kisah yang diceritakan oleh tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa perlu untuk mengcrosscek keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar terjadi! Padahal kenyataannya seringkali tidak demikian. Untuk memfilter kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu: Islam memiliki sanad (mata rantai periwayatan). Demikian keterangan yang disampaikan Ibn Hazm (384-456 H)[10] dalam al-Fishâl dan Ibnu Taimiyyah (661-728 H).[11] 

Imam ‘Abdullâh bin al-Mubârak (118-181 H) pernah berkata, “Isnâd adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnâd, seseorang akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya.”[12] 

KANDUNGAN MAKNA SHALAWAT NARIYAH 

“Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, 
*yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan,* *semua kesusahan dapat dilenyapkan,* semua keperluan dapat terpenuhi,* dan semua hajat yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, *serta berkat dirinya yang mulia hujanpun turun.* Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.” 

Bagian dari Shalawat Nâriyyah yang kami cetak tebal itulah yang akan dicermati dalam tulisan singkat ini. Kalimat-kalimat tersebut mengandung penisbatan terpecahkannya semua kesulitan, dilenyapkannya segala kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat, tercapainya segala keinginan dan husnul khatimah, kepada selain Allâh Azza wa Jalla . 

Dalam hal ini yang mereka maksudkan yang melakukan itu semua adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Penisbatan ini merupakan sebuah kekeliruan fatal, sebab bertolak-belakang dengan al-Qur’ân dan Sunnah, serta bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya, semua perbuatan tersebut, hanya Allâh Azza wa Jalla yang berkuasa melakukannya. 

Mari kita cermati nash-nash berikut : 

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

 أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ 

Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang melenyapkan kesusahan serta yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan selain Allâh ? Amat sedikit kalian mengingat-Nya ! 

[an-Naml/27:62] 

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingatkan bahwa hanya Dia-lah yang diseru saat terjadi kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan pertolongan-Nya saat musibah melanda. Demikian keterangan yang disampaikan Imam Ibnu Katsir. [13] Karena itulah, setelahnya Allâh Azza wa Jalla melontarkan pertanyaan dalam konteks pengingkaran, “Adakah tuhan selain Allâh ?”. Hal ini mengisyaratkan, wallahu a’lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan kesusahan lalu memohon pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seakan ia telah menjadikan dzat yang diserunya itu sebagai tuhan ‘saingan’ Allâh Azza wa Jalla . Sebab tidak ada yang sanggup mengabulkan permohonan tersebut melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla . 

Senada dengan ayat di atas, firman Allâh Azza wa Jalla berikut : 

قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ ﴿٦٣﴾ قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنْتُمْ تُشْرِكُونَ 

Katakanlah, “Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara yang lembut (dengan mengatakan), ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami akan menjadi orang-orang yang bersyukur’. Katakan, “Allâhlah yang menyelamatkan kalian dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas mengapa kalian kembali mempersekutukan-Nya?!”. [al-An’âm/6: 63-64] 

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ 

Apapun nikmat yang ada dalam diri kalian, maka dari Allâh-lah (datangnya). Dan bila kalian ditimpa marabahaya, maka hanya kepada-Nya-lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan 
[an-Nahl/16:53] 

Dan masih banyak lagi firman Allâh yang semakna dengan ayat-ayat di atas, yang menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan di dunia maupun akhirat, hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang mendatangkannya. Sebagaimana pula segala bentuk keburukan di dunia ataupun akhirat, hanyalah Allâh Azza wa Jalla yang menghindarkannya dari diri kita. Karena itulah, kita dapatkan qudwah kita, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan untuk selalu kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dalam segala urusan. 

Mari kita cermati sebagian dari doa yang beliau baca : 

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ 

Ya Allâh, jadikanlah akhir dari seluruh urusan kami baik, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksaan akhirat 
[HR. Ibnu Hibbân 3/230 no. 949]

 يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

Wahai Yang Maha hidup dan Yang
terus menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu-lah aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata 
[HR. al-Hâkim 1/739 no. 2051]

 اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Ya Allâh, rahmat-Mu-lah yang kuharapkan. Maka janganlah Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Engkau. [HR. Abu Dâwud, 5/204 no. 5090 dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu , dan dinilai sahîh oleh Ibn Hibbân (III/250 no. 970]. 

Lihatlah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan seluruh urusan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan memberi kita teladan agar senantiasa mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allâh Azza wa Jalla !. Pernahkah beliau -walaupun hanya sekali- mengajarkan kepada umatnya agar bergantung kepada beliau?! Mustahil beliau mengarahkan demikian, sebab beliau sendirilah yang berkata, “Janganlah Engkau (Ya Allâh) jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata”. Beliau mencontohkan praktek tawakkal yang begitu tinggi, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin bergantung pada diri sendiri, walaupun itu hanya sesaat, sekedipan mata! Mengapa kita tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang lainnya? Cermati pula doa terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup doanya dengan kalimat thayyibah LA ILÂHA ILLALLÂH, yang menunjukkan -wallahua’lam- bahwa seluruh permintaan di atas adalah bentuk ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allâh Azza wa Jalla . 

MEMBACA SHALAWAT NARIYAH BERARTI MENGAGUNGKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM? 

Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk melegalkan pembacaan shalawat Nâriyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan dalih pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat Nâriyah tidak mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Ini merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan. 

Masalah pokok yang perlu diketahui pertama kali yaitu mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam hukumnya wajib. Dan ini merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang keimanan ini berbeda dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14] , bahkan pengagungan lebih tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap yang mencintai sesuatu ia pasti mengagungkannya. 

Contohnya, orang tua mencintai anaknya, namun kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk memuliakannya dan tidak mengantarkan untuk mengagungkannya. Beda dengan kecintaan anak kepada orang tuanya, yang akan mengantarkan untuk memuliakan dan mengagungkan mereka berdua.[15] 

Di antara hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus ditunaikan oleh umatnya adalah pemuliaan, pengagungan dan penghormatan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pengagungan, pemuliaan dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan dan penghormatan seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap majikannya. 

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 

فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an); mereka itulah orang-orang yang beruntung. 
[al-A’râf/7:157] 

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama, bahwa yang dimaksud dengan “pemuliaan” dalam ayat di atas adalah pengagungan.[16] 

PENGAGUNGAN TERHADAP RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM BERTEMPAT DI HATI, LISAN DAN ANGGOTA TUBUH [17] 

Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allâh. Keyakinan ini menyebabkan seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasulullah dariapda kecintaannya terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia. Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa betapa agung dan wibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta meresapi kemuliaannya, kedudukannya dan derajatnya yang tinggi. 

Hati merupakan raja dari tubuh, manakala pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam kuat dalam hati, niscaya dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan akan senantiasa basah dengan pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan tunduk menjalankan segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , taat kepada syariat dan ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menunaikan segala haknya. 

Adapun pengagungan terhadap beliau dengan lisan, maksudnya adalah memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang berhak untuk dimilikinya, yaitu pujian yang Allâh dan Rasul-Nya lantunkan untuk beliau, tanpa mengandung unsur berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara pujian yang paling agung adalah membaca shalawat untuk beliau.[18] 

Kata al-Halîmy (338-403 H), shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti pengagungan terhadap beliau di dunia, dengan mengangkat namanya, menampakkan agamanya dan mengabadikan syariatnya. Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah permohonan agar limpahan pahala mengalir padanya, syafaat beliau tercurah untuk umatnya dan kemuliaan beliau dengan al-maqâm al-mahmûd terlihat jelas[19]. 

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan yaitu beradab saat menyebut beliau dengan lisan kita. Caranya adalah dengan menggandengkan nama beliau dengan sebutan Nabi atau Rasûlullâh, lalu diakhiri dengan shalawat kepada beliau. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

Janganlah engkau jadikan panggilan Rasûlullâh di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain. 
[an-Nûr/24:63] 

Karena itulah para sahabat selalu memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan, “Wahai Rasûlullâh!” atau “Wahai Nabiyullâh!”. Juga hendaknya penyebutan nama beliau ditutup dengan shalawat; “shallallahu’alaihi wa sallam” bukan hanya dengan singkatan SAW atau yang semisal. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

Orang yang pelit adalah orang yang tatkala namaku disebut di hadapannya, ia tidak bershalawat padaku. 

[HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi rahimahullah menyatakan hadits ini “Hasan sahih gharib”]. 

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan pula yaitu menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keistimewaan dan mukjizatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenalkan sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakat, mengingatkan mereka terhadap kedudukan serta hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajarkan pada mereka akhlak dan sifat mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Menceritakan sejarah hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menjadikannya sebagai pujian, baik dengan bait-bait syair maupun bukan, namun dengan syarat tidak melampaui batas ketentuan syariat, semisal pengagungan yang berlebihan dan yang semisal. 

Sedangkan pengagungan dengan anggota tubuh, berarti mengamalkan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani sunnahnya, mengikuti perintahnya secara lahir maupun batin dan berpegang kuat dengannya. Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela sunnahnya, melawan mereka yang menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian di atasnya. Menjauhi segala yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak menyelisihi perintahnya dan bertaubat serta beristighfar manakala terjerumus ke dalam penyimpangan. “Taat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekwensi keimanan kepada beliau dan keyakinan akan kebenaran yang dibawanya dari Allâh. Sebab beliau tidaklah memerintahkan atau melarang dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allâh. Sebagaimana dalam firman-Nya : 

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allâh. [an-Nisâ’/4:64] 

Dan makna ketaatan kepada Rasûlullâh adalah menjalankan perintah-perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya.”[20] 

Kesimpulannya adalah pengagungan yang hakiki terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersimpulkan dalam empat kalimat yaitu mempercayai berita yang bersumber dari beliau, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah dengan tata cara yang disyariatkannya.[21] 

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MELARANG KITA UNTUK BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKANNYA 

Secara garis besar, Allâh Azza wa Jalla telah melarang kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan maupun amalan. Sebagaimana dalam Qur’an surat an-Nisâ’/4:171. Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang secara khusus dari sikap berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam sabdanya, 

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “(Muhammad adalah) hamba Allâh dan Rasul-Nya” 

[HR. Bukhâri (6/478 no. 3445 –al-Fath) dari Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu] 

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari para sahabatnya yang berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena khawatir mereka akan melampaui batas, sehingga terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi menjaga kemurnian tauhid, agar tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berhati-hati dalam mengantisipasi hal tersebut, bahkan sampaipun dari hal-hal yang barangkali tidak dikategorikan syirik atau bid’ah. 

Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bercerita, 

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: “يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا، وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا، وَابْنَ خَيْرِنَا!” فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ، وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُاللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ”.

 (Suatu hari) ada seseorang yang berkata, “Wahai Muhammad, wahai sayyiduna (pemimpin kami), putra sayyidina, wahai orang yang terbaik di antara kami, putra orang terbaik di antara kami!”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Wahai para manusia, bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku adalah Muhammad bin Abdullah; hamba Allâh dan Rasul-Nya. Demi Allâh, aku tidak suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allâh tentukan untukku”. 

[HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai sahih oleh adh-Dhiyâ’ al-Maqdisy (5/25 no. 1627) dan Ibn Hibbân (14/133 no. 6240]. 

Dengan keterangan di atas, insyaAllâh telah terlihat jelas, mana bentuk pengagungan yang terpuji dan mana bentuk pengagungan yang tercela. 

Penulis tutup makalah ini dengan nasehat yang disampaikan Ibn Hajar al-Haitamy (909-974 H), manakala beliau menjelaskan bahwa pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dengan sesuatu yang ada dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas tersebut. Beliau berkata, “Wajib bagi setiap orang untuk tidak mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan sesuatu yang Allâh izinkan bagi umatnya, yaitu sesuatu yang layak untuk jenis manusia. Sesungguhnya melampaui batas tersebut akan menjerumuskan kepada kekafiran, na’udzubillahi min dzalik. Bahkan melampaui batas sesuatu yang telah disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan penyimpangan. Maka hendaknya kita mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada dalilnya.”[22] 

Beliau rahimahullah menambahkan, “Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi: Pertama, kewajiban untuk mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengangkat derajatnya di atas seluruh makhluk. Kedua, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meyakini bahwa Allâh Maha Esa dalam dzat dan perbuatan-Nya atas seluruh makhluk-Nya. Barang siapa meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai Allâh dalam hal tersebut; maka ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa merendahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang seharus)nya maka ia telah berbuat maksiat atau kafir. Namun barang siapa yang mengagungkan beliau dengan berbagai jenis pengagungan dan tidak sampai menyamai sesuatu yang merupakan kekhususan Allâh, maka ia telah menggapai kebenaran, dan berhasil menjaga dimensi ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak mengandung unsur ekstrim atau sebaliknya”.[23] 

Wallahu a’lam 

---------------
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Footnote 
[1]. Tafsir al-Qur’ânil ‘Azhîm, 6/457). [2]. Judul buku-buku lainnya bisa dilihat, antara lain, di mukadimah Syaikh Masyhûr bin Hasan Salmân hafzhahullah dalam tahqîq Jalâ’ul Afhâm hlm. 8-29. 
[3]. Tafsîr ar-Râzy (20/180). Setelah menyebutkan dua syarat di atas, ar-Râzy rahimahullah menyebutkan syarat ketiga, yaitu iman. Sebab iman merupakan syarat utama agar amalan membuahkan pahala. Selain Mukmin tidak akan diterima amalannya, baik dia ikhlas maupun tidak, entah sesuai syariat maupun tidak. Karena ia belum mau memeluk agama, yang segala amalan tidak akan diterima melainkan dari pemeluk agama tersebut. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “Barangsiapa mencari agama selain Islam; maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali Imrân/3:85). Karena begitu gamblangnya permasalahan ini, banyak di antara para ulama yang tidak menyebutkan syarat iman ini, sebab hal itu sudah sangat jelas dan tidak samar. 
[4]. Tafsîr Ibn Katsîr (1/385). 
[5]. Dalam kitabnya Jalâ’ul Afhâm (hlm. 380-520), Ibnul Qayyim t menyebutkan ada empat puluh satu momen disyariatkannya membaca shalawat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
[6]. Lihat: Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah fî Akhlâq Thullâb Ma’had at-Tahdîb Ngoro Jombang ‘Âm: 2004, skripsi Institut Studi Islam Darussalam Gontor, yang disusun oleh Ahmad Luthfi Ridha (hlm. a). [7]. Tuntunan Ziarah Wali Songo karya Abdul Muhaimin (hlm. 144). [8]. Rahasia Keutamaan dan Keistimewaan Sholawat karya Nur Muhammad Khadafi, dinukil dari Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah hlm. 21 
[9]. www.indospritual.com. 
[10]. Lihat, al-Fishâl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal (2/221). 
[11]. Lihat, Majmû’ al-Fatâwâ (1/9). [12]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah Shahihnya (1/15). 
[13]. Lihat Tafsîr Ibn Katsîr (6/203) [14]. Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân karya al-Halîmy (II/124) dan al-Jâmi’ li Syu’ab al-Îmân karya al-Baihaqy (III/95). 
[15]. Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân (II/124). 
[16]. Lihat, Ibid (II/125). 
[17]. Diringkas dari Huqûqun Nabi shallallahu’alaihiwasallam ‘alâ Ummatih fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah, karya Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimy (II/466-478). [18]. Di awal tulisan ini, kami telah bawakan beberapa dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang disyariatkannya membaca shalawat. [19]. Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân (2/134). 
[20]. An-Nûr al-Mubîn fî Mahabbah Sayyid al-Mursalîn karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (hlm. 5-6). 
[21]. Lihat: Ar-Radd ‘alâ al-Akhnâ’iy karya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (hlm. 18) dan al-Ushûl ats-Tsalâtsah wa Adillatuhâ karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hlm. 23). 
[22]. Al-Jauhar al-Munazham fî Ziarah Qabr an-Nabi shallallahu’alaihiwasallam wa Karram (hlm. 64) dinukil dari Ârâ’ Ibn Hajar al-Haitamy al-I’tiqâdiyyah ‘Ardh wa Taqwîm fî Dhau’I ‘Aqîdah as-Salaf karya Muhammad bin Abdul Aziz asy-Syayi’ (hlm. 450). 
[23]. Al-Jauhar al-Munazham (hlm. 13) dinukil dari Ârâ’ Ibn Hajar al-Haitamy al-I’tiqâdiyyah. Home /Fiqih : Do'a, Dzikir.../Shalawat Nariyah Dalam Timbangan

Referensi: https://almanhaj.or.id

Selasa, 07 Juli 2020

KEUTAMAAN MENJADI PENYERU KEBAIKAN


Oleh DR. Husain bin Naffa`al-Jâbiri

Dakwah untuk menyeru manusia kepada Allâh Azza wa Jalla termasuk amal ketaatan yang paling agung dan ibadah paling afdhal  yang dilakukan seorang hamba kepada Rabbnya Azza wa Jalla. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman : Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، حَتَّى النَّمْلَةَ فِى جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ، لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

Sesungguhnya Allâh , malaikat dan para penghuni langit dan bumi, sampai seekor semut dan ikan di laut mendoakan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia. [HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani] 

Maka, barang siapa menyeru manusia kepada Allâh Azza wa Jalla , mengajarkan manusia apa yang bermanfaat dalam agama mereka, ia pun berhak masuk dalam doa tersebut. Karena ia memberi mereka petunjuk kebaikan dan menuntun mereka kepadanya, serta menjelaskan kepada mereka jalan hidayah dan jalan yang lurus.
 
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang lain 

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
 
Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang melakukannya. [HR. Muslim] 

Dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

  مَنْ دَعَا إِلَى هُدَى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يُنْقَصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Barang siapa mengajak kepada hidayah, maka baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. [HR. Muslim] 

Bila demikian kedudukan dakwah untuk menyeru manusia kepada Allâh Azza wa Jalla,  dan pahala yang ditentukan dari menempuh jalan dakwah tersebut, maka seyogyanya seorang Muslim (dan Muslimah) untuk berusaha dengan sungguh-sungguh menjadi salah seorang penyeru dakwah yang kelak akan tampak pengaruhnya pada diri mereka dan masyarakat sosial mereka. Berdasarkan urgensi tinggi ini, penulis ingin menyampaikan beberapa pesan kepada saudara-saudaraku, orang-orang yang menyeru manusia kepada Allâh Azza wa Jalla yang saya berharap mereka mendapatkan manfaat darinya: Saling bekerja sama dalam dakwah dan saling mendukung di antara mereka serta berusaha dengan serius untuk menyatukan kaum Muslimin dan mempersatukan mereka di atas Kitabullah dan Sunnah Shahihah dengan dasar pemahaman generasi terdahulu umat Islam, dalam mengamalkan firman Allâh Azza wa Jalla :

 وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا 

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai [Ali Imran/3:103] dan Firman Allâh Azza wa Jalla :

  إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
 
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu [Al Hujurât/49:10]
 
Sesungguhnya keadaan manusia tidak teratur dan tidak menjadi lurus kecuali dengan bersatu dan saling menjalin keakraban di antara mereka. 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendeskripsikan makna ini dalam potret yang amat menarik:

 مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ 

Perumpamaan kaum Muslimin dalam saling mencintai, menyayangi dan saling peduli bagaikan satu tubuh, bila salah satu anggota tubuh darinya mengeluhkan sesuatu (penderitaan), maka seluruh tubuh akan mengundang untuk demam dan begadang  karenanya. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
 
Kewajiban mereka untuk mewaspadai hal-hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan silang-pendapat, seperti sifat hasad, zhalim dan prasangka buruk, atau berkompetisi untuk meraih jabatan, popularitas dan lain-lain yang dapat memalingkan dari ikhlas dan menjauhkan dirinya dari taufik Allâh. Akibatnya, seorang dai berjalan dengan penuh kebanggaan diri, lupa diri  dan merasa tinggi di atas yang lainnya, dengan menyangka dirinya termasuk orang-orang yang ikhlas, padahal ia amat jauh dari ikhlas. Semoga Allâh  memaafkan dan menyelamatkan kita darinya. Bersabar menghadapi segala respon negatif dari orang lain dalam jalan dakwah, seperti ejekan, olokan, dan tuduhan yang batil, atau kekuatan yang minim, musuh  yang berkuasa, orang-orang dengki, kezhaliman, dakwah tidak diterima, diusir dari kampung halaman dan lain-lain yang kadang dihadapi oleh para penyeru kebenaran dan orang-orang yang tergerak untuk memperbaiki keadaan saat menyebarkan dakwah mereka. 

Sungguh, Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengalami gangguan dan rintangan, dipukul, dicekik, dan dilemparkan jeroan onta ke punggung Beliau. Beliau juga dituduh sebagai orang gila, pendusta, tukang sihir, penyair atau dukun. Beliau pun diusir dari negeri sendiri, dilempari bebatuan hingga darah mengucur dari dua tumit Beliau yang mulia.  Beliau diembargo di lembah Bani Hasyim sehingga sempat Beliau dan para Sahabat terpaksa memakan dedaunan. Paman Beliau, Hamzah terbunuh, begitu juga para Sahabat juga terbunuh di depan mata Beliau. Lalu Beliau pun harus menghadapi fitnah dari kaum Munafiqin yang menuduh istri Beliau  yang tercinta dengan perbuatan serong. Masih banyak ujian, gangguan dan rintangan yang tidak akan mampu diemban gunung-gunung kokoh yang menjulang tinggi, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabar dan selalu mengharap pahala dari Rabbnya. Maka, pada diri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  ada keteladanan yang baik. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا 

Sesungguhnya telah  ada pada (diri) Rasûlullâh  itu ada suri teladan yang bagi kalian (yaitu) orang yang mengharap (rahmat) Allâh  dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut  Allâh  [Al-Ahzab/33:21] 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ 

Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allâh , dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allâh  menyukai orang-orang yang sabar. [Ali Imran/3:146] 

Allâh  Azza wa Jalla berfirman untuk mengabarkan wasiat Luqman kepada putranya: 

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ 

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan mencegah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allâh ) [Luqman/31:17] Ia berpesan untuk bersabar setelah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Sebab orang yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran mesti akan menghadapi gangguan atau hal-hal lain yang tidak mengenakkan. Maka, ia perlu melatih diri untuk menahan diri dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Membekali diri dengan ilmu syar’i, terutama yang berhubungan dengan ilmu tentang aqidah yang benar yang berlandaskan Al-Qur`an dan Hadits, serta manhaj Salafus Shalih rahimahumullah dan mencoba mencari tahu syubhat-syubhat yang ada dan menganalisa bagaimana cara mematahkan dan menjawabnya. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ 

Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allâh  dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allâh  dan aku tiada termasuk orang-orang yang musryik”. [Yûsuf/12:108]) 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
 
Mencari ilmu wajib atas setiap Muslim. [HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih] 

Orang yang jahil tidak mungkin memahami agamanya dan kemudian mendakwahkannya kepada orang lain, atau membelanya dan mematahkan  takwil-takwil orang-orang bodoh, syubhat-syubhat pembawa kebatilan dan orang-orang yang punya kepentingan-kepentingan tertentu. Maka, sudah menjadi kewajiban untuk menyebarkan ilmu di masjid-masjid, islamic center, dan kumpulan orang-orang banyak dan di setiap tempat. Sebagaimana menjadi kewajiban para pemuda untuk dekat dengan para Ulama yang terpercaya yang dikenal memiliki ilmu yang melimpah, ketakwaan dan sifat wara’, lalu mereka mengambil petunjuk dari para Ulama tersebut, menjalankan apa yang mereka arahkan, sehingga amal perbuatan mereka (para pemuda itu) sesuai dengan syariat Allâh Azza wa Jalla , bukan asal sejalan dengan keinginan dan semangat mereka. Akhirnya, penulis ingin menyampaikan bahwa agama ini agama yang akan selalu terjaga dengan pemeliharaan dari Allâh Azza wa Jalla . Dengan kekokohannya, pemikiran-pemikiran para penyimpang berguguran sepanjang masa. Agama ini merupakan ruh bagi kehidupan dan kehidupan bagi ruh kita, cahaya bagi jalan kita dan jalan yang bercahaya. Kewajibanmu tiada lain, engkau berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki diri dan memperbaiki orang-orang yang ada di sekitarmu, dan menyampaikan agama Allâh  sebagaimana yang dikehendaki Allâh , berkomitmen dengan ajaran-ajaran-Nya, berpedoman dengan hidayah-Nya dan menjauhi maksiat dengan seluruh jenisnya . Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik dan hidayah kepada kita semua dan menjadikan kita orang-orang yang disibukkan dengan amal ketaatan kepada-Nya, membela agama-Nya, mengikuti sunnah Nabi-Nya dan membela sunnah Beliau di seluruh kesempatan.

Referensi: https://almanhaj.or.id/11447-keutamaan-menjadi-penyeru-kebaikan.html

*بارك الله فيكم*
===================================
📱 *0813-5175-7771*
🖥️ Youtube : Hanif. TV
💻 Facebook : Hanif.Tv
📱 Instagram : @hanif.tv
📧 Email : haniftvpalangkaraya@gmail.com
-
🔁 Free share
===================================

Senin, 06 Juli 2020

ADAB DALAM MENGUAP

Adab Islam Ketika Menguap

Agama Islam mengajarkan manusia akhlak-akhlak yang mulia dan melarang manusia dari akhlak-akhlak yang tercela. Diantara akhlak mulia dalam Islam adalah Islam mengajarkan adab ketika menguap.

Yang hendaknya dilakukan ketika menguap
Diantara adab yang diajarkan Islam ketika menguap adalah berusaha menahannya sebisa mungkin. Tidak membiarkan mulutnya ternganga dan terbuka ketika menguap. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ ، وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ ، فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ ، وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنْ الشَّيْطَانِ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِذَا قَالَ : هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ

“sesungguhnya Allah menyukai bersin, dan tidak menyukai tasa’ub (menguap). Jika seseorang bersin maka ucapkanlah hamdalah, dan merupakan hak baginya terhadap setiap muslim yang mendengarnya untuk ber-tasymit. Adapun menguap, itu dari setan. Maka hendaknya ia menahannya sebisa mungkin. Jika ia menguap sampai mengeluarkan suara “hah” maka setan pun tertawa” (HR. Bukhari no. 6223, Muslim no. 2994).

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

“Jika kalian menguap maka tutuplah mulutnya dengan tangannya. Karena setan akan masuk”

Dalam lafadz yang lain:

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ

“Jika kalian menguap dalam shalat maka tahanlah sebisa mungkin” (HR. Muslim no. 2995).

Ibnu Allan Asy Syafi’i mengatakan:

أي قدر استطاعته ، وذلك بإطباق فيه ، فإن لم يندفع بذلك فبوضع اليد عليه

“Maksudnya tahanlah sebisa mungkin. Yaitu dengan melakukan ithbaq (menggabungkan bibir). Jika tidak bisa ditahan maka dengan meletakkan tangan di mulut” (Dalilul Falihin, 6/175).

Dari dalil-dalil di atas, bisa kita simpulkan bahwa yang pertama kali diusahakan ketika menguap adalah menahan mulut dengan menggabungkan bibir. Jika tidak mampu maka baru menggunakan tangan. Kemudian bersamaan dengan itu, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apapun baik suara “hah” atau suara apapun.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

إذا حصل التثاؤب يشرع له أمور عدة. الأمر الأول: أنه يكظم ما استطاع يعني: يضم فمه ما استطاع حسب الطاقة. الثاني: أنه يضع يده على فيه. الثالث: أنه لا يقول: هاه، بل يحفظ لسانه ولا يتكلم بشيء لا قليل ولا كثير

“Jika menguap, disyariatkan beberapa perkata:

Pertama, menahan mulut sebisa mungkin, yaitu dengan cara menggabungkan bibir sebisa mungkin.

Kedua, (jika tidak mampu maka) meletakkan tangan di mulutnya.

Ketiga, menjaga lisannya agar tidak berkata-kata,baik sedikit maupun banyak” (https://binbaz.org.sa/fatwas/8418).

Menutup mulut dengan tangan kanan atau kiri?
Sebagian ulama menganjurkan untuk menutup mulut dengan tangan kiri. Karena menguap adalah keburukan, sehingga lebih didahulukan tangan kiri. Sebagaimana kaidah yang ditetapkan sebagian ulama:

تقديم اليمين في كل ما كان من باب الكرامة ، وتقديم الشمال في كل ما كان من باب المهانة

“Didahulukan tangan kanan dalam semua perkara yang mulia. Dan didahulukan tangan kiri dalam semua perkara yang hina”.

Caranya yaitu dengan meletakkan punggung tangan kiri ke mulut, bukan dengan telapak tangan kiri. Al Munawi rahimahullah mengatakan:

(فليضع يده) أي ظهر كف يسراه كما ذكره جمع ، ويتجه أنه للأكمل وأن أصل السنة يحصل بوضع اليمين . قيل : لكنه يجعل بطنها على فيه عكس اليسرى

“Maksudnya dengan cara meletakkan punggung tangan kiri, sebagaimana dikatakan oleh sejumlah ulama. Dan mereka berpandangan itu lebih sempurna. Walaupun pada asalnya yang lebih sesuai sunnah adalah dengan meletakkan tangan kanan, sebagaimana dalam hadits disebutkan “maka letakkanlah tangannya…” namun (jika dengan tangan kanan) maka dengan meletakkan telapaknya, tidak sebagaimana jika menggunakan tangan kiri” (Faidhul Qadir, 1/404).

As Safarini rahimahullah mengatakan:

وقال السفاريني رحمه الله : “وَقَالَ لِي شَيْخُنَا التَّغْلِبِيُّ فَسَّحَ اللَّهُ لَهُ فِي قَبْرِهِ : إنْ غَطَّيْت فَمَك فِي التَّثَاؤُبِ بِيَدِك الْيُسْرَى فَبِظَاهِرِهَا , وَإِنْ كَانَ بِيَدِك الْيُمْنَى فَبِبَاطِنِهَا

“Guruku, Syaikh At Taghlibi, semoga Allah meluaskan kuburnya, beliau berkata: jika menutup mulut ketika menguap dengan tangan kiri, maka gunakan punggungnya. Jika dengan tangan kanan, maka dengan telapaknya” (Ghadza al Albab, 1/348).

Namun masalah ini longgar, yang penting berusaha menutup mulut ketika menguap. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya: “apakah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika menguap beliau menutup tangannya dengan tangan kanan atau tangan kiri ataukah keduanya bersamaan?”. Beliau menjawab:

لا أعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يضع يده على فمه إذا تثاءب ، وإنما ورد ذلك من قوله حيث أمر صلى الله عليه وسلم الرجل عند التثاؤب – يعني : أو المرأة – أن يكظم – يعني : يمنع فتح فمه ما استطاع – فإن لم يستطع فليضع يده على فمه ، ويضع اليد اليمنى أو اليسرى ، المهم أن لا يبقي فمه مفتوحاً عند التثاؤب

“Tidak kami ketahui ada hadits tentang Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menutup tangannya ketika menguap. Yang ada adalah hadits berisi perintah beliau kepada orang yang menguap. Yaitu dengan menahan mulutnya agar tidak terbuka sebisa mungkin. Jika tidak mampu ditahan, maka letakkanlah tangan di mulutnya. Boleh dengan tangan kanan atau tangan kiri. Yang penting tidak membiarkan mulut terbuka ketika menguap” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 13/61).

Menguap di tengah shalat
Menguap tanpa ada usaha untuk menahannya atau menutupnya atau mengeluarkan suara ketika itu, hukumnya makruh. Dan jika dilakukan di dalam shalat lebih makruh lagi. Dan menguap ketika shalat adalah bentuk upaya setan untuk menganggu orang yang shalat. Sebagaimana dalam riwayat lain yang disebutkan oleh Imam Muslim di atas:

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ

“Jika kalian menguap dalam shalat maka tahanlah sebisa mungkin” (HR. Muslim no. 2995).

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan:

قال شيخنا – أي : الحافظ العراقي – في ” شرح الترمذي ” : أكثر روايات الصحيحين فيها إطلاق التثاؤب , ووقع في الرواية الأخرى تقييده بحالة الصلاة ، فيحتمل أن يحمل المطلق على المقيد , وللشيطان غرض قوي في التشويش على المصلي في صلاته , ويحتمل أن تكون كراهته في الصلاة أشد , ولا يلزم من ذلك أن لا يكره في غير حالة الصلاة

“Guru kami, yaitu Al Hafidz Al Iraqi, dalam Syarah At Tirmidzi mengatakan: kebanyakan riwayat-riwayat yang shahih mengenai larangan menguap itu bersifat mutlak. Dan terdapat riwayat lain yang muqayyad yang menyebutkan bahwa larangan tersebut berlaku ketika shalat. Maka bisa dibawa riwayat-riwayat yang mutlak tersebut kepada yang muqayyad. Dan setan memiliki tujuan yang kuat untuk memberikan gangguan kepada orang yang shalat dalam shalatnya. Maka bisa jadi menguap di dalam shalat itu lebih ditekankan kemakruhannya. Namun bukan berarti tidak makruh ketika dilakukan di luar shalat” (Fathul Bari, 10/612).

Orang yang menguap di dalam shalat juga dianjurkan untuk berusaha menahan mulutnya agar tidak terbuka dan jika tidak mampu ia boleh menggerakkan tangannya untuk menutup mulutnya. Gerakan ini tidak terlarang, tidak membatalkan shalat dan tidak termasuk dalam larangan menutup mulut dalam shalat. Ibnu Hajar menjelaskan:

وأما الأمر بوضع اليد على الفم فيتناول ما إذا انفتح بالتثاؤب فيغطى بالكف ونحوه ، وما إذا كان منطبقا حفظا له عن الانفتاح بسبب ذلك . وفي معنى وضع اليد على الفم وضع الثوب ونحوه مما يحصل ذلك المقصود , وإنما تتعين اليد إذا لم يرتد التثاؤب بدونها , ولا فرق في هذا الأمر بين المصلي وغيره , بل يتأكد في حال الصلاة كما تقدم ، ويستثنى ذلك من النهي عن وضع المصلي يده على فمه

“Adapun perintah untuk meletakkan tangan di mulut, ini dilakukan ketika mulut mulai terbuka untuk menguap. Maka ketika itu ditutup dengan telapak tangan atau dengan benda lainnya yang bisa diupayakan untuk mencegah terbukanya mulut. Dan menutup dengan baju atau semisalnya ini juga semakna dengan meletakkan tangan, yaitu semua yang dapat mewujudkan tujuan menutup mulut. Disebutkan tangan secara spesifik dalam hadits, adalah jika menguap tidak bisa dicegah kecuali dengan tangan. Dan tidak ada bedanya perkara ini, antara orang yang shalat ataupun di luar shalat. Bahkan lebih ditekanlah lagi anjuran menutup mulut yang menguap dengan tangan di dalam shalat, sebagaimana sudah kami jelaskan. Dan ini merupakan pengecualian dari larangan menutup mulut dalam shalat” (Fathul Bari, 10/612).

Dan hendaknya orang yang shalat berusaha menghindarkan dirinya dari sebab-sebab yang bisa membuat ia bisa menguap dalam shalat. Dengan mempersiapkan dirinya semaksimal mungkin sebelum shalat. Dan meminta pertolongan dan perlindungan Allah sebelum shalat agar tidak diganggu oleh setan dalam shalatnya.

Demikian, semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

***

Diringkas dari fatwa-fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz:

https://islamqa.info/ar/answers/137242
https://islamqa.info/ar/answers/72313
https://binbaz.org.sa/fatwas/8418
 
Penyusun: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/50986-adab-islam-ketika-menguap.html

Rabu, 01 Juli 2020

BANTAHAN BUKU IDRUS RAMLI

Untuk mu yang membenci Salafi
---------------------------------------------------

↪Prolog: ❝ Jika antum pencari kebenaran, ingin punya pemahaman yang benar, dan tidak ingin disebut jahil dalam masalah aqidah, pastikan antum membaca artikel dibawah ini. Agar tidak tertipuuu..❞ (nhc) 👌🌷🌺

∵∴Membedah Syubhat-Syubhat “Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi”∴∵

Oleh : Ustadz Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

Di antara karakteristik ahli bid’ah dari masa ke masa, bahwasanya mereka selalu mencela dan mencoreng citra Ahli Sunnah wal Jama’ah untuk menjauhkan umat dari al-haq. Al-Imam Abu Hatim ar-Razi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Ciri ahli bid’ah adalah mencela ahlil atsar.” (Ashlu Sunnah hlm. 24)

📚 Al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni Rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Tanda yang paling jelas dari ahli bid’ah adalah kerasnya permusuhan mereka kepada pembawa Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka melecehkan dan menghina Ahli Sunnah dan menamakan Ahli Sunnah dengan Hasyawiyyah, Jahalah, Dhahiriyyah, dan Musyabbihah.” (Aqidah Salaf Ashabul Hadits hlm. 116)

Di antara deretan buku-buku ‘hitam’ yang mencela ulama Sunnah adalah Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi yang beredar belakangan ini. Buku ini penuh dengan banyak cercaan, kedustaan, tadlis (manipulasi), dan pengkhianatan ilmiah terhadap Dakwah Salafiyyah.

Mengingat kitab ini telah menyebar di kalangan kaum muslimin-bahkan banyak dijadikan rujukan oleh para pemasar bid’ah-maka untuk menunaikan kewajiban kami dalam nasihat kepada kaum muslimin dan membela dakwah yang haq, dengan memohon pertolongan kepada Allah akan kami paparkan telaah kritis terhadap buku ini agar menjadi kewaspadaan dan peringatan bagi kita semua.

❌Penulis dan Penerbit Buku Ini :

Buku ini ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli dan diterbitkan oleh Bina Aswaja, Surabaya, cetakan ketujuh, Rajab 1433 H/Juni 2012 M.

▪ PENULIS MENGINGKARI “ALLAH DI LANGIT”

Penulis berkata di dalam hlm. 16:
Allah juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah ada tanpa tempat.

Dia juga berkata di dalam hlm. 18:

Tidak jarang, kaum Wahabi menggunakan ayat-ayat Al-Qur‘an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah bertempat di langit. Akan tetapi dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat Al-Qur‘an yang sama.

▪ KAMI KATAKAN:

Tidak syak lagi bahwa bahwa penulis telah terpengaruh dengan pemikiran Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah seperti istiwa‘ dan yang lainnya. Ini menyelisihi manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan semua sifat yang tsabitah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Yang shahih adalah bahwa “Allah bersemayam di atas ’Arsy di atas semua makhluk-Nya”. Al-Qur‘an, hadits shahih, dan fitrah yang bersih serta cara berpikir yang sehat adalah dalil-dalil yang qath’i yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas ’Arsy:

Allah Ta’ala berfirman:

ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ

Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa‘ di atas ’Arsy. (QS Thaha [20]: 5)

Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas ’Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: al-A’raf [7]: 54, Yunus [10]: 3, ar-Ra’d [51]: 2, Thaha [20]: 5, al-Furqan [25]: 59, as-Sajdah [22]: 4, dan al-Hadid [59]: 4.

Para tabi’in menafsirkan istiwa‘ dengan “naik dan tinggi”, sebagaimana diterangkan dalam hadits al-Bukhari (lihat Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyyah, asy-Syaikh al-Fauzan hlm. 73–75 cet. Maktabah al-Ma’arif).

1. Dan Allah Ta’ala berfirman:

ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ ٱلْأَرْضَ

Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian? (QS al-Mulk [67]: 16)

Menurut Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah, seperti disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauzi.

2. Dan Allah Ta’ala berfirman:

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka. (QS an-Nahl [16]: 50)

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mi’raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun ’alaih)

4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?” (Muttafaqun ’alaih)

5. Di dalam Shahih Muslim (no. 537) bahwa ada seorang jariyah (budak perempuan) penggembala kambing ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Di manakah Allah?” Jawab budak perempuan, “Di atas langit.” Beliau bertanya (lagi), “Siapakah aku?” Jawab budak itu, “Engkau adalah Rasulullah.” Beliau bersabda, “Merdekakan ia, karena sesungguhnya ia mukminah (seorang perempuan yang beriman).”

6. Al-Imam Malik, ketika ditanya tentang masalah istiwa‘ (tingginya) Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ’Arsy-Nya berkata, “Istiwa‘ (Allah) sudah sama dipahami, dan bagaimana (hakikat)nya tidak diketahui, sedangkan mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentang bagaimana (hakikat) Allah ber-istiwa‘ adalah bid’ah.” (Lihat Mukhtashar al-’Uluwoleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 141.)

7. Al-Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Kita mengetahui bahwa Tuhan kita berada di atas langit yang tujuh; ber-istiwa‘ di atas ’Arsy-Nya; terpisah dari makhluk-Nya. Kami tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jahmiyyah.” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 151.)

8. Al-Imam al-Auza’i Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Kami dan para Tabi’in mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah penyebutannya di atas ’Arsy-Nya dan kami mengimani apa saja yang terdapat di dalam Sunnah.’” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 138.)

9. Al-Imam Abu Hanifah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang mengatakan ‘Saya tidak tahu apakah Tuhan saya berada di langit atau bumi’ berarti dia telah kafir.” (Lihat Mukhtashar al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 136.)
Baca Juga
Membedah syubhat buku pintar berdebat dengan wahabi karya Muhammad Idrus Ramli
Membantah beberapa syubhat Ustad abdul s*mad
Ciri ciri dakwah haroki
10. Al-Imam Ibnu Khuzaimah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ’Arsy-Nya Dia istiwa‘ di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Rabbnya…” (Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam kitab Ma’rifah Ulumul Hadits hlm. 84 dengan sanad yang shahih)

▪ KEDUSTAAN-KEDUSTAAN PENULIS

Penulis berkata di dalam hlm. 90:

Misalnya Abdul Muhsin Al-‘Abbad dari Madinah menganggap Al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud Al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai Al-Albani telah mulhid (tersesat)…

▪ KAMI KATAKAN:

Demikianlah penulis telah membuat kedustaan yang besar yang diketahui oleh setiap orang yang memiliki perhatian terhadap perikehidupan para ulama, penulis telah melecehkan para ulama Sunnah dan membuat kebohongan-kebohongan atas mereka.

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad SANGAT MENGHORMATI Syaikh al-Albani sebagaimana Syaikh al-Albani juga sangat menghormati beliau. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad tidak pernah menuduh Syaikh al-Albani Murji’ah bahkan beliau mengatakan:

قد كان رحمه الله من العلماء الأفذاذ الذين أفنوا أعمارهم في خدمة السنة و التأليف فيها و الدعوة إلى الله عز و جل و نصرة العقيدة السلفية و محاربة البدعة، و الذب عن سنة الرسول- صلى الله عليه و سلم-

“Beliau Syaikh al-Albani termasuk para ulama yang menonjol yang menghabiskan umur mereka di dalam pengabdian kepada Sunnah, berdakwah ilallah, membela aqidah salaf, memerangi bid’ah, dan membela sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Tarjamah Syaikh al-Albani dari www.albani.org dan lihat juga buku kami Barisan Ulama Pembela Sunnah Nabawiyyah hlm. 172 cet. kedua)

Demikian juga Syaikh Hamud at-Tuwaijiri sangat menghormati Syaikh al-Albani dan beliau mengatakan tentang Syaikh al-Albani:

الألباني – الآن – علم على السنة ، الطعن فيه إعانة على الطعن في السنة

“Syaikh al-Albani sekarang adalah lambang dari Sunnah, mencela beliau akan memudahkan cela pada Sunnah.” (Sirah al-Allamah Hamud bin Abdullah at-Tuwaijiri hlm. 14 dan lihat juga buku kami Barisan Ulama Pembela Sunnah Nabawiyyah hlm. 165 cet. kedua)

▪ BID’AH HASANAH MENURUT PENULIS

Penulis berkata di dalam hlm. 36:

Dalam acara itu saya menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dan pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar)

Karena meskipun Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Muslim: 867)

Ternyata Rasulullah juga bersabda: “Barangsiapa yang MEMULAI mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR Muslim: 1017)

Dalam hadits pertama Rasulullah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang MEMULAI perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahalanya dn pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits yang pertama “kullu bid’atin dhalalah” (setiap bid’ah adalah sesat) sebagaimana dikatakan oleh Imam An-Nawawi dan lain-lain.

▪ KAMI KATAKAN:

Demikianlah penulis berusaha melegalkan bid’ah hasanah dengan menyebarkan pemahaman yang keliru tentang hadits Man Sanna fil Islam Sunnatan Hasanatan padahal tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan “Man sanna fil Islam” yang artinya “Barangsiapa berbuat dalam Islam”, sedangkan bid’ah tidak termasuk dalam Islam; kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan “sunnatan hasanatan” yang berarti “sunnah yang baik”, sedangkan BID’AH BUKAN YANG BAIK. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid’ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata “Man sanna” bisa diartikan pula “BARANGSIAPA MENGHIDUPKAN SUATU SUNNAH”, yaitu sunnah yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “sanna” tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sabab wurud (sebab timbulnya) hadits di atas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda, “Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu.”

Dari sini dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah melaksanakan (mengerjakan), BUKAN BERARTI MEMBUAT (MENGADAKAN) SUATU SUNNAH. Jadi, arti dari sabda beliau “Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan” yaitu: “Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik dalam Islam”, bukan membuat atau mengadakannya karena yang demikian ini dilarang berdasarkan sabda beliau “Kullu bid’atin dhalalah”. (Lihat al-Ibda’ fi Kamalisy Syar’i wa Khatharil Ibtida’.)

▪ MENOLAK HADITS SHAHIH

Penulis di dalam hlm. 21-22 menyebutkan hadits Jariyah yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di dalam Shahih-nya 2/70:

فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

“Lalu beliau bertanya kepada budak wanita tersebut, ‘Di manakah Allah?’ Budak itu menjawab, ‘Di langit.’ Beliau bertanya, ‘Siapakah aku?’ Dia menjawab, ‘Engkau adalah utusan Allah.’ Beliau bersabda, ‘Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah.’”

Kemudian penulis berkata:

Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits) Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtarib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.

Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi tidak bertanya dimana Allah. Akan tetapi Nabi bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.

▪ KAMI KATAKAN:

Demikianlah, untuk melegalkan pemikiran sesatnya bahwa Allah tidak di langit, penulis telah berani menolak hadits yang disepakati keshahihannya oleh para ulama.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahullahu Ta’ala berkata,
Hadits ini disepakati keabsahannya oleh para ulama muslimin semenjak dahulu hingga sekarang dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar, seperti Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu ’Awanah, Ibnul Jarud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para pakar dan sebagian mereka adalah para penakwil, seperti al-Baihaqi, al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) al-Asqalani, dan lainnya.

Lantas, bagaimana pendapat seorang muslim yang berakal terhadap orang jahil dan sombong yang menyelisihi para imam dan pakar tersebut, bahkan mencela lafal (yang diucapkan) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah dishahihkan oleh para ulama tersebut?!” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 1/11)

Al-Imam al-Baihaqi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Hadits ini shahih. Dikeluarkan oleh Muslim.” (al-Asma‘ wash Shifat hlm. 532–533)

Al-Imam adz-Dzahabi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Hadits ini shahih. Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, an-Nasa‘i, dan imam-imam lainnya dalam kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa takwil dan tahrif.” (al-’Uluw lil ’Aliyyil ’Azhim 1/249)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim.” (Fathul Bari13/359)

Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada satu pun dari ulama hadits yang menyebutkan bahwa hadits tersebut adalah mudhtarib, maka penulis telah melakukan pelemahan hadits dengan dalih dari kantongnya sendiri.

▪ BERARGUMEN DENGAN HADITS LEMAH

Penulis berkata di dalam hlm. 10:
Sebagai penegasan bahwa Nabi yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut:

عن عبد الله بن مسعود عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: حياتي خير لكم ، تحدثون ويحدث لكم ، ووفاتي خير لكم ، تعرض علي أعمالكم ، فما رأيت من خير حمدت الله عليه ، وما رأيت من شر استغفرت الله لكم

“Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda: ‘Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku akan memintakan ampun kalian kepada Allah.’” (HR al-Bazzar, 1925)

▪ KAMI KATAKAN:

Ini adalah hadits yang lemah. Ia diriwayatkan oleh al-Bazzar di dalam Musnad-nya 5/308 dari Yusuf bin Musa dari Abdul Majid bin Abdil Aziz bin Abi Rawwad dari Sufyan dari Abdullah bin Saib dari Zadzan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ يُبَلِّغُونِي عَنْ أُمَّتِي السَّلَامَ قَالَ: وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَيَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُحَدِّثُونَ وَنُحَدِّثُ لَكُمْ ، وَوَفَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ ، فَمَا رَأَيْتُ مِنَ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللَّهَ عَلَيْهِ ، وَمَا رَأَيْتُ مِنَ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ اللَّهَ لَكُمْ

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat Sayyahin (yang berkeliling) di bumi. Mereka menyampaikan salam dari umatku kepadaku.” Abdullah berkata, “Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbicara dan kami berbicara kepada kalian. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku akan memintakan ampun kalian kepada Allah.’”

Al-Bazzar Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Dan hadits ini, (bagian) akhirnya kami tidak mengetahui diriwayatkan dari Abdullah kecuali dari jalan dengan sanad ini.”

Abdul Aziz bin Abi Rawwad telah sendirian di dalam meriwayatkan hadits ini dari Sufyan ats-Tsauri dengan tambahan “Hidupku lebih baik bagi kalian…”, dia telah diselisihi oleh banyak dari para perawi yang tsiqah dari para sahabat Sufyan ats-Tsauri yang meriwayatkan hadits ini dari Sufyan tanpa tambahan di atas.

Para perawi yang tsiqah tersebut adalah: Yahya al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi, Waki’ bin Jarrah, Ibnul Mubarak, Abdurrazzaq bin Hammam, Mu’adz al-’Anbari, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Abdullah bin Numair, Zaid bin Habbab, Ubaidullah bin Musa, Abu Nu’aim, Fudhail bin ’Iyadh, Muhammad bin Katsir, dan Abu Ishaq al-Fazari, yang total jumlah mereka ada 14 orang (riwayat mereka ada di dalam Sunan an-Nasa‘i 3/43, Musnad Ahmad 1/452 dan yang lainnya, lihat Silsilah Ahadits Dha’ifah: 975 dan Fatawa Haditsiyyah 2/14).

Maka riwayat Abdul Majid bin Abi Rawwad adalah mungkar, dia dilemahkan oleh Abu Hatim Ibnu Sa’ad, Abu Zur’ah, Daruquthni, dan yang lainnya.

Hadits ini dilemahkan oleh al-’Ujluni di dalam Kasyful Khafa’ 1/442, al-Hafizh al-’Iraqi di dalam Mughnil Isfar 2/1051, dan Ibnul Qaisarani di dalam Ma’rifat Tadzkirah 3/1250.

Syaikh al-Albani Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Dan kesimpulannya bahwa hadits ini adalah lemah dengan seluruh jalan-jalannya.” (Silsilah Dha’ifah 2/406)

Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Hadits ini termasuk mungkar-mungkar Abdul Majid bin Abi Rawwad.” (Arsip Multaqa Ahlil Hadits 27/327)

Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini menyebutkan bahwa hadits ini mungkar secara matan dengan dalil hadits yang Muttafaq ’Alaih dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ألا وإنه سيجاءُ برجالٍ من أمتي، فيؤخذُ بهم ذات الشمال، فأقولُ: يا ربِّ أصحابي، فقال: إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك

“Ingat, sesungguhnya beberapa orang dari umatku akan didatangkan lalu mereka diambil ke golongan kiri, aku berkata, ‘Wahai Rabb, (mereka itu) sahabat-sahabatku.’ Dikatakan, ‘Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka buat-buat sepeninggalmu.’”

Hadits ini merupakan dalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengetahui amalan-amalan umat beliau setelah beliau wafat. (Lihat Fatawa Haditsiyyah 2/16.)

Penutup

Inilah yang bisa kami sampaikan kepada para pembaca tentang jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat buku ini. Sebetulnya masih banyak hal-hal lain dari syubhat-syubhat buku ini yang perlu dijelaskan, tetapi insya Allah yang telah kami paparkan di atas sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang bahaya buku ini. Semoga Allah selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikutinya.

Amin.

والله أعلم بالصواب

sumber : https://www.facebook.com/mengenalkebenaran

Via Fb NHawadaa Chan
.
.
Repost Fp Ittiba'Rasulullah
.
.
Silahkan dishare...
Barakallahu Fiikum...